BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan adalah sebuah ikatan suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Pada dasarnya tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani, tujuan perkawinan juga sekaligus untuk membentuk dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat. Sebagai suatu aspek agama, perkawinan merupakan sesuatu yang suci, sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan. Oleh karena itu, kalau seseorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja sebagai tindakan permainan, agama Islam tidak mempekenankannya. Karena itu pula perkawinan mut’ah yang sifatnya sementara hanya untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, di larang oleh Nabi Muhammmad SAW.1 Perkawinan hendaknya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang hanya hendak dilakukan oleh orang-orang dengan tujuan yang luhur dan suci. Hanya 1
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Ctk. Kesebelas, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 140.
2
dengan demikian tujuan perkawinan itu dapat tercapai. Tujuan pokok suatu perkawinan adalah ibadah kepada Allah. Mereka dapat saling menghargai satu sama lain, mencintai Allah dalam keluarga mereka dan terhadap yang lainnya, serta mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kekurangan mereka. Perkawinan juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis mendasar manusia dalam rangka untuk memperoleh keturunan. Adanya suatu perkawinan, maka akan timbul akibat-akibat hukum bagi suami maupun isteri, serta bagi anak apabila di dalam perkawinan tersebut dianugerahi seorang anak. Sehubungan hal tersebut Mohammad Daud Ali menyebutkan dalam Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat; suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, serta setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain; suami isteri memikul keewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; suami isteri wajib memelihara kehormatan mereka; jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.2 Kewajiban-kewajiban seorang isteri, yang merupakan hak-hak bagi suami pada pokoknya adalah mengurus dan menyelenggarakan rumah tangga, mendidik anak, dan melayani suami. Sedangkan seorang suami pada dasarnya berkewajiban 2
Ibid, hlm. 303.
3
untuk memenuhi tiga kebutuhan pokok dalam rumah tangga, yakni sandang, pangan dan papan. Kewajiban itu disesuaikan dengan kemampuan suami dan tidak memberatkan istri. Suami adalah seorang nahkoda dalam sebuah rumah tangga, kemana laju kapal rumah tangga akan mengarah, suamilah penentunya. Namun dalam perjalanannya prinsip musyawarah dengan isteri dalam memecahkan persoalanpersolan di dalam rumah tangga sangat dianjurkan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan satu pihak terhadap pihak lainnya. Suami sebagai pimpinan dalam rumah tangga, bertanggung jawab terhadap bimbingan dan nafkah anggota keluarganya. Tanggung jawab suami meliputi moral dam material. Ketika seseorang menunaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, maka kondisi ibadahnya berbeda dengan orang yang belum mempunyai tanggungan, karena Allah SWT memberikan pahala sesuai dengan kadar kesulitannya. Dan di sanalah nilai penghargaan Allah terhadap perjuangan hamba-hamba-Nya. Selain menimbulkan akibat hukum bagi suami-isteri, suatu perkawinan juga menimbulkan akibat hukum bagi orang tua dengan anaknya. Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami isteri membawa konsekuensi hukum yang berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antara orang tua dan anak. Anak mempunyai hak-hak tertentu yang harus dipenuhi oleh orang tua sebagai kewajiban dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh anaknya sebagai kewajibannya. Hak-hak itu dapat dikategorikan pada empat kelompok besar, yaitu: hak untuk hidup, hak untuk
4
tumbuh kembang, hak untuk mendapat perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi. Akan tetapi hak anak yang penting adalah hak atas nafkah (alimentasi) yang harus dipenuhi orang tuanya, terutama oleh ayah. Bahkan apabila orang tua lalai memenuhi nafkah anaknya, ia dapat digugat ke pengadilan untuk membayar nafkah. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang layak seperti sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah (alimentasi) anak yang harus dipenuhi orang tua (khususnya ayah), berlaku baik dalam masa perkawinan orang tua atau setelah perkawinan tersebut putus (cerai). Tujuan yang mulia dalam melestarikan dan menjaga kesinambungan hidup rumah tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak dijumpai bahwa tujuan mulia perkawinan tidak dapat diwujudkan secara baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah faktor psikologis, biologis, ekonomis, pandangan hidup, perbedaan kecenderungan dan lain sebagainya.3
Oleh
karenanya
apabila
seseorang
sudah
tidak
dapat
mempertahankan perkawinannya, maka dengan kasih sayang-Nya Allah membolehkan perceraian pada hamba-hamban-Nya dengan tidak mengekang atau menyulitkan mereka. Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk melalui perkawinan. Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman dimasudkan untuk mencapai 3
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Ctk. Pertama, Dina Utama Semarang (DIMAS), Semarang, 1993, hlm. 130.
