Bab I:
Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Pada awal kemerdekaan, wacana ideologi atau orientasi nilai dasar yang akan menjadi pilihan sebagai pedoman arah perjalanan berbangsa, terus mewarnai perdebatan di kalangan elite politik negeri ini. Pada saat itu obsesi sebagai bangsa merdeka telah terwujud, kemudian para pendiri bangsa terus berusaha mencari nilai-nilai fondasional yang berpotensi menjadi pengikat identitas sebuah bangsa. Kondisi obyektif Indonesia yang plural ditilik dari faktor keyakinan, etnis, ras, dan kemudian orientasi politik yang penuh varian, membuat semakin sulit merumuskan basis ideologis yang mampu mengikat sebagai sebuah bangsa. Adalah Soekarno dan beberapa tokoh lain yang kemudian mencoba menawarkan sebuah ideologi yang dipandang mencakup dan sesuai dengan kondisi sosio-kultural serta politik bangsa Indonesia, yaitu yang dulu hingga sekarang dikenal dengan Pancasila. Sejak saat itu wacana (discourse) tentang Pancasila sebagai ideologi negara mengalami pasang surut mengikuti dinamika sistem politik yang berlaku di Indonesia. Ketika Soekarno berkuasa, dunia internasional diwarnai oleh tarik menarik ideologi yang sangat kuat, yaitu antara liberalisme-kapitalisme di satu pihak, dan sosialisme-komunisme di pihak lain. Situasi konfliktual itu juga mewarnai pertarungan ideologis di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai era maraknya politik aliran. Secara politik kekuatan politik di awal kemerdekaan terbagi ke dalam beberapa aliran ideologis, yaitu golongan nasionalis, Islam politik, sosialis, dan komunis. Varian 1
ideologis ini kemudian mewujud dalam kekuatan politik kepartaian, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berbasis nasionalisme, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Nahdlatul Ulama (NU) yang berbasis Islam, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang mengusung ideologi kiri. Melalui partai politik itu berbagai aliran ideologis tersebut berkontestasi merebut kekuasaan melalui Pemilihan Umum pada tahun 1955 yang diikuti oleh puluhan partai politik. Pemilu pertama kali itu menghasilkan empat kekuatan politik besar yang mencerminkan kekuatan politik aliran, secara berturut-turut adalah PNI, Partai Masyumi, NU, dan PKI. Berkait dengan ideologi mana yang akan menjadi pilihan utama untuk panduan arah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pada era pemerintahan Soekarno hanya diwarnai oleh tarik-menarik antara kekuatan Islam politik dan nasionalis. Sementara PKI kurang begitu antusias terhadap pembahasan Pancasila sebagai dasar negara. Tafsir PKI sebagaimana diungkapkan oleh DN Aidit, yang di era Bung Karno menjabat Wakil Ketua MPRS, menyebut Pancasila sangat objektif dan ilmiah. Sebab, Pancasila bertolak dari kenyataan atau realitas Indonesia. Ini sejalan dengan fikiran bung Karno, juga Bung Hatta, bahwa lima dasar dalam Pancasila sudah hidup dan mentradisi dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu. DN Aidit, yang di tahun 1960-an partainya makin merapat ke Bung Karno sebagai poros anti-imperialis, berusaha menangkap hal-hal yang melandasi kelahiran dan tujuan Pancasila itu. Materi kuliah Aidit di hadapan kader Front Nasional, “Revolusi Indonesia, Latar Belakang dan Hari Depannya”, menyimpulkan bahwa Pancasila Bung Karno berlandaskan pada lima hal: (1) bagi negara merdeka, artinya anti-kolonialisme; (2) bagi negara kebangsaan, artinya pemersatu seluruh kekuatan nasional; (3) anti terhadap sistem demokrasi borjuis; (4) 2
bercita-cita sosialisme, dan (5) mempersatukan rakyat dengan tidak membeda-bedakan kepercayaan agamanya.1 Jadi praktis dua kubu antara islamis dan nasionalis yang lebih tertarik dalam perdebatan tentang pilihan ideologi apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia. Kubu Islam politik menuntut agar Indonesia berdasarkan agama, yaitu Islam dengan pertimbangan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sementara kubu nasionalis dengan pertimbangan kondisi obyektif Indonesia yang plural, menawarkan Pancasila sebagai dasar negara. Sebegitu jauh, setelah melalui perdebatan panjang, terutama pada Sidang Konstituante, akhirnya tawaran kubu nasionalis yang diterima, dan dengan demikian Pancasila “diterima” sebagai dasar negara. Akan tetapi, sebagai sebuah kesepakatn politik, Pancasila belum dianggap selesai dan terus membuka perdebatan di antara kedua kubu tersebut. Oleh karena itu, bangsa Indonesia terus mengalami disorientasi, karena belum ada kesepakatan final tentang nilai dasar apa yang akan menjadi arah dan pedoman dalam kehidupan sosial politik dan kebudayaan. Adanya kesepakatan final ini untuk negara yang begitu plural seperti Indonesia menjadi penting karena bagaimanapun jika Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama tidak akan ada lagi kekuatan yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Atau paling tidak dorongan provinsi Aceh yang ingin merdeka, dan juga Papua, merupakan indikator
bahwa Indonesia selama ini belum memiliki
pegangan kuat untuk menuju arah yang jelas sebagai sebuah negara kesatuan. Kekuatan Islam politik terus menggelindingkan wacana ideologi Islam sebagai dasar negara, dan spirit untuk mewujudkan cita-cita negara Islam terus hidup laten. Meskipun dalam 1
http://www.berdikarionline.com/lipsus/20120531/pancasila-sebagai-ideologi-perjuangan-bangsaindonesia. Diakses tanggal 12 Juli 2013.
3
perkembangan selanjutnya kekuatan Islam politik terpecah-pecah, tetapi tetap gerakan yang menggelindingan wacana ideologi Islam terus berkembang sebagai wacana alternatif ideologi Pancasila. Dalam situasi seperti itu, perpolitikan Indonesia memasuki babak baru yang kemudian dikenal sebagai era Orde Baru, menyusul jatuhnya pemerintahan Soekarno. Melalui pergolakan politik yang dramatik dan membawa korban jiwa jutaan orang, terutama dari kubu pendukung ideologi komunis, lahirlah kemudian sistem politik yang sentralistik di bawah pimpinan Soeharto. Dengan dukungan Amerika Serikat, Soeharto tampil sebagai pemimpin kuat dan membawa Indonesia dalam situasi politik stabil, sehingga pembangunan ekonomi yang lebih kapitalistik semakin merasuk. Berbagai krisis ekonomi dan keuangan pasca pemerintahan Soekarno pelan tapi pasti berhasil diatasi oleh Soeharto dengan dukungan kekuatan kapitalisme internasional. Melalui kebijakan yang membuka bagi kekuatan kapitalisme internasional, maka aliran modal asing dari negara-negara industri Barat dan pro Barat semakin deras. Pertumbuhan ekonomi berhasil dipacu dengan cepat, dan berbagai pembangunan infrastruktur berlangsung dengan cepat. Obsesi untuk terus mempertahankan momentum pembangunan dengan titik berat sektor ekonomi, terus mendorong pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan politik yang tujuan utamanya adalah stabilitas nasional. Untuk itu pemerintah Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara, dan sekaligus menjadi instrumen kunci bagi jaminan stabilitas nasional, yang pada saat itu menjadi legitimasi demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Tafsir paham negara integralistik dan paradigma konsensus sangat populer terhadap kandungan nilai Pancasila. Bersamaan dengan itu, 4
wacana Pancasila sebagai ideologi sangat mendominasi dalam berbagai arena baik pada institusi pendidikan, birokrasi, organisasi profesi, organisasi keormasan, organisasi kepemudaan, dan bahkan organisasi keagamaan. Melalui lembaga bentukan pemerintah yang kemudian populer dengan sebutan BP7, wacana Pancasila terus menggelinding secara intensif dan masif ke berbagai bidang kehidupan. Penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau populer dengan sebuta P4 terus diselenggarakan sebagai proyek ideologi pemerintah yang mengharuskan seluruh organisasi politik kemasyarakatan, birokrasi, dan lembaga pendidikan mengikutinya. Pada periode ini, wacana Pancasila benar-benar mendominasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga Pancasila begitu populer di semua kalangan. Bersamaan dengan itu, wacana politik keagamaan sebagai sebuah alternatif mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara praktis surut di tengah pasangnya wacana ideologi Pancasila. Bahkan melalui penyebaran wacana ekstrim kanan oleh pemerintah, sebuah sebutan bagi kelompok Islam politik yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia, menyebabkan wacana keagamaan dalam politik kenegaraan benar-benar berada pada titik terendah. Kekuatan politik Islam praktis mengalami ketidakberdayaan, dan bahkan terus terpinggirkan dalam gegap-gempita politik pembangunan yang dikontrol oleh kekuatan militer. Semua forum komunikasi, termasuk forum komunikasi tradisional di perdesaan, digunakan secara efektif oleh pemerintah untuk menyebarluaskan wacana Pancasila. Berbagai media massa juga “diharuskan” mengangkat wacana Pancasila sebagai ideologi negara, dan demikian pula buku, leaflet, brosur, dan sejenis terus diproduksi berisi wacana Pancasila.
