BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu: melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh bangsa tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945.2 Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif, perlindungan dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan, dan daya saing bangsa serta pembangunan nasional.3 2
Penjelasan atas Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan 3
ibid
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan adalah hak semua manusia yang bersendi pada hukum internasional dan berlaku pada semua Negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Begitu juga yang terdapat dalam pengaturan hukum di Negara kita, UndangUndang Dasar 1945 dalam Pasal 34 jelas mengatur bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam hal ini negara kita terus berbenah untuk memperbaiki seluk beluk dunia kesehatan demi memenuhi amanat Undang-Undang dan menjamin penegakan Hak Asasi Manusia. Usaha peningkatan derajat kesehatan di Indonesia mulai mengalami perkembangan yang signifikan dengan semakin berkembangnya teknologi. Akan tetapi terdapat beberapa permasalahan kesehatan dalam perspektif HAM di Indonesia yang menonjol, antara lain : kesenjangan derajat kesehatan dan akses dalam mendapatkan pelayanan kesehatan antar berbagai daerah dan antar berbagai strata sosial ekonomi; kloning dan teknologi pengobatan genetika; eksperimen kesehatan pada tubuh manusia; transplantasi organ, umumnya yang berasal dari manusia hidup dan euthanasia.4 Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan tentang perlindungan hukum menjadikan pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Tentu diperlukan suatu pemikiran dan langkah–langkah yang bijaksana, sehingga masing-masing pihak, dokter, dan pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil-adilnya.5 4
Trini Handayani, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Perdagangan Organ Tubuh Manusia, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2012, hal. 2 5 Munir Fuady, Sumpah Hippocrates, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2005, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
Seiring berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman, dunia kesehatan juga mulai mengalami banyak kemajuan terutama untuk beberapa penyakit yang telah ditemukan metode baru dalam pengobatannya. Misalnya dengan ditemukan metode pengobatan baru dengan cara pengcangkokan organ tubuh (transplantasi) untuk beberapa organ tubuh misalnya ginjal, hati, paru-paru, dan tulang. Akan tetapi pengadaan donor untuk organ tubuh tersebut masih sangat jarang sehingga pasien masih merasakan sulit untuk melakukan transplantasi di samping biaya untuk melakukan transplantasi yang cukup mahal juga. Di Indonesia transplantasi ginjal dirintis oleh Prof. Dr. Iwan Santoso (Ahli bedah) pada tahun 1977 di RSCM Jakarta, yang kemudian dilanjutkan oleh dr. David Manuputi, SpB, SpU(K) beserta timnya. Saat ini di seluruh Indonesia sudah banyak rumah sakit besar yang melaksanakan operasi transplantasi ginjal. Rumah sakit yang melaksanakan transplantasi ginjal di Indonesia antara lain : RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta : sejak 1977 - 28 kasus RS PGI Cikini Jakarta : sejak 1977 - 277 kasus RS Kariadi Semarang : sejak 1985 - 2 kasus RS Telogorejo Semarang : sejak 1985 - 58 kasus RS Hasan Sadikin Bandung : sejak 1987 - 1 kasus RS Sutomo Surabaya : sejak 1988 - 28 kasus RS Gatot Subroto Jakarta : sejak 1988 - 50 kasus RS Sardjito Yogyakarta : sejak 1991 - 29 kasus RS Dr. Pirngadi Medan : sejak 1992 - 2 kasus RS Advent Bandung : sejak 1994 - 3 kasus RS Siloam Kawaraci Jakarta : sejak 1996 - 1 kasus ----------------------------------------------------------------------- = 479 kasus6 Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) mencatat, setiap tahun terjadi 21.000 pencangkokan hati. Padahal, berdasarkan pakar medis, 6
