BAB I PENDAHULUAN 1. Alasan Pemilihan Judul 1.1 Aktualitas Pembangunan merupakan sebuah bagian penting dari kemajuan sebuah negara. Di Indonesia pembangunan sudah dilaksanakan sejak masa orde lama, orde baru, sampai reformasi untuk mendorong kesejahteraan bangsa. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah adalah pembangunan
yang
merespon berbagai persoalan sosial yang terjadi di Indonesia. Problematika utama dalam pembangunan adalah masalah keterbatasan pendanaan yang harus mencukupi seluruh kebutuhan masyarakat. Persoalan pembangunan tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah namun merupakan tanggung jawab bersama warga masyarakat. Konsep pluralisme kesejahteraan menegaskan bahwa terdapat berbagai stakeholder yang memiliki kewajiban untuk turut berpartisipasi dalam proses pembangunan, yaitu pasar, dan masyarakat. Masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan secara kolektif untuk melaksanakan kegiatan tertentu serta memiliki tujuan yang sama (Jafar, 2010:19). Kegiatan yang dilakukan secara kolektif kemudian melembaga menjadi sebuah organiasasi yang bergerak dalam bidang tertentu, atau sering disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat. LSM sebagai sebuah organisasi yang didirikan perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut. 1
Lembaga Swadaya Masyarakat saat ini mewarnai kehidupan politik, ekonomi maupun sosial di Indonesia. Saat ini diperkirakan lebih dari 10.000 LSM bekerja di Indonesia baik di tingkat nasional hingga tigkat kabupaten atau kota, dimana dari
tahun ketahun jumlah ini semakin bertambah (Praja, 2009:12).
Lembaga Swadaya Masyarakat memiliki peran yang besar dalam
kehidupan
masyarakat, hal ini berkaitan dengan kegiatannya untuk memperkuat gerakan demokrasi melalui berbagai program pemberdayaan. Kegiatan yang dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelajaran, serta kegiatan advokasi bagi masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan oleh berbagai LSM tidak hanya sebatas pada pemberian bantuan secara sukarela tanpa ada keberlanjutan, karena model yang dikembangkan telah bergeser menjadi kegiatan pemberdayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Program yang ditawarkan oleh LSM bukan hanya program yang menjadi prioritas lembaga maupun masyarakat, namun kini juga berorientasi pada kepentingan pendonor yang mendukung berbagai kegiatan lembaga. Isu ketidakpastian pendanaan bagi program LSM telah dilontarkan sejak sepuluh tahun terakhir hingga saat ini (Tarisa, 2012). Lebih dari 80% kegiatan LSM didanai oleh pihak sponsor, hal ini berkaitan dengan masalah keberlanjutan program. 1. Program yang didanai pihak sponsor adalah program yang memiliki keterkaitan kepentingan antara LSM dan pihak pendonor. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa, berbagai program yang dilaksanakan oleh LSM bukan hanya berorientasi pada masyarakat, namun untuk kepentingan pendonor. 1
http://keuanganlsm.com/inklusi-keuangan-dukungan-mutlak/ diakses 27 September 2014
2
Program pemberdayaan idealnya didasarkan pada kebutuhan dasar masyarakat. Kebutuhan dasar masyarakat merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk kelangsungan hidup yang layak. Program pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat tujuannya untuk memandirikan masyarakat, namun ketika LSM menjalankan program yang didanai oleh sponsor tujuannya menjadi berbeda karena sarat akan kepentingan pihak pemberi dana (Maryono, 1988:54). Program pemberdayaan berdasarkan kebutuhan masyarakat hasilnya berbeda dengan program yang didesain oleh LSM berdasarkan desakan sponsor. LSM dalam melaksanakan berbagai program membutuhkan dana yang cukup banyak. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, sponsor menjadi salah satu alternatif untuk
melaksanakan keberlanjutan program yang
ditawarkan.
Konsekuensi dari pemberian dana adalah program yang dilaksanakan sarat akan kepentingan sponsor. Hal ini menjadi problematika, apakah program yang dilaksanakan menjadi efektif atau tidak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Program yang didesain berdasarkan kebutuhan masyarakat biasanya disesuaikan dengan masalah yang dihadapi masyarakat, namun program yang dilaksanakan atas kebutuhan pihak sponsor kurang memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Implikasinya adalah program yang dilaksanakan sarat akan kepentingan dari pihak sponsor. Hal inilah yang kemudian membuat peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian pada program pemberdayaan masyaraat yang ditawarkan oleh LSM. Pada akhirnya peneliti memilih judul Efektivitas Program Pemberdayaan Lingkungan Prokasih Berbasis Pengelolaan
3
Sampah Rumah Tangga Untuk Mewujudkan Kemandirian Masyarakat. Peneliti ingin mengetahui efektivitas pelaksanaaan program pemberdayaan lingkungan yang ditawarkan oleh LSM Lestari kepada masyarakat Desa Polan yang didanai oleh PT TIV Aqua. Isu mengenai efektifitas sebuah program yang dilaksanakan oleh LSM, tentu masih hangat jika dikaitkan dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang salah satu konsentrasinya adalah pemberdayaan masyarakat. Dewasa ini masyarakat dalam kondisi yang tidak sejahtera serta tidak mandiri sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar mandiri, dengan mengupayakan kesejahteraan melalui program pemberdayaan yang ditawarkan oleh LSM. Karena itulah hal ini dikatakan sebagai isu yang menarik untuk diangkat. 1.2 Orisinalitas Orisinalitas dapat dilihat dari perbedaan fokus yang diangkat oleh peneliti terhadap suatu fenomena. Adanya perbedaan sudut pandang dalam memotret fenomena dan menyajikannya kedalam laporan penelitian merupakan poin penting yang mendukung aspek orisinalitas. Penelitian yang orisinil harus berbeda dengan banyak penelitian sebelumnya. Perbedaan ini memberi kekhasan tersendiri bagi suatu penelitian sehingga semakin menambah informasi dalam membahas satu fenomena atau persoalan yang sama. Penelitian ini mengangkat isu mengenai program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh LSM. Program pemberdayaan masyarakat menjadi topik hangat jika diulas kembali, sehingga banyak pihak yang melakukan
4
kajian terkait dengan efektivitas pelaksanaan program pemberdayaan pada masyarakat. Penelitian mengenai program pemberdayaan dapat dilihat dari perbedaan substansi penelitian yang pernah dilakukan pada beberapa periode sejak isu program pemberdayaan menjadi hal yang hangat untuk dibicarakan. Beberapa penelitian mengenai program pemberdayaan adalah : a) Penelitian
program pemberdayaan dengan substansi capaian hasil
program pemberdayaan Pertama, “Evaluasi Program Bantuan Untuk Pemulihan Mata Pencaharian Pasca Gempa di Sektor Usaha Kecil dan Menengah Keramik di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul“, yang ditulis oleh Diah Nur Eko Sari (2006). Penelitian membahas evaluasi program bantuan pemulihan usaha yang dilaksanakan atas kemitraan antara Bank Mandiri Yogyakarta dengan Pemerintah Kabupaten Bantul. Masalah yang melatarbelakangi penelitian adalah dugaan terhadap kegiatan CSR Bank Mandiri yang hanya bersifat karitatif. Visi keberlanjutan pada beberapa program pemberdayaan dalam bentuk program CSR hanya bersifat jargon semata tanpa pengawasan pemerintah. Peneliti memilih program yang diselenggarakan antara kemitraan Pemerintah Provinsi Yogyakarta dengan Bank Mandiri untuk melihat efektivitas program yang diawasi pemerintah. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis penelitian deskripsi. Substansi utamanya adalah capaian hasil program bantuan bagi pelaku UMKM keramik. Hasil penelitian menunjukkan bantuan kurang efektif bagi pengusaha, dikarenakan selama pemberian bantuan peralatan usaha yang dinilai cukup moderen, tidak melibatkan diskusi dan pelatihan yang intens dengan
5
masyarakat. Dampaknya adalah pelaku usaha keramik kurang berkembang dengan bantuan peralatan yang ada. Kedua,
penelitian
berjudul
“Efektivitas
Kemitraan
Antara
Pemerintah Kabupaten Jepara dengan Yayasan Komunitas Dalam Program Permberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir“, yang ditulis oleh Hana Melita Ekasari (2007). Masalah penelitian adalah potensi pesisir Pantai Kemujan yang melimpah namun kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemerintah Kabupaten Jepara bermitra dengan Yayasan Komunitas untuk melakukan pemberdayaan ekonomi, namun disisi lain program yang dilaksanakan tumpang tindih dengan program nelayan mandiri Kementrian Perikanan dan Kelautan, sehingga dalam satu wilayah terdapat dua program pemberdayaan sekaligus dan dinilai tidak akan efektif.
Penelitian ini didasarkan pada substansi capaian hasil program
pemberdayan. Keberhasilan program pemberdayan ekonomi dilihat dari, apakah terjadi peningkatan pendapatan serta kemampuan masyarakat pesisir untuk mengolah hasil laut melalui pendampingan kemitraan. Kegiatan yang dilakukan dengan memberikan pelatihan pengolahan rumput laut, abon tuna serta nata de seawed. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, yaitu gambaran implementasi program kemitraan secara sistematis dan factual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kemitraan dalam program berjalan cukup efektif, hal ini dapat dilihat dari meningkatnya kesejahteraan nelayan Pantai Kemujan Jepara dengan kemampuan untuk mengolah rumput laut dan makanan kering dari hasil perikanan.