5
Pancasila perluasannya
sebagai
ketika
wacana
pemerintah
dominan Orde
mengalami
Baru
puncak
mengharuskan
intensitas
semua
dan
organisasi
kemasyarakatan dan organisasi politik kepartaian menggunakan Pancasila sebagai asasnya. Di sinilah kemudian ditetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap organisasi, tidak peduli apa yang menjadi paham dasar organisasi tersebut. Partai politik yang berpaham Islam pun, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, harus berasaskan Pancasila, dan bahkan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU juga diharuskan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Pancasila di masa Orde Baru merupakan ideologi yang sengaja didesain menjadi ideologi yang bersifat state-centered theory yang diterapkan dalam kerangka bagaimana agar masyarakat patuh dan tunduk. Negara dengan berbagai cara melakukan penaklukan tersebut yang berdampak pada tingkat kepatuhan yang sangat tinggi melalui apa yang disebut state apparatus.Terlepas dari Pancasila sebagai instrumen politik Orde Baru, tetapi pada fase ini wacana Pancasila benar-benar mendominasi atmosfir kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Fase ini wacana Pancasila mengalami pasang. Ketika berakhirnya era Orde Baru, terjadi perubahan sistem politik dari otoritarian ke sistem politik demokratik, Indonesia memasuki apa yang dikenal sebagai era reformasi. Dalam fase ini terjadi perubahan yang signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sangat jauh berbeda karakternya dari fase pemerintahan sebelumnya. Negara tidak tampil begitu perkasa seperti pada era Orde Baru, tetapi mengalami pelemahan terhadap berbagai kekuatan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan kata lain, negara tidak lagi memiliki otonomi relatif terhadap kekuatan di luar pemerintahan, termasuk media massa, sehingga kontrol negara sangat lemah dan bahkan tidak berdaya. Sebaliknya, kekuatan masyarakat semakin menguat, baik melalui organisasi maupun kekuatan sporadis yang terekspresi dalam berbagai bentuk aksi unjuk rasa. Tindakan 6
anarkisme massa pun sering terjadi, dan konflik antarsuku, antaragama, dan antargolongan terjadi secara susul-menyusul. Berbagai penjarahan terhadap aset negara seperti hutan dan sektor pertambangan oleh kekuatan sporadis massa sering terjadi. Simbol-simbol negara seperti kantor pemerintahan, kantor kepolisian, dan kantor legislatif sering menjadi sasaran amuk massa. Memang harus diakui bahwa dalam fase ini, berbagai kehidupan sosial politik terasa lebih demokratis, kebebasan berekspresi baik secara politik maupun kebudayaan terasa signifikan. Jika pada era Orde Baru pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap berbagai organisasi kemasyarakatan, parpol, dan ormas keagamaan, tetapi sekarang sudah relatif bebas. Seni-budaya dari berbagai etnis pun bebas melakukan kritik terhadap pemerintah, tidak lagi menjadi instrumen pemerintah untuk sosialisasi program pembangunan. Bahkan beberapa seni pertunjukkan yang di era Orde Baru dilarang, sekarang bebas berekspresi. Semua itu mengindikasikan langkah maju dalam upaya mendorong masyarakat demokratis. Akan tetapi adanya kebebasan berekspresi yang terjadi di mana-mana tanpa kontrol negara itu, terdapat pula yang memanfaatkannya secara kebablasan, termasuk di dalamnya ekspresi organisasi keagamaan sektarian. Dengan dalih penegakan moral, ormas-ormas keagamaan ini sering melakukan tindakan anarkis terhadap berbagai sasaran yang dianggapnya maksiat atau masuk dalam aliran sesat. Dalam kaitan dengan politik kenegaraan, kelompok-kelompok ini juga secara bebas mengekspresikan keinginannya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, LDII, NII, dan segenap Parpol Islam kembali mengangkat wacana Islam menjadi alternatif pengganti Pancasila sebagai dasar negara. Sementara itu, melalui Otonomi Daerah, beberapa pemerintah Kabupaten/Kota 7
menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Syariah sebagai dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan. Fakta lain memperlihatkan bahwa Pancasila mengalami penolakan khususnya dari kalangan yang menginginkan Islam sebagai ideologi negara. Hal ini dapat dilihat melalui upaya mempertentangkan agama (Islam) dan Pancasila; mengubah NKRI sebagai Negara Islam Indonesia; pemberlakuan kembali Piagam Jakarta seperti yang diwacanakan oleh partai-partai Islam menjelang pemilu 2009 lalu, pemberlakuan syariat Islam melalui Peraturan Daerah, tuntutan beberapa ormas non-politis terhadap penegakan Khilafah Islamiyah menggantikan negara Pancasila. Tak hanya sampai di situ saja, berbagai wacana gugatan mengenai pancasila dari aspek fungsinya juga terus bermunculan, salah satunya adalah upaya penarikan Pancasila sebagai ideologi yang dianggap belum membuahkan hasil. Bahkan, hingga saat ini konstruksi pemikiran yang komprehensif mengenai Pancasila belum pernah muncul (Ali, 2009: 87). Adanya tuntutan dari kelompok tertentu mengenai perubahan ideologi negara merupakan tanda dari adanya persoalan yang mendasar. Tuntutan tersebut tidak muncul begitu saja karena pada fakta sejarahnya terdapat indikasi yang mengarah kuat pada perwujudan ide tersebut. Kembali ke Piagam Jakarta merupakan isu sentral yang diusung oleh beberapa kelompok seperti partai politik Islam khususnya menjelang pemilu. Hal ini tidak terjadi secara terbuka di era Orde Baru yang dominasi partai politik beraliran nasionalis sangat kuat. Wujud nyata yang diinginkan oleh aspirasi ini adalah perubahan negara Indonesia menjadi negara Islam Indonesia melalui perubahan dasar negara dari Pancasila menjadi Islam sehingga Indonesia berwujud menjadi sebuah khilafah. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh
8
adanya upaya-upaya tersebut di atas, terhadap Pancasila adalah munculnya ideologi baru dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Pada era reformasi, wacana Pancasila benar-benar surut, sementara wacana keagamaan semakin menguat bahkan cenderung mendominasi. Di kalangan instansi pemerintah pun suara dan getaran Pancasila sangat lemah. Tidak ada lagi forum-forum diskusi yang mengangkat tema-tema dan topik-topik Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan tidak sedikit aparat birokrasi, terutama di kalangan muda, yang tidak hapal Pancasila. Beberapa produk perundangan yang menjadi payung hukum program pembangunan daerah seperti Perda misalnya, jarang sekali yang menjadikan Pancasila sebagai konsideran. Situasi yang sama juga terjadi dalam lembaga pendidikan yang antara lain berfungsi sebagai sosialisasi nilai. Sejak era reformasi, pelajaran Pancasila dihapus dan hanya masuk dalam sub pokok bahasan pelajaran Pendidikan Kewargaan. Bahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, tidak menyebut sama sekali Pancasila. Akibatnya, popularitas Pancasila di kalangan murid dan mahasiswa menjadi hilang kalah dengan wacana keagamaan. Survey Gerakan Nasionalis 2006/GMPI (Kompas 4 Maret 2008) tentang way of life Mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia (UI, IPB, UNPAD, UGM, UNAIR, UNIBRAW, ITB, UNHAS, UNAND, UNSRI, dan UNSIAH) ditunjukkan kecenderungan mahasiswa menjadikan syariah sebagai way of life mereka. Data yang diperoleh menunjukkan, 80% memilih syariah, 15 % nasionalis, dan hanya 5 % memilih Pancasila sebagai way of life mereka. Sedangkan, menurut Survey Pusat Kajian Islam dan Perdamaian yang dilakukan terhadap siswa dan guru agama Islam pada Sekolah Menengah Atas di Jakarta menunjukkan kecenderungan yang hampir sama di 9
mana sebanyak 76% memilih syariah, 17 % memilih funky’s, dan sebanyak 7 % memilih Pancasila. Hal yang berbeda terjadi di era Reformasi yaitu Pancasila mengalami pergeseran dari state-centered menjadi people-centered yang telah terjadinya banyak perubahan dan pergeseran mengenai posisi dan peran Pancasila itu sendiri. Lembaga-lembaga pada masa Orde Baru yang bertujuan untuk menguatkan posisi dan peran Pancasila ditolak dan bahkan dibubarkan di era Reformasi. Pergeseran dari model state-centered menjadi people-centered berdampak pada semakin menurunnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap Pancasila. Di sini pun terlihat bahwa telah terjadi sebuah proses delegitimasi terhadap Pancasila yang sejalan dengan liberalisasi yang semakin mengental. (Kompas, 31 Agustus 2010). Uraian di atas menunjukkan bahwa saat ini terjadi perubahan wacana dan paradigma mengenai keberadaan Pancasila. Pancasila telah dijadikan sebagai arena kontestasi dan negosiasi di berbagai kepentingan. Bahkan, terdapat pula upaya dengan berbagai cara meminggirkan Pancasila. Hal ini menjadikan posisi Pancasila bukan hanya merupakan sebuah fenomena kebangsaan yang harus direspons dengan bijak, tetapi juga merupakan persoalan akademik yang membutuhkan kajian
mendalam untuk
memahaminya secara lebih baik.
10
1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pasang-surut wacana Pancasila dalam kontestasi ideologi di kalangan kekuatan sosial politik pada era reformasi? 2. Bagaimana pewacanaan Pancasila sebagai ideologi negara mengalami proses ironisasi dalam praksis kehidupan sosial politik dan kebudayaan pada era reformasi? 3. Bagaimana ideologi keagamaan
meminggirkan wacana Pancasila sebagai
ideologi? negara?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami: 1. Proses-proses peminggiran, peniadaan, dan pembelaan terhadap Pancasila terjadi di era Reformasi, sehingga memberikan gambaran yang luas mengenai bagaimana kontestasi dan negosiasi terjadi terhadap Pancasila. 2. Terjadinya peminggiran dan peniadaan terhadap Pancasila merupakan akibat dari terjadinya perubahan yang secara global sehingga juga berdampak pada perubahan resposn terhadap Pancasila itu sendiri. Dengan demikian, penelitian ini berupaya memahami mengapa peminggiran dan peniadaan terhadap Pancasila terjadi khususnya di era Reformasi. 3. Dasar atau faktor yang menyebabkan terjadinya peminggiran, peniadaan, dan pembelaan terhadap Pancasila seiring dengan runtuhnya Orde Baru yang telah berkuasa selama kurang lebih tiga dekade. Melalui penelitian ini, setidaknya faktor yang melatarbelakangi hal tersebut teridentifikasi untuk kemudian dilakukan kajian lebih lanjut mengenai Pancasila.
