BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebutuhan akan dana dan permodalan merupakan suatu bentuk kebutuhan yang sangat esensial bagi semua jenis usaha. Dana bagi sebuah perusahaan dapat diperoleh dari berbagai sumber. Dana tersebut dapat berupa modal (equity) atau utang (loan). Dana yang berupa modal (equity) dapat diperoleh dari para pendirinya berupa setoran modal pendiri dan dapat juga diperoleh dari para pemodal atau investor yang menyetorkan dana untuk modal perusahaan setelah perusahaan tersebut berdiri. Menurut Remy Sjahdeini, dana merupakan ‘darah’ bagi pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya. Ibarat manusia yang tidak mungkin hidup tanpa darah, pelaku usaha juga akan ‘mati’ tanpa dana.1 Di dalam kehidupannya, baik orang perorangan maupun suatu badan hukum adakalanya tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai keperluan atau kegiatan usahanya. Agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut, orang atau perusahaan dapat antara lain melakukannya dengan meminjam dana yang dibutuhkan itu dari pihak lain. Terdapat berbagai sumber dana bagi seseorang atau suatu badan hukum bila ingin memperoleh pinjaman (borrowing, atau loan, atau credit). Dari sumber-sumber dana itulah, kekurangan dana dapat diperoleh. 1
Sutan Remy Sjahdeini, 2006, “Hak Jaminan dan Kepailitan,” dalam Transaksi Berjamin (Secured Transaction) Hak Tanggungan dan Jaminan Fiducia dikumpulkan oleh Arie S.Hutagalung Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 641.
1
Dana yang berupa utang (loan) dapat diperoleh perusahaan tersebut dari berbagai sumber seperti bank-bank, lembaga-lembaga pembiayaan, pasar uang (financial market) yang memperjual-belikan surat-surat utang jangka pendek seperti commercial papers, pasar modal (capital market) yang memperjual-belikan surat-surat utang jangka panjang (obligasi atau bond), atau dari sumber-sumber pembiayaan lainnya. Dana pinjaman cepat yang besar lebih mudah didapat dari fasilitas perbankan. Lembaga perbankan merupakan lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan paling lengkap, cepat, dan relatif aman.2 Lembaga ini juga merupakan salah satu lembaga yang memiliki nilai strategis dalam perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut memiliki fungsi sebagai perantara antara pihak-pihak yang memiliki masalah kekurangan dana dan pihak yang memiliki kelebihan dana. sehingga dipercaya untuk digunakan oleh masyarakat khususnya oleh para pelaku usaha untuk dijadikan jalan keluar dari masalah yang memerlukan dana cepat yang besar.3 Lembaga perbankan ini lalu akan memberikan bantuan penyediaan dana melalui berbagai layanan fasilitas kreditnya. Fungsi menyalurkan dana dalam bentuk kredit memang merupakan salah satu fungsi utama bank, akan tetapi konsentrasi kredit yang berlebihan dapat membahayakan bank. Untuk itu Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank menerapkan prinsip kehati-hatian penyaluran kredit dan melakukan penyebaran portofolio penyediaan dana terutama dengan pembatasan
2
Kasmir, 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi Cet 7, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta, hlm 4. 3 Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan Indonesia, Cet V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 11.
2
penyediaan dana dengan persentase tertentu terhadap pihak terkait maupun pihak yang tidak terkait dengan memperhatikan keadaan modal bank. Hal inilah yang lebih dikenal dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/ 2005 yang telah diubah dengan PBI No. 8/13/PBI/2006 tentang Batas Umum Pemberian Kredit Bank Umum. Ketentuan ini diatur lebih lanjut pada Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/14/PBI/DPNP tertanggal 18 April 2005. Oleh karena adanya aturan BMPK, bank tidak dapat memberikan kredit melebihi batas maksimum yang telah ditentukan. Mengenai BMPK yang telah ditentukan dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa untuk pihak yang terkait dengan bank hanya diperbolehkan 10% dari modal bank, sedangkan pihak yang tidak terkait dengan bank diperbolehkan sampai dengan 20% dari modal bank.4 Pada kenyataannya ada kalanya suatu nasabah, pada umumnya perusahaan besar, membutuhkan dana yang sangat besar melebihi batas maksimum kredit yang dapat diberikan oleh suatu bank untuk pembiayaan suatu proyek atau kegiatan lainnya. Oleh karena itu diberikanlah sebuah fasilitas pemberian kredit melalui perjanjian kredit sindikasi, yaitu pemberian kredit dimana ada satu orang debitur yang diberikan kredit oleh dua atau lebih kreditur. Stanley Hurn dalam bukunya Syndication Loan (A Handbook For
4
Daniel Ginting, 2005, Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit Sindikasi, Tugas dan Wewenang Pihak-Pihak Dalam Sindikasi Serta Kewenangan Mengajukan Gugatan dalam Kredit Sindikasi, Proceedings: Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Pusat Pengkajian Hukum Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm 61.
