1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Penelitian Muskulus kuadrisep adalah salah satu jaringan lunak yang paling penting dalam mempertahankan fungsi sendi patellofemoral dengan menarik patela ke arah superior dan lateral sehingga menghasilkan resultan gaya yang normal. Quadrisep angle (Q angle) pertama kali didefinisikan oleh Brattstorm. Q angle merupakan sudut yang dibentuk dari perpotongan garis dari spina iliaca anterior superior (SIAS) melewati titik tengah patela dan garis dari tuberositas tibia ke titik tengah patela (Ann-Katrin, 2001). Peningkatan Q angle di atas normal menunjukkan adanya misalignment pada mekanisme ekstensor dan dihubungkan dengan Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS), hypermobility sendi lutut dan instability patela. Gaya resultan kuadrisep berorientasi pada kekuatan otot vastus lateralis (VL), vastus intermedius (VI), rectus femoris (RF), dan vastus medialis (VM). Secara keseluruhan kemampuan otot kuadrisep adalah untuk menarik patela kearah posterior sagital untuk tetap menjaga posisi patela terhadap trochlea femur. Biomekanika dari sendi lutut dibagi menjadi dua komponen rantai kinetik, yaitu open kinetic chain atau OCK dan closed kinetic chain atau CKC (Nobre, 2012).
2
Open kinetic chain merupakan suatu gerakan yang menitik beratkan pada satu sendi saja, digerakkan oleh satu atau kelompok otot, melawan gravitasi bumi, dan tidak bertumpu pada tubuh. Sedangkan closed kinetic chain merupakan suatu gerakan yang menggunakan lebih dari satu sendi yang bergerak dengan bertumpu pada berat tubuh untuk memberikan pembebanan lebih dari satu kelompok otot yang bekerja dalam waktu yang sama baik agonis maupun antagonis dan meningkatkan aktifasi dari propiosepsi angota gerak bawah (Nobre, 2012). Berdasarkan konsep rantai kinetik tersebut akan mempengaruhi dari gerak sendi patellofemoral. Saat gerakan OKC hanya ada kinerja dari otot kuadrisep dan meningkatkan tekanan pada sendi patellofemoral. Karena titik gravitasi ada di depan sendi lutut dan jika dilakukan pada posisi 90 derajat fleksi ke ekstensi akan meningkatkan tekanan antara patela dengan trochlea. Saat gerakan dengan bentuk rantai kinetic CKC akan meningkatkan stabilitas sendi patellofemoral dan meningkatkan aktivitas fungsional (Nobre, 2012; Abdurrasyid, 2013). Sendi patela ini berfungsi untuk mengatur gerak sendi lutut, yaitu untuk membantu gerak dari fleksi ke ekstensi dan sebagai lengan ayun yang menarik kinerja otot kuadrisep pada posisi fleksi 20°-60°. Tendon patela merupakan komponen mekanisme gerak ekstensi dari sendi lutut. Tendon patela ini dapat menahan beban ketika posisi lutut fleksi saat gerakan closed kinetic chain (DeFrate et.al, 2007). Pada atlet yang mengalami kontraksi berlebihan pada muskulus kuadrisep sering dihubungkan dengan PFPS dan dislokasi sendi lutut pada atlet olahraga seperti
3
sepakbola, angkat besi, lompat jauh, lompat tinggi dan lain-lain. Penggunaan berlebihan dari patellofemoral joint antara lain : weighbearing impact yang berulang, excessive loading, naik turun tangga atau pada permukaan tidak rata atau squatting atau duduk dengan posisi lutut fleksi. Pada posisi jalan biasa gaya kompresi pada sendi lutut adalah setengah dari berat badan, sedangkan pada naik tangga gaya kompresinya dua sampai tiga kali berat badan, pada fleksi lebih dari 90° gaya kompresinya delapan kali berat badan, di mana kondisi ini dialami oleh atlet angkat besi. Dari beberapa