11
Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat akademis. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap pengembangan kajian-kajian mengenai Pancasila dalam memperkaya wawasan keilmuan yang dapat berdampak pada pengembangan kajian mengenai Pancasila secara lebih meluas. Kajian mengenai Pancasila masih sangat menarik seiring dengan era reformasi yang mengusung keterbukaan. Kajian akademik mengenai Pancasila
terus dikembangkan mengingat
masih banyak generasi bangsa saat ini belum memahami secara komprehensif mengenai Pancasila. Temuan penelitian ini memberikan kontribusi teoretik bagi kajian ideologi, dan dapat digunakan sebagai referensi dalam upaya menjelaskan berbagai persoalan di seputar isu Pancasila.
Demikian pula, penelitian ini dapat menjadi landasan bagi
penelitian sejenis di masa mendatang yang akan dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. 2. Manfaat Praktis. Dengan penelitian ini diharapkan akan melahirkan sebuah model atau pola pemahaman baru mengenai Pancasila yang dapat dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan. Pancasila yang selama ini hanya dipelajari secara parsial, perlu dirumuskan agar bisa menjadi bahan pengetahuan bersama yang tidak hanya terbatas dipelajari di bangku pendidikan formal (sekolah), tetapi juga di lembaga-lembaga luar sekolah. Dengan demikian, penelitian ini dapat menjadi inspirasi bagi pemangku kebijakan untuk merumuskan kebijakan yang bersifat menyeluruh mengenai Pancasila yang lahir dari sebuah kajian yang bersifat akademis.
1.4. Kajian Pustaka Kajian mengenai Pancasila dari berbagai aspeknya telah dilakukan oleh beberapa ahli. Pancasila telah menjadi objek kajian penting yang tidak hanya dikaji di kalangan akademisi, tetapi juga praktisi dan kalangan masyarakat umum.
Sejak awal, posisi
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditempatkan pada posisi puncak 12
yang dijadikan sumber inspirasi dalam berbangsa dan bernegara. Di samping itu, berbagai kajian juga telah diarahkan pada bagaimana Pancasila menjadi jiwa bagi seluruh bangsa. Ia adalah ideologi bangsa yang mencakup nilai dan norma yang dianut sehingga tercapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal. Slamet Sutrisno (2006) dalam karyanya Filsafat dan Ideologi Pancasila menitikberatkan pembahasannya pada relevansi Pancasila khususnya setelah memasuki era Reformasi. Menurutnya, setelah memasuki era tersebut muncul beberapa aspirasi yang mempertanyakan keberadaan Pancasila, dalam hal ini kesesuaiannya dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai dasar filsafat dan ideologi bangsa Indonesia. Artinya, ia menduduki posisi yang sangat fundamental sehingga menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam karya ini juga ditemukan berbagai tema yang dibahas secara rinci mengenai hubungan-hubungan Pancasila dengan konteks perubahan saat ini seperti hubungannya dengan globalisasi dan eksistensi budaya tradisi dalam kaitannya dengan keberadaan Pancasila. Jadi, karya ini menekankan kajian pada dekonstruksi Pancasila di era Reformasi dan globalisasi yang telah menjadi bagian dari kehidupan dan sejarah bangsa Indonesia saat ini. Akan tetapi kupasan dan pembahasan buku tersebut kurang menggunakan perspektif kritis, sehingga relatif mudah masuk dalam diskusi yang lebih esensialistik. Nilai-nilai Pancasila dianggap tetap, baku, dan mapan, sehingga sering muncul kata-kata pelestarian nilai-nilai Pancasila. Lebih dari itu setiap kali membahas adanya kondisi buruk yang terjadi kehidupan sosial-politik,
argumennya senantiasa menyalahkan
orangnya yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. 13
P.J. Suwarno (2009) menempatkan Pancasila sebagai budaya bangsa Indonesia. Sebagai budaya, ia menjadi jiwa bangsa dalam berkehidupan. Untuk menjadikan Pancasila sebagai budaya, harus diketahui seluk-beluknya secara dalam. Lebih jauh dalam kajiannya dengan menggunakan perspektif sejarah, filsafat
dan sosio-yuridis
mengupas mengenai asal-usul, hakikat dan pengamalan Pancasila. Melalui perspektif sejarah, asal-usul dan hakikat Pancasila dijawabnya dengan mudah di saat Pancasila dalam perjalanannya terus mengalami perdebatan dan penyempurnaan hingga seperti sekarang ini. Untuk memahami hal tersebut, menurut Suwarno, perlu mengikuti proses terjadinya, yaitu proses faktual yang menghasilkan rumusan, sedangkan proses rasionalnya menghasilkan kategori-kategori filsafat. Mengenai proses faktual Pancasila, dimulainya dengan melihat kembali perkembangan pada zaman Kutai hingga Majapahit yang disebutnya sebagai zaman dimulainya pertumbuhan budaya Indonesia (400-1500). Pada zaman Mataram hingga kompeni Belanda disebutnya sebagai zaman identifikasi nilai-nilai budaya Indonesia (1500-1800). Sementara itu, pada tahun 1800-1942 disebutnya sebagai zaman idealisasi nilai-nilai budaya Indonesia yakni idealisasi perumusan hingga memasuki kemerdekaan. Menurutnya, untuk menemukan jawaban terhadap kedua proses tersebut dibutuhkan pendekatan sejarah dan filsafat. Penekanan buku ini terletak pada pendekatan yang digunakan yakni multidisiplin sehingga dimungkinkan adanya kesempatan untuk mengembangkan Pancasila ke arah yang lebih luas melalui berbagai kajian dengan perspektif yang beragam. Melalui pendekatan tersebut, transformasi yang terjadi terhadap Pancasila menjadi norma hukum dan norma hidup sehari-hari dalam bernegara,
14
berbangsa dan bermasyarakat dapat ditemukan. Dengan demikian, proses yang mengiringi Pancasila ditemukan dalam diskusi buku ini. Aspek lain mengenai Pancasila seperti bentuk negara yang menjadi jalan kemaslahatan berbangsa juga telah dikaji oleh As’ad Said Ali (2009) dalam bukunya yang berjudul: Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Dalam buku tersebut, dikaji secara mendalam mengenai pengalaman-pengalaman Pancasila termasuk seruan untuk dilakukannya revitalisasi. Revitalisasi Pancasila mencerminkan kegairahan untuk mencari kontekstualisasi prinsip-prinsip dasar kebangsaan dan kenegaraan. Alasan yang mendasari upaya tersebut, menurut Ali, adalah absennya wacana Pancasila selama Reformasi. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan mengingat Pancasila merupakan dasar ideologi bangsa yang tidak boleh terabaikan. Adanya upaya untuk melakukan ‘perombakan’ terhadap konstitusi tidak diiringi oleh upaya mendiskusikan semangat Pancasila sebagai dasar merupakan kekhawatiran Ali sehingga diperlukan melakukan berbagai upaya untuk lebih meneguhkan keberadaan dan posisi Pancasila khususnya di era Reformasi. Dalam buku ini juga disajikan mengenai sejarah awal terumuskannya Pancasila hingga perjalannya melalui Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), Orde Baru di era Soeharto, hingga zaman Reformasi saat ini. Selain itu, sajian buku ini juga berusaha menyakinkan terhadap pentingnya bahkan semakin penting dan dibutuhkannya Pancasila saat ini. Yang tak kalah penting, dalam buku ini ditemukan definisi yang tidak hanya terbatas pada Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, tetapi juga kaitan Pancasila dengan agama termasuk penjelasan lebih lanjut mengenai sila-silanya sehingga dapat ditemukan pemahaman yang lebih luas mengenai Pancasila. Singkatnya, buku ini tidak 15
hanya berupaya mengembalikan “citra Pancasila”, tetapi juga berupaya membuktikan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa yang dihadapkan pada ragam tantangan dan ancaman seperti disintegrasi. Irwan Abdullah (2010) dalam salah satu karyanya yang berjudul Berpihak pada Manusia: Paradigma Nasional Pembangunan Indonesia Baru, juga telahmemberikan perhatian khusus terhadap pembudayaan Pancasila. Pendekatan konstruktivisme ala Peter L. Berger yang digunakan menunjukkan bahwa melalui tiga tahapan proses yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, Pancasila telah dikonstruksi dan mengalami perkembangan pemahaman dan penerimaan. Pembudayaan Pancasila, menurutnya, dapat dilakukan melalui tahapan berikut. Pada tahapan eksternalisasi, Pancasila diperkenalkan yang pada dasarnya berisikan seperangkat nilai-nilai moral meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Sebagai sumber nilai, Pancasila