6
Ketiga, penelitian berjudul “Efektivitas Fungsi BKM dalam Menyalurkan Dana P2KP dalam Mewujudkan Keberdayaan Masyarakat di Desa Sariharjo”, yang ditulis oleh Gembong Ahmad Yudono (2007). Masalah penelitian memfokuskan pada dua hal yaitu, kebijakan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan belum banyak berhasil dan ketidakpercayaan pada BKM yang fungsi kerjanya tumpang tindih dengan KSM. BKM hanya berfungsi sebagai penerima dana P2KP bukan melaksankan pendampingan, sedangkan KSM yang bertugas menyalurkan dana, sehingga terdapat ketidakberfungsian BKM karena yang bekerja adalah KSM. Metode penelitian menggunakan kualitatif deskripstif yang menggambarkan kegiatan yang dilakukan BKM dan dampaknya kepada masyarakat. Hasil penelitian menyimpulkan tidak terjadi keberdayaan pada masayarakat Desa Sariharjo karena BKM lebih berfungsi sebagai penyalur kredit yang berorientasi ekonomi dibandingkan dengan fungsinya sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan pendampingan bagi masyarakat Desa Sariharjo.
b) Penelitian
program
pemberdayaan
dengan
substansi
partisipasi
masyarakat Pertama, “Efektivitas Program Pemberdayaan Melalui Penyediaan Pompanisasi Haurgeulis
Oleh Yayasan Bhineka Karya di Indramayu Jawa
Barat”, yang ditulis Asep Mahmud (2008).Latar belakang masalah adalah, Daerah Haurgeulis merupakan daerah yang tidak mengalami kekurangan air dan merupakan daerah perkotaan dengan modal sosial rendah. Yayasan Bhineka
7
Karya Indramayu ditunjuk Dinas Pekerjaan Umum untuk melaksanakan program pompanisasi. Program yang dilaksanakan tampak tidak tepat serta cenderung dipaksakan. Program dilaksanakan dengan sosialisasi serta gotong royong bersama untuk membangun saluran air. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi, yaitu peneliti turut serta dalam program kemudian mendeskripsikan kegiatan dalam bentuk laporan. Keterlibatan masyarakat dalam program cukup tinggi. Masyarakat terlibat mulai perencanaan pembangunan saluran pompa air hingga perawatan. Antusias masyarakat juga cukup tinggi dalam kegiatan pendampingan serta perawatan setelah program selesai, sehingga kegiatan yang dilaksanakan dapat dikatakan efektif. Kedua, penelitian berjudul “Efektivitas Program PIDRA di Desa Pidra Oleh Forsling Provinsi Nusa Tenggara Timur”, yang ditulis oleh Abdul Rajab (2008). Latar belakang masalah adalah program dilaksanakan di Daerah Soe yang belum terjamah oleh pembangunan, sehingga upaya untuk membangun partisipasi masyarakat dinilai cukup sulit. Fokus program adalah menumuhkan kesadaran lingkungan serta menggerakan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pengembangan lahan kering yang lebih bermanfaat. Pendampingan dilakukan oleh Komunitas Forsling Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk pengolahan lahan kering. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif fenomenologis, yaitu dengan mendeskripsikan pendirian sikap masyarakat dalam menerima perubahan pembangunan. Hasil penelitian adalah program yang dijalankan dikatakan efektif, karena partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan hingga evaluasi program tinggi serta adanya dukungan sosial dari masyarakat setempat.
8
c) Penelitian
program pemberdayaan dengan substansi manajemen
pemberdayaan Oleh lembaga Pertama, “Efektivitas Pelaksanaan Program Penguatan Kapasitas Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Bencana Oleh Yayasan Heks Holi’ana’a”, yang ditulis oleh Steady Novrianto (2009). Masalah penelitian adalah, di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat rawan akan bencana longsor, sehingga diperlukan adanya kemampuan tanggap bencana bagi masyarakat. Kegiatan tanggap bencana dilaksanakan oleh Yayasan Heks Holi’ana’a, namun didalam pelaksanaan program, beberapa kegiatan tidak disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Program simulasi kekeringan dan kebakaran hutan dinilai tidak penting dilaksanakan karena Cianjur bukan daerah hutan dan curah hujan yang cukup tinggi. Kegiatan dilaksanakan dengan pemberian materi serta praktek tanggap darurat dilapangan. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitaif. Efektivitas program dilihat dari manajemen pengelolaan kegiatan sesuai dengan jadwal dan indikator ketercapaian materi sebelum pelaksanaan. Program yang dilaksanakan dikatakan efektif karena kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan substansi yang telah disusun oleh lembaga, seperti berfungsinya sarana dan prasarana bantuan untuk praktek, serta dapat diterima oleh masyarakat dalam rangka menambah pengetahuan tentang kebencanaan. Kedua, penelitian lainnya berjudul “Efektivitas Program Perkebunan Nusantara VII Peduli di Perkebunan Nusantara Lampung (Suatu Evaluasi Atas Program CSR)”, yang ditulis oleh Nadine Mifta (2010). Latar belakang masalah muncul dari pengamatan perangkat daerah setempat karena ketidaktransparan
9
kegiatan CSR Perkebunan Nusantara VII dalam melaksanakan program. Hal ini dilihat dari minimnya pendampingan program pada masyarakat, serta seringkali tidak ada kegiatan saat penilik dari pemerintah datang. Hal ini bisa disebabkan karena terkadang perusahaan tidak memiliki aturan baku dalam pelaksanaan program serta manajemen dianggap bukanlah suatu kewajiban. Informan penelitian adalah tim CSR perusahaan yang mengelola kegiatan dan masyarakat yang turut serta dalam program. Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif, dengan mendeskripsikan hasil wawancara dengan tim pelaksana program CSR. Kegiatan yang dilaksanakan dikatakan efektif karena sudah sesuai dengan prosedur dari perusahaan, dengan melakukaan assessment, jadwal program tepat waktu, pengolahan dana yang transparan dan ada laporan penggunaan. d) Penelitian program pemberdayaan dengan substansi sasaran program dan metode penyaluran bantuan Pertama, “Evaluasi Pelaksanaan Program Pemberdayaan Petani Moroko Oleh LSM Yabu Tunggu di Desa Panyili, Kecamatan Palakka, Kabupaten Bone”, yang ditulis oleh Yabes Ritonga (2011). Latar belakang masalah penelitian yaitu, dugaan ketidaktransparan pengelolaan dana program oleh LSM serta adanya laporan petani pada Pemerintah Kabupaten Bone tentang dana yang sulit diakses. Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif dengan mendeskripsikan permasalahan dan hasil penelitian dalam bentuk laporan. LSM Yabu Tunggu melaksanakan mandat dari pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam penyaluran dana serta pendampingan dalam kelompok usaha tani. Hasil penelitian
10
yang dilakukan adalah program yang berjalan kurang efektif karena tidak terdapat perubahan pendapatan petani. Hal ini dikarenakan bantuan dana serta usaha pendampingan yang dilakukan hanya melibatkan petinggi kelompok tani serta tidak dilakukan sosialisasi kepada semua petani Moroko. Pelaksanaan yang dianjurkan seharusnya LSM melakukan pendampingan dan penyaluran bantuan pada seluruh petani Moroko bukan hanya pada petinggi atau ketua kelompok tani. Kedua, penelitian lainnya berjudul “Efektivitas Program Pelatihan Menjahit Pada Perempuan Pesisir Sayung Kabupaten Demak Oleh Yayasan Dian Manunggal”, yang ditulis oleh Alfi Madna Hanun (2007). Masalah penelitian adalah kondisi kesejahteraan masyarakat pesisir yang jauh dari hidup layak. Pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Demak melaksanakan program pemberdayaan pertanian penanaman buah holtikultur bagi perempuan, namun program yang dijalankan kurang berhasil sehingga tidak dilanjutkan. Selang tiga tahun kemudian dilaksanakan
program
pelatihan
menjahit.
Program
pelatihan
menjahit
dilaksanakan dengan pemberian materi dan latihan membuat rajutan. Metode penelitian menggunakan kualitatif studi kasus. Penelitian dilakukan secara mendalam pada
kelompok perempuan dalam waktu enam bulan, kemudian
mendeskripsikan hasil peneitian dalam bentuk laporan. Hasil penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa program yang berjalan dikatakan tidak efektif. Hal ini dikarenakan tujuan penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan penghasilan perempuan diwaktu senggang, namun tidak memperhatikan potensi utama masyarakat Sayung sebagai daerah pantai. Program yang dibutuhkan oleh masyarakat seharusnya adalah pelatihan pengolahan hasil laut seperti ikan dan
11
rumput laut yang melimpah. Implikasinya adalah ketika program yang telah dijalankan selama enam bulan ditinggalkan oleh pihak yayasan tidak ada keberlanjutan program yang dilaksanakan perempuan di Pesisir Sayung. Penelitian ini mengambil fokus mengenai program prokasih yang dilaksanakan LSM Lestari, dimana program ini dilihat sebagai sebuah sistem berdasarkan komponen evaluasi konteks, input, proses dan output. Berdasarkan penelitian diatas, bahwa pada penelitian-penelitian tersebut belum ada yang membahas efektivitas program prokasih yang dilakukan oleh LSM Lestari. Penelitian ini memilih substansi dengan memandang program sebagai sistem yang dapat dievaluasi berdasarkan konteks, input, proses, dan output juga belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti bisa memastikan bahwa penelitian ini orisinil. 1.3
Relevansi
dengan
Jurusan
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) merupakan cabang dari ilmu sosial yang mempelajari berbagai aspek kehidupan sosial dalam masyarakat yang begitu kompleks dengan berbagai permasalahan serta bagaimana mendapatkan solusinya. Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga konsentrasi yaitu sosial policy, community empowerment, dan corporate sosial responsibility. Salah satu aspek dalam community empowerment adalah community development.Community empowerment mempelajari ilmu tentang dinamika pemberdayaan masyarakat. Perkembangan substansi Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan semakin mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan fenomena yang ada. Bahkan saat ini lebih difokuskan untuk mempelajari
12
hubungan antar manusia, antar kelompok, dan antar manusia antar kelompok dalam pembangunan masyarakat (Sunartiningsih, 2002:11). Konsep dasar community development atau pembangunan masyarakat menurut Ilmu Sosiatri atau yang sekarang disebut sebagai Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) adalah suatu usaha untuk menciptakan hubungan yang seimbang antara kebutuhan hidup masyarakat (needs) dengan sumber-sumber daya hidup (resources) yang terdapat di suatu daerah. Usaha yang dilakukan melalui berbagai kebijakan atau program yang ada, sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang penuh, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Penelitian ini tentu sangat relevan dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat difokuskan pada program pemberdayaan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai pelaksanaan program, karena dalam pluralisme kesejahteraan, tanggung jawab terhadap upaya pembangunan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama termasuk didalamnya Lembaga Swadaya Masyarakat. 2. Latar Belakang Kehadiran lembaga swadaya masyarakat di negara berkembang menjadi angin segar bagi sebagian masyarakat. Keberadaan LSM sangat diperlukan guna menopang rakyat kecil dan pengawas bagi kekuasaan pemerintah dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan. Lembaga swadaya masyarakat memainkan tiga jenis peranan penting yaitu mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat grassroots, meningkatkan pengaruh
13
politik yang luas melalui jaringan kerja sama, baik di dalam negeri maupun dengan lembaga-lembaga internasional, serta ikut mengambil bagian dalam penentuan arah dan agenda pembangunan (Hasan, 2006:17). Berdasarkan peran vital tersebut, LSM bertindak menjadi agen perubahan bagi kemandirian masyarakat melalui berbagai fungsi yang dilaksanakan, seperti program pemberdayaan, penengah antara komunikasi program pemerintah dan masyarakat, dan mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk kepentingan publik. Tumbuh dan berkembangnya LSM di Indonesia bukan tanpa masalah. Zaim Saidi mengatakan ada lima persoalan mendasar yang dihadapi oleh LSM. Dua diantaranya adalah keberlanjutan finansial dan problem kredibilitas sosial (Saidi, 2006:40). Terkait dengan aspek kelemahan keberlanjutan finansial, problem ini sangat krusial karena mempengaruhi keberlanjutan program. Selama ini sumber keuangan lebih banyak berasal dari luar negeri yang membuat LSM mendapat banyak kritik sosial. LSM dianggap sebagai lembaga yang menjual kemiskinan negara, dan menjadi agen asing di dalam negeri. Kritik sosial terhadap LSM menjadi dilema tersendiri ketika tanpa bantuan donor asing, LSM tidak akan mampu membiayai
program yang telah direncanakan (Ismawan, 2003:11).
