1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era industri migas dikelompokkan menjadi tiga era yaitu era kolonial belanda, era awal kemerdekaan, dan era industri migas modern. Era kolonial Belanda ditandai oleh penemuan minyak pertama secara komersial pada bulan Juni 1885 oleh A. J Zilkjer yang sebelumnya memperoleh hak konsensi dari Sultan Langkat di Wilayah Telaga Said, Langkat (Arif, 1976 dalam Lubiantara, 2012). Adanya ekspansi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi oleh perusahaan minyak Belanda ini mendorong diberlakukannya “Undang-Undang Pemerintah Hindia Belanda” (Indische Mijnwet/IM) tahun 1899 (Lubiantara,2012). Pada era pasca kemerdekaan, pemerintah menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Undang-undang ini merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan ayat 3. Dengan berlakunya UU Nomor 44 Tahun 1960, perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia diminta untuk menyesuaikan operasionalnya terhadap ketentuan dan persyaratan UU tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya perusahaan besar asing tidak dapat menerima ketentuan dan persyaratan dikarenakan UU tersebut mengubah secara drastis pola hubungan kerja antara pemerintah dengan perusahaan asing/swasta (Lubiantara, 2012). Era industri migas modern ditandai dengan disepakatinya perjanjian kontrak karya yang ditandatangani pertama kali pada akhir September 1963 antara pemerintah dengan perusahaan minyak Pan-American Oil (Fabrikant, 1973 dalam
2
Lubiantara,2012). Isi perjanjian karya pertama tersebut antara lain meliputi perusahaan minyak melepaskan hak konsesi dan beroperasi selaku kontraktor, risiko usaha dan manajemen kegiatan ditangan kontraktor, dana dan tenaga ahli disediakan kontraktor, jangka waktu berlakunya perjanjian 20 tahun, aset kilang akan diserahkan dalam waktu 10-15 tahun, fasilitas pemasaran dan distribusi akan diserahkan dalam waktu 5 tahun, persentase pembagian keuntungan antara pemerintah dengan kontraktor, dan kewajiban kontraktor untuk menyerahkan 25% bagiannya sebagai Domestic Market Obligation (DMO) serta kontraktor akan menerima 0,2$/barel DMO sebagai fee (Lubiantara, 2012). Ketidakpuasan sistem kontrak karya mendorong lahirnya Production Sharing Contract (PSC) yang digagas oleh Ibnu Sutowo. Sejak tahun 1966, terdapat tiga generasi PSC yang berlaku di Indonesia. PSC generasi pertama yaitu pada tahun 1966 hingga tahun 1975. PSC generasi kedua yaitu yang berlaku pada tahun 1976 hingga tahun 1988 dan PSC generasi ketiga yang berlaku dari tahun 1988 hingga sekarang (Lubiantara, 2012). Di dalam PSC, dua pihak yang terlibat (pemerintah dan perusahaan minyak asing) berbagi hasil produksi minyak dan gas yang dihasilkan, bukan berbagi hasil penjualan minyak dan gas bumi sebagaimana perjanjian kontrak karya. Selain itu di dalam PSC, Pemerintah selaku tuan rumah memiliki kewenangan dalam manajemen perusahaan. Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 sebagai pelaksanaan dari amanat UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan babak
3
baru bagi pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan. Pengelolaan aset negara yang profesional dan modern diharapkan meraih kepercayaan
masyarakat
dalam
upaya
untuk
mewujudkan
tata
kelola
pemerintahan yang baik. Berdasarkan roadmap strategi manajemen aset yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan pada tahun 2007, salah satu tahapan yang dilaksanakan oleh DJKN adalah melakukan penertiban Barang Milik Negara (BMN). Terdapat empat tujuan utama dari penertiban BMN yang meliputi melakukan pemutakhiran pembukuan BMN pada Sistem Informasi Manajemen
Akuntansi
Keuangan
BMN
(SIMAK
BMN),
mewujudkan
penatausahaan BMN di seluruh satuan kerja instansi Pemerintah Pusat, menyajikan koreksi nilai aset tetap neraca awal 2004 pada Laporan Keuangan K/L, dan melakukan tindak lanjut penatausahaan dan pengelolaan BMN yang tertib dan optimal. BMN yang berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan salah satu objek penertibannya. Penelitian ini muncul dari keprihatinan atas upaya pemerintah dalam mewujudkan akuntabilitas pengelolaan BMN yang berasal dari KKKS. Penelitian mengenai kesenjangan implementasi kebijakan pemerintah pernah dilakukan oleh Siallagan (2012) yang meneliti kesenjangan implementasi pada Reformasi Manajemen Keuangan tahun 2013 hingga tahun 2010. Penelitian ini mengkaji faktor yang mempengaruhi hasil pelaksanaan reformasi manajemen keuangan di lembaga-lembaga Pemerintah Indonesia dengan menggunakan desain studi kasus berganda. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan dalam