kemudian menjadi “peraturan normatif” masyarakat dan diusahakan menjadi “konsensus bersama”. Dalam hal ini, Pancasila telah mengalami pelembagaan sehingga ia menjadi milik bersama. Pada tahap selanjutnya, Pancasila setelah mengalami proses pelembagaan harus dijaga keberlangsungannya sehingga ia tetap menjadi landasan ideologis bangsa. Noor Ms Bakry (2010) dalam buku yang berjudul Pendidikan Pancasila, mendiskusikan mengenai penghayatan terhadap Pancasila dalam hubungannya dengan kedudukan dan fungsinya. Pancasila pada hakikatnya dibedakan menjadi dua kelompok penghayatan dalam kehidupan, yaitu secara material dan formal. Secara material, Pancasila adalah filsafat hidup yang dapat dihayati sebagai jiwa, kepribadian, sarana tujuan hidup, pandangan hidup dan pedoman hidup bangsa. Secara formal, Pancasila adalah dasar filsafat negara, yaitu sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia 16
dan juga sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia dalam bernegara. Penghayatan ini juga, menurut Bakry, menunjukkan bahwa fungsi dan kedudukan Pancasila memiliki penekanan masing-masing. Dalam diskusinya, Bakry menunjukkan adanya perhatian yang proporsional terhadap pentingnya memposisikan Pancasila sesuai dengan kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan di Indonesia. (Bakri, 2011) Yudi Latif (2011) juga merespons berbagai keraguan masyarakat mengenai arah pembangunan negeri ini ke depan. Dalam karyanya yang berjudul Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, ia mengupas mengenai sejarah, rasionalitas, dan aktualitas setiap butir Pancasila sehingga menjadi dasar konstitusi negara. Dengan mengaktualisasikan butir-butir Pancasila yang mengedepankan semangat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan berarti Indonesia telah memberikan landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang kokoh untuk menentukan arah bangsa Indonesia selanjutnya. Artinya, visi kebangsaan sangat jelas dan visioner dengan mengacu pada bagaimana mengamalkan Pancasila yang sangat kaya terhadap nilai-nilai luhur yang juga sangat sesuai dengan tuntutan zaman. Melalui karya ini, Latif bermaksud melakukan rekonstruksi alam pemikiran terhadap Pancasila seputar isu sejarah, rasionalitas, dan aktualisasinya. Dengan demikian, dengan meyakini, memahami, dan mengamalkan dengan teguh dan konsisten, maka bangsa Indonesia dapat mendekati perwujudan Negara Paripurna. Uraian di atas memberikan gambaran yang cukup komprehensif mengenai Pancasila. Terdapat tiga kecendrungan dalam mengkaji Pancasila menurut diskusi para ahli tersebut. Pertama, melihat relevansi Pancasila khususnya di era Reformasi. Pancasila dalam diskusi ini dilihat secara cermat mengenai apakah ia masih relevan atau justru sebaliknya. Pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila merupakan salah satu indikator untuk 17
menjawab persoalan tersebut. Kedua, Pancasila dilihat sebagai budaya. Artinya, Pancasila merupakan jati diri yang harus melebur dalam diri dan kelompok. Terkait dengan hal ini, Irwan Abdullah menawarkan tiga proses (eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi) terhadap pembudayaan Pancasila. Ketiga, melihat Pancasila dari aspek fungsi sehingga ia membutuhkan upaya revitalisasi agar tetap menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia. Ketiga kecenderungan tersebut membuktikan bahwa Pancasila hingga saat ini masih sangat dibutuhkan khususnya dalam pengamalannya dalam kehidupan yang lebih mikro (bermasyarakat) dan pada tataran yang lebih makro (berbangsa dan bernegara). Keempat, melihat Pancasila dari proses sejarah hingga aktualisasi dan berujung pada dijadikannya sebagai dasar konstitusi negara
yang memungkinkan arah pembangunan bangsa
tergambar dengan jelas dan visioner. Diskusi tersebut juga memperlihatkan bahwa Pancasila dalam sejarahnya selalu ramai dibicarakan karena memang sangat terkait dengan posisinya sebagai sumber (hukum), dasar ideologi dan falsafah hidup bangsa. Hanya saja, diskusi-diskusi tersebut tidak banyak menyentuh salah satu persoalan mengenai keberadaan Pancasila, yaitu keberlangsungan atau masa depannya. Dengan demikian, studi ini hendak membangun kembali pemikiran dan sikap tentang bagaimana Pancasila dipahami dan diamalkan ke depan, sehingga ia tetap diposisikan sebagai sumber rujukan utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai amanat para pendiri bangsa. Proses lebih lanjut dari upaya seperti itu adalah memberikan kontribusi bagi upaya meningkatkan produksi wacana Pancasila, tidak saja dalam kehidupan sosial politik, tetapi juga dalam kajian akademik. Pertimbangan lain adalah bahwa Pancasila saat ini pun banyak mendapat penolakan yang sangat berpotensi menjadi ancaman terhadap keberlangsungannya di masa mendatang. Oleh karena itu, studi akan difokuskan pada mengapa 18
penolakan terhadap Pancasila terjadi khususnya pada era Reformasi termasuk juga faktor yang mendasari adanya penolakan tersebut yang juga berdampak pada bagaimana perkembangan Pancasila ke depan. 1.5. Kerangka Teori 1.5.1 Konsep idelogi Sudah lama persoalan ideologi menjadi perhatian utama dalam kajian ilmu sosial. Perhatian itu semakin besar ketika berbagai paham besar, seperti kapitalisme, sosialisme, dan komunisme mendominasi aktivitas dunia. Sejak munculnya era pencerahan, yang merupakan respons kritis atas era sebelumnya, yaitu dominasi ideologi agama, peradaban manusia berkembang sangat cepat dengan basis ilmu pengetahaun dan teknologi. Berbagai temuan mendasar saling susul menyusul, berkat perubahan paradigma berpikir seperti positivisme dan empirisme. Mulai dari ditemukannya bahwa bumi ternyata bulat, hukum grativasi bumi, energi uap, listrik, dan kemudian relativisme, peradaban manusia berkembang semakin kompleks. Moda produksi pun kemudian berubah dari yang tadinya feodalisme sebagaimana ada dalam masyarakat agraris, kemudian berubah menjadi kapitalisme menyusul munculnya masyarakat industrial. Di sinilah kemudian ideologi menjadi penting dan terbukti menjadi daya gerak yang mengontrol tindakan orang baik secara individu maupun kelompok. Adalah Karl Marx, orang yang cukup gelisah terhadap makin kuatnya pengaruh kapitalisme bagi proses produksi yang dianggapnya dehumanistik. Karena itu ia mulai menganalisis tentang ideologi dalam kaitannya dengan kapitalisme. Perhatian Marx terhadap konsep ideologi berakar pada kegagalan revolusi proletar dan ketidakmampuan materialisme historis dalam kaitannya dengan pertanyaan 19
subjektivitas, makna dan politik kultural. Sederhananya, perhatian untuk membahas ideologi dimulai sebagai suatu eskplorasi atas pertanyaa mengapa kapitalisme, yang diyakini sebagai suatu sistem eksploitatif dalam relasi sosial dan ekonomi, tidak dapat diruntuhkan oleh revolusi kelas pekerja. Apakah kegagalan revolusi proletar serta-merta menjadi kegagalan kaum proletar dalam memahami secara terpat dunia tempat mereka hidup? Apakah kelas pekerja menderita “kesadaran palsu”, yang merupakan suatu pandangan-dunia berjuis yang salah yang mengabdi kepada kelas kapitalis? (Barker, 2000: 58). Ada dua aspek dalam tulisan Marx yang dapat dijadikan landasan untuk menelusuri pemikiran-pemikiran yang fokus pada pembahasan “kesadaran palsu. Pertama, Marx (1961; Marx dan Engels, 1970) berpendapat bahwa ide-ide yang dominan dalam masyarakat adalah ide kelas berkuasa. Kedua, dia menyatakan bahwa apa yang kita persepsi sebagai karakter sejati relasi sosial di dalam kapitalisme sebenarnya adalah mistifikasi pasar. jadi, kita menerima gagasan bahwa kita bebas menjual tenaga kita, dan bahwa kita mendapatkan harga yang pantas untuk itu, karena inilah cara dunia sosial tampil di hadapan kita. Namun, Marx berpendapat bahwa kepitalisme melibatkan eksploitasi pada level produksi melalui pemerasan (ekstraksi) nilai-surplus dari kelas proletar. Walhasil, permukaan relasi egaliter pasar menutupi struktur eksploitasi yang ada di dalam (Barker, 2000: 58). Dalam katannya dengan materialisme, Marx menggunakan istilah ideologi untuk merujuk kepada sistem-sistem aturan ide-ide yang sekali lagi berusha menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi yang berada di pusat sistem kapitalis. Pada kebanyakan kasus, mereka melakukan hal ini dengan salah satu dari tiga cara berikut: (1) mereka 20