5
kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat yang menjadi faktor penting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami dan isteri dalam satu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Di dalam Islam ikatan sebagai seorang suami atau pun isteri memang hanya berlangsung selama pernikahan tersebut terjadi. Namun hubungan orang tua dan anak tidak terputus sampai akhir hayatnya. Ibu tetap punya peran dalam pengasuhan dan pemeliharaannya, sedangkan ayah selain tetap bertanggung jawab secara moral sebagai orang tua juga punya kewajiban untuk terus menjamin kesejahteraan hidup anak-anak mereka sampai anak-anak tersebut cukup umur. Seorang ayah yang bertanggung jawab selalu memperhatikan nasib anaknya, walaupun telah terjadi perceraian. Dia tidak boleh melalaikan tugas dan kewajiban itu dalam memberikan bimbingan dan nafkah. Si ayah tidak boleh membiarkan anak itu menjadi beban si ibu. Jadi nafkah atau biaya hidup anak-anak tetap menjadi kewajiban suami, meskipun anak-anak tidak tinggal bersama ayahnya. Namun fenomena yang sering terjadi setelah perceraian, nafkah anak seringkali dilalaikan oleh si ayah. Seperti yang terjadi di lingkup Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 1993-1997, eksekusi nafkah anak dilaksanakan sebanyak enam kali, yang mana sebagian besar selesai pada tahap aanmaning
6
melalui kesepakatan kedua belah pihak 4. Apakah hal yang sama terjadi di lingkup Pengadilan Agama Sleman antara tahun 2004-2008. Hal ini mendorong penulis untuk meneliti tentang bagaimanakah pelaksanaan pembayaran nafkah anak di Kabupaten Sleman setelah adanya putusan Pengadilan Agama Sleman atas putusan mengenai pembayaran nafkah anak. Apakah pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dilaksanakan secara sukarela ataukah pembayaran nafkah itu baru dilaksanakan setelah adanya permohonan eksekusi putusan. Permasalahanpermasalahan tersebut mendorong penulis untuk menyusun skripsi dengan judul ”Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Anak Atas Putusan Pengadilan Agama Sleman (Studi Kasus di Kabupaten Sleman)”. B. RUMUSAN MASALAH Dengan latar belakang hal yang telah dikemukakan dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan pembayaran nafkah anak atas putusan Pengadilan Agama Sleman di kabupaten Sleman? 2. Apakah pelaksanaan pembayaran nafkah anak atas putusan Pengadilan Agama Sleman diselesaikan oleh pihak yang dihukum sesuai dengan amar putusannya? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan putusan Pengadilan Agama Sleman mengenai nafkah anak.
4
Deasy Caroline Moch. Dja’is, “Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan Agama”, Mimbar Hukum Nomor 42, Al Hikmah, Ditbinbapera Islam, Jakarta. 1999, hlm. 39.