4
implementasi reformasi terletak pada keseragaman stratergi implementasi yang dilakukan pemerintah yang mengabaikan keberagaman masalah, kurangnya kapasitas dan pengetahuan dalam pengelolaan keuangan, serta adanya kebutuhan terhadap kepemimpinan dan birokrasi yang efektif. Studi dengan topik pengelolaan Barang Milik Negara yang berasal dari KKKS telah dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Apriyadi (2009) dengan mengambil objek penelitian yaitu desain alur proses dalam rangka penghapusan BMN Eks KKKS. Selain itu, penelitian sejenis lainnya juga pernah dilakukan oleh Primadona (2013) yang mengambil objek penelitian
yaitu
mengenai
penerapan
pengendalian
internal
atas
pemindahtanganan dan penghapusan BMN yang berasal dari KKKS Hulu Migas. Meskipun terdapat beberapa penelitian yang membahas tentang BMN yang berasal dari KKKS, namun masih sedikit yang meneliti secara spesifik mengenai pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari KKKS khususnya dari segi penatausahaannya.
1.2. Rumusan Permasalahan Industri minyak dan gas bumi sudah dimulai sejak masa penjajahan zaman kolonial Belanda. Sejak tahun 1966, terdapat tiga generasi PSC yang berlaku di Indonesia. PSC generasi pertama yaitu pada tahun 1966 hingga tahun 1975. PSC generasi kedua yaitu yang berlaku pada tahun 1976 hingga tahun 1988 dan PSC generasi ketiga yang berlaku dari tahun 1988 hingga sekarang (Lubiantara, 2012). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan
5
Usaha Hulu Migas pasal 78 bahwa seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu yang dibeli Kontraktor menjadi milik/kekayaan negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana. Dalam sudut pandang pemerintah, era pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan baru dimulai pada saat diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Dengan diterbitkannya peraturan tersebut pengelolaan aset negara tidak bersifat administrasi semata tetapi juga mengatur bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah pengelolaan aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara juga mencakup aktifitas perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Berdasarkan tujuan utama roadmap strategi manajemen aset yang disusun pada tahun 2008 oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN) sebagai perangkat pemerintah yang bertugas dalam mengelola barang/kekayaan negara, pengelolaan aset negara merupakan indikator penting dalam pelaksanaan anggaran yang efektif. Oleh karenanya, dalam rangka mengelola kekayaan negara dengan benar maka DJKN harus mempunyai atribut organisasi
yang lengkap dan berkualitas, bank data pengelolaan dan
penatausahaan BMN berikut permasalahannya, serta kesadaran bahwa aset negara
6
adalah indikator penting dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang efektif, efisien dan akuntabel. KKKS
sebagai
pelaksana
Kontrak
Kerja
Sama,
aktivitas
pembukuan/pencatatan aset penting artinya dalam menentukan jumlah biaya penyusutan barang dan peralatan yang digunakan untuk operasi perminyakan. Biaya penyusutan tersebut merupakan salah satu faktor penggantian biaya operasional kegiatan hulu migas yang dikenal dengan istilah Cost Recovery sebagaimana tercantum dalam pasal 7, pasal 11 dan pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Migas. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, nampak terdapat perbedaan motivasi antara Pemerintah dengan KKKS dalam hal penatausahaan Barang Milik Negara. Dengan demikian permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu adanya kesenjangan implementasi dalam penatausahaan Barang Milik Negara yang berasal dari KKKS antara hukum/peraturan yang telah ditetapkan pemerintah dengan pelaksanaannya di lapangan.
1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian yang penulis ajukan adalah sebagai berikut : 1.3.1. Dari
ketiga
aktifitas
penatausahaan
yang
meliputi
pembukuan,
inventarisasi, dan pelaporan, aktifitas manakah yang memiliki kesenjangan implementasi paling tinggi?
7
1.3.2. Apakah sumber penyebab terjadinya Kesenjangan Implementasi dalam Penatausahaan Barang Milik Negara yang Berasal dari KKKS? 1.3.3. Bagaimana dampak Kesenjangan Implementasi dalam Penatausahaan Barang Milik Negara yang Berasal dari KKKS?