menghadirkan suatu sistem ide –sistem agama, filsafat, literature, hukum- yang menjadikan
kontradiksi-kontradiksi
pengalaman-pengalaman
tersebut
tampak yang
koheran;
(2)
mengungkapkan
mereka
menjelaskan
kontradiksi-kontradiksi,
biasanya sebagai problem personal atau keanehan-keanehan individual; atau (3) mereka menghadirkan kontradiksi kapitalis sebagai yang benar-benar menjadi suatu kontradiksi pada hakikat manusia dan oleh karena itu satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh perusahaan sosial (Ritzer, 2004: 71). Sementara itu Althusser, yang merupakan seorang Marxis, mengartikan ideologi sebagai sistem (dengan logika dan kaidahnya sendiri) representasi (citra, mitos, gagasan atau konsep) dipahami sebagai praktik yang dijalani dan mentransformasikan dunia materi. Ada empat aspek dalam karya Althusser yang menjadi inti pandangannya tentang ideologi: 1) ideologi memiliki fungsi umum untuk membentuk subyek; 2) ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu; 3) ideologi sebgai pemahaman yang keliru tentng kondisi nyata eksistensi adalah palsu; dan 4) ideologi terlibat dalam reproduksi formasi-formasi sosial dan relasi mereka terhadap kekuasaan. Dalam bukunya yang berjudul Ideology
and the Ideological State Apparatuses, berpendapat bahwa
ideologi menguji dan mempertanyakan individu sebagai subyek konkret. Ideologi berfungsi untuk membentuk individu konkret sebagai subyek. Argumen ini adalah bagian dari antihumaniseme Althusser di mana subheik dilihat bukan sebagai agen yang membentuk dirinya sendiri, melainkan sebagai ‘efek’ dari struktur. Dalam hal ini, hasil kerja ideologilah yang mewujudkan sunyek karena tidak ada praktik melainkan oleh dan di dalam ideologi. Singkatnya, diskursus ideologi mengonstruksi posisi subyek atau tempat subyek berpijak ketika dia memahami dunia (Barker, 2000: 60). 21
Sebagai contoh, kelas bukanlah fakta ekonomi obyektif melainkan posisi subyek kolektif yang terbentuk secara diskursif. Ideologi bagi Althusser memiliki dua ujung. Di satu sisi merupakan kondisi nyata kehidupan manusia, yaitu meliputi pandangan-dunia yang menjadi landasan orang untuk hidup dan menyelami dunia ini. Dalam hal itu, ideologi tidak palsu karena membentuk kategori dan sistem representasi yang membuat kelompok sosial dapat memahami dunia ini. Ideologi adalah pengalaman yang dijalani. Di sisi lain, ideologi juga dipahami sebgai seperangkat makna rumit yang menjelaskan dunia (suatu diskursus ideologi) dengan cara melakukan misrecognize (salah mengenali) dan misrepresent (salah merepresentasikan) kekuasaan dan relasi kelas. Ideologi dikatakan merepresentasikan hubungan imajiner individu dengan kondisi eksistensi nyata mereka. Jadi, jika saya mengubah relasi eksploitasi kelas di dalam kapitalisme dengan hubungan antarmanusia yang bebas dan setara, maka saya terikat dan menjadi subyek ilusi ideologi. Di mana letak ideologi itu? Menurut Althusser ideologi ada dalam suatu apparatus dan praktik yang menyertainya; walhasil, dia terus menjadikan seperangkat institusi, terutama keluarga, sistem pendidikan, gereja dan media massa, sebagai ‘aparatus negara ideologis (ideological state apparatuses) atau yang populer dengan singkatan ISAs. Kendati dia memandang gereja sebagai ISA prakapitalis yang dominan, dia berpendapat bahwa di dalam konteks kapitalisme, gereja telah digantikan oleh sistem pendidikan, yang berimplikasi pada reproduksi ideologis (dan fisik) tenaga kerja dan relasi produksi secara sosial. ideologi, katanya, merupakan sarana yang jauh lebih efeketif bagi peneguh kekuasaan kelas ketimbang kekuatan fisik (dalam Barker, 2000: 63). Pandangan Althusserian ini cukup memiliki pengaruh dalam Cultural Studies, terutama dalam perdebatan soal ideologi. Lebih jauh, pemikiran Althusserian tentang formasi sosial sebagai suatu struktur kompleks dari posisi-posisi yang saling terkait 22
namun relatif otonom dapat dilihat dalam karya Stuart Hall, Ernesto Laclau, dan Chantal Mouffe. Akan tetapi, Althusserian dalam Cultural Studies tetap dilihat secara kritis dan dalam beberapa hal dianggap memiliki kekurangan, terutama menempatkan ISAs dalam posisi yang begitu menentukan. Beroperasinya ISAs dianggap terlalu fungsionalis, sehingga ideologi tampak berfungsi di belakang punggung masyarakat atau mengontrol tindakan, tanpa memberi peluang adanya agen. Cara pandang Althusserian ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana posisi Pancasila sebagai ideologi negara. Pada masa Orde Baru hingga sekarang pun, masih banyak wacana dalam perdebatan dan pemahaman tentang Pancasila yang mengikuti formulasi ideologi Althusserian tersebut. Sebagai rumusan yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara yang harus mementukan dalam setiap tindakan individu maupun kelompok. Dalam bahasa Orde Baru Pancasila harus menjadi faktor menentukan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Proyek ideologisasi Pancasila oleh negara, seperti melalui P4 merupakan contoh penting cara memahami ideologi seperti pandangan Althusserian tersebut. Pancasila sebagai ideologi di sini berperan sebagai referensi bagi pembentukan identitas baru sebagai warganegara. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan kategori baru yang mengatasi batasan-batasan berdasarkan agama tertentu. Kemanusiaan menunjuk pada nilai universal. Kedua, prinsip ini mencerminkan peralihan dari lingkup yang partikularistik kepada yang universalistik, sebagai gejala modernisasi. Prinsip persatuan Indonesia menunjuk kepada referensi kelompok yang baru dan ikatan yang baru. Sedangkan kerakyatan dan keadilan sosial merupakan prinsip yang dituntut dari status baru sebagai warganegara yang sama.
23
Pengaruh Althusserian itu juga tampak bagaimana memahami Pancasila sebagai ideologi.
Dengan
mengutip
dari
Thomson,
Sastrapratedja
(1991)
misalnya
mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam ideologi terkandung beberapa unsur, pertama, adanya suatu penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan. Pancasila ditempatkan secara keseluruhan konteks Pembukaan UUD 1945 menunjukkan adanya interpretasi terhadap sejarah bangsa Indonesia di masa lalu serta bagaimana seharusnya sejarah itu kita bentuk di masa depan. Kedua, setiap ideologi memuat seperangkat nilai-nilai atau suatu preskripsi moral. Pancasila dengan jelas merupakan seperangkat nilai dan atas dasar nilai itu masyarakat ingin ditata. Ideologi secara implisit memuat penolakan terhadap sistem lainnya. Ketiga, ideologi memuat orientasi pada tindakan, ideologi merupakan suatu pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya. Pemahaman terhadap kenyataan tidak hanya bertujuan untuk memberi informasi dan menjelaskan, tetapi agar sesuatu dikerjakan, yaitu mentransformasikan dunia. Oleh karena itu dpat dikatakan ideologi memuat suatu interpretasi, etika dan retorika. Dikatakan ideologi sebagai retorika, karena merupakan pernyataan tentang sesuatu kepada seseorang, sehingga ia tidak hanya beridir dan diam saja, tetapi “berbuat” sesuatu (Sastraprateja, 1991: 142). Tampak jelas pada pemahaman seperti itu menempatkan bahwa ideologi adalah faktor menentukan. Bahkan gambaran sejarah masa depan sudah harus dikontrol oleh seperangkat nilai yang diyakininya benar, sehingga jika ada nilai baru atau nilai lain yang muncul dalam perjalanan perubahan sosial, tidak dimungkinkan adanya. Di sini, kemudian mengkondisikan adanya kekuatan daya gerak dari sebuah ideologi, dan tentu memiliki penafsir yang berangkat dari prinsip universalistik. Partikularistik adalah ancaman, karena itu tidak bisa dibiarkan tumbuh atas tafsir lain yang berbeda dari tafsir 24
pihak yang umumnya sedang berkuasa. Oleh karena itu pula pada era Orde Baru Pancasila lebih banyak tafsir dari kelompok penguasa, dan sebagai ideologi dalam bahasa Orde Baru harus dipahami secara utuh. Jadi tafsir model ISAs terhadap Pancasila merupakan sumber utama wacana tentang Pancasila yang tidak boleh ada perbedaan tafsir. Karena itu, Pancasila dalam periode itu sesungguhnya menjadi ideologi yang tertutup.
