BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Negara atau daerah kaya sumber daya alam (SDA) seharusnya memiliki performa perekonomian yang lebih baik relatif terhadap negara atau daerah dengan sumber daya alam yang terbatas. Menurut Wright dan Czelusta (2004), keberhasilan perekonomian Amerika melampaui Inggris di abad 18 disebabkan karena Amerika memiliki berkah sumber daya alam yang lebih melimpah dibanding Inggris. Amerika bersama dengan Kanada, Australia dan negara-negara Skandinavia adalah negara-negara yang sukses mengubah kelimpahan sumber daya alamnya menjadi kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi melalui pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan berlandaskan kemajuan teknologi dan peningkatan kualitas institusi. Di akhir dekade 80-an mulai muncul studi-studi empiris yang menunjukkan, bahwa sumber daya alam yang seharusnya menjadi berkah bagi negara/daerah pemiliknya, justru dapat melemahkan perekonomian. Hubungan negatif antara kelimpahan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi tersebut lebih dikenal dengan istilah kutukan sumber daya alam (natural resource curse). Menurut Sachs & Warner (SW) (1997) pada hakekatnya kelimpahan SDA (resource abundance) tidak melemahkan pertumbuhan ekonomi. Fenomena kutukan sumber daya alam terjadi ketika kelimpahan SDA tersebut identik dengan ketergantungan SDA (resource dependence). Selanjutnya, menurut SW hadirnya kajian-kajian mengenai
1
kutukan SDA dilatarbelakangi fenomena yang muncul pasca perang dunia II. Dimana negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Swiss, Hong Kong dan Singapura memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi meskipun dihadapkan pada keterbatasan sumber daya alam. Sebaliknya, negara-negara dengan sumber daya alam yang melimpah seperti Nigeria, Mexico, Venezuela dan beberapa negara pengekspor minyak di Timur Tengah gagal dalam usaha memacu pertumbuhan ekonominya. Indonesia merupakan salah satu negara yang dianugerahi SDA yang melimpah, karenanya studi mengenai fenomena kutukan SDA dianggap penting untuk dilakukan. Studi-studi sebelumnya yang membahas hipotesis kutukan sumber daya alam di Indonesia antara lainnya dilakukan oleh Rosser (2004), Komarulzaman & Alisjahbana (2006) dan Feryawan (2011). Rosser (2004) berargumen bahwa Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang sukses menghindari kutukan sumber daya alam, hal ini ditunjukkan dengan performa perekonomian Indonesia yang baik selama 3 dekade sebelum krisis ekonomi 1997/1998.
Untuk
sampai
pada
kesimpulan
tersebut
Rosser
(2004)
membandingkan performa pertumbuhan ekonomi dan indikator-indikator sosial ekonomi Indonesia relatif terhadap negara-negara kaya SDA lainnya. Pendekatan ini belum cukup untuk membuktikan fenomena kutukan SDA di dalam suatu negara, dibutuhkan kajian pada level daerah untuk mendukung hasil tersebut. Papyrakis dan Gerlagh (2007) menunjukkan bahwa fenomena kutukan SDA terbukti eksis di Amerika, meskipun selama ini Amerika dianggap sebagai negara
2
yang memperoleh kemakmuran karena dukungan SDA. Hipotesis kutukan SDA tersebut terbukti dari analisa yang dilakukan pada level negara bagian. Studi kutukan SDA pada level daerah di Indonesia dilakukan oleh Komarulzaman & Alisjahbana (2006). Studi ini menggunakan bagi hasil (sewa) SDA sebagai ukuran kelimpahan SDA, dan menemukan bahwa secara aggregat (total seluruh jenis sumber daya alam) kutukan sumber daya alam tidak terbukti eksis untuk kasus Indonesia. Hasil tersebut konsisten dengan studi Rosser (2004). Untuk membuktikan hipotesis kutukan SDA, Komarulzaman & Alisjahbana (2006) menggunakan regresi cross-section. Menurut Levine & Renelt (1992) dan Caselli et. al. (1996), seperti yang akan dibahas lebih rinci pada bab berikutnya, teknik estimasi ini berpotensi memunculkan problem endogeneity bias yang dapat memberikan hasil estimasi yang keliru. Studi lainnya pada level daerah dilakukan oleh Feryawan (2011). Feryawan (2011) menguji hipotesis kutukan SDA dengan melakukan penarikan sampel untuk mewakili kategori daerah kaya dan daerah miskin SDA, kemudian membandingkan performa indikator-indikator perekonomian pada kedua kelompok sampel tersebut. Hasil yang diperoleh studi tersebut berbeda dengan temuan Komarulzaman & Alisjahbana (2006). Feryawan (2011) menunjukkan adanya bukti eksistensi kutukan SDA di Indonesia. Feryawan (2011) seperti juga halnya Komarulzaman & Alisjahbana (2006) menguji hipotesis kutukan SDA pada era otonomi daerah, karena isu mengenai kutukan SDA menjadi lebih penting dan relevan untuk dikaji pada era otonomi daerah, yang memberikan kekuasaan lebih besar bagi daerah untuk memanfaatkan sumber daya alamnya. 3
