BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan Nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan mampu mandiri dalam menjaga kesehatan. Keberhasilan pembangunan Kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Sistem Kesehatan Nasional menjelaskan bahwa determinan sosial pembangunan kesehatan adalah kondisi masyarakat, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, sumber daya, kesadaran masyarakat dan kemampuan tenaga kesehatan, dengan indikator kesehatan masyarakat seperti penurunan angka kematian bayi (AKB) dari 46 menjadi 34/1000 kelahiran hidup, angka kematian ibu (AKI) 318 menjadi 228/100.000 kelahiran hidup, peningkatan angka harapan hidup 68,6 menjadi 70,5 tahun dan penurunan prevalensi kurang gizi pada balita 29,5 menjadi 18,4%.
Penyebab kematian di Indonesia nomor tiga setelah
kardiovaskuler dan TBC adalah ISPA yang dikibatkan oleh pneumonia. Kejadian pneumonia balita berdasakan hasil survey Mortalitas menyatakan bahwa angka kematian bayi karena ISPA diperkirakan 23,% setiap tahun dan merupakan penyebab kematian pada balita (Kepmenkes RI, 2009).
Permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini cukup kompleks, upaya kesehatan belum dapat menjangkau seluruh masyarakat, meskipun sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas telah ada di setiap kecamatan yang ditunjang oleh puskesmas pembantu. Status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu pejamu (host), agen penyakit (agent) dan lingkungan (environment) (Notoatmodjo, 2011). Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Di samping itu kejadian kematian merupakan salah satu indikator dalam penilaian keberhasilan program pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini dengan melihat perkembangan angka kematian dari tahun ke tahun. Indikator derajat kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun (2007)
dan Riskesdas (2010),
Angka
Kematian Bayi (AKB) 57/1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Balita (AK Balita) 80/1000 balita dan Angka Kematian Ibu (AKI) 306/100.000 kelahiran hidup, serta umur harapan hidup (UHH) 65,1 tahun. Sedangkan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), jumlah kematian bayi sebesar 66 kasus, jumlah kematian balita 10 kasus dan angka kematian ibu 289,4/100.000 kelahiran hidup (Dinkes NTT, 2011). Salah satu tujuan pembangunan millennium atau yang sering disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian anak usia dibawah lima tahun. Kemudian ditegaskan kembali bahwa tujuan MDGs yang belum tercapai secara merata khususnya Indonesia adalah
menurunkan sepertiga kematian oleh Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Infeksi saluran pernapasan akut ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak yang berusia di bawah lima tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (Depkes RI, 2005). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI) yaitu penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih dari saluran pernapasan, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Berdasarkan pedoman ISPA untuk tatalaksana pneumonia balita, bahwa kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana ISPA adalah anak balita dengan batuk, kesukaran bernapas, pilek, sakit tenggorok, sakit telinga dan demam. Sekitar 20-30% kematian balita disebabkan oleh penyakit ISPA (Depkes, 2010). Pola penyakit (10 besar penyakit) terbanyak rawat jalan di rumah sakit tahun 2011 tercatat bahwa Infeksi saluran napas bagian atas akut lainya sebesar 291.356 kasus (Kemenkes RI, 2012). Data angka kesakitan penduduk yang berasal dari masyarakat yang diperoleh dari studi morbiditas dan hasil pengumpulan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggambarkan pola 10 (sepuluh) penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di Puskesmas tahun 2011 bahwa ISPA (52,88%)/ peringkat pertama (Dinkes NTT, 2011). Menurut Dinkes TTS (2011) data kesakitan penduduk yang berasal dari masyarakat (community based data) yang diperoleh melalui studi morbiditas dan hasil rekapan pencatatan dan pelaporan (LB 1) yang berasal dari puskesmas, mengurutkan lima penyakit