1.5.2. Ideologi Gramscian versus Kontemporer Satu pemahaman yang relevan terhadap ideologi dalam perspektif Cultural Studies, datang dari Gramsci. Dalam analisis Gramcian, ideologi dipahami sebagai ide, makna, dan praktik yang, kendatai mengklaim sebagai kebenaran universal, merupakan peta makna yang sebenarnya menopang kekuasaan kelompok sosial tertentu. Di atas itu semua, ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun ia adalah fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntutan moral yang sepadan dengan agama yang secara sekuler dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan norma tindakan terkait (Gramsci, 1971: 349). Suatu blok hegemonik tidak pernah terdiri dari kategori sosio-ekonomi tunggal, namun dibentuk melalui serangkaian aliansi di mana suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin. Ideologi memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini (awalnya dikonsepsikan dalam terminologi kelas) menanggalkan kepentingan sempit usaha-ekonomi dan mengutamakan kepentingan ‘nasionalis-populer’. Jadi satu kesatuan sosio-kultural’ diperoleh melalui aneka ragam kehendak, yang tujuan heterogennya
25
secara bersama-sama dimasukkan ke dalam suatu tujuan tunggal, sebagai basis suatu konsepsi tentang dunia yang adil dan alamiah (Gramsci, 1971: 349). Salah satu konsep kunci yang ditawarkan Gramsci adalah apa yang populer sebagai hegemoni. Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai proses berkelanjutan pembentukan dan penggulingan keseimbangan yang tidak stabil…antara kepentingan kelompok-kelompok dominan dan kepentingan kelompok subordinat…keseimbangan di mana kepentingan kelompok dominan hadir, namun hanya pada batas-batas tertentu (Gramsci, 1968: 182). Hegemoni dapat dipahami dalam konteks strategi di mana pandangan dunia dan kekuasaan kelompok sosial panutan (apakah mereka berupa kelas, seks, etnik atau nasionalitas) dipelihara. Selanjutnya Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Ia mempertentangkan antara hegemoni dengan koersi (paksaan) yang dijalankan oleh kekuasaan legislative atau eksekutif atau juga polisi. Jadi hegemoni lebih menunjuka pada proses penundukan terhadap kelompok secara sistematis, sehingga yang menjadi sasaran tersebut tidak sadar kalau dikuasai atau dikontrol. Di sini yang menjadi sasaran kontrol adalah kesadarannya, karena itu yang dipengaruhi oleh sebuah ideologi misalnya, akan merayakan ketundukannya itu. Antonio Gramsci,bicara tentang teori hubungan kekuasaan/hegemoni negara, sistem kekuasaan dengan menggunakan ideologi untuk mendominasi politik. Jika dikaitkan pada masa kini, pengertian hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara. Dalam politik internasional dapat dilihat ketika adanya perang pengaruh pada perang dingin 26
antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet yang biasanya disebut sebagai perang untuk menjadi kekuatan hegemonik dunia.2 Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral. Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya sampai kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi. Dengan demikian mekanisme penguasaan terhadap masyarakat berlangsung secara dominatif dan hegemonik, suatu penindasan itu terasa begitu halus, sehingga kelompok yang dikuasai tidak menolak, tetapi justru menyetujuinya. Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi dengan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah, sehingga secara sadar mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Pengaruh Gramscian ini cukup mewarnai dalam Cultural Studies, terutama ketika menjelaskan tema-tema dan topik keterpinggiran sebuah entitas budaya. Namun demikian 2 Dalam http://liarkanpikir.wordpress.com/BACKUP/data/KULIAH/tugas2/bowo.doc-_ftn1., diakses tanggal, 24 April 2011. 27
konsepsi tentang ideologi Marxian cukup mendapat kritik dari berbagai pihak yang melihat bahwa dominasi kebudayaan tidaklah mutlak. Artinya, jika kaum Gramsian atau neomarxian lainnya memandang bahwa kebudayaan memiliki pusat dominan baik dalam produksi maupun pemaknaannya, maka muncul kritik atas itu yang berpandangan sebaliknya. Collins (1989) misalnya, menolak istilah hegemoni yang senantiasa mengandaikan adanya kelompok dominan, tetapi ia menekankan bahwa kebudayaan pada prinsipnya juga bersifat heterogen baik dari segi jenis teks yang dihasilkan maupun makna yang bersaing di dalam teks. Begitulah, versi Marxis ideologi membatasi pemakaiannya pada ide-ide yang diasosasikan dengan, dan guna melanggengkan kekuasaan, kelas dominan. Belakangan, versi yang diperluas dari konsep ini menambahkan pertanyaan tentang gender, etnisitas, umur, dan lain-lain ke dalam kelas. Argumen Giddens bahwa ideologi harus dipahami dalam hal bagaimana struktur signifikasi dimobilisasi untuk mengesahkan kepentingan sepihak kelompok hegemonic (Giddens, 1979: 6) adalah definisi kontemporer ideologi yang mengikuti pandangan ini. Dengan kata lain, ideologi mengacu pada bagaimana makna digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan kelompok berkuasa yang mencakup banyak kelas, juga kelompok sosial yang didasarkan atas ras, gender, umur, dan lain-lain. Jadi, kalau versi Althusser dan Gramscian serta lainnya melihat ideologi sebagai suatu yang menjustifikasi tindkan kelompok dominan, maka versi Giddens tetap mengacu pada ide yang berkuasa, tetapi sesuatu yang menjustifikasi pada semua kelompok masyarakat. Dengan kata lain, kelompok pinggiran dan kelompok subordinat pun memiliki ideologi dalam hal pengorganisasian dan justifikasi ide tentang diri mereka sendiri dan dunianya. Jadi di sini, mengandaikan adanya agen yang meskipun tidak 28
berdaya, tetap memiliki potensi untuk bersikap aktif terhadap beroperasinya ideologi arus utama. Sebuah negosiasi, atau perlawanan tetap hidup laten pada setiap kelompok, selemah apa pun kelompok itu. Berbagai rumusan tentang ideologi yang lebih dinamis itu misalnya tergambar dari perumusan yang lebih kontemporer. Misalnya James Lull (1997)
mengatakan,
dalam pengertiannya yang lebih umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, kelengkapan nilai-nilai, orientasi, dan kecenderungan yang membentuk perspektif ideasional yang diungkapkan melalui teknologi media dan komunikasi interpersonal. Ideologi kadang mungkin kadang tidak didasarkan pada sejarah atau secara empirik merupakan fakta yang teruji. Mereka bisa menjadi terorganisir secara ketat tapi bisa juga bersifat longgar. Satu ideologi adakalanya kompleks dan terintegrasi dengan baik; tetapi yang lain ada juga yang bersifat fragmentatif. Suatu ideologi kadang ada yang berumur pendek, tetapi ada juga yang berlaku terus-menerus. Ada juga ideologi
begitu
diberlakukan langsung ditolak oleh khalayak, tetapi ada juga yang begitu sukses dianut dan dibela oleh penganutnya. Ideologi adalah ungkapan yang pas untuk menggambarkan nilai-nilai dan agenda publik dari suatu bangsa, kelompok agama, calon politisi dan gerakan-gerakan sosial politik, organisasi bisnis, sekolah, kesatuan buruh, bahkan tim olahraga profesional dan group band musik rock. Tetapi istilah ideologi lebih sering merujuk pada hubungan antara informasi dan kekuatan sosial dalam skala besar, yang berkaitan dengan konteks ekonomi-politik. Raymond Williams (1981) menyebut ideologi sebagai seperangkat ide yang berasal dari seperangkat kepentingan material, atau lebih luas, dari kelompok atau kelas tertentu.Sedangkan Stuart Hall (1972) berpendapat bahwa ideologi tidak hanya 29
merupakan otoritas ekonomi, tetapi membentuk dan mempertahankan pembagian kelas sosial di Kerajaan Inggris dan masyarakat kapitalis lainnya.
1.5.3. Pancasila sebagai Ideologi Pancasila sebagai ideologi berfungsi memberikan pedoman bagi arah perjalanan bangsa menuju masyarakat kewargaan. Sebagai sebuah pedoman, Pancasila tidak berarti tampil sebagai ideologi tertutup, melainkan menyodorkan diri sebagai ideologi terbuka agar mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Prinsip ini berkesesuaian dengan karakter masyarakat kewargaan yang menempatkan individu maupun kelompok sebagai warga negara yang aktif memberikan tafsir kepada rumusan ideologi. Kewarganegaraan (citizenship) mengandung kesamaan manusia yang berasal dari keanggotaannya dalam komunitas politik nasional dan diwujudkan dalam hak-hak yang sama yang dimiliki oleh semua warganegara. Warganegara berperan dalam masukan (partisipasi) dan keluaran (distribusi) fungsi-fungsi pemerintahan. Pengutamaan dari yang universalistik terhadap yang partikularistik dalam hubungan pemerintahan dengan warga negara sangat penting bagi perwujudan hak-hak warganegara tersebut. Secara yuridik ini dirumuskan sebagai kesamaan warganegara di hadapan hukum (equality before the law). Demikian juga pengutamaan alokasi peranan politik dan birokratis atas dasar prestasi dan bukan atas dasar norma-norma tradisional yang diwarskan (ascriptive) mendukung proses kesamaan (Coleman, 1971: 77-78). Dimensi budaya kedua dari politik adalah legitimasi politik. sumber dari otoritas dan legitimitas poitik dengan pembentukan Negara Kesatuan Indonesia telah berubah. Kita dapat meminjam istilah yang dipakai oleh L. Binder (1971), yaitu perubahan sumber legitimasi politik dari transendental kepada imanen, dari sumber yang sakral kepada 30
konsensus. Kekuasaan tidak lagi berasal dari “dunia sana”, tetapi dari rakyat, ada di tangan rakyat. Inilah yang dimaksud denan “imanen”. Kekuasaan bersumber dan berdasar atas konstitusi. Dengan lain perkataan prinsip demokrasi mencerminkan perubahan tersebut. Seperti dikatakan Huntington (1968: 34) “pertama-tama modenrisasi politik mencakup rasionalitas otoritas, penggantian sebagian besar otorisasi tradisional, keagamaan, keluarga dan kesukuan.”
Perubahan ini mengimplikasikan bahwa
pemerintah adalah hasil manusia, bukan hasil alamiah atau Allah. Pancasila dan UUD 1945 merupakan sistem legitimasi. Kekuatan dari legitimasi ini tergantung pada dua hal, yaitu “performance capacity” dari pemerintah dan pemahaman serta perasaan rakyat terhadap sistem legitimasi tersebut. Yang pertama menyangkut kemampuan mewujudkan prinsip dalam Pancasila dan UUD 45. Tersebut dan kedua menyangkut proses sosialisasi dari Pancasila dan UUD 45. Salah satu ciri kekuasaan tradisional ialah bahwa kekuasaan itu dipandang “given” (terberi) dan tidak dipertanyakan. Sebaliknya dalam modernisasi segala sesuatu dapat dipertanyakan dan harus diterangkan secara rasional. Maka keterbukaan dan penjelasan yang rasional merupakan faktor yang ikut menentukan terbentuknya nilai-nilai Pancasila menjadi etos (Sastraprateja, 1991: 150). Lebih lanjut Sastraprateja menjelaskan, dimensi budaya ketiga dari politik adalah partisipasi. Ini terkait erat dengan dimensi pertama ialah identitas baru sebagai warganegara dan dengan dimensi kedua, yaitu bahwa kekuasaan berasal dari rakyat sendiri. Warganegara adalah manusia yang otonom, yang secara ideal, merupakan manifestasi dari semangat kebebasan dan persamaan seorang warga republik. Warganegara adalah seorang manusia yang merdeka dan mempunyai harga diri, yang mampu secara efektif mengorgnisir dan memprakarsai kebijakan politik. 31
Partisipasi adalah keterlibatan warganegara dalam proses politik yang intinya adalah proses pengambilan keputusan. Merujuk pada pendapat Myron Weiner, Sastrapratedja (1992) menyebut tiga aspek dari partisipasi. Pertama, partisipasi adalah tindakan, termasuk tindakan verbal bukan hanya sikap atau perasaan subyektif. Aspek kedua, ialah kegiatan itu keluar dari kehendak warganegara. Tindakan-tindakan yang diwajibkan atau dipaksakan tidak digolongkan dalam partisipasi. Ketiga, partisipasi mengandaikan adanya pilihan. Mobilisasi paksaan tidak dapat disebut partisipasi. Yang menjadi masalah dalam setiap pembangunan politik ialah bagaimana menciptakan etos yang akan mendorong kemandirian individu dan membantu warganegara melihat dirinya sebagai partisipan politik. Dua hal paling sedikit perlu ditempuh, yaitu peningkatan kemampuan dan penciptaan kesempatan. Yang pertama menyangkut pendidikan umum dan pendidikan politik yang harus dijalankan dengan cara partisipatif juga. Cara pendidikan terbaik untuk partisipassi adalah partisipasi itu sendiri . yang kedua ialah penciptaan kesempatan untuk berpartisipasi dengan menciptakan struktur-struktur yang membuka peluang. Salah satu yang penting adalah akses kepada informasi. Masyarakat tak mungkin berpartisipasi dalam politik kalau mereka tidak memperoleh informasi. Dengan cara itu masyarakat dimungkinkan untuk ikut serta mencari pemecahan berbagai masalah yang dihadapi bangsa. “Partisipasi sejati, yang meningkatkan kesadaran partisipan akan nilai, masalah dan kemungkinan untuk mengadakan pilihan-pilihan, yang mempengaruhi isi dan pembangunan, yang melahirkan cara baru untuk bekerja, dan juga yang menjamin hak partisipan akan bagian yang adil dalam hasil-hasil pembangunan, merupakan aspirasi yang elusive. Tetapi perubahan aspirasi ini menjadi kenyataan pada akhirnya akan terbukti sebagai prasyarat utama bagi suatu gaya pembangunan yang 32
memungkinkan masyarakat menciptakan kesejahteraan dalam jangka panjang (Wolfe, 1980: 17).
