1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan Pemberantasan kejahatan secara represif, dalam paradigma lama lebih menitikberatkan pada pengejaran para pelaku kejahatan. Berbeda halnya dengan paradigma baru yang lebih menekankan untuk mengejar uang atau berupaya melacak harta kekayaan yang berasal dari kejahatan, yang kemudian direkonstruksi darimana kekayaan itu dan tindak pidana apa yang melahirkan kekayaan tersebut. Pendekatan ini lebih mudah dibandingkan dengan pendekatan konvensional karena pencucian uang adalah mata rantai paling lemah dari suatu kejahatan. Mengejar pelaku kejahatan relatif lebih sulit, dibandingkan dengan mengejar hasil kejahatan. Pemberantasan tindak pidana dengan paradigma baru mengisyaratkan bahwa sasaran yang hendak dituju dalam pemberantasan tindak pidana yang represif adalah “lifeblood of the crime” serta menghilangkan motivasi orang melakukan tindak pidana. Pendekatan konvensional biasanya yang terjerat adalah pelaku kelas bawah, dan tidak menyentuh aktor utama yang sesungguhnya. Rasionalitas konsep paradigma tersebut didasari dengan suatu argumen yang sederhana bahwa untuk memulai penyelidikan dan penyidikan tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, sehingga dalam proses penanganan tindak pidana pencucian uang ini mirip dengan tindak pidana penadahan. Di samping konsep pemikiran tersebut, dalam tindak pidana
1
2
pencucian uang kriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana dilandasi dengan terpenuhinya syarat kriminalisasi pada umumnya yaitu: a. Adanya korban. b. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan. c. Harus berdasarkan asas ratio-principle. d. Adanya kesepakatan sosial (public support).1 Terkait tentang adanya korban berarti pencucian uang harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan kerugian, setelah melalui perdebatan panjang disepakati bahwa pencucian uang itu tidak merugikan individu secara langsung tetapi berdampak pada munculnya kerugian keuangan nasional bahkan membahayakan keuangan
global.
Demikian
strategi
pencegahan
dan
penanggulangan tindak pidana pencucian uang tidak dapat dilepaskan dengan karakteristik tindak pidana pencucian uang sebagai salah satu mata rantai kejahatan. Permasalahan tindak pidana Pencucian Uang sudah berkembang dengan berbagai aspek permasalahan yang semakin kompleks. Kemajuan teknologi informasi telah berdampak pula terhadap tindak pidana pencucian uang yang tidak lagi terbatas dalam suatu wilayah negara tertentu, tetapi melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin bervariatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan. Sektor perbankan merupakan salah satu modus yang paling banyak dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang. Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan serta kemajuan ilmu 1
Husein, Yunus, 2007, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Bandung: Books Terrace & Library, h. 4.
3
pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi yang berdampak pula pada terintegerasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antar negara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa kejahatan (besar) tetap hidup. Kejahatan dan tindak pidana pencucian uang bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan dan tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya. Pencucian uang mungkin sama tuannya dengan eksistensi uang itu sendiri.2 Tidak ada definisi yang seragam dan komprehensif mengenai pencucian uang. Masing-masing negara memiliki definisi mengenai pencucian uang sesuai dengan terminologi kejahatan menurut hukum negara yang bersangkutan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju dan negaranegara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda3, tetapi semua negara sepakat, bahwa pemberantasan pencucian uang sangat penting untuk melawan tindak pidana terorisme, bisnis narkoba, penipuan ataupun korupsi. Terdapat beberapa pengertian mengenai pencucian uang. Secara umum, pengertian atau definisi tersebut tidak jauh berbeda satu sama lain. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian pencucian uang sebagai term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeeting, drug
2
Wouter H. Muller, Christian H. Kalin, John G. Goldworth, 2007, Anti-Money Laundering International Law and Practice. West Sussex, England, h. 3. 3 Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Pencucian Uang: Pengertian, Sejarah, Faktor Penyebab, dan Dampaknya Bagi Masyarakat, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22-No.3, h. 5
4
transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that is original source cannot be traced (pencucian uang adalah istilah untuk menggambarkan investasi di bidang-bidang yang legal melalui jalur yang sah, sehingga uang tersebut tidak dapat diketahui lagi asal usulnya). 4 Pencucian uang adalah proses menghapus jejak asal uang hasil kegiatan illegal atau kejahatan melalui serangkaian kegiatan investasi atau transfer yang dilakukan berkali-kali dengan tujuan untuk mendapatkan status legal untuk uang yang diinvestasikan atau dimasukkan ke dalam sistem keuangan. Secara langsung pencucian uang tidak merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu. Tampaknya secara sepintas lalu pencucian uang tidak ada korbannya. Billy Steel pernah mengemukakan bahwa money laundering; “It Seem to be a victimless crime”.5 Tetapi di balik semua itu, dalam skala mikro sebenarnya pencucian uang berdampak pada lembaga penyediaan jasa keuangan, karena lembaga penyedia jasa keuangan tersebut dapat terjerumus ke dalam bahaya likuiditas dan kelangsungan hidup bisnisnya. Sementara