7
2. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan terhadap putusan Pegadilan Agama Sleman mengenai nafkah anak, telah diselesaikan sesuai dengan bunyi amar putusan atau tidak. D. TINJAUAN PUSTAKA Perkawinan adalah paerjanjian suci membentuk keluarga antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan. Menurut Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 6 ayat (1) ditentukan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Hal ini dikarenakan agar tujuan suatu perkawinan itu tercapai, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Filsof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, sebagai berikut: 1. memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia; 2. memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan; 3. memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan; 4. membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang;
8
5. membutuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.5 Suatu perkawinan akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yang ditimbulkan dapat berupa hak dan pemenuhan kewajiban bagi masing-masing pihak. Hal ini diatur oleh Pasal 30 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 dalam KHI. Di dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 77 ayat (1) KHI berbunyi: “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Seorang suami pada dasarnya berkewajiban untuk memenuhi tiga kebutuhan pokok dalam rumah tangga, yakni sandang, pangan dan papan. Dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat (233) ditegaskan yang berbunyi:
... Artinya :
5
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Ctk. Pertama, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 27
9
anaknya dan seorang ayah karena anaknya…” Selain itu juga ditegaskan dalam Firman Allah SWT surat At-Thalaq ayat 6 dan 7 sebagai berikut:
. . Artinya :
“ Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
Ahmad Mustafa Al- Maragi dalam Kitab Tafsirnya Tafsir Al-Maragi mengemukakan bahwa seorang ibu yang mengandung demi seorang ayah (suami) dan menyusui bayi juga demi seorang ayah, menyebabkan wajib bagi seorang suami memberikan nafkah secukupnya kepada istrinya berupa sandang dan pangan, agar ia dapat melaksanakan kewajibannya dalam menjaga dan memelihara bayinya. Hendaklah nafkah yang diberikan diukur sesuai dengan keadaan istrinya dan sesuai pula dengan tingkat kebutuhan hidup pada tempat
10
dimana ia hidup. Jangan sekali-kali memberi nafkah yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dirasakan berat oleh istrinya dalam melaksanakan kewajibannya, karena tidak mencukupi. 6 Apabila suatu perkawinan memperoleh keturunan (anak), maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, tetapi juga menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri yang bersangkutan sebagai orang tua dan anak-anaknya.7 Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami isteri. Inilah yang sebenarnya dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terhadap hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah sesuatu jalan keluar yang baik.8 Suatu hubungan perkawinan dapat putus diakibatkan karena 3 hal: 1. Karena kematian, dengan meninggalnya salah satu pihak maka segala ikatan pekawinan dengan sendirinya lenyap; 2. Karena perceraian. Perceraian merupakan peristiwa pengakhiran ikatan antara suami dan isteri disebabkan ketidakmungkinannya mempertahankan keutuhan rumah tangga. Oleh karena perkawinan juga merupakan bentuk dari suatu perikatan, maka ketika perikatan itu berakhir timbul berbagai akibat hukum 6
Amhad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, Ctk. Kedua, CV. Toha Putra Semarang, Semarang, 1992, hlm .321. 7 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Ctk. Kedua, P.T. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 94. 8 Amir Syaifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Ctk. Kedua, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 190.
11
sebagaimana lazimnya suatu perikatan. Namun demikian, karena perkawinan merupakan bentuk perikatan yang bersifat sangat khusus berupa ikatan batiniah, maka pengaturannyapun tidak tunduk kepada ketentuan perikatan pada umumnya, melainkan diatur secara khusus dalam sebuah undang-undang terendiri yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya. 3. Atas putusan pengadilan (Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam) Walaupun dalam ajaran Islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi. Setiap ada sahabat yang datang kepadanya yang ingin bercerai dengan isterinya, Rasullullah selalu menunjukkan rasa tidak senangya seraya berkata: Abgadul halali ‘indallahi at-Talaq (hal yang halal tapi sangat dibenci oleh Allah adalah perceraian).9 Menurut Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Apabila alasan-alasan yang dikemukakan itu termasuk alasan-alasan yang memang diperbolehkan untuk terjadinya perceraian, dan setelah hakim tersebut berusaha mendamaikan dan tidak berhasil mendamaikan, maka hakim memutuskan adanya suatu perceraian.
9
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Ctk. Kedua, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 97.
12
Meskipun perkawinan telah bubar, baik ayah maupun ibu berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka hal ini semata-mata untuk kepentingan si anak, meskipun mungkin anak-anak itu ikut bersama ibunya, tetapi ayahnya bertanggung jawab sepenuhnya atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Kecuali bilamana ayah dalam keadaan kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
10
Seperti yang telah tercantum dalam Pasal 45
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka. Hal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan dilakukan secara terus menerus oleh kedua orang tuanya walaupun perkawinan diantara kedua orng tuanya telah putus. Jadi jelaslah bahwa memelihara dan mendidik anak adalah merupakan kewajiban orang tua berdua. Dan biaya pemeliharaan dan pendidikan dibebenkan kepada ayahnya. Undang-undang No.4 Tahun 1979 mengatur tentang tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak. Di mana dikatakan, pertama-tama yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak, adalah orang tua. Apabila orang tua lalai memenuhi nafkah anaknya, ia dapat di gugat ke pengadilan untuk membayar nafkah, di mana hal tersebut menjadi ruang lingkup kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama Islam. Berdasarkan penjelasan Pasal 10 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, lingkungan Peradilan Agama 10
Ibid. hlm 106.