d. Wacana Terdapat berbagai pengertian yang mendiskusikan tentang definisi wacana, baik dalam kaitannya dengan bahasa maupun aktivitas sosial. Akan tetapi wacana lebih sering dipahami sebagai sebuah tuturan, gagasan, ujaran, atau apa saja yang dipertentangkan dengan praktik atau pun tindakan sosial. Ada pula yang memahami wacana sebagai sebuah istilah yang berkaitan dengan rencana, terutama yang berkaitan dengan sebuah program. Banyak orang menyatakan bahwa sebuah rencana atau pun program telah diwacanakan, tinggal menunggu pelaksanaan atau realisasinya. Dalam Culture Studies pengertian dan pemahaman tentang konsep wacana atau diskursus sering merujuk pada pemahaman yang dikemukakan oleh Michel Foucault. Sebagai seorang poststrukturalis, Foucault (1972) menentang pandangan kaum strukturalis yang memahami bahasa sebagai sistem yang mengatur dirinya secara otonom. Dia juga menentang metode interpretatif atau hermeneutik yang berusaha mengungkap makna-makna yang tersembunyi dalam bahasa. Foucault pun kemudian memfokuskan perhatian pada deskripsi dan analisis permukaan wacana dan efeknya terhadap kondisi historis dan material tertentu. Bagi Foucault, wacana berkaitan dengan bahasa maupun praktik dan mengacu pada produksi pengetahuan yang tertata melalui bahasa yang memberikan makna pada objek materi dan praktik sosial (dalam Barker, 2004: 21). Pengertian itu juga dirujuk oleh Lupton dan Barclay, Ruth Quibell (2004) mengatakan ;
33
Discourse are understood as ways of representing-talking about or visually portraying - phenomena and the practices of material conditions associated with these presentations. Discourses are expressed in texts (whether written, oral or visual) and in social and embodied practices...Discourse may be regarded as assemblages of knowledge that serve to produce notions of the human subject. Sementara itu Phillips (1998) juga menjelaskan penegertian discourse sebagai a mode of action in dialectical relationship with other aspects of the social... Discourse represent an important type of social practice that constitutes identities, social relations and representations of the world and both shapes and is shaped by others practices. Diskursus
membentuk,
mendefinisikan
dan
memproduksi
obyek
pengetahuan dengan cara yang dapat dipahami sambil pada saat yang sama memandang cara penalaran lain sebagai sesuatu yang tak dapat dipahami. Foucault berusaha mengidentifikasi berbagai kondisi historis dan aturan yang menentukan pembentukan cara yang teratur dalam membicarakan objek, yaitu, praktik diskursif dan pembentukan wacana. Dia mengeksplorasi situasi di mana berbagai pernyataan dikombinasikan dan ditata untuk membentuk dan mendefinisikan bidang pengetahuan/objek tertentu yang memerlukan konsepkonsep tertentu dan yang membatasi ‘rezim kebenaran’ yang spesifik (Barker, 2004: 21). Bagi Foucault, diskursus ‘menyatukan’ bahasa dan praktik dan mengacu kepada produksi pengetahuan melaluui bahasa yangmemberikan makna kepada objek material dan praktik sosial. meski obhek material dan praktik sosial ‘ada’ di luar bahasa, namun ia diberi makna atau ‘ditampilkan’ oleh bahasa dan kemudian dibentuk secara diskursif. Diskursus mengonstruksi, mendefinisikan dan mengahasilkan objek pengetahuan dengan cara-cara yang masuk akal sambil 34
mengesampingkan bentuk penalaran lain sebagai cara tidak masuk akal. Karena wacana menyediakan cara berbicara dengan cara-cara yang sama tentang tentang topok tertentu dengan mtof atau sekumpulanide, paraktik dan bentuk pengetahuan yang terus berulang di sepanjang arena aktivitas, maka kita bisa berbicara tentang pembentukan wacana. Pembentukan wacana adalah pola peristiwa-peristiwa diskursif yang mengacu, atau melahirkan, suatu objek umum pada berbagai arena. Mereka merupakan peta makna teratur atau cara berbicara di mana objek dan praktik memperoleh maknanya (Barker, 2004: 83). Sebagai contoh, studi Foucault (1973) tentang diskursus kegilaan meliputi: -
Pernyataan-pernyataan
tentang
kegilaan
yang
memberi
kita
pengetahuan tentang kegilaan; -
Aturan-aturan yang menetapkan apa ‘yang diapat dikatakan’ atau ‘boleh dipikirkan’ terkait dengan kegilaan;
-
Subjek yangmemersonifikasikan diskursus kegilaan, yaitu ‘orang gila’;
-
Proses di mana diskursus kegilaan diperoleh melalui otoritas dan kebenaran pada momen historis tertentu;
-
Praktik di berbagai institusi yang terkait dengan kegilaan;
-
Gagasan bahwa diskursus yang berbeda tentang kegilaan akan muncul pada
momen
historis
belakangan,
yang
akan
menghasilkan
pengetahuan dan pembentukan wacana baru. Sementara
itu
dalam
Cultural
Studies
wacana
juga
kemudian
dikembangkan menjadi metode, yang dikenal dengan analisis wacana kritis. Salah 35
satu metode yang terkenal dan sering digunakan dalam penelitian yang menggunakan perspektif kritis adalah dari Fairclough. Dalam pandangan Fairclough (1995: 135) wacana adalah penggunaan bahasa yang dipahami sebagai praksis sosial. Wacana—dan banyak contoh praksis diskursif tertentu—dalam pandangan Fairclough harus dilihat secara simultan sebagai (i) teks-teks bahasa, baik lisan atau tulisan, (ii) praksis kewacanaan, yaitu produksi dan interpretasi teks, dan (iii) praksis sosiokultural, yakni perubahan-perubahan masyarakat, institusi, kebudayaan, dan sebagainya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur itu menurut Fairclough disebut dengan “dimensi wacana”. Menganalisis wacana secara kritis hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral. Ketiga dimensi itu sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Begitulah wacana mengandung pengertian bagaimana merepresentasikan, mengkonstruksi, dan menyatakan apa yang riil, yaitu berntuk-bentuk praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi apa saja yang terepresentasi dalam dunia sosial merupakan wacana, dalam pengertian yang terepresentasi dalam bentuk bahasa, elememen material dan juga praktik. Dalam konteks wacana Pancasila, maka representasinya dapat dilacak dari representasi dalam bentuk bahasa, simbol-simbol material, dan praktik sosial yang berhubungan dengan pengakuan sebagai berdasarkan Pancasila.