3
Banker adn Borrower) memberikan definisi mengenai kredit sindikasi atau syndicated loan sebagai berikut:5 “A syndicated loan is a loan is a loan made by two or more lending institutions, on similiar terms and condition, using common documentation and administered by a common agent” Dilihat dari definisi tersebut, maka unsur-unsur kredit sindikasi mencakup: 1. Dua atau lebih bank atau lembaga keuangan; 2. Didasarkan pada persyaratan yang sama bagi semua peserta sindikasi; 3. Menggunakan satu dokumen kredit yang sama; 4. Diadministrasikan oleh agen yang sama. Jika mengamati perkembangan yang ada sekarang ini dalam berbagai aspek serta melihat proyeksi kebutuhan dunia usaha pada masa yang akan datang, akan dapat diperkirakan bahwa bentuk kredit sindikasi akan semakin ramai.6 Peningkatan penggunaan kredit sindikasi ini disebabkan karena adanya keuntungan dan kemudahan yang nantinya akan didapatkan baik oleh debitur maupun kreditur. Dari sisi debitur, keuntungan yang didapatkan adalah:7 1. Menjadi solusi mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan lebih efisien karena hanya perlu menunjuk satu arranger untuk mengatur kredit
5 Stanley Hurn, 1990, Syndicated Loan (A Handbook For Banker and Borrow), Woodhead-Faulker, hlm 1. 6 Herlina Suyati Bachtiar, 2000, Aspek Legal Kredit Sindikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 6. 7 http://edratna.wordpress.com/2009/03/26/kapan-memerlukan-kredit-sindikasi/, diakses tanggal 12 November 2012.
4
sindikasi pada bank-bank sehingga debitur tidak perlu mendatangi Bank satu per satu. 2. Memupuk kerjasama atau networking baik secara nasional maupun internasional dengan bank-bank lain, sehingga lain kali lebih mudah jika akan melakukan kerjasama. 3. Menambah kredibilitas debitur, terutama bila peserta sindikasi terdiri dari bank besar dan ternama. 4. Untuk kepentingan publikasi (image), terutama bila dicantumkan dalam announcement di dunia internasional (bila kredit sindikasi melibatkan Bank Internasional). Sedangkan apabila dilihat dari sisi kreditur maka keuntungan yang akan didapatkan adalah: 1. Dapat mengatasi masalah BMPK; 2. Risk sharing dengan bank lain. Ada kalanya bank merasa bahwa risikonya terlalu besar bagi bank tersebut bila seluruh permintaan debitur tertentu dipikul sendiri, sekalipun mungkin dari segi ketentuan legal lending limit atau “batas maksimum pemberian kredit” (BMPK) dari bank tersebut belum terlampaui, maka bank itu akan berusaha membentuk suatu sindikasi untuk dapat membiayai debiturnya itu. Dalam terminologi bank disebut bahwa bank itu telah melampaui obligor limit-nya bagi debitur itu.8 Dengan kata lain, mengapa suatu bank memilih untuk tidak memberikan sendiri jumlah kredit yang diminta oleh debitur tersebut 8
Sutan Remy Sjahdeini, 2008, Kredit Sindikasi (Proses, Teknik Pemberian, dan Aspek Hukumnya), Grafiti Pers, hlm 27.