Dampak dari bantuan asing yang diterima LSM adalah menurunnya kredibilitas sosial. Program yang dilaksanakan oleh LSM seakan menjadi retorika, karena dianggap ada maksud terselubung atas bantuan asing dalam pelaksanaan program. Bantuan dana menimbulkan ketergantungan yang kuat bagi masalah pendanaan program, serta menimbulkan berbagai implikasi (Isbandi, 2001:43). Implikasi yang pertama, membuat posisi LSM lemah secara politis karena
14
menjadi kepanjangan tangan pihak asing di dalam negeri. Kedua, secara prinsip penerimaan bantuan asing bertentangan dengan upaya LSM untuk mendorong kemandirian.
Apabila
kemandirian dinilai
sebagai aspek
penting
bagi
pembangunan, maka LSM yang terlibat seharusnya memberi perhatian pada aspek kemandirian dalam bidang pendanaan sebagaimana yang banyak dihimbaukan kepada masyarakat, bahwa masyarakat harus mampu berkembang secara mandiri dengan kemampuan yang dimiliki. LSM yang melaksanakan berbagai program adakalanya diwarnai dengan berbagai motif tertentu. Aroma ideologis menjadi sangat kental kemungkinannnya ketika sebuah lembaga bernaung dalam institusi atau organisasi tertentu yang memiliki visi dan misi tertentu. Sebuah ideologi akan mengambil peran dominan bergantung pada sejauh mana ia mampu menyebarluaskan ide dan bagaimana menancapkan pengaruhnya di masyarakat (Carter, 1992:21). Sehingga dari sini dapat dilihat bahwa, tidak semua kegiatan kedermawanan yang ada adalah murni mengusung tujuan untuk membantu melainkan mengusung berbagai tujuan lain dengan motif-motif tertentu. Program yang banyak dikerjakan oleh berbagai LSM dewasa ini adalah program pemberdayaan. Hal ini disesuaikan dengan fungsi LSM dalam mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat grassroots, yang sangat esensial dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Implementasi berbagai program pemberdayaan yang diimplementasikan kepada masyarakat, dalam hal pendanaan program tidak terlepas dari bantuan donatur atau sponsor. Kemitraan yang dibangun antara LSM dengan penyandang dana didasarkan pada filosofi
15
kemitraan atas visi dan misi yang sama serta prioritas program yang sama dengan tujuan penyandang dana. Kemitraan yang dibangun antara LSM dan penyandang dana terkait pelaksanaan suatu program pemberdayaan menimbulkan implikasi lain, apakah program yang dijalankan akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat atau program didesain oleh penyandang dana sebagai bentuk penyebarluasan ide atau gagasan dari pihak penyandang dana. Hal ini menimbulkan keraguan pada segi efektivitas program pemberdayaan yang berbasis kepentingan penyandang dana. Program yang didesain berdasarkan kepentingan penyandang dana biasanya mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat, sehingga program yang ada belum tentu efekktif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu contoh ketidakefektifan program pemberdayaan yang dirancang LSM dengan mitra terdapat dalam surat kabar Radar Sulawesi Barat, “Permainan Harga Dalam Pemberdayaan Petani Kakao Di Polewali Sulawesi Barat”. 2 Asosiasi Pengusaha Kakao menuding LSM Wasiat yang telah melakukan dumping harga keluar, dengan mempermainkan harga pembelian kakao di tingkat petani. LSM Wasiat melakukan kemitraan dengan PT Alamanjarro yakni perusahaan eksportir biji kakao dari India. Kemitraan itu dituangkan dalam kesepakatan, berupa kerjasama langsung melakukan sertifikasi terhadap kelayakan biji kakao yang layak ekspor. Program pendampingan dilaksanakan LSM Wasiat ditujukan untuk memperbaiki kualitas biji kakao petani. Kegiatan dilakukan dengan sistem intensifikasi pertanian dalam pengolahan bibit, lahan, serta diskusi bersama 2
Radar Sulbar edisi Rabu, 7 Maret 2012, Halaman 2.
16
petani. Masalah lain muncul ketika dihadapkan pada manajemen PT Alamanjarro, harga pada tingkat petani tetap rendah, bahkan tidak sesuai dengan kriteria dari Asosiasi Pengusaha Kakao. Ketidakefektifan program pemberdayaan dapat dilihat dari hasil capaian program yang mengusahakan adanya harga biji kakao yang tinggi setelah petani memperbaiki kualitas. Namun dalam manajemen PT Alamanjarro, hasil biji kakao tetap belum memenuhi standar kualitas yang diharapkan, padahal program telah berjalan selama dua tahun terakhir. Hal diatas menunjukan bahwa tidak tercapainya hasil program pemberdayaan masyarakat sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan dari masalah LSM Wasiat, sebuah timbal balik antara LSM dengan masyarakat harusnya bisa mencapai apa yang di idealkan baik dari LSM atau masyarakat. Menurut Prihatna dalam bukunya yang berjudul “Peduli dan Berbagi Pola Prilaku Masyarakat Indonesia dalam Berderma”, mengatakan bahwa kebaikan bagi masyarakat tidak bersandar pada perspektif masyarakat yang diberi bantuan, melainkan perspektif dari pemberi bantuan yang sarat akan muatan kepentingan dan ideologis (Prihatna, 2005:2). Masalah yang muncul dari pola kemitraan yang dilaksanakan LSM secara umum belum mengutamakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sebenarnya (Korten, 1999:19), akan tetapi program pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM yang didesain akan kebutuhan penyandang dana memiliki dampak yang berbeda dibandingkan dengan program yang didesain atas kebutuhan masyarakat. Program yang didesain atas kepentingan sponsor biasanya memiliki tujuan khusus dari penyandang dana yang tidak memperhatikan kebutuhan dasar
17
masyarakat (Tayipnapsis, 2009:41). LSM menjadi kepanjangan tangan atau sales issu dari program pemberdayaan yang ada. Hal ini terkait dengan prioritas program yang sama dengan penyandang dana yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada pihak lembaga. LSM menjalankan orientasi dari program penyandang dana sehingga program pemberdayaan menjadi isu yang layak jual atau layak didanai. Masyarakat sebagai penerima program yang didesain atas kepentingan sponsor biasanya tidak tepat sasaran sesuai kebutuhan dasarnya, hal ini dikarenakan program yang didesain atas kepentingan visi misi dan tujuan sponsor, sehingga masyarakat bertindak sebagai objek program. Dampak yang ditimbulkan dari program yang didesain oleh sponsor biasanya tidak memandirikan masyarakat, namun justru menimbulkan ketergantungan bagi masyarakat karena biasanya keberlanjutan program rendah (Nainggolan, 2002:13), serta belum memecahkan masalah pada akarnya. Jusru yang terlihat adalah program pemberdayaan yang ada hanya berorientasi pada kepentingan proyek semata. Apabila dasar pelaksanaan program oleh LSM hanya berorientasi pada visi misi dan desakan sponsor, maka program akan berjalan tidak efektif atau tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Implementasi program pemberdayaan bagi masyarakat, terdapat implikasi yang berbeda antara program pemberdayaan oleh lembaga swadaya masyarakat yang didesain atas basis sponsor dengan program yang didesain dengan basis kebutuhan masyarakat. Program- program pemberdayaan yang dilakukan atas dasar kebutuhan masyarakat biasanya disesuaikan dengan apa yang
18
menjadi permasalahan pokok pada lingkungan masyarakat yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, sehingga dari permasalahan yang ada dibutuhkan adanya penyelesaian masalah melalui program pemberdayaan secara kolektif bagi suatu masyarakat. Program pemberdayaan yang didasarkan atas kepentingan masyarakat dilaksanakan pada tingkat grassroot, dan mempengaruhi pola pemikiran masyarakat, bahwa mereka mampu berkembang dengan sumberdaya yang dimiliki serta dukungan dari lembaga (Mardikanto, 2010:11). Lembaga berperan sebagai fasilitator serta pendampingan dalam program pemberdayaan. Program kegiatannya biasanya dilaksanakan atas dasar diskusi dengan tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan yang mengetahui permasalahan dan kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat. Hasil akhir dari program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh masyarakat memiliki dampak yang baik yaitu masyarakat berkembang sesuai dengan konten lokalnya serta mengatasi masalah pada tingkat paling bawah. Model pemberdayaan dengan basis kebutuhan masyarakat biasanya memberikan hasil akhir yang efektif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan Salah satu contoh program pemberdayaan yang dikatakan efektif sebagai pola kemitraan dengan LSM adalah peningkatan partisipasi masyarakat dalam program CSR. Program CSR yang dilaksanakan antara kemitraan LSM Laskar Padjajaran dengan PT Indocement adalah pemberdayaan masyarakat untuk penguatan kapasitas kelompok tani. 3 Tujuan utamanya untuk merespon konflik
3
http : //bisnisbandung.com/SKK-Indocement-dukung-pemberdayaan-masyarakat// Diakses 12 Januari 2014 Berita yang dimuat dalam bisnis Bandung dengan judul “Komunikasi Efektif CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa” Dapat Meminimalisisr Tingkat Konflik Masyarakat”.