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/730 Usul Majadi Sinaga dalam Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Bedah pada Fakultas Kedokteran, 28 Juli 2007, Diakses Tanggal 21 September 2013 Pukul 23.25
Universitas Sumatera Utara
jumlah permintaan sebenarnya paling sedikit 90.000. 7 Diungkapkan oleh Prof. DR. Dr. Endang Susalit, SpPD, KGH, kepala divisi Ginjal Hipertensi FKUI/RSCM, secara kumulatif jumlah pasien transplantasi ginjal di Indonesia sejak tahun 1977 baru 600 orang. Padahal, jumlah pasien gagal ginjal tahap akhir terus meningkat. "Kebanyakan pasien mendapatkan donor ginjal dari luar negeri. Jumlahnya mencapai tiga kali lipat daripada pasien yang mendapat donor di Indonesia," katanya dalam acara media edukasi di RSCM Kencana, Jakarta.8 Data yang didapat terakhir untuk transplantasi organ tubuh misalnya ginjal telah mengalami kenaikan yang signifikan. Sebagai contoh di Cina, pada tahun 1999 tercatat hanya 24 transplantasi hati, namun tahun 2000 jumlahnya mencapai 78 angka. Sedangkan tahun 2003 angkanya bertambah 356. Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali transplantasi. Tidak hanya hati, jumlah transplantasi keseluruhan organ di China memang meningkat drastis. Setidaknya telah terjadi 3 kali lipat melebihi Amerika Serikat. 9 Tidak bisa dipungkiri ketika angka keberhasilan proses transplantasi organ tubuh seperti contoh di atas yang semakin meeningkat, maka semakin naik pulalah maka permintaan untuk melakukan transplantasi organ tubuh ini. Untuk itu dibutuhkan ketersediaan donor organ tubuh yang banyak pula. Pada awalnya yang bisa menjadi donor adalah donor hidup (living donor) yang dapat berupa “living related donor” (berasal dari ibu/ayah/saudara kandung) atau “living unrelated 7
http://kolektor-makalah.blogspot.com/2011/01/realita-permasalahan-transplantasi.html Judul Artikel : Realita Permasalahan Transplantasi, Diakses Hari Senin 10 Februari 2014 Pukul 21.29 8 http://health.kompas.com/read/2012/01/12/16373548/Donor.Ginjal.Masih.Terbatas Judul Artikel : Donor Ginjal Masih Terbatas, Diakses pada Senin, 10 Februari 2014 Pukul 21.47 9 http://frenyrizq.wordpress.com/2012/10/06/makalah-tramsplantasi-organ/ Judul Artikel : Makalah Transplantasi Organ, Diakses pada Selasa, 25 Maret 2014 Pukul 00.07
Universitas Sumatera Utara
donor” yang berasal dari pasangan suami/istri, teman dekat atau orang lain yang dengan sukarela mendonorkan organ tubuhnya. Semakin tingginya angka keberhasilan dari transplantasi dan semakin banyak permintaan akan organ tubuh untuk tujuan transplantasi maka keterbatasan donor yang tersedia menjadi salah satu permasalahan dan hal tersebut semakin membuka kemungkinan untuk terjadinya perdagangan organ tubuh secara ilegal. Praktek perdagangan organ tubuh ini menjadi suatu prospek yang menguntungkan dan menjanjikan mengingat keuntungan yang bisa didapat dari suatu organ yang diperjualbelikan. Ditengah himpitan ekonomi yang dirasakan masyarakat dewasa ini, maka perdagangan organ tubuh ini menjadi lahan empuk untuk mencari penghasilan dan keuntungan. Seperti yang dikutip dari Jurnal Medical Update “Turisme Transplantasi Organ” Agustus 2007, sudah menjadi konsesnus universal bahwa organ tubuh manusia tidak boleh diperjualbelikan meskipun biaya operasi sangat mahal sehingga tidak semua orang mampu membayar. Kegagalan meningkatkan suplai organ tubuh akan menyebabkan penjualan gelap, yakni orang miskin menjual bagian tubuhnya kepada orang kaya terus berlangsung.10 Melalui media online banyak terdapat kasus penawaran penjualan organ tubuh secara terang-terangan, misalnya seperti yang dimuat dalam media Merdeka.com Hari jumat 27 September 2013, seorang Bapak tiga anak menjual ginjalnya dikarenakan terimpit hutang. Agus Roni berniat “mendonorkan”
