BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Penyakit periodontal banyak diderita oleh manusia hampir di seluruh dunia. Di Indonesia, penyakit periodontal menduduki urutan kedua dan merupakan penyebab terbesar kehilangan gigi di usia 30 tahun. (Situmorang, 2005). Penyakit periodontal adalah kelainan pada jaringan pendukung gigi, termasuk gingiva, ligamen periodontal dan tulang alveolar (Hatem, 2012). Penyakit periodontal dapat berupa gingivitis dan periodontitis. Gingivitis adalah peradangan pada gingiva dengan tanda-tanda klinis perubahan warna lebih merah dari normal, pembesaran gingiva, dan berdarah pada tekanan ringan (Axelsson dan Sweden, 2002). Periodontitis didefinisikan sebagai suatu peradangan
pada
jaringan
pendukung
gigi
yang
disebabkan
oleh
mikroorganisme spesifik yang menyebabkan terjadinya kerusakan progresif pada ligamen periodontal dan tulang alveolar disertai pembentukan poket, resesi, atau keduanya (Newman dkk.,2006). Salah satu bakteri fakultatif anaerob gram negatif yang berperan dalam pembentukan plak subgingiva penyebab periodontitis adalah Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Bakteri ini menghasilkan faktor virulensi pada jaringan periodontal, antara lain merusak immunoglobulin, complement factor, dan mendegradasi perlekatan epitel jaringan periodontal sehingga timbul poket periodontal (Newman dkk.,2006). Bakteri ini merupakan agen infektif 1
2
utama terutama ditemukan pada aggressive periodontitis (Samaranayake, 2006). Terapi infeksi bakteri yaitu dengan penggunaan antibiotik saat ini telah banyak menimbulkan efek samping diantaranya seperti alergi, toksisitas, dan resistensi pada penggunaan jangka panjang. Namun, saat ini banyak peneliti melakukan penelitian dengan memanfaatkan bahan alam yang bertujuan untuk menghasilkan obat-obatan dalam upaya mendukung program pelayanan kesehatan gigi, khususnya untuk menghambat atau membunuh pertumbuhan bakteri penyebab penyakit periodontal. Sejak dahulu masyarakat kita telah percaya bahwa bahan alam mampu mengobati berbagai macam penyakit. Selain itu, bahan alam yang digunakan sebagai obat jarang menimbulkan efek samping yang merugikan dibandingkan obat yang terbuat dari bahan sintetis. Madu sudah lama dikenal oleh masyarakat dan digunakan sebagai bahan makanan atau obat tradisional yang bergizi dan berkhasiat untuk kesehatan. Keistimewaan madu terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nahl :69 yaitu dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Aktivitas antibakteri madu berhubungan dengan tingkat osmolaritasnya yang tinggi, pH asam, komponen non peroksida, dan kandungan hidrogen peroksida yang konsentrasinya ditentukan oleh tingkat glukosa oksidase
yang disintesa oleh lebah dan
katalase yang berasal dari serbuk sari bunga (Weston, 2000; Mavric dkk., 2008). Madu dari lebah Apis mellifera merupakan madu yang mudah didapat dan banyak diproduksi di Indonesia. Madu yang dihasilkan jenis lebah Apis
3
mellifera tidak hanya banyak, namun juga berkualitas karena memiliki kadar air yang rendah yaitu sekitar 17-20% (Hery, 2011). Menurut Aurongzeb dan Azim (2011), aktivitas antibakteri madu memiliki efek terhadap sekitar 60 spesies bakteri, anaerob dan aerob, baik gram positif maupun negatif. Osho dan Bello (2010) dalam penelitiannya yang menguji potensi antibakteri madu dari lebah Apis mellifera menyatakan bahwa terdapat zona hambat pada konsentrasi 25%, 50%, 100% untuk bakteri E.coli, Staphylococcus aureus, dan B.subtilis sedangkan pada bakteri Kleibseilla pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa ditemukan zona hambat pada konsentrasi 50% dan 100%, pada konsentrasi 5% tidak ditemukan adanya zona hambat pada masing-masing bakteri yang diteliti. Sampai saat ini sudah banyak penelitian yang menggunakan madu Apis mellifera untuk menguji daya hambat bakteri. Namun, belum dilaporkan adanya
peneliti
yang
menggunakan
bakteri
Aggregatibacter
actinomycetemcomitans sebagai subyek penelitian uji daya hambat madu Apis mellifera. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh madu Apis mellifera terhadap pertumbuhan bakteri Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Konsentrasi yang digunakan untuk uji daya hambat madu pada peneltian ini adalah 30% mengacu pada konsentrasi minimum yang digunakan pada penelitian Hariyati (2010), yang menguji aktivitas antibakteri madu randu terhadap Pseudomonas fluorescens dan Pseudomonas putida, sebagai pembanding digunakan konsentrasi 20%, 40%, dan 50%. Berdasarkan dari acuan penelitian tersebut
kemudian
4
dilakukan uji lanjutan untuk menguji pengaruh madu Apis mellifera konsentrasi 20%, 30%, 40% dan 50% terhadap pertumbuhan bakteri Aggregatibacter actinomycetemcomitans penyebab penyakit periodontal. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, dapat disusun rumusan masalah yaitu apakah ada pengaruh madu Apis mellifera terhadap pertumbuhan bakteri Aggregatibacter actinomycetemcomitans penyebab penyakit periodontal? C. Keaslian Penelitian
Osho dan Bello (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat zona hambat pada konsentrasi 25%, 50%, 100% untuk bakteri E.coli, Staphylococcus aureus, dan B.subtilis sedangkan pada bakteri Kleibseilla pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa ditemukan zona hambat pada konsentrasi 50% dan 100%. Penelitian mellifera
terhadap
pertumbuhan
mengenai pengaruh madu Apis bakteri
Aggregatibacter
actinomycetemcomitans penyebab penyakit periodontal belum pernah dilakukan. D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh madu Apis mellifera terhadap pertumbuhan bakteri Aggregatibacter actinomycetemcomitans penyebab penyakit periodontal.
5
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Sebagai penentuan dasar ilmiah untuk pemanfaatan madu Apis mellifera sebagai bahan alternatif untuk membuat formulasi sediaan obat kumur atau bahan irigasi sehingga dapat memajukan ilmu pengetahuan. 2. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai manfaat madu Apis mellifera.