19
sosial yang pernah terjadi beberapa tahun silam antara perusahaan dengan masyarakat. Pihak LSM Laskar Padjajaran menjembatani antara kepentingan perusahaan dengan masyarakat sekitar dengan mengedepankan sistem early warning sistem sebagai cara untuk meminimalisisr konflik kembali. Komunikasi yang dibangun melalui forum antara pihak perusahaan dan masyarakat mampu mendorong partisipasi masyarakat yang tinggi. Masyarakat dilibatkan dalam perencanan hingga evaluasi program CSR yang dijalankan, sehingga program kemitraan yang ada dikatakan efektif berdasarkan pencapaian partisipasi serta hilangnya konflik antar masyarakat dan perusahaan. Di Indonesia sendiri banyak terdapat lembaga swadaya yang melakukan aksi pendampingan maupun advokasi hampir diseluruh wilayah Indonesia (Ferdiansyah, 2010:11). Peneliti merasa tertarik untuk mengkaji tentang efektivitas program kemitraan antara LSM dengan pihak pemberi dana dalam program pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan yang dilakukan berkaitan dengan pemberdayaan lingkungan yang dilaksanakan di Desa Polan, Kecamatan Polanharjo yang merupakan wilayah kerja PT TIV Aqua Klaten. Permasalahan yang terjadi berawal dari tuntutan warga masyarakat yang mengeluhkan dampak kinerja perusahaan. Dampak yang dihasilkan dari beroperasinya PT TIV Aqua Klaten berkaitan dengan banyaknya timbunan sampah yang masuk ke Desa di wilayah Kecamatan Polanharjo. Masalah sampah ditemukan hampir diseluruh wilayah Polanharjo dan belum ada penanganan
20
secara lanjut.4 Disisi lain, masalah sampah yang ada di Desa Polan belum sepenuhnya disadari potensinya oleh penduduk setempat, sehingga masyarakat justru cenderung mengabaikan pengelolaan sampah. Dampak lingkungan tidak hanya berkaitan dengan masuknya sampah produksi di wilayah Desa Polan, namun tercemarnya sumber aliran sungai yang banyak dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Aliran Sungai Pusur yang membelah Desa Polan rawan bermasalah dengan limbah dan sampah dari produksi plastik perusahaan.5
Program pemberdayaan lingkungan yang dilaksanakan atas kemitraan antara PT TIV Aqua dengan LSM Lestari berkaitan dengan program CSR perusahaan untuk menangani masalah sampah dan upaya penguatan ekonomi bagi masyarakat sekitar perusahaan yang berpenghasilan rendah. Dampak dari adanya pendampingan dan pemberdayaan lingkungan dalam pengelolaan sampah selama ini memiliki dampak positif terhadap berkurangnya sampah. Kegiatan penanganan sampah juga berkaitan dengan peningkatan ekonomi. Dampak ini dapat dilihat dari kemampuan masyarakat membuat aneka kerajinan bernilai ekonomi dari bahan sampah. Namun disisi lain banyak masyarakat yang merasa program tidak tepat guna karena sampah yang dikelola justru didatangkan dari luar untuk bahan pelatihan. 6 Hal ini menunjukkan bahwa program pemberdayaan yang dilakukan justru menambah masalah lingkungan yang terdapat di Desa Polan. Rendahnya 4
"http://polanharjo.com/prokasih/banksampah/Berita/Entries/2013/10/11_Pengolahan_Sampah__P olan_dan_Karanglo_akan_Dijadikan_Percontohan.html 5 http://polanharjo.com/ konflik/sampah/polanharjo/2013/14/11_Penanganan_Limbah_Sampah.html 6 http://www.kabarklaten.net/csr-aqua-dinilai-tak-tepat-sasaran/
21
komitmen dalam penanggulangan sampah saat proses pendampingan justru membuat masyarakat tidak dapat mandiri dalam mengelola limbah rumah tangga yang dihasilkan, karena bukan limbah sendiri yang diolah. Dampak lainnya dalam program yang dijalankan adalah munculnya konflik antar sektor yaitu konflik kebermanfaatan program yang dinilai kurang memberikan hasil pada semua pemangku kepentingan setelah program dijalankan. 7 Berkaitan dengan tujuan utama untuk mencapai kemandirian dalam pengelolaan sampah maka dampak negatif yang dihasilkan dari proses pelatihan justru menunjukkan program berjalan tidak efektif terhadap upaya mengurangi sampah dan menimbulkan konflik dengan pemangku kepentingan, yaitu Pemerintah Desa. .
Bangunan efektivitas program merupakan salah satu representasi dari keberhasilan program yang dijalankan. Sehingga penelitian ini diarahkan pada program pemberdayaan LSM Lestari dengan PT TIV Aqua. LSM menjalankan program pemberdayaan lingkungan di Desa Polan, yang merupakan wilayah kerja PT TIV Aqua. Berangkat dari fenomena efektif dan tidak efektif serta kebermanfaatan kegiatan dalam proses pendampingan yang dilaksanakan oleh LSM, maka penelitian ini diarahkan pada isu efektivitas program pemberdayaan lingkungan yang dilakukan oleh LSM Lestari untuk mencapai kemandirikan masyarakat. Hal yang dapat dilihat bahwa, apakah program yang didesain oleh lembaga bersama pihak penyandang dana mampu untuk memandirikan
7
http://www.kompasiana.com/avidnurmeida/konflik-antarsektor-di-kabupatenklaten_551077c6a333119737ba82e8
22
masyarakat setelah adanya beberapa dampak positif dan negatif dalam pelaksanaannya.
3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka peneliti membuat suatu rumusan masalah yang merupakan fokus penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana
efektivitas
program
pemberdayaan
lingkungan
dalam
pengelolaan sampah rumah tangga yang dilakukan oleh LSM Lestari dalam mewujudkan kemandirian masyarakat di Desa Polan ? 4.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1.1 Tujuan Substansial Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui efektifitas program pemberdayaan lingkungan yang dilakukan oleh LSM Lestari dalam upaya mewujudkan kemandirian masyarakat berdasarkan analisis konteks, input, proses, dan output. Efektifitas pada tingkat konteks dilihat dari sejauh mana LSM dapat melakukan identifikasi masalah serta merumuskan tujuan untuk mengatasi permasalahan masyarakat. Pada tingkat evaluasi input untuk mengetahui tawaran program yang diberikan untuk menyelesaikan masalah. Pada tingkat evaluasi proses untuk
23
mengetahui bagaimana program dijalankan serta seberapa besar mampu mengatasi masalah dan memandirikan masyarakat. Pada tingkat evaluasi produk untuk melihat bagimana dampak atau hasil produk dari program yang dijalakan, apakah ada perubahan di dalam kehidupan masyarakat menjadi lebih mandiri serta melihat seberapa besar program yang dijalankan telah memenuhi indikator atau sesuai dengan rencana kegiatan yang telah direncanakan. 1.2
Tujuan Operasional
Melalui penelitian ini diharapkan dapat menemukan jawaban dari efektifitas program pemberdayaan lingkungan yang dilaksanakan berdasarkan komponen evaluasi yang telah ditetapkan.
Untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terutama bagi Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dalam mengkaji program pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM.
2. 2.1
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
Ilmu
Jurusan
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan dimasa depan dalam memberikan pemahaman terhadap masyarakat, bahwa perlu untuk melihat program pemberdayan
masyarakat
masyarakat.
24
berdasarkan
kebutuhan
dasar
2.2
Hasil penelitian ini semoga menjadi sumbangsih pemikiran, masukan, dan tambahan referensi bagi pengambil kebijakan baik dari swasta sebagai pihak yang terbiasa memberikan dana serta elemen-elemen
yang
terlibat
dalam
pelaksanaan
program
pemberdayaan. 2.3
Bagi peneliti sendiri merupakan sarana untuk mengembangkan wawasan dan pengalaman serta media pengaplikasian ilmu sosial kemasyarakatan yang diperoleh di bangku kuliah.