10
Trini Handayani, Op.cit, hal. 68
Universitas Sumatera Utara
ginjalnya demi mendapatkan uang guna membayar hutang-hutangnya yang telah menumpuk. 11 Beberapa contoh kasus lain yaitu lima orang mahasiswa Universitas Brawijaya beniat mendonorkan ginjalnya dikarenakan kesulitan membayar biaya kuliah. 12 Kasus lainnya dimana sepasang suami istri yang menawarkan untuk menjual ginjalnya guna membayar utangnya kepada rentenir dan membiayai sekolah dan kuliah anaknya. 13 Kasus lainnya dialami tiga orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTT yang tewas ditembak di Malaysia dengan tuduhan melakukan usaha perampokan. Akan tetapi dikemudian hari, setelah dilakukan autopsi diketahui ada beberapa luka jahitan yang janggal pada tubuh korban dan diduga
bahwa
beberapa
organ
tubuh
korban
telah
diambil
untuk
diperjualbelikan.14 Masih banyak contoh kasus lain dimana perdagangan organ tubuh telah dilakukan dengan terang-terangan misalnya seperti dalam artikel berjudul Isu Penjualan Organ Masih perlu Ditelususri15 atau seperti yang digambarkan dalam artikel yang berjudul Mengerikan, Penculikan dan penjualan Organ Tubuh Anak
11
www.merdeka.com/peristiwa/terimpit-utang-bapak-tiga-anak-ini-jual-ginjalnya.html, Judul artikel : Terimpit hutang Bapak Tiga anak ini jual ginjalnya. Diakses Rabu 11 Desember 2013 Pukul 11.41 12 http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-pengakuan-mahasiswa-unibraw-yang-jualginjal-untuk-kuliah.html, Judul artikel : Ini Pengakuan Mahasiswa Unibraw yang Jual Ginjal untuk Kuliah, diakses Kamis, 30 Januari 2014 Pukul 22.25 13 http://www.merdeka.com/peristiwa/suami-istri-di-sukabumi-jual-ginjal-demi-bayarutang-rentenir.html Judul artikel : Suami Istri di Sukabumi Jual Ginjal Demi Bayar Utang Rentenir, Diakses Kamis 30 Januari 2014 Pukul 23.50 14 http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=244714:organtubuh-tki-yang-dijual&catid=25:artikel&Itemid=44 Judul Artikel : Organ Tubuh TKI “yang dijual”, Diakses Kamis 30 Januari 2014 Pukul 23.56 15 http://nasional.kompas.com/read/2010/01/20/06060135/Isu.Penjualan.Organ.Masih.Perl u.Ditelusuri, Judul Artikel : isu Penjualan Organ Masih Perlu Ditelusuri, Diakses Selasa, 25 Maret 2014 Pukul 01.45
Universitas Sumatera Utara
Marak 16. Selain semakin terang-terangan, perdaganagn organ tubuh juga semakin memiliki modus yang beragam. Perdagangan organ tubuh biasa dimulai dengan iklan atau tawaran, dari penderita maupun keluarganya. Biasanya melalui surat kabar maupun internet berupa pencarian donor dengan nomor yang dapat dihubungi bila ada yang berminat. Bentuk lainnya yaitu tawaran berasal dari calon donor yang rela memberikan organ tubuhnya kepada yang membutuhkan dengan imbalan tertentu. Untuk mengelabui agar terhindar dari jerat hukum maka biasanya modus operandinya dengan membuat KTP palsu seolah-olah pendonor adalah saudara dari pasien. Selain itu tawarn bisa berasal dari orang yang berniat menjual organ tubuhnya guna mendapatkan sejumlah uang. Media online banyak memuat berita mengenai perdagangan organ tubuh akan tetapi hal ini seperti menjadi pemandangan yang biasa. Parahnya lagi tidak ada satupun kasus mengenai jual beli organ tubuh ini sampai pada pengadilan padahal telah dilakukan dengan terang-terangan. Ditambah lagi saat ini juga semakin banyak modus untuk melakukan perdagangan organ tubuh ini antara lain kasus pembunuhan dimana sebelum dibunuh seluruh organ tubuh korbannya telah diambil terlebih dahulu untuk dijual. Nyawa manusia semakin tidak ada harganya.Seperti contoh kasus ditemukannya organ tubuh di puskesmas yang diduga adalah organ tubuh yang akan diperdagangkan oleh sindikat perdagangan organ tubuh. Korban diduga dimutilasi dan diambil organ tubuhnya.17 16