dalam skala
makro pencucian uang dapat menciptakan instabilitas sistem keuangan, distorsi ekonomi kemungkinan terganggunya kontrol jumlah uang yang beredar, dan dapat menyebabkan turunnya stabilitas pemerintahan. Tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi suatu negara, indikasi pencucian uang sebagai kejahatan terorganisasi serta modus yang semakin variatif, dengan memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on 4
Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, St. Paul Minn. West Publishing Co., h. 884 5 Ibid, h. 4.
5
Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40 + 9) FATF, antara lain mengenai perluasan pihak pelapor yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor, karena diyakini mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.6 Sektor perbankan memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan, karena industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas industri perbankan, sangat mempengaruhi sektor perekonomian secara keseluruhan. Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang dan sekaligus dapat berdampak kurang menguntungkan. Sementara itu perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks, oleh karena itu diperlukan berbagai
6
Financial Action Task Force – Groupe d’action financière , 2004-2005, Money Laundering & Terrorist Financing Typologies
6
penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor perbankan sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional. Terintegerasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanmisme lalu lintas dana antarnegara, di samping mempunyai dampak positif, juga membawa ekses negatif bagi kehidupan masyarakat, yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional maupun internasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul hasil tindak pidana. Ketentuan Pasal 17 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut dengan UU TPPU) diatur kewajiban pelaporan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Di dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Pasal 1 angka 5, selanjutnya menegaskan LTKM adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta
7
kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.Sudah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari PJK. Maka di dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang peran PJK sangat membantu baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK dan instansi penegak hukum untuk mencari aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum. Pencucian uang di Indonesia disinyalir banyak berasal dari hasil tindak pidana korupsi, di samping tindak pidana lain. Anatomi korupsi menunjukkan bahwa, uang hasil korupsi merupakan derivative yang sangat penting bagi kelanjutan korupsi dan kejahatan lain sebagai transnasional crime. Korupsi masa kini bukan hanya untuk memenuhi hidup sehari-hari akan tetapi juga lebih sering menampilkan keserakahan yang luar biasa dari suatu rezim yang sedang berkuasa sebagaimana kita saksikan kejatuhan suatu rezim pemerintahan selalu dilatarbelakangi oleh korupsi. Atas dasar pengamatan ini maka pengumpulan harta kekayaan merupakan tujuan akhir dari korupsi sehingga perbuatan korupsi itu sendiri hanyalah merupakan “a means to an end” bukanlah merupakan “an end in itself”
8
Sejalan dengan pergeseran kebiasaan transaksi perbankan dan non bank oleh sebagian masyarakat, transaksi pemindahan dana yang umumnya dapat dilakukan secara non tunai yakni transfer dana (baik transfer dana antar bank atau antar penyelenggara transfer dana maupun pemindah bukuan antar rekening di suatu bank mulai bergeser menuju transaksi tunai. Transaksi tunai tersebut antara lain setor tunai dan tarik tunai untuk keperluan tertentu. Semakin meningkatnya trend transaksi tunai diduga antara lain dengan maksud untuk memutus pentrasiran atau pelacakan asal-usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana yang pada akhirnya akan mengamputasi tugas PPATK dalam melakukan analisis transaksi keuangan mencurigakan. Modus transaksi tunai yang diduga untuk memutus pelacakan transaksi keuangan antara lain: 1. Setoran tunai dalam jumlah besar dari bukan nasabah suatu bank untuk pihak ketiga yang merupakan nasabah di suatu bank berbeda. 2. Setoran tunai dalam jumlah besar dari pihak penyetor untuk pihak ketiga dimana baik pihak penyetor maupun penerima setoran merupakan nasabah di bank yang sama. 3. Transaksi tarik tunai dalam jumlah besar untuk tujuan tertentu yang sebenarnya dapat dilakukan secara pemindahbukuan atau transfer dana, misalnya untuk pembayaran pembelian properti, kendaraan bermotor. 4. Transaksi tunai dilakukan oleh penerima suap dengan menggunakan kartu ATM milik penyuap.