5
sekalipun seandainya masih dalam batas BMPK nya, ialah karena pertimbangan demi penyebaran risiko. Mungkin saja bahwa kredit dalam jumlah yang diminta oleh debitur tidak terlalu besar bagi bank tersebut untuk dapat memikulnya sendiri, tetapi dirasakan oleh bank tersebut perlu untuk disindikasikan di antara dua atau lebih bank karena menurut pertimbangan bank itu jumlah tersebut telah melampaui obligor limit dari debitur itu. Artinya, bank tersebut, menganggap pemberian kredit sebesar itu melampaui kesediaannya untuk memikul resiko bagi debitur tersebut. Dimaksudkan dengan obligor limit adalah batas kesediaan suatu bank untuk menanamkan resiko kredit terhadap obligor (debitur) tertentu;9 3. Memupuk hubungan kerjasama dengan grup usaha, yang biasanya telah mempunyai pilihan bank sendiri; 4. Meningkatkan Fee Based Income; 5. Learning process bagi bank yang berpartisipasi; 6. Agar dikenal di pasar sindikasi. Bagi bank sulit untuk masuk dalam suatu kredit sindikasi terutama jika tidak mempunyai pengalaman sindikasi. Terdapat istilah raising flag, dimana bank akan mendapat banyak tawaran untuk turut serta dalam sindikasi apabila telah dikenal dalam pasar sindikasi. Begitu banyak bidang kegiatan perekonomian dan pembangunan yang dapat dibiayai melalui kredit sindikasi. Pada Negara berkembang kredit sindikasi ini umumnya digunakan untuk sebuah proyek pembangunan fisik
9
Ibid.
6
berupa infrastruktur yang memerlukan dana yang sangat besar. Pendapatan Negara tidak dapat memenuhi semua kebutuhan pembangunan, sehingga untuk
menghindari
kegagalan
dalam
pelaksanaannya
pemerintah
menggandeng pihak swasta dan lembaga keuangan. Dalam industri keuangan, perbankan merupakan pihak yang paling besar menguasai aset. Lebih dari 80% aset keuangan berada dalam kelolaan perbankan. Oleh karena itu perbankan menjadi pihak penting dalam penyediaan dana. Data dari Bapenas melansir kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur dalam kurun lima tahun antara 2005-2009, dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen, dibutuhkan investasi infrastruktur sekitar Rp. 613,2 triliun. Sedangkan kemampuan pemerintah dalam membiayai kebutuhan investasi infrastruktur diprediksi hanya sebesar Rp. 346,5 triliun.10 Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin naik maka diprediksi jumlah transkasi kredit sindikasi akan semakin bertambah dan menjadi sektor penting dalam pembiayaan pembangunan Negara. Oleh karena itu perlu adanya penjagaan terhadap kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan pemberi kredit sindikasi karena kejatuhan dari lembaga keuangan ini akan mengakibatkan krisis yang bisa mempengaruhi semua sektor bidang ekonomi baik yang terkecil maupun yang terbesar dari suatu Negara. Selama pembayaran kredit berjalan lancar, tidak ada masalah yang akan timbul. Masalah baru timbul ketika kredit macet dan bermasalah, yang mana pembayaran tidak lagi dilakukan secara penuh bahkan mungkin tidak 10
Suyono Dikun, 2003, Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis. Jakarta: Kementrian Negara Perancangan Pembangunan NAsional/Bapenas, Hlm. 40.
7
dibayarkan sama sekali. Keadaan ini akan membuat kredit yang diterima debitur berdasarkan perjanjian kredit sindikasi tersebut menjadi demi hukum default dimana hal ini kemudian bisa mengakibatkan debitur dinyatakan pailit. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran
terhadap
utang-utang
dari
para
krediturnya. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari.11 Dalam kepustakaan, Algra mendefinisikan kepailitan adalah Faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behove van zijn gezamenlijke schuldeiser12 (kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitur atau si berutang untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditur atau si berpiutang). Henry Campbell Black memberikan pengertian kepailitan sebagai a statutory procedure by which a (usu.insolvent) debtor obtains financial relief and undergoes a judicially supervised reorganization of liquidation of the debtor’s assets for the benefit of creditors13 (kepailitan adalah suatu prosedur berdasarkan putusan pengadilan yang mengakibatkan seorang (pada umumnya) debitur yang insolvent mendapatkan pembebasan secara finansial dan untuk selanjutnya berada dibawah pengawasan hukum dengan tujuan untuk mereorganisasi aset-aset debitur yang telah dilikuidasi untuk keuntungan kreditur). 11
M. Hadi Shubhan, 2009, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Group, Jakarta, hlm 1. 12 Algra, 1974, Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht, Tjeenk Willink, Groningen, Hlm 425 dalam M. Hadi Shubhan, Ibid. 13 Ibid.