http://www.tempo.co/read/news/2010/08/23/057273147/Mengerikan-Penculikan-danPenjualan-Organ-Tubuh-Anak-Marak Judul Artikel : Mengerikan Penculikan dan Penjualan Organ Tubuh Anak Marak, Diakses Selasa, 25 Maret 2014, Pukul 01.22. 17 http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/10/10/mug841-sindikat-penjualanorgan-tubuh-manusia-intai-riau judul artikel : Sindikat Penjualan Organ Tubuh Manusia Intai Riau, Diakses pada Senin 3 Februari 2014 Pukul 14.00
Universitas Sumatera Utara
Semakin banyaknya kasus perdagangan organ tubuh yang terjadi, maka hal ini sudah seharusnya dibahas dalam suatu ranah hukum secara serius. Perdagangan organ tubuh memerlukan peraturan yang melarang perbuatan tersebut dan sanksi yang menjerat pelaku apabila dilanggar. Hal ini guna memberi perlindungan hukum dan menjamin hak asasi manusia terutama mengenai hak untuk hidup yang tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan hal tersebut perdagangan organ tubuh ini harus masuk ke ranah hukum pidana. Hukum pidana menurut W.L.G. Lemaire 18 terdiri dari norma–norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undangundang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem normanorma yang menentukan terhadap tindakan–tindakan mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diaman terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Persatuan Dokter Sedunia (World Medical Association selanjutnya disingkat dengan WMA) juga sangat mengutuk jual-beli organ tubuh manusia, walaupun untuk kepentingan transplantasi. WMA juga menganjurkan agar pemerintah di semua negara mencegah dan menindak tegas perbuatan tersebut. Para dokter diminta tidak terlibat dalam “transaksi” organ seperti itu. Ikatan 18
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Usu Press, Medan, 2010, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Dokter Indonesia (IDI) pun sudah merintis langkah-langkah untuk itu, yakni dalam pernyataan tentang mati pada tahun 1985, yang diisyaratkan bahwa ketetapan mati batang otak (MBO) minimal oleh dua dokter, dan tidak boleh diambilkan dari mereka yang berkepentingan dengan operasi pencangkokan (transplantasi) organ.19 Setelah sekian banyak kasus perdagangan organ tubuh yang terjadi dan tidak adanya satu pun kasus yang diselesaikan di ranah hukum menjadi daya tarik bagi penulis untuk mengangkat topik ini. Peraturan yang mengatur ketentuan perdagangan organ tubuh ini sudah banyak akan tetapi belum diberlakukan secara efektif. Untuk itulah Penulis akan menganalisis kasus perdagngan organ tubuh yang terjadi di Indonesia dengan berbagai ketentuan yang terkait perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi ini. Sehinga untuk karya ilmiah ini Penulis mengangkat judul PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA UNTUK TUJUAN TRASPLANTASI DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DI INDONESIA.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah ada dan mengingat pentingnya pembahasan mengenai perdagangan organ tubuh ini penulis membahas lebih spesifik topik ini. Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :
19
Chrisido M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, EGC, Jakarta, 2006, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimana kebijakan Hukum Pidana di Indonesia mengenai perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi? 2. Bagaimana urgensi penegakan Hukum Pidana terhadap perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapaun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kebijakan Hukum Pidana di Indonesia mengenai perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi dalam perspektif Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 2. Untuk mengetahui urgensi penegakan Hukum Pidana terhadap perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi ini.