5. Tinjauan Pustaka 5.1
Lembaga Swadaya Masyarakat Sebagai Agent Of Change Lembaga swadaya masyarakat adalah organisasi swasta yang secara umum
bebas dari intervensi pemerintah, yang memberikan perhatian terhadap isu sosial, kemanusiaan, kesejahteraan dan perlindungan lingkungan atau sumber daya alam (Jordan, 1999:5). Di Indonesia, istilah LSM secara tegas didefinisikan dalam instruksi Mendagri No 8/1990, LSM merupakan organisasi yang anggotanya adalah warga negara republik Indonesia yang secara sukarela atas kehendaknya sendiri berniat serta bergerak di bidang tertentu sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. LSM dalam menjalankan pengabdian memang mendapat keuntungan (Nainggolan, 2002:25), namun keuntungan yang dimaksud bukan terletak pada keuntungan finansial. Keuntungan yang diperoleh LSM diwujudkan dalam bisnis sosial, dengan mendapat pengakuan publik atas kinerjanya. Fungsi utamanya
25
menjadi jembatan antara pemberi dana dengan masyarakat penerima dana. Pengelolaan dana yang dilakukan oleh LSM untuk melaksanakan berbagai program digunakan untuk menggaji staff pelaksana serta manajemen LSM dan pelaksanaan program. LSM melaksanakan kegiatan yang bergerak di suatu bidang tertentu dengan kegiatan pokok pendampingan masyarakat dan melakukan kampanye atas issu yang menjadi misi organisasi tersebut. Aritonam Esrom mengatakan bahwa, bentuk organisasi dari LSM dapat diklasifikasikan menjadi empat (Esrom, 2001:16) sebagai berikut : Pertama, adalah lembaga mitra pemerintah. Lembaga ini bekerja sama dengan pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah. Dana yang digunakan berasal dari pemerintah atau dari lembaga donor lainnya. Peran pemerintah dan LSM saling membantu dan melengkapi satu sama lain. LSM melakukan identifikasi di lapangan yang riil terhadap kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, sedangkan pemerintah atau lembaga donor lainnya memberikan kucuran dana dan teknis pelaksanaan kepada LSM tersebut. Sehingga terdapat keseimbangan kerja antara pemerintah dengan lembaga swadaya masyarakat. Kedua, adalah lembaga donor yang mengumpulkan dana untuk dapat disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Sebagai lembaga donor, LSM dimungkinkan untuk diberi kepercayaan oleh masyarakat mengemban tugas tertentu. Pemberian wewenang dalam bentuk penggalangan dana untuk korban bencana alam, penggalangan dana khusus dan pengumpulan sembako.
26
Ketiga, adalah lembaga profesional yang bekerja berdasarkan satu isu berkaitan dengan profesi tertentu, misalnya: kesehatan, ekonomi, HAM, kriminalitas dan lainnya. Lembaga ini punya andil yang besar dalam mengusut dan juga menginvestigasi kasus-kasus yang berkaitan tentang suatu permasalahan khusus, biasanya dilakukan melalui kegiatan advokasi bagi masyarakat. Keempat, adalah lembaga oposisi yang menjadi mitra pemerintahan, yang mengkritik kebijakan pemerintah serta menjalankan program berdasarkan kritik tersebut atau memberikan alternative lainnya. LSM dapat berperan penting dalam mendukung kelompok swadaya masyarakat melalui sejumlah upaya. Pertama, mengidentifikasi kebutuhan masyarakat looal dan taktik-taktik memenuhinya. Kedua, melakukan mobilisasi dan menggerakan usaha aktif masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Ketiga, merumuskan kegiatan jangka panjang dalam rangka menwujudkan sasaran-sasaran pembangunan yang lebih umum. Keempat, memobilissi sumber daya lokal untuk kegiatan pembangunan. Kelima, perencanaan kegitan kelompok sasaran. Karakteristik LSM di Indonesia tergolong unik, yaitu berperan sebagai agen pembangunan bagi masyarakat lokal (Fachruz, 1994:49). Posisi LSM sebagai agen pembangunan
dengan memberikan kontribusi untuk perubahan
yang bersolider dengan masyarakat serta pemerintah maupun swasta, tujuannya untuk meningkatkan keswadayaan masyarakat miskin. LSM sebagai agen perubahan melaksanakan berbagai program sesuai kebutuhan masyarakat dengan
27
bekerjasama dengan pemerintah maupun swasta. Kegiatan yang dilaksanakan berbentuk penggalangan dana, penyaluran bantuan dana secara karitas maupun dalam bentuk program. Dana operasional untuk melaksanakan berbagai program berasal dari masyarakat yang hasilnya kembali untuk mereka. Tujuan akhir dalam perannya sebagai agen perubahan adalah mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi dari masyarakat yang dilayani.
Lembaga swadaya masyarakat yang memiliki peran non-politik, dinilai mampu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dalam hal penanggulangan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan oleh LSM salah satunya dilakukan oleh Rumah Zakat Indonesia8. Program yang dilakukan adalah pemberdayaan nelayan kerang hijau di Pantai Serang Banten pada tahun 2012. Sasaran kegiatan pemberdayaan adalah perempuan di pesisir Pantai Serang. Kegiatan yang dilaksanakan berhasil serta efektif karena mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Keberhasilan yang dicapai tidak lepas dari adanya pendampingan bagi perempuan dari Rumah Zakat. Pendampingan yang dilakukan dengan praktek lapangan serta pemberian motivasi, tujuannya untuk merubah pola pikir masyarakat sekitar agar maju dan sejahtera. Pada awal kegiatan, pihak Rumah Zakat memilih kader perubahan yang bertujuan membantu sosialisasi kegiatan agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat. Kader perubahan turut serta mempengaruhi pola pikir masyarakat sekitar untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki sehingga kaum perempuan menjadi lebih sejahtera. Hasil kegiatan
8
{http:// rumahzakat.org/pemberdayaan-nelayan-kerang-hijau-peisir-serang-banten_// } Diakses 20 Oktober 2014, pukul 18.01 WIB
28
pemberdayaan adalah berdirinya koperasi Mina Serang sebagai wadah bagi nelayan untuk mengakomodasi penjualan hasil laut.
Kegiatan yang dilakukan LSM dinilai positif dalam proses pemberdayaan masyarakat, dikarenakan sifat dasarnya yang mandiri dan berangkat dari permasalahan masyarakat bawah. Salah satu kegiatannya adalah pendampingan layanan kesehatan bagi masyarakat pinggiran Bondowoso 9 oleh LSM Farabi pada tahun 2012. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan adalah mendirikan unit layanan kesehatan yang dapat dijangkau masyarakat miskin, dengan menggerakan partisipasi perempuan sekitar. Kegiatan yang dilakukan dalam satu kecamatan dinilai efektif karena dapat menurunkan angka kematian ibu dan anak. Pendampingan yang dilakukan oleh LSM adalah sosialisasi bagi perempuan, pembuatan kader kesehatan, pelatihan menangani berbagai penyakit, serta praktik langsung bagi kader di puskesmas setempat. Kehadiran dan eksistensi LSM adalah suatu kepercayaan terhadap tumbuhnya kesadaran untuk pengentasan kemiskinan. Perkembangan kegiatan LSM menjadi suatu ruang yang bisa diisi oleh masyarakat guna melakukan aktivitas sosial, ekonomi. Kegiatan yang dilakukan untuk menampung kebutuhan masyarakat, yang diwujudkan melalui peran serta LSM sebagai organisasi yang aktif dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat dengan tujuan pengentasan kemiskinan.
Menurut Galston yang dikutip Muzdalifah, LSM dapat memainkan peran dalam mendukung kelompok swadaya masyarakat yaitu mengidentifikasi 9
http://www.academia.edu/4607508/pengaruh_tingkat_pendidikan_terhadap_kesadaran_lingkunga n_para_pedagang_dalam_berjualan_di_pasar_senggol_kota_singaraja_suatu_pendekatan_ekologi _ Diakses 11 November 2014, pukul 13.22 WIB
29
kebutuhan kelompok lokal dan taktik-taktik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pendampingan guna menemukan masalah yang dihadapi masyarakat (Muzdalifah, 2003:15). Kegiatan yang dilaksanakan dengan melakukan mobilisasi untuk usaha aktif mengejar kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifkasi tersebut, dengan melakukan penyadaran akan potensi masyarakat dan pemberian solusi jangka panjang. LSM bekerja dengan merumuskan
kegiatan
pembangunan
dengan
jangka
panjang
memobilisasi
untuk
mengejar
sumberdaya
lokal
sasaran-sasaran untuk
kegiatan
pembangunan yang diimplementasikan dalam program pemberdayaan.
Peran LSM dalam memberdayakan serta melakukan pendampingan program pemberdayaan tidak selamanya berjalan efektif. Faktor internal dan eksternal muncul dalam pelaksanaan program pemberdayaan yang menjadi hambatan pelaksanaan. Masalah yang muncul terkait dengan partisipasi masyarakat, penerimaan masyarakat, masalah pendanaan, tuntutan pihak penyandang dana, manajemen LSM serta masalah ketidakpercayaan masyarakat. Berbagai masalah yang muncul menimbulkan pertanyaan, apakah program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh LSM efektif untuk meningkatkan kemandirian masyarakat.
5.2
Efektivitas Program
Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran, yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Efektivitas program merupakan penilaian terhadap tingkat kesesuaian program
30
berdasarkan indikator-indikator yang telah ditentukan, kemudian dibandingkan dengan pencapaian hasil program (Makmur, 2008:34). Efektivitas program dapat diketahui dengan membandingkan tujuan program dengan output program serta reaksi peserta program. Program yang efektif memiliki hasil output yang sama dengan tujuan yang telah ditentukan, serta reaksi yang positif dari peserta program. Reaksi peserta program dijadikan tolak ukur sebagai subjek yang menilai keberhasilan suatu program, khususnya program pemberdayaan.
Efektivitas program berkaitan dengan ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Semakin besar persentase target yang dicapai, maka semakin tinggi efektifiitasnya. Pelaksanaan program merupakan sebuah sistem yang bekerja dengan adanya berbagai dukungan (Primahendra, 2003:19), seperti sarana prasarana, pendanaan, partisispasi sasaran, keaktifan peserta program, serta adanya timbal balik dengan pihak pelaksana. Pemanfaatan dukungan secara maksimal akan berimplikasi pada dampak positif bagi sasaran setelah dilaksanakan program.
Program pemberdayaan memiliki ciri khusus sebagai usaha untuk meningkatkan kondisi keberdayaan masyarakat melalui berbagai pendampingan. Efektifitas program pemberdayaan dapat dilihat dari tujuan penyelenggaraan program serta kegiatan yang dilaksanakan. Pemberdayaan oleh LSM dilaksanakan berdasarkan kebutuhan sasaran yang telah ditetapkan sebelum pelaksanaan program dengan melihat kebutuhan masyarakat. Program dikatakan efektif apabila
31
memenuhi tujuan yang telah ditetapkan serta menggunakan sumber daya yang ada secara maksimal untuk mendukung pelaksanaan program.
Eriyanto menyatakan ada empat ukuran efektivitas suatu program (Eriyanto, 2004:7).