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Mengetahui aktivitas penatausahaan BMN yang berasal dari KKKS yang memiliki kesenjangan tertinggi. 1.4.2. Mengetahui penyebab terjadinya Kesenjangan Implementasi dalam penatausahaan BMN yang berasal dari KKKS. 1.4.3. Menganalisis dampak adanya Kesenjangan Implementasi penatausahaan BMN yang berasal dari KKKS
1.5. Motivasi Penelitian Penelitian ini dilandasi motivasi untuk memperkaya khasanah keilmuan dengan
memberikan
sumbangan
pemikiran
secara
ilmiah
mengenai
penatausahaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
1.6. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis, kontribusi keilmuan, dan pembuatan kebijakan sebagai berikut : a. Kontribusi Praktis
8
Sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi Pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan penatausahaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama sehingga bermanfaat dalam mewujudkan penatausahaan BMN yang tertib administrasi, transparan dan akuntabel b. Kontribusi Keilmuan Sebagai bahan referensi peneliti lain yang tertarik dalam bidang kajian penatausahaan Barang Milik Negara khususnya yang berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama. c. Kontribusi Pembuatan Kebijakan Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan baik dari Kementerian Keuangan , Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, maupun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas dalam merumuskan kebijakan terkait dengan penatausahaan BMN yang Berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
1.7. Proses Penelitian Proses penelitian ini dibangun dari tahapan observasi untuk mengidentifikasi permasalahan dan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian. Jika tujuan penelitian telah ditentukan maka dapat diputuskan fondasi teoritikal penelitian studi kasus yang kemudian dengan disertai metode penelitian studi kasus diharapkan nantinya dapat dihasilkan temuan. Temuan dianalisis agar mampu menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan pada langkah awal proses penelitian ini.
9
Secara singkat, tahapan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
2. Tujuan Penelitian
3. Pondasi Teoritikal Penelitian Studi Kasus
1. Pertanyaan Penelitian
4. Metode Penelitian Studi Kasus
5. Temuan dan Analisis
Gambar 1.1 Proses Penelitian Studi Kasus Sumber : Buku Panduan Pedoman Umum Penulisan Tesis Maksi FEB UGM 2014
1.8. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam tesis ini disajikan dalam 7 (tujuh) bab sebagai berikut : Bab I
: PENDAHULUAN Pendahuluan merupakan garis besar dari keseluruhan tesis yang menguraikan latar belakang, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, proses penelitian.
Bab II
: TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka berisi dengan teori-teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan penatausahaan BMN, ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku dalam pengelolaan BMN
10
yang berasal dari KKKS, penyebab dan pengukuran kesenjangan implementasi dalam penatausahaan BMN yang berasal dari KKKS. Bab III
: LATAR BELAKANG KONTEKSTUAL OBJEK PENELITIAN Bagian ini menjelaskan secara deskriptif tentang objek penelitian secara selektif yaitu Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain selaku unit eselon II Kementerian Keuangan yang diberi kuasa untuk bertindak sebagai pengelola barang, Pusat Pengelolaan BMN Kementerian ESDM selaku unit eselon II Kementerian ESDM yang diberi kuasa untuk melakukan penatausahaan BMN sebagai pemegang wewenang penggunaan BMN, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi selaku pembina KKKS, dan KKKS yang menguasai dan menggunakan BMN secara langsung.
Bab IV
: RANCANGAN PENELITIAN Rancangan penelitian berisi pembahasan metode pengambilan data dan analisis data yang akan dilakukan. Bagian pengambilan data berisi sumber data, teknik pengambilan datanya (wawancara, kuesioner, arsip dan lainnya) serta proses pengambilan datanya.
Bab V
: PEMAPARAN TEMUAN Bagian ini menjelaskan data yang diperoleh dan hasil dari analisis data yang dilakukan.
11
Bab VI
: RINGKASAN DAN PEMBAHASAN Bagian ini meringkas latar belakang, cara dan hasil penelitian serta menunjukkan penjelasan mendalam mengenai hasil yang diperoleh dan implikasinya.
Bab VII
: SIMPULAN, KETERBATASAN DAN REKOMENDASI Simpulan menjawab tujuan dari penelitian dan rekomendasi menunjukkan implikasi dari hasil penelitian untuk diterapkan di dunia praktek untuk memecahkan permasalahan yang diteliti.