Sedangkan manfaat penulisan ini berdasarkan perumusan masalah dan tujuan ditulisnya karya ilmiah ini adalah : 1. Manfaat Teoritis : diharapkan hasil penulisan ini dapat menjadi bahan bacaan yang dapat menguraikan kebijakan Hukum Pidana di Indonesia mengenai perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi berdasarkan pengaturan yang telah ada dan untuk mengetahui pentingnya penegakan Hukum Pidana terhadap kasus perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi yang marak terjadi
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Praktis : diharapkan dapat memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan tindak pidana perdagangan organ tubuh di Indonesia. D. Keaslian Penulisan Karya ilmiah dengan judul Perdagangan Organ Tubuh Manusia Untuk Tujuan Transplantasi Dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana ini memang asli dibuat oleh penulis sendiri. Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan terhadap hasil–hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkup Universitas Sumatera Utara maupun di Universitas lain belum pernah ada yang melakukan penelitian mengenai permasalahan yang sama walaupun ada beberapa penelitian dari universitas lain yang melakukan penelitian dengan topik yang sama akan tetapi pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda. Penulis juga telah lebih dulu melakukan pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU dan tidak mendapati adanya karya ilmiah dengan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian pertama kali yang dilakukan sehingga keaslian tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Perdagangan dan Transplantasi Organ Tubuh Berdasarkan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia dagang berarti pekerjaan yang berhubungan degan menjual dan membeli barang untuk memperoleh
Universitas Sumatera Utara
keuntungan; jual beli niaga.
20
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia dagang memiliki arti pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan; jual beli; niaga. Sedangkan arti kata perdagangan itu sendiri adalah perihal dagang;urusan dagang;perniagaan.21 Perdagangan berasal dari kata dasar dagang yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online artinya adalah da·gang n pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan; jual-beli; niaga; Sedangkan Perdagangan sendiri memiliki arti per·da·gang·an n perihal dagang; urusan dagang; perniagaan;22 Pengertian Transplantasi terdapat dalam Peraturan Pemertintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi atau Jaringan Tubuh Pasal 1 Huruf C yaitu Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Teknik transplantasi organ dirintis oleh Carrel yang melakukan implantasi ginjal anjing pada tahun 1896. Kejadian ini menjadi titik awal perkembangan bukan hanya bidang transplantasi, tetapi juga bidang bedah vaskular, bedah eksperimental, dan bedah mikro. Cangkok organ dimulai dengan pengalaman ahli
20
Tri Kurnia Nurhayati, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang Disempurnakan, Eska Media, Jakarta, 2005, hal. 181 21 Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Yrama Widya, Bandung, 2007, hal. 101 22 http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php Rabu 10 Januari 2014 Pukul 21.52
Universitas Sumatera Utara
bedah memindahkan kulit seseorang penderita luka bakar dari bagian tubuh yang utuh ke bagian yang luka, sekitar tahun 1920-an.23 Berdasarkan sumber organ cangkok, dikenal empat macam transplantasi. 1. Autotransplantasi : dilakukan pada individu yang sama, sering disebut juga transplantasi autolog. Organ yang dapat mengalami autotransplantasi umumnya adalah kulit, ginjal, pankreas, tulang, limpa, dan darah (autotransfusi). Dalam praktik, autotransplantasi ini digunakan dalam penanganan rudapaksa. 2. Isotransplantasi disebut juga isolog atau syngene, adalah transplantasi antara dua individu yang genetikanya sama. Jenis ini umumnya hanya dapat dilakukan dalam eksperimen, misalnya pada tikus yang diternakan dengan saudara kandungnya terus menerus sehingga 99% antigen yang dimiliknya identik. Pada manusia, cangkok dapat dilakukan untuk setiap organ pada saudara kembar satu telur. 3. Alotransplantasi dilakukan antara dua individu yang spesiesnya sama. Pada manusia disebut homotransplantasi atau transplantasi alogen. Secara klinis homotransplantasi dapat dilakukan antara dua individu yang ada atau yang tidak ada hubungan keluarga, baik dari donor hidup maupun dari donor mayat. Organ yang dapat dicangkok dengan cara ini adalah setiap organ atau jaringan dengan syarat ada persamaan sistem HLA (Human Lymphocyte Antigen System A) dan ABO pada kedua individu. 4. Xenotransplantasi disebut juga heterotransplantasi atau transplantasi xenogen, dilakukan antara dua individu yang berbeda spesies, misalnya dari hewan ke manusia. Heterotransplantasi pada manusia dari simpansedapat bertahan lebih lama daripada yang berasal dari binatang menyusul lainnya. Pencangkokan ini dapat dilakukan pada setiap organ, tetapi ini dalam tahap eksperimental karena masalah penolakan belum diatasi.24 Proses transplantasi meliputi perbuatan mengeluarkan (eksplantasi) atau mengambil organ/bagian tubuh seseorang untuk dipindahkan kepada orang lain yang memerlukan dalam usaha penyembuhan suatu penyakit. Transplantasi sebagai suatu tindakan medis, harus memenuhi semua persyaratan sesuai dengan standar profesional. Oleh karena sulitnya tindakan yang dilakukan disyaratkan