8
Menurut Professor Radin dalam bukunya The Nature Of Bankruptcy, tujuan semua undang-undang kepailitan (bancruptcy law) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitur yang tidak cukup nilainya (debt collection system). Jadi tujuan Undang-Undang Kepailitan adalah untuk melikuidasi aset-aset yang dimiliki oleh debitur untuk keuntungan para krediturnya. Pada beberapa Negara maju tujuan ini pada praktiknya berubah. Undang-Undang Kepailitan menjadi instrumen penting untuk mereorganisasi dan melanjutkan usaha debitur ketika mengalami kesulitan keuangan.14 Praktik di Belanda nampaknya sejalan dengan serangkaian perkembangan undang-undang kepailitan di Negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, maupun Jerman. Beberapa Negara tersebut mengarahkan UndangUndang
Kepailitan
kepada
sebuah
proses
yang
diciptakan
untuk
memaksimalkan nilai on-going business dan mempertahankan nilai yang dimiliki oleh kreditur. Di Indonesia sendiri hukum kepailitan lebih ditekankan sebagai debt collection tool atau alat untuk penagihan utang dan alat untuk membangkrutkan debitur. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditur. Hal ini berkaitan dengan tujuan Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 14
W.W.McBryde, et.al., eds., 2003, Principle of European Insolvency Law, (Deventer:Kluwer), Hlm 488.
9
yaitu menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur diantara para krediturnya sesuai dengan asas pari passu pro rata parte. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum.15 Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal, akan tetapi tidak jarang pula asas hukum dituangkan dalam peraturan konkrit.16 Di Indonesia Penormaan dari prinsip pari passu pro rata parte terdapat dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang menjelaskan tentang hubungan hukum harta kekayaan dimana subjek hukum memiliki lebih dari satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu subjek hukum yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut, dalam pasal tersebut dinyatakan: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan” Pada pasal tesebut dijelaskan bahwa setiap pihak sebagai yang berhak atas pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban (debitur) secara: 15
Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 12. 16 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm 34-35.
10
1. Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan; 2. Pro rata parte, yaitu proporsional yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap harta kekayaan debitur tersebut.17 Terdapat perubahan dalam Undang-Undang Kepailitan yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bila dibandingkan dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dimana sebelumnya tidak diatur tentang bagaimana kedudukan kreditur dalam hal pengajuan kepailitan dalam kredit sindikasi. Pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditentukan bilamana terdapat sindikasi kreditur maka masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 1 angka 2: “Yang dimaksud dengan kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis, maupun kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditur, maka masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2” Hal ini sekaligus memperkuat asas legitima persona standi in judisio yang berarti setiap orang yang merasa memiliki dan ingin menuntut, mempertahankan/membela hak berwenang untuk bertindak selaku pihak, baik sebagai penggugat atau tergugat. Asas ini memungkinkan kreditur sebagai
17
Hadi Subhan, Op Cit, hlm 70.
11
subjek hukum pribadi menggunakan haknya untuk menuntut debitur agar membayar hutangnya.18 Selain itu kuatnya posisi masing-masing kreditur dalam kredit sindikasi juga didukung oleh klausula event of default yang biasanya diatur dalam perjanjian kredit sindikasi dimana disebutkan bahwa yang memutuskan default adalah para kreditur dan bukan agen. Agen hanya mengantisipasi kemungkinan terjadi cidera janji karena salah satu tugasnya adalah mengungkap setiap fakta material baik yang terjadi pada para kreditur maupun pada fasilitas kepada segenap kreditur. Pada kredit sindikasi terdapat pula acceleration clause yang merupakan ketentuan dimana kreditur dapat serta merta menyatakan suatu hutang menjadi seketika jatuh tempo.19 Selain itu dalam kredit sindikasi, kedudukan agen adalah tetap tunduk pada hubungan hukum pemberian perintah, kewenangan atau kuasa yang tunduk pada lastgeving yang diatur dalam KUH Perdata. Suatu pemberian last tidaklah
mengakibatkan
lastgever
menjadi
tidak
berwenang
untuk
menyelesaikan sendiri tugas yang telah diperintahkan kepada lasthebber. Dalam kaitan dengan lembaga kredit sindikasi, meskipun agen sebagai lasthebber diberikan perintah, kewenangan, atau kuasa untuk bertindak atas nama seluruh bank, maka kedudukan bank selaku lastgever tetap berwenang untuk menerima pembayaran dari debitur dan jika debitur tidak melakukan pembayaran atas utang-utangnya, maka bank juga dapat menuntut untuk pemenuhan tersebut termasuk juga dalam mengajukan permohonan pailit.20
18
Fennieka Kristanto, 2009, Kewenangan Menggugat Pailit dalam Perjanjian Kredit Sindikasi, Minerva Athena Pressindo, Jakarta, hlm 74. 19 Ibid, hlm 75. 20 Hadi Subhan, Op Cit, hlm. 79.