9
Banyaknya kasus-kasus korupsi yang terungkap dari laporan PJK kepada PPATK tentang LKTM dalam tahun terakhir, memperkuat asumsi bahwa pembatasan transaksi tunai harus segera diatur dalam suatu instrumen perundangundangan di Indonesia. Asumsi dimaksud juga diperkuat dengan suatu argumen yang dilansir dari media masa bahwa kasus korupsi di Indonesia berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Statemen tersebut didukung oleh pernyataan Abraham Samad,
bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sepanjang tahun 2012, telah menerima aduan dari masyarakat atas atas indikasiindikasi korupsi di berbagai daerah sebanyak 6.111 kasus. Namun yang memenuhi kriteria untuk ditelaah hanya sebanyak 6.057 kasus saja. Dari laporan yang ditelaah itu, KPK hanya memasukkan 938 kasus yang diteruskan ke internal KPK, termasuk kasus-kasus yang ditangani dengan koordinasi kepolisian dan kejaksaan”. Asumsi-asumsi yang tertuang dalam paparan di atas makin memperkuat ide untuk segera disusunnya draft peraturan perundang-undangan tentang pembatasan transaksi tunai, sedangkan di sisi lain, adapula yang berpendapat masih perlunya dilakukan kajian mendalam tentang ide pembatasan transaksi tunai dari berbagai aspek, apabila pembatasan transaksi tunai di atur dengan instrumen perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang baik tentunya hanya akan dapat diberlakukan apabila dilandasi dengan Naskah Akademik yang memadai sebagai landasan untuk menjastifikasi peraturan perundang-undangan. Alasan-alasan inilah yang dijadikan dasar, urgensi
10
penelitian tentang “TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM TRANSAKSI TUNAI DI INDONESIA”.
1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang permasalahan sebagaimana paparan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan kriminalisasi pencucian uang saat ini ? 2. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam transaksi tunai di Indonesia ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk mendapat uraian yang lebih terarah perlu kiranya diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka dalam penyajian hanya ditinjau dari pengaturan transaksi tunai dalam kebijakan kriminalisasi pencucian uang.
1.4 Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendeskripsi serta menelaah asas maupun teori yang berhubungan dengan permasalahan yang bertalian
11
dengan tinjauan yuridis terhadap pembatasan transaksi tunai dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia. b. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini berhubungan paradigma science is product, dan berhubungan erat dengan permasalahan penelitian, sehingga tujuan khusus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1) Untuk mendeskripsi serta menganalisis secara mendalam pengaturan pembatasan transaksi tunai dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang di Indonesia; 2) Untuk mendeskripsi serta menganalisis secara mendalam pengaturan transaksi tunai dalam kebijakan kriminalisasi pencucian uang.