23
Anggota IKAPI, Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004, hal. 176 24 ibid, hal. 176
Universitas Sumatera Utara
tingkat profesionalitas yang tinggi, bukan bersifat minimal rata-rata bagi dokter yang melakukannnya.25 Resipien harus memberikan persetujuannya, dengan sebelumnya diberi penjelasan mengenai keuntungan dan resiko yang mungkin terjadi setelah transplantasi; karena mungkin saja kematian terjadi lebih cepat kalau tidak dilakukan transplantasi. Penerima juga perlu diberi jaminan untuk tidak mengetahui siapa donornya untuk mencegah efek psikologis dan kemungkinan terjadi ikatan finansial. Disamping itu persyaratan donor dari segi medis harus diperhatikan. Selain kesesuaian antigen jaringan secara imunologis, batas usia harus tertentu tergantung dari organ yang dibutuhkan. Donor tidak boleh berpenyakit seperti kanker atau infeksi virus. 26 Sejauh ini, hanya ada tiga jenis organ/jaringan yang dapat dipindahkan dari donor hidup (artinya setelah transplantasi nanti donor itu tetap hidup atau fungsi organ yang dipindahkan itu tidak hilang dari tubuh donor), yaitu kulit, ginjal dan sumsum tulang. Selain ketiga organ tadi, dapat dipastikan bahwa transplantasi akan mengakibatkan kematian donor atau paling sedikit donor tersebut tidak lagi memiliki fungsi dari organ yang dipindahkan. Misalnya, kornea amata seseorang dipindahkan, maka ia akan kehilangan fungsi penglihatan alias buta dari mata yang bersangkutan.27 Segi moralitas dari transplantasi organ tubuh manusia merupakan masalah yang lebih kompleks dibandingkan masalah teknis medisnya, terutama jika 25
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996, hal. 122-123 26 ibid, hal. 124 27 Chrisido M.Achadiat, Op. cit, hal. 202
Universitas Sumatera Utara
menyangkut transplantasi homologous dari donor hidup dan kemudian pengangkatan jaringan itu dapat dipastikan menyebabkan kematian donor.
28
Sehingga adanya transplantasi organ tubuh masih menjadi perbincangan menyangkut pro kontranya. 2. Pengertian dan Unsur–Unsur Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.29 Sebenarnya, banyak istilah yang digunakan yang menunjuk pada pengertian strafbaarfeit antara lain : a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1); b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara, dan Cara Pengadilan-pengadilan Sipil c. Perbuatan–perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU darurat No.2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere bepalingen; d. Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan – peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; e. Tindak pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum, UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomidan Penetapan No. 7 Tahun 1964 Tentang Kewajiban Kerja Bahkti dalam rangka Pemasyarakatan Nagi Terpidana Karena Tindak Pidana Yang Berupa Kejahatan. 30 28 29
ibid, hal. 202 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, RajaGrafindo, Jakarta. 2002,
hal. 67 30
A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana. UMM Press, Malang, 2004,
hal. 31
Universitas Sumatera Utara
Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Dari 7 istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak pidana, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.31
Ada beberapa definisi mengenai strafbaar feit menurut para ahli, antara lain : a. VOS b. Van Hamel c. Prof. Simons
: delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang. : delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. : delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai perbuatan /tindakan yang dapat dihukum.32
Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” dan beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada perbuatan, tapi “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit.33 A.Z Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena “perbuatan pidana” yang dipakai Moeljatno itu juga kurang tepat, karena dua kata benda bersambungan, yaitu “perbuatan” dan “pidana”, sedangkan tidak ada 31
Adami Chazawi, Op.cit, hal. 69 Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukun( delik), Sinar Grafika, Jakarta,1991, hal.4 33 ibid, hal. 3 32
Universitas Sumatera Utara
hubungan logis antara keduanya. Jadi, meskipun ia tidak sama istilahnya dengan Moeljatno, tetapi keduanya rupanya dipengaruhi oleh istilah yang dipakai di Jerman, yaitu “Tat” (perbuatan) atau “handlung” dan tidak dengan maksud untuk menerjemahkan kata “feit” dalam Bahasa Belanda itu. Tetapi A.Z Abidin menambahkan lebih baik dipakai istilah pidananya saja, yang umum dipakai pleh para serjan, yaitu delik (dari bahasa Latin delictum). Memang jika tidak perhatikan hampir semua Penulis memakai istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno Adji, disamping memakai istilah “tindak pidana” juga memakai istilah “delik”.34 Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas –Asas Hukum Pidana di Indonesia, Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dalam KUHPidana, yang menjadi subyek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum.35 Berdasarkan rumusan Simons maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni: a.