12
Dalam rangka melakukan penyelamatan atas kepentingannya hal yang menjadi incaran dari para kreditur adalah eksekusi jaminan yang telah diberikan oleh debitur pada awal terjadinya kredit sindikasi. Mengenai jaminan ini sendiri, dalam kredit sindikasi biasanya terdapat jaminan tambahan yang diminta kreditur untuk mengamankan kreditnya. Jaminan ini dapat berupa hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik/hak agunan atas benda lainnya. Hal yang perlu dianalisa adalah bagaimana kedudukan, hak dan eksekusi dari benda jaminan tersebut oleh kreditur sindikasi mengingat dalam kredit sindikasi segala urusan mengenai jaminan dilakukan oleh agen, agen yang menandatangani mewakili para kreditur, dan jaminan didaftarkan atas nama agen jaminan sebagai wakil kreditur. Dalam situasi terjadinya default pada kredit sindikasi beberapa kreditur akan bersikap sebagai serigala terhadap yang lain (machiavellian attitude).21 Para kreditur tersebut akan memiliki kecenderungan untuk sebisa mungkin melakukan tindakan-tindakan penyelamatan atas kepentingannya. Oleh karena itu keberadaan asas pari passu pro rata parte diperlukan untuk memberikan keseimbangan berkenaan dengan kepentingan ini. Terciptanya keseimbangan dalam perkara kepailitan sangat penting untuk mewujudkan harmonisasi demi pencapaian kestabilan ekonomi dan menjamin iklim investasi karena kredit sindikasi menjadi salah satu tulang punggung program pembangunan. Selain itu keseimbangan ini pun berguna untuk mengukur efektifitas lembaga kepailitan dalam mejalankan dua fungsi utamanya, yaitu
21
Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hlm 252.
13
sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutanghutangnya kepada semua kreditur dan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Hal tersebut diatas akan penulis paparkan lebih jauh dalam suatu penulisan hukum dengan judul “PENERAPAN ASAS PARI PASSU PRO RATA PARTE DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI TERHADAP DEBITUR PAILIT”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan masing-masing kreditur terhadap jaminan kredit sindikasi dalam posisi kepailitan? 2. Bagaimanakah penerapan asas pari passu pro rata parte terhadap debitur kredit sindikasi dalam posisi kepailitan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kedudukan masing-masing kreditur terhadap jaminan dalam kredit sindikasi dalam posisi kepailitan. 2. Untuk mengetahui penerapan asas pari passu pro rata parte terhadap debitur kredit sindikasi dalam posisi kepailitan. 14
D. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut : 1. Secara Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan input atau masukan bagi praktisi perbankan, masyarakat serta akademisi tentang kedudukan dan perlindungan hukum terhadap masing-masing kreditur terhadap jaminan dalam kredit sindikasi serta penerapan asas pari passu pro rata parte terhadap debitur kredit sindikasi dalam perkara kepailitan. b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peningkatan efisiensi dari lembaga kepailitan dalam hal strategi peningkatan pemenuhan utang dan perlindungan investor pada kepailitan kredit sindikasi. c. Penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi peninjauan pelaksanaan kepailitan kredit sindikasi dan kesesuaiannya dengan asas-asas yang berlaku untuk mewujudkan keadilan dan keseimbangan bagi setiap pihak yang terkait dan meningkatkan kesejahteraan perekonomian di Indonesia. 2. Secara Teoritis a. Diharapkan dapat dijadikan dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya tentang penerapan dan kedudukan klausul tentang kedudukan masing-masing kreditur terhadap jaminan dalam kredit sindikasi serta penerapan asas pari passu pro rata parte terhadap debitur kredit sindikasi dalam perkara kepailitan. 15