terbanyak yang berasal dari Puskesmas yaitu ISPA 93.008 kasus (50,86%), myalgia 19.820 kasus (10,84%), gastritis akut 16.745 kasus (9,16%), penyakit kulit alergi 10.597 kasus (5,79%) dan observasi febris 9.449 (5,17%). Sesuai data yang diperoleh dari Puskesmas Nunkolo selama dua tahun terakhir, penyakit ISPA pada balita menduduki urutan pertama yaitu pada tahun 2011 jumlah penderita ISPA bayi 69 kasus, balita 312 kasus dan penderita ISPA diatas lima tahun 1118. Pada tahun 2012 jumlah penderita ISPA bayi 88 kasus, balita 264 kasus dan penderita diatas lima tahun 1062 kasus dan jumlah penderita ISPA pada bulan Januari-Agustus 2013, yaitu bayi 37 kasus, balita 126 kasus dan penderita ISPA di atas lima tahun 587 kasus (Puskesmas Nunkolo, 2012). ISPA disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya. ISPA bagian atas umumya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri dan mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya. Penyebab lain adalah faktor lingkungan rumah, seperti halnya pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah, lantai dan kepadatan hunian rumah. Pencemaran udara dalam rumah yang sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah asap pembakaran yang digunakan untuk memasak, dalam hal ini bahan kayu bakar (Naria, dkk, 2008). Lingkungan perumahan merupakan salah satu faktor yang memberikan hubungan besar terhadap status kesehatan penghuninya. Rumah yang kotor, sempit, padat, dan tidak memiliki sarana air bersih yang memadai, tidak cukup aliran udara bersih (sirkulasi udara), pencahayaan yang kurang, kelembaban,
kepadatan hunian, suhu, konstruksi bangunan dan pencemaran udara dalam rumah merupakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada balita (Oktaviani, dkk. 2010) Rumah bulat banyak digunakan oleh masyarakat Timor Tengah Selatan (TTS) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Rumah bulat menjadi ciri khas adat dan budaya orang Timor yang masih dipertahankan sampai saat ini, namun karena bentuknya dan kurangnya ventilasi dapat juga menimbulkan gangguan pernapasan. Ventilasi tidak menjadi pertimbangan dalam membangun rumah bulat. Udara dan sinar matahari hanya bisa menerobos dari lubang-lubang kecil pada dindingdinding bambu, sehingga cahaya yang masuk ke dalam rumah kurang maksimal. Di sebagian daerah TTS ada suatu kebiasaan masyarakat yaitu bagi wanita yang baru melahirkan dan bayinya harus menempati rumah bulat selama 40 hari untuk mempertahankan suhu tubuh supaya tetap hangat. Selain itu rumah bulat juga digunakan sebagai dapur, sehingga ibu-ibu akan membawa anaknya ke dapur selama kegiatan memasak (Dinkes TTS, 2011). Berdasarkan kondisi diatas tergambar bahwa rumah bulat bisa sebagai faktor
risiko untuk terjadinya
gangguan pernapasan karena pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan pencemar seperti adap, debu, dan gas carbon monoksida (CO). polutan tersebut merupakan partikel yang sangat kecil sehingga apabila terhirup masuk ke saluran pernapasan akan mengiritasi salran mukosa san sila pernapasan. Pendekatan personal berupa himbauan maupun larangan juga sempat dilakukan kepada warga, bahkan kepada tetua adat. Peraturan Gubernur NTT no.
42 tahun 2009 tentang Revolusi KIA di Propinsi NTT mewajibkan semua ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai seperti puskesmas. Namum masih ada saja masyarakat yang menggunakan rumah bulat sebagai tempat tidur bagi ibu yang baru melahirkan bersama bayinya yang merupakan faktor risiko mengalami gangguan pernapasan. Berdasarkan survei awal atau studi pendahuluan yang dilaksanakan pada minggu ketiga bulan Agustus 2013 di wilayah pelayanan Puskesmas Nunkolo pada 12 kasus ISPA balita yang dikunjungi di dapatkan kasus ISPA balita yang tinggal dalam rumah bulat sebanyak 7 orang balita.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka dirumuskan suatu masalah penelitian yaitu: “Apakah ada hubungan antara rumah bulat dengan tingkat kejadian ISPA Balita di Puskesmas Nunkolo Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan ?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara rumah bulat dengan tingkat kejadian ISPA
Balita di Puskesmas Nunkolo Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan.