Suatu perbuatan manusia
b.
Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang
c.
Perbuatan
itu
dilakukan
oleh
seseorang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.36
34
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesiadan Perkembangannya, Sofmedia, Jakarta, 2012, hal 119 35 Trini Handayani, op.cit, hal. 80 36 Leden Marpaung. op.cit, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Sedangkan unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan–keadaan mana tindakan–tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subyektif dari tindak pidana meliputi : 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) 2. Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya yang terdapat dalam tindak pidana pencurian; 4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP.37 Apabila berbicara mengenai unsur subyektif yang berkaitan dengan unsur kesengajaan maka sengaja (dolus) itu sendiri dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu: a) Sengaja sebagai maksud. b) Sengaja dengan keinsyafan pasti c) Sengaja dengan keinsyafan akan kemungkinan
Sedangkan untuk kealpaan/ketidaksengajaan (culpa) terdiri dari tak berhati – hati dan dapat menduga akibat perbuatan itu Sedang unsur -unsur obyektif dari tindak pidana meliputi : 1. Sifat melanggar hukum (melawan,pen) hukum; 37
A. Fuad Usfa dan Tongat, op.cit, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP. (Dalam Pasal 415 KUHP anatara lain ditegaskan : “Seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi menjalankan jabatan umum ... “) 3. Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.38 Sedangkan unsur-unsur pokok dari unsur obyektif terdiri dari : 1) Perbuatan manusia berupa : a) Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut perbuatan positif b) Omission yakni tidak aktif berbuat. Hal ini karena tidak aktif. Sebagian pakar menyebut dengan perbuatan negatif. Dengan perkataan lain ialah membiarkan, mendiamkan. 2) Akibat (result) perbuatan manusia Hal ini erat hubungan dengan cousaliteit yang akan diuraikan kemudian. Akibat dimaksud adalah membahayakan atau merusak/menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya : nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, kehormatan dan lain sebagainya. 3) Keadaan-keadaan (the circumstences) Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan antara : a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan b) Keadaan setelah perbuatan melawan hukum 38
ibid, hal. 34
Universitas Sumatera Utara
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum ini berkenaan dengan alasan–alasan yang membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.39 KUHP juga memiliki beberapa pengertian mengenai unsur-unsur tindak pidana. Dari rumusan–rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu : a. unsur tingkah laku b. unsur melawan hukum c. unsur kesalahan d. unsur akibat konstitutif e. unsur keadaan yang menyertai f. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana Dari 8 unsur itu, diantaranya dua unsur yakni kesalahan dan melawan hukum adalah termasuk unsur subyektif, sedangkan selebihnya adalah berupa unsur obyektif.40 3. Kebijakan Penanggulangan kejahatan Kebijakan penanggulangan kejahatan menurut Hoefnagels disebut Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “kebijakan kiminal”, karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal). Oleh karena itu disebut penanggulangan kejahatan.41
39
Leden Marpaung, Op.cit, hal.7 Adami Chazawi.Op.cit. hal. 81 41 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal. 50 40
Universitas Sumatera Utara
Politik
kriminal
(criminal
policy)
adalah
usaha
rasional
untuk
menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Semuanya merupakan bagian politik sosial (social policy), yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.42 Beberapa ahli mengungkapkan Politik hukum adalah : 1.Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakatdan untuk mencapai apa yang dicita-citakan 2.Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.43 Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini diisyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and the treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan.44 42
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007, hal. 1 43 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 5 44 Mahmud Mulyadi, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
Upaya penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu : 1. Jalur Penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application) 2. Jalur non penal, yaitu dengan cara : a. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata. b. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punisment)
45
Berdasarkan uraian di atas, maka keberhasilan penanggulanggan kejahatan harus diisyaratkan pada integralitas berbagai pendekatan, yang secara garis besarnya dapat kita bagi menjadi pendekatan penal, melalui penerapan hukum pidana dan upaya non penal, yaitu kebijakan penanggulangan tanpa penerapan hukum pidana, melainkan dititik tekankan pada berbagai kebijakan sosial. Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, 45
M.Hamdan, Op.cit, hal. 81
Universitas Sumatera Utara
maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. 46 Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punisment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative & civil law). 47 Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktorfaktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisikondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB mengenai“The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” ditegaskan upaya-upaya
strategis
mengenai
penanggulangan
sebab-sebab
timbulnya
kejahatan. Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak 46
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2011, hal. 49 47 Mahmud Mulyadi, Op.cit, hal. 58
Universitas Sumatera Utara
dapat diatasi semata–mata dengan “penal”. Di sinilah keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah–masalah sosial seperti dikemukakan diatas adalah lewat jalur “kebijakan sosial” (social policy). Yang dalam skema G.P. Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment”. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.48 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap” 1 Tahap Formulasi (kebijakan legislatif); 2 Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3 Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).49
F. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
48
Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 44 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2007 hal 79 ( selanjutnya disebut buku II) 49
Universitas Sumatera Utara
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkna dan diolah.50 1. Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process).51 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif karena permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lain dan penerapan peraturan tersebut pada kenyataannya. Dalam hal ini adalah melihat ketentuan asas dan norma yangberlaku dan terkandung dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang yang terkait dengan perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi ini yaitu Undang– Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantrasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
2. Data dan Sumber Data Pada penulisaan ini data pokok adalah data sekunder. Data sekunder tidak boleh dipahamkan sebagai memahami kebutuhan dalam kehidupan dimana data 50
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 1 51 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Grafitti Press, Jakarta, 2006, hal.118
Universitas Sumatera Utara
sekunder lebih rendah dibanding data yang lain, karena dalam penelitian hukum data sekunder merupakan ukuran-ukuran resmi tentang pengertian dari unsurunsur yang di teliti. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari: a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, jurnal, surat kabar, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi buku-buku dan dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) sesuai dengan jenis penelitiannya dan melakukan identifikasi dari data yang telah dikumpulkan.
4. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu apa yang diperoleh dari penelitian ini kemudian dipelajari secara utuh dan menyeluruh (komprehensif) untuk mendapatkan jawaban dari permasalahanpermasalahn dalam skripsi.
Universitas Sumatera Utara
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini dibagi atas 4 (empat) bab, yang tiap bab dibagi pula atas beberapa sub bab yang desesuaikan dengan isi dan maksud dari penulisan skripsi ini guna mencapai tujuan terjawabnya permaslaahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini sacara singkat adalah sebagai berikut : Bab pertama adalah bab pendahuluan. Bab pertama ini adalah bab yang menjelaskan pengantar dan duduk permasalah, terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika penulisan. Bab kedua menguraikan tentang kebijakan hukum pidana di Indonesia mengenai perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub bab yang menguraikan tentang kebijakan hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk penanggulangan kejahatan, sub bab lainnya membahas perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi dalam perpektif UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 dan Perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi dalam perfektif Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Bab ketiga menguraikan mengenai urgensi penegakan hukum pidana terhadap perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi di Indonesia. Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yang menjelaskan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan maraknya perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi dan
Universitas Sumatera Utara
Urgensi penegakan hukum pidana terhadap perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi. Bab keempat merupakan bab yang berisi kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan penutup dari keseluruhan materi skripsi yang terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu : kesimpulan dan saran. Sub bab kesimpulan berisi keseluruhan kesimpulan-kesimpulan dari pembahasan yang ada pada bab-bab sebelumnya. Pada bagian saran, diuraikan saran dari penulis untuk masalah yang ada dalam penulisan ini.
Universitas Sumatera Utara