1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kebutuhan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha akan penyediaan dana yang cukup besar dapat terpenuhi dengan adanya lembaga perbankan yang berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun dana dan menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu bentuk penyaluran dana oleh bank adalah dalam bentuk kredit. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam pembangunan, maka sudah sepatutnya pihak-pihak yang terkait mendapatkan perlindungan hukum yang kuat dalam rangka mengantisipasi kerugian apabila terjadi masalah cedera janji (wanprestasi). Kreditur sebagai pihak pemberi kredit dalam hal ini seringkali harus menanggung risiko karena debitur selaku penerima kredit tidak menepati janjinya untuk mengembalikan kredit yang dipinjam tepat waktu. Dalam ilmu ekonomi perbankan terdapat suatu asas yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kredit kepada nasabahnya, yaitu yang dikenal dengan istilah The Five C’s of Credit Analysis (Prinsip 5C), artinya pada pemberian kredit tersebut harus diperhatikan lima faktor, yaitu character (watak, itikad baik), capacity/capability (kecakapan, kemampuan atau kesanggupan), capital (permodalan), condition of economic (prospek ekonomi atau prediksi usaha), dan collateral (jaminan, agunan). Dengan
2
demikian perbankan selalu memperkuat kedudukannya sebagai kreditur1. Oleh karena itu, dalam hal penyaluran kredit bank selalu meminta adanya jaminan atau agunan kepada pemohon kredit guna memberikan kepastian hukum untuk mengantisipasi terjadinya kerugian karena tidak kembalinya seluruh atau sebagian dari kredit yang telah disalurkan. Pembebanan atau pengikatan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya, jika objek jaminan berupa benda bergerak, maka pembebanan atau pengikatannya dilakukan dengan menggunakan gadai dan fidusia. Apabila objek jaminan berupa kapal laut dengan berat tertentu dan pesawat udara, maka pembebanan atau pengikatannya dengan menggunakan hipotik, sedangkan jika objek jaminan berupa tanah, maka pembebanan atau pengikatannya dengan menggunakan Hak Tanggungan atas tanah. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan), yang dimaksudkan dengan Hak Tanggungan adalah sebagai berikut: “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan barang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.”
1
23-24.
Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.
3
Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan perjanjian ikutan atau accesoir yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain, maka lahir dan keberadaan Hak Tanggungan ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Hak Tanggungan merupakan hak jaminan sebagai pendukung perjanjian pokoknya untuk menjamin kreditur bahwa debitur dapat memenuhi kewajibannya. Apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi kepada debitur dengan cara kreditur melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi jaminan utang debitur. Eksekusi merupakan jalan paling akhir yang dapat ditempuh kreditur dalam meminta pemenuhan prestasi dari debitur. Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam eksekusinya, jika debitur cedera janji. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dinyatakan sebagai berikut: “Apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Ketentuan Pasal 6 tersebut memberikan kemudahan kepada kreditur untuk dapat memperoleh kembali pelunasan piutangnya yang telah macet karena debiturnya cedera janji dengan adanya kesempatan bagi kreditur untuk melakukan Parate Eksekusi, yaitu apabila debitur cedera janji maka pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang mempunyai hak untuk menjual objek
4
Hak Tanggungan atas kuasa sendiri melalui pelelangan umum dan pelunasan piutang diambil dari hasil lelang objek tersebut. Merujuk rumusan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan proses eksekusi dapat dilakukan tanpa campur tangan atau melalui pengadilan. Dengan kata lain tidak perlu meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hak dari pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan undang-undang. Jadi tanpa perjanjian pun hak itu sudah lahir. Selain itu pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun ternyata dalam praktek, bank sebagai pemegang Hak Tanggungan baru dapat menjual objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut setelah mendapat fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri setempat atau dengan lebih dahulu menyerahkan piutangnya melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Hal ini menjadi salah satu kendala bagi Bank dalam menyelesaikan kredit bermasalah secara cepat, tepat, transparan dan dapat diterima dengan baik oleh para pihak yang berkepentingan. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
5
1.
Bagaimana pelaksanaan parate eksekusi jaminan hak tanggungan dalam hal terdapat perbedaan pendapat tentang keberadaan Fiat Eksekusi Pengadilan Negeri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UndangUndang Hak Tanggungan ?
2.
Hal-hal apa sajakah yang menjadi hambatan pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UndangUndang Hak Tanggungan di Kota Yogyakarta dan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut ?
C. Keaslian Penelitian Sebagai sebuah studi mengenai hukum kenotariatan yang mengkaji mengenai eksekusi Hak Tanggungan, penelitian ini tentunya bukan suatu penelitian yang baru sama sekali karena sudah ada penelitian yang dilakukan sebelumnya. Namun agar tidak terjadi pengulangan penelitian terhadap permasalahan yang sama, peneliti mengumpulkan data mengenai masalah tersebut.
Berdasarkan
hasil
penelusuran
kepustakaan
dilingkungan
Universitas Gadjah Mada, sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul
“KESESUAIAN
PROSEDUR
PARATE
EKSEKUSI
HAK
TANGGUNGAN DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN KETENTUAN PASAL 6 UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN BESERTA HAMBATAN-HAMBATANNYA” belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Namun ada beberapa penelitian yang mempunyai tema yang sama tetapi pokok permasalahannya berbeda.