1.5 Manfaat Penulisan a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bersifat teoritik, baik berupa konsep, asas, doktrin maupun teori tentang dapat tidaknya diterima ide pembatasan transaksi tunai di Indonesia. b. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian yang diperoleh, diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh pengambil kebijakan (badan legislatif) di dalam menyusun
instrumen
perundang-undangan
pembatasan transaksi tunai di Indonesia.
yang
mengatur
tentang
12
1.6 Landasan Teoritis 1. Asas Legalitas Terkait dengan perkara pidana tentu saja harus diperhatikan asas-asas hukum pidana yang berlaku sebagai bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia. Mengingat Hukum Pidana merupakan ilmu tentang sanksi pidana yang pada dasarnya mengurangi hak asasi dari orang lain maka penerapannya harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Asas legalitas atau “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” menjadi satu asas yang paling penting dan sangat mendasar dalam hukum pidana yang mengatur “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan-kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada.” (Pasal 1 ayat (1) KUHP). Schaffmeiste menegaskan 2 (dua) fungsi dari pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu fungsi melindungi masyarakat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintahan serta fungsi instrumental yang berarti kekuasaan pemerintah dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang diperbolehkan. 7Berarti keberadaan asas legalitas harus dijadikan dasar bagi pelaksanaan ketentuan hukum pidana, termasuk di dalamnya kegiatan penemuan hukum dalam perkara pidana.Sejauh mana ketentuan hukum pidana dapat diberlakukan sangat bergantung pemahaman terhadap asas legalitas tersebut berkembang. Pemahaman makna asas legalitas sebenarnya sudah mengalami beberapa perkembangan, sebagaimana tampak dalam beberapa tahap yaitu sebagai jaminan dari tindakan
7
D. Schaffmeister, N Keijzer, dan E. PH. Sitorus, J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan (ed), 2007, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 5.
13
sewenang-wenang pemerintah, perlindungan untuk mendapatkan proses hukum yang jelas.8 Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hakhak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingankepentingan
kolektif
(collectieve
belangen),
karena
memungkinkan
dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela). Bahwa asas legalitas masih diperlukan sebagai pilar negara hukum, hal ini disebabkan selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Asas legalitas mengimperasikan bahwa suatu kaidah hukum harus jelas dan tegas, sehingga kaidah tersebut akan memiliki kepastian hukum. Ini berarti, kebijakan apapun yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan legislasi, sepanjang kebijakan itu substansinya tidak terumuskan secara jelas dan tegas, maka sepanjang itu pula kebijakan tersebut menyimpang dari asas legalitas, karenanya melanggar asas kepastian hukum. Lebih luas lagi, kontradiktif 8
Hwian Cristianto, 2009, Pembaharuan Makna Asas Legalitas, Jurnal Hukum dan Pembangunan, h. 354-371.
14
dengan konsep negara hukum dalam artian rule of law maupun rechtstaat itu sendiri. Selain itu, ciri-ciri rule of law maupun rechtstaat telah pula menujukkan dengan jelas pengakuan dan perlindungan HAM yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Berdasarkan hal tersebut, asas legalitas merupakan hal yang harus ada di dalam sistem hukum pidana, karena di samping dapat memberikan jaminan untuk terciptanya kepastian hukum yang adil, juga menjamin pelaksanaan kekuasaan yang tidak berlebihan dari penguasa. Itulah sebabnya, Lieven Dupont mengingatkan “Het legalities beginsel is een van de meest fundamentale beginselen van het strafrecht” (asas legalitas adalah suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana). Senada dengan Dupont, Peters juga mengatakan bahwa asas legalitas dapat menentukan kualitas dan karakter hukum dari hukum pidana.9 2. Kebijakan Hukum Pidana Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, yaitu “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
9
Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, h.9.
15
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.10 b. Kebijakan dari negara melalui peraturan-peraturan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.11 Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.12 Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.13 Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” dari Mark Ancel yang telah dikemukakan pada uraian pendahuluan yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Mark Ancel 10
Sudarto 1, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru, h. 15. Sudarto 2, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, h.
11
20. 12
Sudarto 1, Op.cit., h. 18. Sudarto 2, Op.cit., h. 20.