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), baik pada periode otonomi daerah maupun pada periode sebelumnya, dari lima propinsi yang memiliki Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita tertinggi di Indonesia, empat diantaranya yaitu; Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Riau, Kalimantan Timur (KALTIM), dan Papua; merupakan propinsi-propinsi yang kaya akan SDA. Hal tersebut sekilas menunjukkan tidak eksisnya fenomena kutukan SDA di Indonesia. Tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, kesimpulan tersebut meragukan. Jika dilihat dari indikator kesejahteraan lainnya seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan tingkat kemiskinan, propinsi-propinsi kaya SDA memiliki nilai yang bervariasi pada indikator-indikator tersebut. Kaltim dan Riau memiliki IPM dan tingkat kemiskinan yang relatif baik. Sementara, Papua yang kaya dengan emas dan tembaga, di tahun 2010 misalnya, berada pada posisi terakhir dalam rangking Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antar provinsi dan 36,08% masyarakatnya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Begitu pula NAD yang kaya minyak dan gas alam 20,98% masyarakatnya masih tergolong miskin. Angka tersebut masih berada jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan antar provinsi yaitu sebesar 13 %. Selanjutnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1, 1.2, dan 1.3, korelasi antara ketergantungan SDA (sektor SDA dan bagi hasil SDA) dan tingkat pertumbuhan PDRB cenderung menunjukkan hubungan yang negatif, terutama pada periode otonomi daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal seharusnya memberikan keuntungan tersendiri bagi daerah yang kaya sumber daya alam, karena seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No.25 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui
4
dengan Undang-undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pemerintah daerah memperoleh proporsi dana bagi hasil sumber daya alam yang lebih besar dibanding dengan yang diatur melalui ketentuan perundang-undangan sebelumnya. Peningkatan pendapatan daerah dari bagi hasil sumber daya alam tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan penyediaan barang publik yang kemudian diharapkan dapat memacu pembangunan ekonomi. Otonomi Daerah juga memberikan wewenang yang lebih besar kapada pemerintah daerah untuk menggali dan mengembangkan potensi ekonominya secara mandiri. Salah satu potensi ekonomi tersebut adalah sumber daya alam. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 10 Undangundang No. 22 tahun 1999, pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya alam nasional yang tersedia di daerahnya. Konsekuensinya, bobot kegiatan ekonomi akan banyak bergeser ke daerah. Pergeseran tersebut berpotensi memberikan multiplier effect atau dengan kata lain memberikan pengaruh ke sektor-sektor ekonomi lainnya di daerah.
Gambar 1.1 Ketergantungan Sektor SDA dan Pertumbuhan Ekonomi Sebelum Otonomi Daerah (1990-2001) Pertumbuhan PDRB 1990-2001
10 8
NTB
6
KLSL NTT SLTG SLSL KLBR BALI JAMBI LMPG SMUT SLTR SMBR BGKL SLUT DKI DIY JWTG JWTM JWBR
4 2
PPUA KLTG
KLTM RIAU
SMSL
0 -2 -4
NAD
0
10
20
30
MLKU
40
50
60
70
80
90
Ratio PDRB Sektor SDA terhadap Total PDRB, 1990
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
5
Pertumbuhan PDRB 2001-2011
Gambar 1.2 Ketergantungan Sektor SDA dan Pertumbuhan Ekonomi Periode Otonomi Daerah (2001-2011) 8
SLTG SLTR
7
JAMBI SLUT KLSL DKIBALI SMUT BGKL SLSL KLTG SMBR JWTM JWBR LMPG JWTG NTT DIY KLBR MLKU
6 5 4
NTB
SMSL KLTM
3 2
PPUA
RIAU
1 NAD
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Ratio PDRB Sektor SDA terhadap Total PDRB, 2001
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 1.3 Ketergantungan Bagi Hasil SDA dan Pertubuhan Ekonomi Periode Otonomi Daerah (2001-2011) Pertumbuhan PDRB 2001-2011
8
SLTG SLTR
7
JAMBI SLUT DKI SMUT BGKL SMBR JWTM SLSL BALI JWBR JWTG NTT KLBR DIY MLKU
6 5 4
KLTG LMPG
KLSL SMSLNTB KLTM
3 2
PPUA
RIAU
1 NAD
0 0
10
20
30
40
50
60
70
Ratio Bagi Hasil SDA terhadap Total Pendapatan Propinsi, 2001