6
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa hasil penelitian tesis yang ada relevansinya dengan penelitian tesis ini, yaitu: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Ronald T. Mangalik2 dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Kreditur dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Eksekusi” pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012. Pokok permasalahan penelitian tersebut adalah perlindungan hukum kepada pemegang Hak Tanggungan pertama dalam melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan berdasarkan prinsip parate executie. Adapun kesimpulan dari penulisan tersebut menyebutkan bahwa: a.
Eksistensi pemegang Hak Tanggungan pertama belum sepenuhnya diakui dalam melakukan parate executie terhadap objek Hak Tanggungan. Pengaturan tentang prosedur pelaksanaan parate executie terdapat kontroversi, karena di satu sisi pelaksanaan penjualan objek Hak Taggungan melalui pelelangan umum tanpa fiat Ketua Pengadilan Negeri, namun di sisi lain pelaksanaannya harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. Akibatnya pelaksanaan parate executie yang merupakan hak kreditur menjadi kabur dan bahkan dapat dikatakan terjadi konflik norma.
b.
Bentuk perlindungan hukum kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama telah dilakukan sepenuhnya dalam hal parate executie terhadap objek Hak Tanggungan. Hal tersebut dapat dilihat dari
2
Ronald T. Mangalik, 2012, Perlindungan Hukum terhadap Kreditur dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Eksekusi, UGM, Yogyakarta
7
adanya kepastian hukum bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama dalam melakukan eksekusi objek Hak Tanggungan berdasarkan prinsip parate executie. Menurut Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang Hak Tanggungan, hak parate executie dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, hak dari pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate executie) adalah hak berdasarkan Undang-Undang. Jadi, tanpa perjanjian pun, hak itu sudah lahir. Hal tersebut diperkuat dengan adanya SK Menkeu No.304/KMK.01/2002 jo. 450/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. 2.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Nur Kholis Muslim3 dengan judul “Analisis Parate Ekseksi Objek Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta” pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2014. Pokok permasalahan penelitian tersebut adalah pelaksanaan atau penerapan parate eksekusi di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta. Adapun kesimpulan dari penulisan tersebut menyebutkan bahwa: a.
Pelaksanaan parate eksekusi di KPKNL Yogyakarta berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan merujuk terhadap PMK
3
Muhammad Nur Kholis Muslim, 2014, Analisis Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta, UGM, Yogyakarta.
8
Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 93/PMK.06/2010
tentang
Petunjuk
Pelaksanaan
Lelang
dan
Peraturan DJKN Nomor 06/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang. Kedua aturan di atas menjelaskan bahwa setiap penjual yang bermaksud melakukan penjualan barang secara lelang melalui KPKNL, harus mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis kepada Kepala KPKNL, disertai dokumen persyaratan lelang tanpa menggunakan fiat / perintah pengadilan negeri, tetapi dalam APHT harus telah diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan pertama berhak menjual atas kekuasaan sendiri apabila debitur cedera janji, serta yang berhak mengajukan permohonan lelang adalah kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama. Apabila tidak memenuhi kedua persyaratan di atas maka KPKNL Yogyakarta akan menolak permohonan lelang. Apabila kreditur adalah bank, sekalipun debitur telah dinyatakan wanprestasi karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun
kelalaiannya,
maka
untuk
menyelamatkan
dan
menyelesaikan kreditur bermasalah ada dua strategi yang ditempuh: 1). Melalui Jalur Non Litigasi yaitu melalui perundingan kembali antara kreditur dan debitur dengan cara Rescheduling/penjadualan kembali, Reconditioning/usaha dengan cara mengubah sebagian/ seluruh kondisi (persyaratan) yang semula disepakati bersama, dan Recstructuring/mengubah komposisi pembiayaan yang mendasari
9
pemberian kredit. 2). Melalui Jalur Litigasi yaitu berdasarkan titel eksekutorial dan dapat pula berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (parate eksekusi). b.
KPKNL Yogyakarta menerima permohonan parate eksekusi tanpa fiat/perintah pengadilan sudah tepat, karena Pasal 6 tidak mengharuskan menyertakan fiat/perintah pengadilan, dan secara doktrin pengertian parate eksekusi adalah eksekusi yang dijalankan sendiri tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan negeri. Keharusan mencantumkan adanya janji dalam APHT kurang tepat karena didasarkan pada penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, sedangkan dalam redaksi Pasal 6 itu sendiri tida disinggung sama sekali dan dapat dikatakan bahwa penjelasan Pasal 6 tersebut mengadopsi dari Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Terkait dengan hanya pemegang Hak Tanggungan pertama yang berhak mengajukan permohonan parate eksekusi sudah sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu ”apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri”.
Perbedaan yang mendasar antara penelitian ini dengan kedua penelitian di atas adalah dalam penelitian ini peneliti lebih menitikberatkan kepada kesesuaian pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan dalam praktek dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan beserta hambatan-hambatannya.
10
D. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian dilakukan adalah untuk mencapai suatu tujuan tertentu, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Tujuan Objektif : 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan dalam praktek dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan dalam praktek dan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut
2.
Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data, informasi yang lengkap dan akurat dalam rangka menyusun tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah: 1.
Secara teoritis manfaat dari peneltian ini adalah memberikan sumbangan ilmu pengetahuan hukum dan menambah bahan-bahan informasi kepustakaan dan bahan ajar dibidang hukum pada umumnya dan hukum kenotariatan pada khususnya.
11
2.
Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak pelaku ekonomi, serta masyarakat luas dalam hal menunjang pembangunan ekonomi.