1.3.2 Tujuan Khusus a.
Mengidentifikasi karakteristik balita di Puskesmas Nunkolo Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan.
b.
Mengidentifikasi rumah bulat di Puskesmas Nunkolo Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan.
c.
Mengidentifikasi jumlah balita yang menderita ISPA yang tinggal di rumah bulat di Puskesmas Nunkolo Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan.
d.
Menganalisa hubungan rumah bulat dengan tingkat kejadian ISPA Balita di Puskesmas Nunkolo Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 a.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat sehingga dapat mencegah dan menanggulangi penyakit ISPA, melalui peningkatan kebersihan rumah
b.
Diharapkan dapat mendukung program pemerintah dalam upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam memelihara lingkungan rumah yang sehat dan memenuhi syarat.
c.
Diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dari masyarakat untuk tidak menggunakan rumah bulat sebagai tempat tinggal.
1.4.2
Manfaat Teoritis
a.
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti
b.
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi perawat dalam penatalaksaan dan pemberantasan kejadian ISPA di Puskesmas secara
dini dan sesuai tata laksana ISPA dan peningkatan kegiatan penyuluhan perilaku hidup bersih sehat kepada masyarakat. c.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi Puskesmas Nunkolo dalam pengembangan pelayanan keperawatan komunitas
d.
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan dapat digunakan sebagai dasar bagi penelitian lebih lanjut berkaitan keperawatan komunitas di Puskesmas.
1.5 Keaslian Penelitian Berdasarkan telaah literatur, penelitian hubungan rumah bulat dengan tingkat kejadian ISPA Balita di Puskesmas Nunkolo Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan, penelitan lain yang berkaitan dengan judul penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Yusup N.A dan Lilis S (2006), dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Sanitasi Rumah secara Fisik dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rubgkut Kota Surabaya”. Rancangan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional, sampel diambil dengan menggunakan metode acak sederhana (Simple Random Sampling), dengan sampel sebanyak 59 orang. Teknik pengumpulan data adalah wawancara dan observasi, analisis statistik menggunakan continuity chi-sguare hasil menunjukan bahwa ada hubungan antara sanitasi rumah dengan kejadian ISPA balita (p=0,000;α=0,05). Perbedaan dengan penelitian ini antara lain terletak pada variabel terikat yang diteliti, usia sampel yang diguanakan, rancangan penelitian dan teknik analisa data.
b.
Oktaviani D. dkk, 2010, dalam penelitian berjudul “Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku Keluarga terhadap kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Cambai Kota Prambulih”. Jenis penelitian adalah penelitian observasinal dengan pendekatan cross sectional, dengan sampel penelitian berjumlah 82 responden diambil dengan cara simple random sampling. Uji statisik menggunakan chi square. Perbedaan dengan penelitian ini antara lain terletak pada teknik pengambilan sampel dan uji statisik.
c.
Naria, dkk, (2008), dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan ISPA pasa Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan”. Rancangsan penelitian survei analitik dengan pendekatan cross sectional, dengan sampel sebanyak 86 ibu. Data diperoleh dengan melakukan observasi dan menggunakan kuisioner, hasil uji chi square menunjukan semua variabel mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA (variabel ventilasi rumah p=0,043;α=0,05, variabel kepadatan hunian kamar tidur p=0,000;α=0,05, variabel kelembaban p=0,003;α=0,05). Perbedaan dengan penelitian ini antara lain terletak pada variabel bebas yang diteliti, rancangan penelitian, dan teknik sampling dan teknik analisa data. Berdasarkan
penelitian-penelitian
terdahulu
tergambar
belum
ada
penelitian tentang hubungan rumah bulat dengan tingkat kejadian ISPA balita, dengan demikian peneliti menjamin keaslian penelitian ini dan dapat dipertanggungjawabkan.