36
1.6. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang mengutamakan data dokumen yang bersumber terutama dari surat kabar harian. Di samping itu juga menggunakan data dokumen di Universitas Pertahanan, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), dan sumber-sumber dokumen lain yang dianggap penting. Sejumlah wawancara juga dilakukan terhadap segnenap informan yang dianggap memiliki kapasitas untuk memberikan pandangan serta gagasan di seputar masalah Pancasila sebagai dasar negara dalam perkembangannya di era reformasi. Pilihan surat kabar sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah Surat Kabar Harian (SKH) Kompas dan SKH Republika. Alasan pemilihan kedua surat kabar tersebut adalah keduanya memiliki kebijakan redaksional yang merujuk kepada ideologi masingmasing. Secara umum Kompas merupakan surat kabar yang memiliki ideologi nasionalis, dan secara implisit senantiasa tercermin dalam pemberitaannya, sedangkan Republika memiliki ideologi keislaman cukup kental, sehingga juga mewarnai pemberitaannya. Meskipun Kompas mengklaim sebagai koran indipenden, akan tetapi dalam berbagai hal sangat terasa paham nasionalisnya yang melihat Indonesia sebagai negara yang plural dan multikultural. Sementara itu Republika merupakan koran berhaluan Islam, sehingga melihat berbagai persoalan keindonesiaan senantiasa dilihat dari sudut pandang Islam. Kedua karakter ideologi yang relatif berdeda di antara kedua koran tersebut menjadi relevan untuk melihat wacana Pancasila, karena secara historis pergulatan menentukan dasar negara Indonesia sangat diwarnai oleh dua kelompok besar, yaitu kelompok nasionalis dan kelompok Islamis. Dalam perkembangan lebih lanjut hingga era reformasi, kedua kekuatan sosial politik besar yang berkiprah dalam politik nasional 37
dewasa ini juga masih diwarnai oleh pergulatan dan kontestasi dari kedua kelompok ideologi utama tersebut. Terlebih lagi jika berkait dengan wacana Pancasila, representasi dari kedua kelompok tersebut sangat terasa perbedaan sudut pandangnya ketika melihat persoalan keindonesiaan. Penelitian ini diawali dengan pemilihan koran sebagai sumber literatur dalam pengumpulan data tentang Pancasila pada periode di era Reformasi tahun 1998 – 2012. Dalam Koran Kompas (Nasionalis) terdapat 95 item data yang terdiri dari berita, tajuk, dan artikel tentang Pancasila. Sementara itu dalam Koran Republika (Islamis) terdapat 30 item data yang terdiri dari pemberitaan, tajuk, dan artikel di seputar isu Pancasila. Data dokumen juga diambil dari pelacakan di media online, terutam dari web Google dan Yahoo. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer bersifat kualitatif dan data sekunder bersifat kuantitatif periode 1998 – 2008 dan 2-3 tahun sebelum dan sesudahnya. Selain pengumpulan data pemilihan koran, juga dilakukan melalui studi dokumen, literatur dan wawancara diantaranya diambil 100 tulisan mahasiswa Universitas Pertahanan tentang gugatan Pancasila, selain itu juga digunakan pula literatur hasil sarasehan umat beragama tentang usulan revitalisasi serta dilakukan juga wawancara dengan tokoh-tokoh yang berkompeten dengan Pancasila dan hasil survey BPS terhadap minat masyarakat terhadap Pancasila tanggal 29 Mei 2011. Sedangkan analisis data dilakukan melalui framing dengan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sedangkan penyajian data dan penarikan kesimpulan dilakukan secara etik dan emik.
38
Di sam mping itu, penelitian p ini juga mengggunakan daata survei BP PS tentang minat m m masyarakat kepada k Panncasila tangggal 29 mei 2011 dengaan sample 12.056 respoonden teersebar di 181 1 kabupaaten/ kota di d 33 proviinsi, dengann hasil antaara lain 79,26% m masyarakat berpendapatt Pancasila penting untuk u diperttahankan, 89% 8 masyaarakat berpendapat bahwa berbbagai permaasalahan banngsa akibat kurangnya pemahamann dan pengamalan nilai-nilai n Pancasila dallam kehiduppan sehari-haari, siapa yaang berkomppeten m mengedukasi p guru/dossen, 28% tom mas/toga, 200% semacam m BPPancasila ? 43% oleh para 7, 3% elit po olitik, sedangkan merekka 75% berppendapat berrkeinginan untuk u mendiirikan g polittik negara beerdasarkan agama, a itu tiidak dibenarrkan dan itu tidak dan adanya gerakan boleh dibiark kan. Government habit versus national ideologgism
39
Commu unities habiit versus naational ideolism
Way W of life mahasiswa UI, IPB, Un npad, UGM M, Unair, Unbraw w, ITB, Unh has, Unand,, Unsri, Unssiah
40
wa SMU Neggeri Jakartaa Wayy of life sisw Guru agama a Islam m di SMU Negeri N Jakarta
Tekniik penelitiann analisis frraming dilakkukan dengaan cara mem mbangun seebuah komunikasi bahasa b baik yang bersiffat verbal maupun m visuaal yang disaampaikan keepada pihak lain attau diinterprrestasikan daan diklasifikkasikan mennjadi sebuahh informasi baru, m melalui analiisis ini dapaat diketahuii bagaimanaa suatu pesaan dapat diaartikan, sehiingga dapat diinterp prestasikan secara efisien dalam kaaitan gagasaan, nilai, daasar dan ideeologi negara Pancaasila. Pada teknik penggumpulan daata ditulis deengan mengggunakan polla etik dan emik. e E Etik maksud dnya berbaagai rumussan di berrbagai era akan dipeerhatikan untuk u diimplementaasikan sesuaai ruang dan waktunya, sedangkan s seecara emik ditulis d agar dapat d dilihat hakek kat Pancasilanya pada era Reform masi, seberappa jauh minndset masyaarakat dalam perspeektif media yang y mengarrtikulasi Panncasila sebaggai ideologi negara. Hal yang perlu diperhaatikan disinni
adalah mindset m perrsonel dan mindset m poppulis masyaarakat
Inndonesia di era e Reformaasi.
41
1.6.1. Lokasi, Objek dan analisa data penelitian. Sebagaimana tradisi dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Wawancara yang dimaksud adalah wawancara untuk memperoleh data tentang pandangan informan terhadap eksistensi ideologi Pancasila. Akan tetapi dalam studi ini lebih menitikberatkan pada studi dokumentasi, terutama dari teks media, yaitu di harian Republika, Kompas, dan beberapa sumber tekstual lain yang isinya relevan dengan studi ini. Studi dokumentasi dimaksudkan untuk memperoleh data yang relevan dari data sekunder. Berbagai teks tertulis seperti kliping surat kabar, dan bulletin berkala serta data hasil seminar maupun sarasehan tentang wacana Pancasila, semuanya akan digunakan sebagai pendukung analisis. Tidak terkecuali dokumen visual tentang sebuah peristiwa yang terekam dalam CD atau pun perangkat komputer lain atau kamera foto juga akan digunakan sebagai data penting dalam upaya memberikan penjelasan fenomena pemaknaan tentang eksistensi ideologi Pancasila. Sebagai sebuah penelitian kualitatif, fase interpretasi data sangat penting karena di sinilah letak konstrubusi utama bagi kualitas analisis. Semakin berhasil dalam proses interpretasi secara tajam, detail, dan logis, maka semakin berkualitas sebuah karya akademik. Beberapa teknik sering ditawarkan, akan tetapi kunci sebuah interpretasi yang baik adalah penguasaan teoretik peneliti baik pada level teori klasik, kontemporer, maupun pengetahuan akan kritik atas teori-teori tersebut. Penguasaan teori ini menjadi penting, bukan saja logika yang dibangun dalam organisasi pemikiran yang runtut dan tepat, tetapi akan menghasilkan sebuah detail intepretasi yang tajam dan akurat.
42
1.6.2. Sistematika Penulisan. Format penulisan disertasi ini mengikuti pedoman dari Sekolah Pascasarjana UGM, dan secara rinci tersusun dengan sistematika berikut. Bab I: Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, kajian pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. Latar belakang masalah berisi tentang berbagai peristiwa aktual di seputar isu Pancasila dalam era reformasi, dan data-data empirik yang merepresentasikan pandangan tentang keberadaan Pancasila sebagai dasar negara. Kajian pustakan dipilih dari berbagai hasil penelitian terdahulu untuk mengetahui peta teoretik, sehingga diketahui posisi kebaruan disertasi ini. Sementara itu kerangka teori berisi beberapa teori yang dianggap relevan, dan dapat sebagai acuan analisis di seputar temuan wacana Pancasila.
Bab II, Wacana Pancasila dalam Dinamika Politik Indonesia. Bab ini menguraikan tilikan sejarah pasang-surut Pancasila sebagai ideologi negara dalam dinamika politik nasional. Secara berturut-turut diuraikan sejarah Pancasila dari era pemerintahan Soekarno, era Orde Baru, dan menjelang era reformasi. Tilikan sejarah ini dimaksudkan untuk melihat pergulatan kekuatan-kekuatan politik dalam mencari kesepakatan tentang dasar negara, terutam diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan antara kelompok nasionalis dan islamis dalam berebut pengaruh untuk menentukan arah perjalanan bangsa. Bab III: Kontestasi dan Negosiasi Wacana Pancasila. Bab ini menguraikan pergumulan kekuatan-kekuatan politik yang bermain dalam panggung politik nasional yang mengangkat isu pentingnya pemantapan dasar negara. Aktor utama dalam pertarungan ini masih tetap didominasi kedua kubu aliran politik, yaitu antara kubu nasionalis dan islamis 43
yang menawarkan konsep ideologi negara dari sudut pandang paham yang mereka anut. Juga diuraikan pertarungan wacana di antara kelompok yang berkompetisi melalui produksi wacana di media. Bab IV: Pasang-surut Wacana Pancasila dalam Era Reformasi. Bab ini mendiskusikan pasang-surut wacana Pancasila dalam kaitannya dengan isu-isu konflik agama, konflik etnis, kesejahteraan, dan berbagai persoalan di seputar kepemimpinan. Fluktuasi isu-isu tersebut berusaha dianalisis secara kritis dengan mempertimbangkan data-data yang diambil dari berbagai sumber. Bab V: Ironi Pancasila dalam Era Reformasi. Bab ini menguraikan berbagai fenomena yang mengandung muatan ironi di seputar wacana Pancasila. Situasi politik era reformasi yang secara logis merupakan habitat subur bagi berkembangnya ideologi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Pada era ini ditandai oleh surutnya wacana Pancasila dan bahkan dasar dan ideologi negara ini justru mengalami proses marginalisasi. Karena itu bab ini akan mendiskusikan dan menganalisis secara kritis terhadap fenomena ironi tersebut. Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi. Bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban ringkas-padat atas rumusan pertanyaan utama yang diajukan dalam riset ini. Juga berisi abstraksi atas berbagai temuan di lapangan, yang sedapat mungkin diajukan sebagai sebuah tesis disertasi. Bab ini juga dilengkapi rekomendasi, dengan harapan menginspirasi untuk riset berikutnya dalam upaya menambah literatur berbasis riset di seputar isu Pancasila.
44