Pertama adalah ketepatan sasaran program, yaitu sejauhmana peserta program tepat dengan sasaran yang sudah ditentukan sebelumnya. Ketepatan sasaran program dalam pemberdayaan berkaitan dengan jenis program yang tepat diterima sasaran. Sebelum pelaksanaan program dilakukan identifikasi kebutuhan serta rancangan kerja yang akan dicapai.
Kedua, sosialisasi program, yaitu kemampuan penyelenggara program dalam melakukan sosialisasi program sehingga informasi mengenai pelaksanaan program
dapat
tersampaikan
kepada
sasaran
program.
LSM
sebagai
penyelenggara program melaksanakan sosialisasi mengenai tujuan program serta jadwal pelaksanaan kepada masyarakat. Implikasinya adalah, dengan adanya sosialisasi maka terdapat informasi bagi masyarakat yang dapat mengundang untuk turut serta berpartisipasi dalam pelaksanaan program.
Ukuran ketiga, tujuan program yaitu, sejauhmana kesesuaian antara hasil pelaksanaan program dengan tujuan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebelum melaksanakan program pihak LSM melaksanakan identifikasi masalah pada masyarakat sasaran, kemudian menentukan program pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan. Penentuan program disertai dengan tujuan yang ingin
32
dicapai oleh masyarakat. Keberhasilan program dilihat dari indikator tujuan dengan hasil pelaksanaan program.
Ukuran keempat, pemantuan program, yaitu kegiatan yang dilakukan setelah dilaksanakannya program sebagai bentuk perhatian kepada peserta program. Pemantauan program pemberdayaan untuk melihat adanya keberlanjutan program pemberdayaan. Keberhasilan suatu program juga dilihat dari kelestarian program setelah tidak adanya pendampingan dari LSM. Program yang berdampak positif biasanya akan tetap berjalan.
Program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan LSM bukan tanpa masalah. Implementasi program pemberdayaan terkadang menemui beberapa kendala yang berasal dari pihak eksternal maupun internal (Bahri, 2013:36). Kendala faktor internal dan eksternal berasal dari masyarakat sasaran serta manajemen lembaga LSM. Program yang disusun atas dasar kemitraan dengan pihak sponsor dan program yang dilaksanakan dengan berdasar kebutuhan masyarakat akan mengalami hasil yang berbeda, karena terdapat konteks yang berbeda dalam menganalisis kebutuhan, yaitu kebutuhan masyarakat atau kebutuhan pihak sponsor, sehingga dampak program dapat dikatakan efektif maupun inefektif terhadap masyarakat sasaran. Oleh karena itu diperlukan upaya evaluasi program untuk menentukan keberhasilan program pemberdayaan sebagai bahan untuk menentukan apakah program memiliki dampak positif atau negatif guna menentukan kebijakan selanjutnya.
5.3
Evaluasi Program
33
Evaluasi program merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan. Beberapa pengertian mengenai evaluasi program menurut beberapa ahli:
1. Menurut Tyler (1942:18), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan yang telah direncanakan dapat dilaksanakan dalam kegiatan di lapangan. 2. Menurut Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971), evaluasi adalah proses memperoleh
dan
menyajikan
informasi
yang
berguna
untuk
mempertimbangkan alternatif-alternatif pengambilan keputusan (Arikunto, 1992:25).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program merupakan proses pengumpulan data atau informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif kebijakan.
Evaluasi program menjadi komponen yang penting untuk dilaksanakan karena dapat mengukur seberapa berhasil program dijalankan serta sebagai salah bentuk alternatif untuk menilai keefektifan suatu program. Tujuan dari evaluasi program dibedakan menjadi enam (Supriyono, 2000:13). Pertama,
untuk
menentukan kinerja suatu program dengan melihat derajat pencapaian suatu tujuan dan sasaran. Kedua, untuk melihat efisiensi suatu program dengan melihat
34
biaya dan manfaat atas suatu program yang dilaksanakan. Ketiga, untuk melihat keluaran suatu program yaitu dengan mengukur kualitas dari hasil program. Keempat, melihat dampak suatu kebijakan dengan melihat dampak positif atau negatif pada masyarakat sasaran. Kelima, untuk melihat adanya penyimpangan, ketika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan suatu program maka ada antisipasi untuk menghentikannya apabila program masih akan dijalankan. Dan keenam, sebagai bahan masukan untuk melaksanakan program lanjutan atau yang akan datang agar lebih baik.
Program yang dijalankan dalam implementasinya tidak bisa terlepas dari kendala maupun penyimpangan dari tujuan awal rencana program, sehingga mengapa suatu program yang sedang berjalan perlu dilakukan evaluasi. Dalam pelaksanaan program terdapat empat alasan mengapa suatu program perlu dilakukan evaluasi (Wirawan, 2004:79). Pertama, mengetahui seberapa efektif program tersebut dalam tercapainya tujuan, kedua,
mengetahui apakah suatu
program berhasil atau gagal, dengan melihat pada indikator keberhasilan dari tujuan, maka dapat disimpulkan apakah suatu program berhasil atau gagal. Kedua, memenuhi aspek akuntabilitas publik, dengan melakukan penilaian kinerja suatu program yang dijalankan oleh lembaga, maka dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban lembaga kepada publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat dari program yang telah dilaksanakan. Keempat, menunjukkan pada stakeholder manfaat suatu program. Apabila tidak dilakukan evaluasi terhadap suatu program, para stakeholder, terutama kelompok sasaran tidak mengetahui secara pasti manfaat dari suatu kebijakan atau program.
35
Cara melakukan evaluasi terhadap suatu program diperlukan untuk melihat objektifitas dalam memandang suatu masalah. Tahap evaluasi memberikan gambaran mengenai model evaluasi serta cara kerja menilai suatu program yang telah dilaksanakan. Hasil akhir evaluasi digunakan untuk pemantauan serta keberlanjutan suatu program yang telah berjalan. Cara melakukan evaluasi yang disarikan dalam proses evaluasi pendidikan (Arikunto, 1992:34) adalah sebagai berikut :
a. Pengkajian terhadap buku-buku, lapangan dan menggali informasi dari para pakar untuk memperoleh gambaran tentang masalah yang akan diteliti. b. Merumuskan problematika yang menjadi dasar evaluasi. c. Pengkajian pada sasaran evaluasi dengan melihat permasalahan secara nyata di lapagan. d. Menentukan tolak ukur ketercapaian program. e. Membuat instrument pengumpulan data. f. Mengumpulkan data dengan instrumen yang telah disusun berdasarkan tolak ukur. g. Menganalisis data yang terkumpul dengan membandingkan tolok ukur yang telah dirumuskan, apakah telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan atau tidak. h. Menyimpulkan hasil evaluasi berdasarkan atas gambaran sejauh mana data sesuai dengan tolok ukur.
36
i.
Informasi mengenai hasil evaluasi disampaikan kepada pengelola program atau pihak yang minta bantuan kepada peneliti evaluasi.
Model-model evaluasi yang satu dengan yang lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi yang terkumpul dapat diberikan kepada pengambil keputusan agar dapat dengan tepat menentukan tindak lanjut tentang program yang sudah dievaluasi. Menurut Kaufman dan Thomas model evaluasi dibedakan menjadi lima (Arikunto, 1992:45), yaitu:
a. Goal oriented evaluation model, dikembangkan oleh Tyler. Model evaluasi yang dilaksanakan berorientasi hasil akhir. Hasil akhir sebagai ukuran keberhasilan suatu program yang dijalankan. Indikator keberhasilan dilihat dari tujuan awal pelaksanaan program serta perubahan yang terjadi pada sasaran. Model evaluasi digunakan dalam bidang pendidikan untuk melihat keberhasilan belajar yang biasanya disesuaikan dengan kurikulum serta dampak prestasi pada peserta didik.
b. Goal free evaluation model, dikembangkan oleh Scriven. Model evaluasi yang tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Indikator keberhasilan program adalah bagaimana kerjanya (kinerja) suatu program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi pengaruh, baik hal-hal yang positif maupun hal-hal yang negatif.
37
Model evaluasi biasanya digunakan dalam bidang pendidikan untuk melihat hasil konseling siswa.
c. Formatif summatif evaluation model, dikembangkan oleh Michael Scriven. Model evaluasi yang melihat pelaksanaan program ketika program sedang berjalan dan program setelah berjalan. Evaluasi dilakukan bertahap ketika program berjalan tanpa melihat indikator ketercapaian program yang telah ditetapkan, yang dilihat adalah penerimaan serta antusias sasaran. Pelaksanaan evaluasi setelah program selesai untuk melihat perubahan sasaran dengan menggunakan indikator yang telah ditetapkan.
d. CSE-UCLA evaluation model. Model evaluasi yang menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan. Kapan berkaitan dengan waktu pelaksanaan program kegiatan. Evaluasi dilakukan dengan jadwal yang telah dirancang. Rancangan jadwal disesuaikan dengan dugaan perubahan pada sasaran program
ketika
dijalankan.
Model
CSE-UCLA
digunakan
untuk
mengevaluasi program kurikulum.
e. CIPP evaluation model, dikembangkan oleh Stufflebeam. Model evaluasi CIPP melihat program sebagai sebuah iyang harus dievaluasi secara keseleuruhan. Kegagalan pada satu sistem akan berpengaruh pada sistem lainnya. Evalausi CIPP melihat evaluasi pada konteks, input, proses dan produk program. Penentuan evaluasi dimulai dari identifikasi masalah yang berpengaruh pada ketepatan sasaran hingga produk dari program. Hasil
38
akhir yang diharapkan adalah kesesuaian antara tujuan awal dengan hasil akhir pelaksanaan program.
Pemilihan model evaluasi yang akan digunakan tergantung pada tujuan evaluasi dan jenis kajiannya. Model evaluasi yang digunakan dalam penelitian mengenai efektifitas program prokasih berbasis pengelolaan sampah rumah tangga yang dilakukan oleh LSM Lestari menggunakan model evaluasi CIPP Daniel L. Stufflebeam. Model evaluasi CIPP digunakan karena lebih komprehensif diantara model evaluasi lainnya, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks, masukan, proses, dan hasil (Arikunto, 1992:43). CIPP memiliki pendekatan yang holistik dalam evaluasi, bertujuan memberikan gambaran yang sangat detail dan luas terhadap suatu program, mulai dari konteksnya hingga saat proses implementasi. Model evaluasi CIPP memiliki potensi untuk bergerak di wilayah evaluasi formatif dan sumatif, sehingga bermanfaat dalam membantu melakukan perbaikan selama program berjalan maupun setelah program selesai dilaksanakan (Badrujaman, 2009:56).