13
16
itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Mark Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”. Menurut A. Mulder, “strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui. b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.14 Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Mark Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: a. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya. b. Suatu prosedur hukum pidana. c. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).15 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
14 15
A. Mulder, 1980, Strafrechtspolitiek, Delikt En Delinkwent, h. 333. Ibid., h. 332.
17
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).16 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”. Di lihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.Tulisan ini lebih menitikberatkan pada kebijakan di bidang hukum pidana materiil (substantive). Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan integral” ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari politik kriminal kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan (yaitu bersifat fragmentaris/ Simphlistis) tidak struktural fungsional, simpotematik / tidak kansatif / tidak eliminatif : individulistik atau affender – oriented / tidak victim oriented lebih bersifat represif / tidak preventif harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya yang 16
Yoserwan, 2010, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Di Bidang Ekonomi Di Indonesia, diakses pada situs:http://yoserwanhamzah.blogspot. com/2010/06/kebijakan-hukum-pidana-dalam-upaya.html, diakses tanggal 18 Februari 2014.
18
tinggi. Pencegahan dan penanggulangan kesejahteraan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi / operasionalisasinya melalui beberapa tahap :17 1). Formulasi (kebijakan legislatif) 2). Aplikasi (kebijakan yudikatif / yudicial) 3). Eksekusi (kebijakan eksekutif / administratif) Adanya tahap formulasi maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif) bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.18 3. Kebijakan Kriminalisasi Joko Prakoso mengutip pendapat Sudarto mengatakan bahwa kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Muladi dan Barda Nawawie Arief juga mengatakan bahwa sebagai suatu kebijakan kriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan perbuatan apa yang akan dilarang karena membahayakan atau merugikan, dan sanksi apa yang akan dijatuhkan, maka sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai proses
17
Barda Nawawi Arief 1, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta, Prenada Media Group, h. 23. 18 Barda Nawawi Arief 2, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 74.
19
penegakan. Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Yenti Garnasih mengatakan bahwa kriminalisasi adalah suatu perbuatan atau suatu hal menjadi suatu tindakan yang sebelumnya bukan merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Pengertian kriminalisasi dalam sosiologis adalah proses sosialisasi kriminalitas yang berjalan melalui interaksi sosial-budaya. 19 Kriminalisasi juga terkait dengan penambahan (peningkatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada). Berdasarkan pengertian diatas, ruang lingkup kriminalisasi tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang dilarang, kemudian dilarang disertai ancaman sanksi tertentu, tetapi juga berkaitan dengan pemberatan sanksi pidana terhadap pidana yang sudah ada.20 Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan normatif (judgments) yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions). Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Di samping itu, pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai.Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan 19
Yenti Gunarsih. 1999. Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, Lembaga studi pers dan pembangunan, diakses pada situs: http://www.prasko.com/2012/09/pengertian-kriminalisasi.html, diakses tanggal 16 Februari 2014. 20 Mahrus Ali, 2011. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, diakses pada situs: http://handayaniputribungsu.wordpress.com/2012/11/16/hukum-pidana/, diakses tanggal 16 Februari 2014.
20
tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana. Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah keputusan badan pembentuk undang-undang pidana memberi label terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana. Pengertian kriminalisasi tersebut di atas menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Namun menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk penambahan (peningkatan) sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada. Sudarto mengatakan bahwa dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan harus memperhatikan hal-hal berikut, yaitu : a. Tujuan kriminalisasi adalah menciptakan ketertiban masyarakat didalam rangka menciptakan negara kesejahteraan (welfare state). b. Perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban. c. Harus mempertimbangkan faktor biaya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang. d. Harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui bebannya atau melampaui batas.21
Asas-asas Kriminalisasi
21
Sudarto 1, Op.cit, h. 89
21
Asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dak keputusan mengenai aktivitas hidup manusia. Dalam konteks kriminalisai, asas diartikan sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun pembentukan hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan pidana. Ada tiga asas kriminalisai yang berlaku diperhatikan pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi pidananya, yakni : 1. Asas legalitas 2. Asas subsidiaritas 3. Asas persamaan/ kesamaan Kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan, Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut.