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 1.1, 1.2, dan 1.3 jelas tidak cukup untuk membuktikan eksistensi hipotesis kutukan SDA di Indonesia pada era otonomi daerah. Hasil pada gambar tersebut hanya menunjukkan korelasi antara dua variabel, dan tidak menyatakan hubungan sebab akibat, juga tidak mengontrol variabel-variabel utama dalam model pertumbuhan, dimana variabel-variabel tersebut juga kemungkinan berkorelasi dengan ketergantungan SDA. Misalnya variabel tingkat pendapatan 6
awal. Menurut Barro (1991) negara/daerah dengan level pendapatan yang tinggi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lambat relatif terhadap negara dengan pendapatan yang rendah. Propinsi-propinsi kaya SDA cenderung memiliki level pendapatan yang juga tinggi, sehingga rendahnya pertumbuhan di propinsi kaya SDA mungkin saja disebabkan karena pendapatan awal yang rendah bukan karena ketergantungan SDA. Meskipun demikian, Gambar 1.1 dan 1.2 bersama dengan studi Feryawan (2011) dapat digunakan sebagai landasan awal untuk melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai eksistensi hipotesis kutukan SDA di era otonomi daerah. Seperti telah disampaikan sebelumnya, Otonomi daerah memberikan peluang yang lebih besar bagi daerah untuk memanfaatkan sumber daya alamnya, sehingga SDA dapat menjadi sumber kekuatan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik sumber kekuatan tersebut dapat berubah menjadi titik kelemahan. Studi Sebastian dan Raveh (2013) menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki derajat desentralisasi fiskal (bagian dari otonomi daerah) yang tinggi relatif lebih rentan terhadap fenomena kutukan SDA dibanding negara-negara yang kebijakan fiskalnya tersentralisasi. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal meningkatkan sewa (bagi hasil) SDA yang diterima oleh daerah pemilik SDA, menurut Leita dan Weidmann (1999) pendapatan sewa SDA yang besar tersebut meningkatkan kemungkinan munculnya prilaku rent-seeking dan korupsi yang menghambat pembangunan ekonomi. Dalam studinya di Brazil (negara dengan kebijakan desentralisasi fiskal), Caselli dan Michaels (2013), menemukan bahwa
7
daerah-daerah yang menikmati sewa SDA yang besar cenderung lebih korup, hal tersebut ditunjukkan dengan performa pelayanan publik yang buruk. Hasil tersebut terlihat konsisten dengan kondisi Indonesia. Menurut Transparency International dalam Martini (2012), desentralisasi dalam kebijakan otonomi daerah di Indonesia, masih harus menghadapi banyak tantangan terutama menyebarnya korupsi di berbagai level pemerintahan. Hal tersebut antara lainnya ditunjukkan oleh Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mayoritas kota-kota di Indonesia yang masih berada di bawah rata-rata 4,42. Masih menurut laporan ini, lemahnya kualitas institusi, serta rendahnya transparansi dan akuntabilitas di level pemerintahan lokal, dihadapkan pada pemberian kekuasaan SDA yang lebih besar kepada pemerintah daerah di era otonomi daerah dicurigai menjadi sumber peningkatan dan penyebaran korupsi pada level pemerintahan lokal. Otonomi daerah tidak saja melemahkan pertumbuhan ekonomi melalui jalur pemanfaatan sewa SDA oleh institusi pemerintah, tetapi juga melalui aktifitas ekonomi sektoral. Otonomi daerah membuka peluang peningkatan aktifitas sektor SDA. Daerah mendapatkan insentif untuk memacu sektor SDA dengan adanya sistem bagi hasil (pusat-daerah) di era otonomi daerah. Semakin besar eksploitasi sektor SDA maka akan semakin besar pula bagian pendapatan sewa yang diterima oleh pemerintah daerah. Jika peningkatan aktifitas sektor SDA tersebut tidak memberikan linkage yang besar pada sektor lainnya atau menyebabkan ketergantungan terhadap sektor SDA, maka ketergantungan pada sektor SDA tersebut, menurut SW (1997) dan Gylfason et. al. (1999), dapat melemahkan dua
8
faktor yang berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan investasi dan tingkat pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah Studi-studi mengenai eksistensi hipotesis kutukan sumber daya alam yang sebelumnya dilakukan di Indonesia tidak mempertimbangkan kemungkinan munculnya endogeneity bias dari hasil estimasi model regresi yang digunakan. Endogeneity bias dapat menciptakan problem yang cukup serius dalam topik ini terutama karena hipotesis kutukan sumber daya alam dibangun dari kerangka model regresi pertumbuhan ekonomi. Karenanya dianggap perlu sebuah studi yang memuat atau mempertimbangkan problem tersebut. Dalam menguji eksistensi hipotesis kutukan sumber daya alam, studi ini menggunakan System Generalized Method of Moment (GMM) estimator, yang diusulkan oleh Arrelano dan Bover (1995) serta Blundell dan Bond (1998), yang dianggap lebih fleksibel untuk mengeliminir masalah endogeneity bias. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mendorong daerah untuk berkembang berdasarkan potensi yang dimilikinya sehingga dapat menciptakan kemandirian bagi daerah untuk mengelola perekonomiannya. Salah satu potensi yang dimiliki daerah adalah sumber daya alam. Aturan tentang bagi hasil sumber daya alam dan wewenang yang lebih besar bagi daerah untuk mengelola sumber daya alamnya membuat era otonomi daerah berbeda dengan masa sebelumnya. Perbedaan aturan tersebut kemungkinan berdampak pada performa perekonomian daerah berdasarkan kepemilikan sumber daya alam. Otonomi daerah dan
9
desentralisasi fiskal seharusnya memberikan manfaat yang besar bagi daerah pemilik sumber daya alam, yang salah satu indikatornya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik SDA yang besar tersebut justru dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut memunculkan partanyaan-pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh langsung (direct effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan periode pengamatan? 2. Apakah pengaruh ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi berbeda pada periode sebelum dan selama diberlakukannya UU otonomi daerah? Jika berbeda, bagaimana bentuk perbedaannya? 3. Bagaimana pengaruh tidak langsung (indirect effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan periode pengamatan? atau dengan kata lain, bagaimana peran faktor-faktor yang menjadi penghubung antara ketergantungan SDA dan pertumbuhan ekonomi? 4. Bagaimana pengaruh tidak langsung (indirect effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi baik pada periode sebelum maupun selama otonomi daerah? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1. Menganalisa pengaruh langsung (direct effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan periode pengamatan (sebelum dan selama pelaksanaan otonomi daerah). 10
2. Menganalisa perbedaan pengaruh langsung ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode sebelum otonomi daerah dengan periode selama diberlakukannya UU otonomi daerah. 3. Menganalisa pengaruh tidak langsung (indirect effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan periode pengamatan. 4. Menganalisa pengaruh tidak langsung ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi baik pada periode sebelum otonomi daerah maupun setelah diberlakukannya UU otonomi daerah.
1.3.2 Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan dalam menyusun kebijakan yang terpadu di sektor sumber daya alam maupun kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan. 2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian lanjutan dan dapat memperkaya literatur mengenai fenomena kutukan sumber daya alam. 3. Bagi masyarakat umum, studi ini dapat dijadikan bahan untuk memperluas wawasan dan pengenalan terhadap fenomena kutukan sumber daya alam di Indonesia.
11
1.4 Sistematika Penulisan Studi ini terbagi atas lima bagian atau bab. Bab pertama menjelaskan mengenai latar belakang pemilihan topik, penyusunan rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari masalah tersebut, penjelasan tujuan dan manfaat dari penelitian, dan yang terakhir adalah penjelasan mengenai sistematika penulisan yang digunakan. Bab kedua membahas dan mengkaji literatur-literatur yang berkaitan. Pembahasan diawali dengan mengidentifikasi teori-teori dan cabang-cabang utama teori tentang hipotesis kutukan SDA. Berikutnya, pembahasan berfokus pada studi-studi empiris yang bertujuan membuktikan teoriteori yang ada. Selanjutnya, dibahas hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam studi mengenai kutukan SDA, yang meliputi diskusi literatur tentang pemilihan indikator SDA dan pemilihan metode estimasi. Pada bagian terakhir disajikan hipotesis yang disusun berdasarkan diskusi literatur pada sub bab sebelumnya. Bab ketiga, membahas metodologi yang digunakan dalam studi ini untuk menjawab pertanyaan penelitian. Mencakup sumber dan jenis data yang digunakan, tahapantahapan analisa dan penjelasan metode dan model estimasi yang digunakan untuk menganalisa data yang tersedia. Bab keempat, diisi dengan pemaparan dan interprestasi hasil estimasi, yang bertujuan membuktikan hipotesis yang telah disusun. Bab kelima menyajikan kesimpulan dari pembahasan, serta saran-saran yang dapat ditawarkan dari temuan-temuan dalam penelitian ini.
12