13
adalah salah satu di antara lingkungan “peradailan khusus”. Lingkungan peradilan khusus ini hanya melaksanakan fungsi kewenangan mengadili perkara-perkara “tertentu” dan terhadap rakyat golongan “tertentu”. Jadi fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama ditentukan oleh dua faktor yang menjadi ciri keberadaannya. Pertama faktor “perkara tertentu” dan yang kedua faktor golongan “rakyat tertentu”. Tentang siapa yang dimaksud dengan golongan rakyat tertentu yang duduk sebagai subyek hukum kedalam kekuasaan mengadili lingkungan Peradilan Agama, telah ditegaskan dalam Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi: “Peradilan Agama adalah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Begitu juga yang digariskan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, berbunyi: “Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam…”. Dari bunyi rumusan di atas, salah satu asas sentral yang terdapat dalam UU No. 3 Tahun 2006 ialah asas “personalitas ke Islaman”. Sedangkan acuan menerapkan asas personalitas ke Islaman adalah sebagai berikut: 1. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam;
14
2. Atau hubungan hukum yang terjadi menurut hukum Islam, maka pihak-pihak tetap tunduk kepada kewenangan Peradilan Agama sekalipun pada saat terjadi sengketa salah satu pihak sudah beralih agama dari Islam ke agama lain. Dalam kasus yang seperti itu penyelesaian perkara tetap tunduk ke lingkungan Peradilan Agama, karena pada diri pihak-pihak masih tetap melekat asas personalitas ke Islaman. Kompetensi lingkungan Peradilan Agama hanya meliputi bidang perdata tertentu seperti yang tercantum dalam Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama . Menurut Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, jangkauan batas kewenangan
Peradilan
Agama
hanya
meliputi
perkara-perkara
perdata
perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah berdasar atas personialitas ke Islaman. Kewenangan mutlak ini disebut kompetensi absolut Peradilan Agama. Tujuan adanya penentuan batas kewenangan atau kompetensi setiap lingkungan peradilan agar terbina suatu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang tertib antar masing-masing lingkungan peradilan.11
E. METODE PENELITIAN 1. Objek Penelitian a. Pelaksanaan pembayaran nafkah anak atas putusan Pengadilan Agama Sleman di Kabupaten Sleman.
11
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Ctk. Pertama, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hlm. 93
15
b.
Pelaksanaan pembayaran nafkah anak atas putusan Pengadilan Agama Sleman diselesaikan oleh pihak yang dihukum sesuai dengan amar putusannya.
2. Subyek Penelitian a. Pihak yang mengajukan perceraian dan atau menuntut nafkah atas anak yang berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama Sleman. b. Hakim Pengadilan Agama Sleman yang pernah menangani perkara yang berhubungan dengan judul penelitian. 3. Metode Pengambilan Sampel Metode
yang
dipergunakan
adalah
metode
pengambilan
sampel
menggunakan teknik non random sampling, yaitu purposive sampling. Dimana tidak semua putusan diambil menjadi sampel. Hanya sampel yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ada dalam populasi yang dapat mewakili. Sampel yang diambil adalah sampel yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang kemudian dapat mengarah kepada subyek penelitian.
4. Sumber Data: a.
Data Primer
16
Data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian di lapangan yang berupa hasil wawancara. Data ini untuk menentukan bagaimanakah pelasaksanaan pembayaran nafkah bagi anak. b. Data Sekunder Data yang diperoleh dari buku-buku atau literatur dan perundangundangan yaitu berupa Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, serta sumber lainnya yang berkaitan dengan topik yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu berupa putusan Pengadilan Agama Sleman, buku-buku tentang pemberian nafkah maupun buku-buku lain yang berkaitan. Data ini digunakan untuk mendukung data primer. 5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Adalah tanya jawab langsung terhadap responden yang bersangkutan untuk memperoleh keterangan atau data
b. Studi Kepustakaan
17
Penelitian yang dilakukan dengan mempelajari buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan c. Studi Dokumen Penelitian dilakukan dengan mengkaji putusan-putusan pengadilan. 6. Pendekatan Penelitian Sudut pandang yang digunakan peneliti memahami dan mendekati objek penelitian adalah pendekatan dengan cara pendekatan yuridis-sosiologis, yakni dari sudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat. 7. Analisis Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskriptif dan dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu penganalisaan data untuk menggambarkan suatu masalah berikut jawaban atau pemecahannya dengan menggunakan uraian-uraian kalimat yang diperoleh dari data-data kualitatif yang telah disimpulkan.