1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah peneliian hukum normatif. Menurut Abdulkadir Muhammad penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur
22
dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal dari pasal, formalitas dan mengikatnya, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atas implementasinya, maka penelitian hukum normatif sering juga disebut “penelitian hukum dogmatik” atau penelitian hukum teoritis (dogmatic or theoretical law research ).22 b. Jenis Pendekatan Pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan empat cara pendekatan, yaitu pendekatan perundangundangan (statue approach) dengan melihat UU 8 Tahun 2010 tentang pencegahandan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach).Di dalam UU 8 Tahun 2010 memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin
kepastian
hukum,
efektivitas
penegakan
hukum
serta
penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. Pendekatan sejarah hukum (historical approach) dan pendekatan perbandingan hukum (comparative approach). c. Sumber Bahan Hukum Sumber dalam jenis penelitian hukum yang bersifat Normatif, kualifikasi bahan hukum yang lazim dipergunakan adalah : a. Bahan Hukum Sekunder 1) Rancangan Peraturan perundang-undangan. 2) Hasil karya ilmiah para pakar hukum.
22
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 101.
23
3) Hasil-hasil penelitian. b. Bahan Hukum Tersier. Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder meliputi bibliografi. Dalam penelitian ini, sumber bahan hukum yang dipergunakan bersumber dari 2 (dua) sumber bahan hukum yaitu : 1) Bahan Hukum Primer diperoleh dari sumber yang mengikat (authoritive source), dalam bentuk produk peraturan perundangundangan yang ada hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang. a
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b
Undang-undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
c
Undang-undang Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
d
Undang-undang Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
e
Peraturan Bank Indonesia Nomor.1/9/PBI Tahun 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank.
f
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/9/DSM tanggal 28 Desember 1999 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank,
24
2) Bahan
hukum
sekunder
diperoleh
dari
hasil-hasil
penelitian
kepustakaan atau buku-buku (literatur), jurnal, karya tulis dan artikel yang membahas tentang tindak pidana pencucian uang. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Sebagaimana lazimnya metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian hukum normatif, yaitu metode bola salju dan metode sistematis maka kedua metode tersebut juga dipergunakan dalam penelitian ini. Metode bola salju dimaksud dilakukan dengan cara penelusuran bahan acuan yang dipergunakan dalam buku-buku ataupun hasil penelitian yang berkaitan erat dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Sedangkan metode sistematis dimaksud, adalah dengan mempergunakan sarana bantu berupa kartu-kartu catatan sebagai suatu cara untuk lebih mempermudah penelusuran bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini. Sumber bahan hukum sekunder bermanfaat sebagai : 1) Sebagai sumber materiil. 2) Untuk meningkatkan mutu interpretasi atas hukum positif yang berlaku, dan 3) Untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang komprehensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang formal maupun dalam maknanya yang materiil. e. Teknik Analisis Bahan Hukum Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini yang dianalsis bukanlah data, tetapi bahan hukum yang
25
diperoleh lewat penelusuran dengan metode sebagaimana disebutkan di atas. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpukan dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif-analitis evaluatif, interpretatif, sitematis komparatif dan argumentatif. Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan akan dideskripsikan atau digambarkan secara utuh, dalam artian uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik ini kemudian dilanjutkan dengan langkah analisis. Analisis yang dikemukakan bersifat evaluatif, dalam artian melakukan
evaluasi,
juga
melakukan
interprestasi,
dalam
artian
menjelaskan/menafsirkan Norma yang memuat ketentuan tentang tindak pidana money laundering teknik interprestasi yang dipergunaan antara lain: interprestasi gramatikal, interprestasi sistematis dan interprestasi kontekstual. Komparatif/membandingkan, dalam artian membandingkan norma hukum yang ada dalam perundang-undangan satu dengan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang. Argumentatif, dimaksudkan bahwa landasan pemikiran yang melandasi uraian dalam bab pembahasan didasarkan pada nalar/logika hukum.