5.4
Model Evaluasi CIPP Daniel L. Stufflebeam
Evaluasi menurut Stufflebeam yang di kutip oleh Ansyar adalah proses memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk mempertimbangkan alternatif-alternatif pengambilan keputusan (Ansyar, 1993 :82). Evaluasi merupakan suatu upaya untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program, atau proyek dengan cara membandingkan dengan tujuan yg telah ditetapkan, dan bagaimana cara pencapaiannya. Evaluasi terhadap suatu program
39
merupakan komponen yang sanagt penting untuk melihat dampak serta keberhasilan program yang telah dilaksanakan yang implikasi akhirnya adalah, apakah program layak untuk dilanjutkan atau dihentikan ketika tidak memberikan pengaruh positif pada sasaran.
Salah satu model evaluasi yang banyak diterapkan adalah model evaluasi CIPP, merupakan singkatan dari context, input, process dan product yang merupakan sasaran dari evaluasi dari sebuah program kegiatan. Model evaluasi CIPP memandang program yang dievalusi sebagai sebuah sistem.
+
Konteks
Input
Proses
Produk
-
+/-
Sumber : The CIPP approach to evaluation (Bernadette Robinson, 2002:12)
Tabel 1.1. Model dan Fungsi Evaluasi CIPP
Aspek Evaluasi
Penggunaan
Untuk Menjawab Pertanyaan
Keputusan Evaluasi Konteks
Keputusan rencana
Apa yang harus dilakukan ?
Evaluasi Input
Keputusan struktur
Bagaimana melaksanakannya ?
program Evaluasi Proses
Keputusan
40
Apakah dikerjakan sesuai
implementasi
rencana ?
program Evaluasi Output
Keputusan
Apakah berhasil
keberlanjutan
Sumber : The CIPP approach to evaluation (Bernadette Robinson, 2002:15)
Model Evaluasi CIPP (context, input, process and output) membantu pengambil keputusan untuk menjawab empat pertanyaan dasar mengenai implementasi dalam pelaksanaan suatu program, yaitu :
1. Apa yang harus dilakukan, yaitu mengumpulkan dan menganalisa kebutuhan dasar kelompok sasaran serta prioritas penyelesaian masalah, sehingga evaluasi menyangkut kebutuhan kelompok sasaran.
2. Bagaimana kita melaksanakannya, yaitu sumber daya dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan, meliputi identifikasi program eksternal dan material dalam mengumpulkan informasi.
3. Apakah
dikerjakan
sesuai
rencana,
yaitu
menyediakan
pengambil-
keputusan informasi tentang seberapa baik program diterapkan.
4. Apakah berhasil, yaitu dengan mengukur outcome dan membandingkannya pada hasil yang diharapkan, pengambil keputusan menjadi lebih mampu memutuskan jika program harus dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan sama sekali.
41
5.4.1 Evaluasi Konteks
Evaluasi konteks
merupakan dasar
dari evaluasi
yang
bertujuan
menyediakan alasan-alasan rasional dalam penentuan tujuan, hal yang perlu diperhatikan adalah memberikan gambaran dan rincian terhadap lingkungan, kebutuhan serta tujuan akhir yang ingin dicapai. Evaluasi konteks mencakup analisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan program atau kondisi objektif masyarakat yang akan menerima program. Stufflebeam menyatakan evaluasi konteks sebagai fokus institusi yang mengidentifikasi peluang dan menilai kebutuhan (Stuufflebeam, 1993:28).
Suatu kebutuhan dirumuskan sebagai suatu kesenjangan (discrepancy view) bahwa kondisi nyata (reality) dengan kondisi yang diharapkan (ideality) berbeda. Evaluasi konteks juga bermaksud menganalisis bagaimana rasionalnya suatu program dimulai. Analisis ini akan membantu dalam merencanakan keputusan, menetapkan kebutuhan dan merumuskan tujuan program secara lebih terarah dan demokratis. Evaluasi konteks akan bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan yang selayaknya tersedia sehingga tidak menimbulkan kerugian jangka panjang
Evaluasi konteks dalam kerangka pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan munculnya agen pembaharuan yang menjelaskan program yang sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan bagi masyarakat miskin (Sulistyani, 2204:117). Untuk melaksanakan program pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka perlu adanya identifikasi masalah dan kebutuhan yang dilakukan oleh agen pembaharuan. Menurut Clark, agen
42
pembaharuan yang bersifat demokratis dalam menentukan analisis konteks pembangunan masyarakat memuat empat hal pokok (Clark, 2005:60-62), yaitu: Pertama, identifikasi masalah dan kebutuhan. Identifikasi masalah merupakan komponen terpenting dalam penetapan tujuan pelaksanaan program (Ebrahim, 2005: 27). Proses identifikasi masalah untuk melihat bagaimana penilaian terhadap kebutuhan serta masalah masyarakat yang harus segera diselesaikan. Idealnya dalam program pengembangan masyarakat, LSM memiliki fungsi sebagai fasilitator. Peran LSM sebagi fasilitator adalah dengan membantu masyarakat mengorganisasi diri, mengidentifikasi kebutuhan lokal, dan mobilisasi sumber daya (Suyatno, 2003:45). Proses identifikasi masalah yang baik dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek yang mengenali masalah serta potensi yang ada didalam diri masyarakat. LSM sebagai fasilitator harus memiliki kemampuan penguasaan materi substansial penyelesaian masalah. Kedua, penilaian terhadap prioritas kebutuhan masyarakat. Pemilihan prioritas kebutuhan masyarakat penting dilakukan, untuk memilih kebutuhan yang mendesak untuk segera dipenuhi. Prinsip dalam menentukan kebutuhan masyarakat dibedakan menjadi dua, yaitu: pemilihan kebutuhan masyarakat dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai macam elemen yaitu penduduk secara keseluruhan, pemerintah, dan pihak pemberi daya. Prinsip selanjutnya dengan memperhatikan prinsip keadilan social dan keseimbangan social (Conyers, 1994:42). Keseimbangan dan keadilan social dapat dilihat dari seberapa besar dampak yang akan ditimbulkan dari pemilihan prioritas yang akan dipilih.
43
Ketiga, penilaian terhadap penyusunan program. Penyusunan program yang baik dengan mengedepankan tindakan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam gagasan (Nugroho, 2001:32). Melalui cara ini pihak eksternal menyerap dan mengetahui
akan mampu
kebutuhan yang betul-betul dirasakan oleh
masyarakat, sehingga dampak akhirnya adalah program yang telah disusun akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keempat, penilaian tujuan dari sisi masyarakat. Diperlukan adanya kesesuaian tujuan yang sama antara pihak pemberdaya dengan pihak yang diberdayakan. Tujuan pengembangan masyarakat yang dilakukan harus memuat kepentingan masyarakat lokal yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat (Trijono, 2001:11) Pemilihan komponen tujuan dari sisi masyarakat sejalan dengan penelitian berjudul, “Evaluasi Implementasi Program Pemberdayaan Anak Jalanan Di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, Dan Transmigrasi Kota Surakarta”, yang ditulis oleh Sri Susanti (2010). Penelitian ini mengambil fokus pada penilaian penetapan tujuan dari sisi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penetapan tujuan harus dilakukan dengan mengidentifikasi kebutuhan masyarakat. Kesesuaian kondisi masyarakat dengan tujuan yang akan dicapai akan berimplikasi pada efektifitas suatu program.
5.4.2 Evaluasi Input
Evaluasi input dilakukan dalam bentuk pemeriksaan terhadap desain proyek yang akan dilaksanakan (Widoyoko, 2009:21). Evaluasi menyediakan
44
informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan program. Evaluasi input meliputi analisis personal yang berhubungan dengan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, alternatif- strategi yang harus dipertimbangkan untuk mencapai tujuan program. Evaluasi input memerlukan identifikasi dan menilai kapabilitas sistem yang mengendalikan suatu program, alternatif strategi program, keterlibatan masyarakat secara langsung dan pembiayaan. Informasi dan data yang terkumpul dapat digunakan untuk menentukan sumber dan strategi dalam pelaksanaan program. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana rencana penggunaan sumber-sumber yang ada sebagai upaya memperoleh rencana program yang efektif dan efisien.
Input pada program pemberdayaan memuat potensi internal yang dimiliki oleh masyarakat seperti modal manusia dan modal sosial serta potensi eksternal yang dimiliki agen pembaharuan seperti pengetahuan dan kegiatan bagi masyarakat (Sulistiyani, 2004:118). Potensi dapat dikembangkan menjadi sebuah strategi yang ditawarkan untuk mencapai tujuan. Penentuan strategi mencapai tujuan yang diinginkan dalam sebuah program memuat tiga kategori utama (Potter, 2004:18), yaitu :
a) Mendayagunakan sumber daya manusia.
Pendayagunaan manusia
berkaitan dengan partisipasi mayarakat. Partisipasi dengan pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan suatu program (Soetomo, 2006:438). Pemilihan strategi pencapaian tujuan disesuaikan dengan kemampuan masyarakat setempat
45
tanpa ada dominasi salah satu pihak. Masyarakat bertindak sebagai subjek program, sehingga kegiatan yang dilakukan benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat untuk mandiri. LSM bertindak sebagai pihak pendamping dan penggerak masyarakat serta mengarahkan untuk mencapai tujuan. Tujuan akhir dari pendayangunaan sumber daya manusia adalah peningaktan kapasitas SDM untuk mandiri. b) Kesesuaian tawaran program dengan potensi dan masalah. Tawaran program yang diberikan dalam input harus sesuai dengan potensi dan masalah yang dihadapi masyarakat. Proses penentuan tawaran program yang akan dilaksanakan dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu keterlibatan masyarakat untuk menyetujui tawaran dan penentuan tawaran dengan tujuan awal program (Mawarni, 2001:39). Tawaran program yang diberikan akan memiliki dampak terhadap upaya pengembangan potensi lokal dan penyelesaian masalah yang dialami oleh masyarakat. c) Dana dan anggaran dalam pelaksanaan program. Penyediaan dana anggaran disesuaikan dengan kebutuhan kelompok mayarakat. Berkaitan dengan adanya pihak eksternal yang memberdayakan masyarakat, maka kemampuan manajemen agen pembaharuan dalam mengelola dana menjadi
poin
yang
penting.