studi mengatakan bahwa penyebab PFPS yang utama adalah adanya penurunan fungsi dari otot kuadrisep. Menurut MacLean (2004), PFPS dikarenakan oleh adanya ketidakstabilan tulang patela terhadap femur yang bergeser ke sisi lateral akibat dari kelemahan otot vastus medialis oblique (VMO). Bahkan otot VMO bisa menjadi distrofi sehingga kontrol kerja otot menurun (Abdurrasyid, 2013). Pada penderita PFPS ditemukan penurunan kekuatan ekstensor lutut dan ketidakseimbangan kerja otot (muscle imbalance) dari kuadrisep yaitu kinerja otot VMO lebih lambat dibandingkan dengan otot VL. Hal tersebut dikarenakan dalam proses peradangan menyebabkan penurunan massa otot disekitar sendi. Atrofi otot tersebut menghambat sistem neuromuskular pada otot VMO. Inhibisi neuromuskular pada otot VMO menyebabkan stabilisasi patela sisi medial menjadi menurun. Sehingga ligamen patellofemoral sisi medial (MPFL) bekerja terus menerus untuk dapat mempertahankan posisi patela. Melihat dari letaknya, MPFL yang melekat dengan tendon otot VMO memiliki hubungan cross sectional area (CSA) dalam
4
memberikan kemampuan stabilisasi pada tulang patela. Maka dari itu stabilisator patela sisi lateral akan menarik patela lebih ke arah lateral dan menyebabkan tulang patela menggesek tulang femur pada trochlea. (Abdurrasyid, 2013) Seiring dengan aktifitas fungsional olahraga memerlukan kekuatan dari grup otot kuadrisep. Karena otot VMO mengalami penurunan fungsi maka grup otot kuadrisep memerlukan otot lain untuk tetap dapat melakukan gerak fungsional. Oleh karena itu otot vastus lateralis dan illiotibial band akan terus-menerus bekerja untuk dapat menstabilkan patela hingga menimbulkan ketegangan otot dan juga dapat meningkatkan tarikan patela ke lateral sehingga menekan patela dengan trochlea femur (Pecina dan Bojanic, 2004). Pergeseran patela tersebut meningkatkan sudut dari grup otot kuadrisep atau Q angle (Abdurrasyid, 2013). Sudut normal dari Q angle kurang dari 15°. Penelitian ini menilai Q angle pada atlet yang sering mengalami kontraksi berlebih dari muskulus kuadrisep, dalam hal ini adalah atlet angkat besi dan mencari hubungan dengan PFPS.
I.2. Rumusan Masalah 1. Berapa nilai rata-rata Q angle pada atlet angkat besi Yogyakarta? 2. Faktor apa yang mempengaruhi Q angle pada atlet angkat besi Yogyakarta?
5
3. Latihan berapa lama yang bisa mengubah Q angle pada atlet angkat besi? 4. Apakah ada hubungan antara nilai Q angle dengan PFPS pada atlet angkat besi Yogyakarta?
I.3. Tujuan penelitian I.3.1 Tujuan utama Mengetahui nilai rata-rata Q angle pada atlet angkat besi Yogyakarta I.3.2.Tujuan khusus Mengetahui perbedaan nilai Q angle atlet angkat besi Yogyakarta Mengetahui hubungan antara Q angle dengan PFPS pada atlet angkat besi Yogyakarta
I.4. Kegunaan Penelitian 1. Pengetahuan a. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai nilai Q angle pada pada atlet angkat besi Yogyakarta. b. Mengetahui insidensi atlet angkat besi yang mengalami PFPS. c. Mengetahui hubungan nilai Q angle dengan PFPS pada atlet angkat besi Yogyakarta
6
2. Pencegahan dan promosi a. Memberikan prevensi dan promosi dalam latihan yang baik dan benar bagi atlet angkat besi untuk meminimalkan cidera. b. Memberikan safety kepada atlet angkat besi Yogyakarta c. Memberikan masukan kepada menejemen Persatuan Atlet Angkat Besi, Beban, dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI) Yogyakarta dalam meningkatkan safety dan perhatian kepada atlet angkat besi.