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi ilmiah bagi pengembangan sistem pengawasan dan perlindungan para pihak dalam lembaga kepailitan. c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan dengan penelitianpenelitian terdahulu dalam rangka mengembangkan pemahaman tentang perjanjian kredit sindikasi dan kepailitan di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai “Penerapan Asas Pari Passu Pro Rata Parte dalam Perjanjian Kredit Sindikasi Terhadap Debitur Pailit” sepanjang pengetahuan penulis melalui bacaan pustaka, belum pernah ada sebelumnya. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan karya-karya ilmiah telah dilakukan, dan telah ditemukan berbagai hasil penelitian maupun Jurnal, baik itu jurnal internasional dan jurnal nasional yang juga membahas permasalahan serupa tetapi tidak ditemukan hasil penelitian maupun jurnal yang secara spesifik membahas penerapan asas pari passu pro rata parte dalam perjanjian kredit sindikasi terhadap debitur pailit. Dari sekian banyak hasil penelitian penulis hanya menemukan beberapa hasil penelitian yang dianggap memiliki substansi yang memiliki kemiripan dengan permasalahan yang dirumuskan penulis tetapi berbeda dalam pengkajian masalahnya, yakni sebagai berikut : 1. Taufiq El Rahman, 2000, Tesis dengan judul
“Perlindungan Debitur
Terhadap Berlakunya Klausula - Klausula yang Menguntungkan Kreditur
16
dalam Perjanjian Kredit Sindikasi”. Rumusan masalah dari tesis ini adalah: 1) Bagaimanakah perlindungan debitur terhadap berlakunya klausulaklausula yang menguntungkan kreditur dalam perjanjian kredit sindikasi? Substansi dalam tesis ini juga digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini. Tesis ini secara komprehensif membahas tentang kredit sindikasi namun tidak secara spesifik membahas tentang asas pari passu pro rata parte dalam pelaksanaan kredit sindikasi. Hal tersebut menunjukan bahwa meskipun sama-sama membahas tentang kredit sindikasi, tetapi penelitian yang dilakukan memiliki perbedaan tersendiri dengan proposal ini. 2. Ilham Laturua, 2009, Tesis dengan judul “Pelaksanaan Perjanjian Pari Passu Terhadap Jaminan Kebendaan Pada Indirect Syndication Perusahaan Modal Ventura”, rumusan masalah dalam tesis ini yaitu: 1) Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pari passu terhadap kedudukan peserta
indirect
syndication
dengan
pemegang
hak
jaminan
peserta
indirect
kebendaan? 2) Bagaimanakah
perlindungan
hukum
terhadap
syndication berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian pari passu ? Sama seperti tesis sebelumnya, tesis ini juga merupakan hasil penelitian yang membahas tentang perjanjian pemberian kredit secara sindikasi. Hal yang menjadi perbedaan adalah penelitian ini lebih 17
cenderung membahas pelaksanaan perjanjian pari passu terhadap kedudukan peserta indirect syndication dengan pemegang hak jaminan kebendaan dan bagaimana perlindungan hukum terhadap peserta indirect syndication berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian pari passu. 3. Dedi Prasetyo, 2008, “Implementasi Pemberian Kredit Sindikasi Ditinjau Dari Aspek Yuridisnya”, rumusan masalah dalam tesis ini yaitu: 1) Aspek-aspek legal/hukum apa sajakah yang menjadi dasar dalam praktek
proses
pembentukan
dan
pemberian
kredit
sindikasi
perbankan? 2) Bagaimanakah implementasinya dalam praktek proses pembentukan dan pemberian kredit sindikasi tersebut? Pada tesis ini yang dibahas adalah tentang aspek legal proses pembentukan sindikasi, peranan agen bank dalam kredit sindikasi, penjualan partisipasi dalam kredit sindikasi dan proses pemberian kredit sindikasi, mencakup tentang pelaksanaan pemberian pinjaman, prosedur penerimaan, dan cara pembayaran. Pada tesis ini tidak membahas secara spesifik tentang asas pari passu pro rata parte dalam perjanjian kredit sindikasi dan hal tersebutlah yang menjadi pembeda karena pada tesis ini hanya membahas pelaksanaan dan aspek hukum kredit sindikasi secara umum, dan tidak mengkhususkan dalam hubungannya dengan asas pari passu pro rata parte dalam perkara kepailitan.
18