Agen
pembaharuan
harus
mampu
memanfaatkan dana untuk pemberdayaan masyarakat miskin dengan tepat sasaran dan akuntabel (Sulistiyani. 2004:115). Pelaporan dana yang digunakan dalam pengembangan masyarakat berkaitan dengan aktifitas
46
public yang membutuhkan transparansi sebagai sebuah lembaga swadaya yang mampu mengelola dana dari donor.
Pemilihan komponen strategi untuk mencapai tujuan sejalan dengan penelitian yang berjudul, “Evaluasi Program Pelatihan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Generasi Sehat dan Cerdas (PNPM-GSC) di Kecamatan Pasean Pamekasan”, ditulis oleh Ahmad Mustofa Atmaji (2012). Indikator Input mengacu pada anggaran dana untuk pelatihan kader pemberdayaan. Dana merupakan komponen utama untuk mendukung adanya program pelatihan, serta dapat digunakan untuk pengembangan kader di tingkat Desa. Pelaporan dana dan anggaran yang digunakan untuk melihat efektifitas dari segi akuntabel.
5.4.3 Evaluasi Proses
Evaluasi proses dirancang dan diaplikasikan dalam praktik implementasi kegiatan. Stufflebeam mengatakan bahwa evaluasi proses merupakan pengecekan yang berkelanjutan atas implementasi perencanaan (Badrujaman, 2009:32). Penekanan pada proses menjadi isu utama dalam pengembangan masyarakat.
Tujuan evaluasi proses untuk mengidentifikasikan atau memprediksi dalam proses pelaksanaan, seperti cacat dalam disain prosedur atau implementasinya. Evaluasi proses juga bertujuan untuk menyediakan informasi sebagai dasar memperbaiki program, serta untuk mencatat, dan menilai prosedur kegiatan yang sedang berjalan. Selain itu, tujuan utama evaluasi proses dikemukakan oleh
47
Worthen
and Sanders (2003:65) adalah: (1) Mengetahui kelemahan selama
pelaksanaan termasuk hal-hal yang baik untuk dipertahankan, (2) Memperoleh informasi mengenai keputusan yang ditetapkan, (3) Memelihara catatan-catatan lapangan mengenai hal-hal penting saat implementasi dilaksanakan
Evaluasi proses dalam model CIPP diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Proses pemberdayaan dalam suatu program menunjuk pada pengembangan diri yang memperkuat posisi tawar masyarakat dalam berbagai bidang dan sektor kehidupan yang bisa dikembangkan. Evaluasi proses menurut Lewis memuat empat hal pokok (Lewis, 2001:18), yaitu: a) Ketersediaan dan kebermanfaatan infrastruktur penunjang Dalam proses pemberdayaan, pembangunan fisik dapat menunjang tercapainya
tujuan
(Hidayat,
2001:76).
Pembangunan
fisik
dan
pengembangan usaha menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan fisik (infrastruktur) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebuah komunitas yang diberdayakan harus mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran, salah satunya dengan tersedianya infrastruktur yang bermanfaat bagi masyarakat. b) Bentuk implementasi kegiatan Implementasi kegiatan yang dilaksanakan dalam program pemberdayaan harus memuat tiga hal pokok, yaitu pembentukan perilaku peningkatan kapasitas diri, adanya transformasi kemampuan dari pihak pemberdaya
48
dan yang diberdayakan, dan kemampuan inovatif yang menghantarkan pada upaya kemandirian (Mubyarto, 1994:17). Dalam kaitannya dengan evaluasi proses, bentuk implementasi program tidak terlepas dari rencana program yang telah ditentukan sejak awal. c) Ketepatan waktu dari program yang dijalankan Dalam pengembangan masyarakat sangat penting dan essensial untuk menjaga keseimbangan antara tujuan dekat dan tujuan akhir, hal ini berkaitan dengan waktu yang telah ditetapkan untuk mencapai keswadayaan masyarakat sedini mungkin (Soelaiman, 2001:67). Dalam konteks pemberdayaan adanya jangka waktu yang telah ditetapkan memiliki makna bahwa ada waktu yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai kemandirian masyarakat sesuai target program yang dilaksanakan. Penilaian terhadap waktu diperlukan untuk melihat seberapa besar komitmen terhadap jadwal kegiatan yang telah dibuat sebelumnya. d) Upaya mengatasi masalah Manajemen program pemberdayaan memperhatikan masalah yang timbul saat program berjalan, serta upaya untuk mengatasinya. Keberhasilan untuk mengatasi masalah yang timbul akan berpengaruh pada output program yang dijalankan (Tjokroamijoyo, 2003:26). Masalah dalam pelaksanaan program yang dapat diatasi akan berdampak positif, sedangkan apabila dalam pelaksanaan muncul masalah dan tidak bisa diatasi maka akan berdampak negatif pada output program.
49
Komponen ketepatan waktu program sebagai sarana untuk menilai keberhasilan pada tingkat proses sejalan dengan penelitian berjudul, “Efektivitas Pemberdayaan
Masyarakat
Dalam
Pengelolaan
Program
Pengembangan
Kecamatan Pasca Tsunami di Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar”, yang ditulis oleh Sukmaniar (2007). Fokus evaluasi berkaitan dengan kesesuaian jadwal perencanaan yang berhasil selesai sesuai penyusunan jadwal sehingga program dikatakan berhasil, karena dengan program yang selesai tepat waktu akan berpengaruh pada target mampu dipenuhi.
5.4.4 Evaluasi Produk
Evaluasi produk adalah evaluasi yang bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan dan menilai pencapaian program (Bryson, 1995:32). Evaluasi produk berfungsi
mengukur keberhasilan atau dampak pencapaian program.
Evaluasi dapat juga bertujuan mengumpulkan deskripsi dan penilaian terhadap outcome yang dihasilkan dari program.. Pengukuran keberhasilan dikembangkan dan di administrasikan secara cermat dan teliti. Keakuratan analisi program yang dilaksanakan akan menjadi bahan penarikan kesimpulan dan pengajuan saran sesuai standar kelayakan.
Evaluasi produk bekaitan dengan capaian hasil akhir dari suatu kegiatan yang dilaksanakan. Tulus mengatakan ada empat indicator untuk mengukur perubahan positif dalam program pemberdayaan (Tulus, 1996), yaitu:
50
a) Perubahan pada masyarakat sasaran. Perubahan pada masyarakat sasaran memuat tiga hal pokok, yaitu perubahan yang terjadi dinilai positif, negatif atau tidak ada perubahan dalam masyarakat. Suatu program dapat dikatakan efektif pada tingkat produk apabila terdapat dampak positif pada masyarakat sasaran. Program dikatakan tidak efektif apabila berdampak negatif pada mayarakat sasaran. Program yang tidak menghasilkan perubahan pada masyarakat sasaran menunjukkan bahwa ada kesalahan prosedur dalam pelaksanaan suatu program (Sutarto, 2001:28) b) Dampak suatu program dari persepsi masyarakat sasaran. Dalam pelaksanaan suatu program diperlukan adanya penilaian persepsi masyarakat sebagai subyek dari program yang dijalankan. Fungsi penilaian dampak program dari persepsi masyarakat adalah untuk mengukur seberapa besar keberdayaan masyarakat yang dilayani (Sunyoto, 1998:86). c) Ketepatan
program
dengan
kebutuhan
masyarakat.
Program
pemberdayaan yang baik berkaitan dengan kesesuaian program yang dilaksanakan dengan kebutuhan dasar masyarakat. Masyarakat yang terpenuhi kebutuhan dasarnya akan berada dalam kondisi yang sejahtera (Abdullah, 1974:46). Sehingga program pemberdayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat serta memiliki dampak perubahan kearah positif dapat dikatakan sebagai program yang efektif. d) Ketepatan sasaran program. Program pemberdayaan akan dikatakan efektif apabila mampu menjangkau masyarakat yang membutuhkan atau dalam
51
kondisi tidak berdaya. Pengukuran ketepatan sasaran program dilakukan dengan
membuat
indikator
penerima
program sebelum program
dilaksanakan (Kurniawan, 2005:16). Program yang tepat sasaran akan memberikan dampak pada keberhasilan pengentasan masalah masyarakat sasaran program.
Keberhasilan suatu program yang dijalankan juga dapat dilihat dari bentuk perubahan dengan membandingkan antara keadaan sesudah dan sebelum dilaksanakan program (Ishardino, 2011:17). Efektivitas suatu program yang telah disusun juga berkaitan dengan kesesuaian rencana awal program serta indikator yang ditentukan dapat tercapai. Keberhasilan masyarakat untuk mandiri dapat dilihat dari segi sosial maupun ekonomi serta kompetisi teknis (Tulus, 1996:36). Tercapainya kemandirian didapatkan dalam pendampingan dan pelatihan yang kemudian dapat diimplementasikan dalam pengembangan usaha, sehingga ketergantungan masyarakat
akan bantuan dapat
berkurang. Peningkatan
pendapatan menjadi indikator kemandirian secara ekonomi, bahwa masyarakat mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak.
Indikator efektivitas program pemberdayaan yang melihat perubahan pada masyarakat serta dampak program dari persepsi masyarakat sejalan dengan penelitian
berjudul,
“Evaluasi
Program
Budidaya
Ikan
Mas
Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Malang”, yang ditulis oleh Isnan Murdiansyah (2014). Perubahan pada masyarakat dilihat dari seberapa besar peningkatan pendapatan masyarakat serta penjaringan opini dari masyarakat
52
mengenai program yang dijalankan, yaitu dengan menilai seberapa besar masyarakat merasakan dampak dari program budidaya perikanan.
53