1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang PT. MHU Coal merupakan perusahaan swasta nasional (PKP2B) yang bergerak di bidang pertambangan batubara di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kegiatan perusahaan dalam hal eksplorasi dan eksploitasi terus berjalan saat ini, menerapkan perencanaan eksplorasi dan good mining practice sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Dalam hal meningkatkan angka produksi pada tahun yang akan datang, PT. MHU Coal melakukan kegiatan eksploitasi di beberapa area yang sedang berlangsung hingga saat ini dan juga melakukan kegiatan eksplorasi di sejumlah area lainnya, salah satunya adalah Blok Beruaq yang menjadi area penelitian. Kegiatan eksplorasi batubara yang dilakukan di Area Blok Beruaq terdiri 3 tahap, yaitu tahap eksplorasi umum, tahap eksplorasi pendahuluan dan tahap eksplorasi rinci. Kegiatan eksplorasi batubara ini bertujuan untuk mendapatkan kepastian tentang endapan bahan galian tersebut yang meliputi bentuk, ukuran, letak kedudukan, kualitas (kadar) endapan bahan galian serta karakteristik fisik endapan bahan galian dan batuan samping (Thomas, 2002). Hal tersebut akan memberikan keyakinan geologi dalam menentukan tingkat sumberdaya pada masing-masing tahap. Parameter keyakinan geologi terhadap keberadaan lapisan batubara, yaitu berdasarkan tingkat kerapatan dan kualitas titik informasi geologi serta interpretasi geologi berdasarkan pengambilan data di lapangan.
2
Blok Beruaq merupakan bagian dari Cekungan Kutai yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi – formasi berumur Neogen yang menyusun cekungan ini antara lain adalah : Formasi Pamaluan, Formasi Bebulu, Formasi Pulau Balang, Formasi Balikpapan, dan Formasi Kampung Baru. Formasi Pamaluan, Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan merupakan beberapa formasi yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dikenal sebagai coal bearing formation atau formasi pembawa lapisan batubara dengan jumlah yang cukup besar. Berdasarkan informasi penelitian terdahulu menunjukkan bahwa area penelitian memiliki potensi keterdapatan sumberdaya batubara dengan kategori sumberdaya tereka, sehingga perlu dilakukan kegiatan tahap eksplorasi batubara selanjutnya, yaitu eksplorasi pendahuluan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap eksplorasi pendahuluan ini, yaitu pemetaan geologi. Tahap ini bertujuan untuk mencari data-data berupa singkapan batuan (terutama batubara), ketebalan batubara, kualitas batubara, jurus dan kemiringan lapisan batuan, struktur lapisan, struktur geologi dan kondisi medan. Pengolahan data hasil pemetaan geologi berupa persebaran sumberdaya batubara di permukaan digunakan untuk penentuan daerah target prioritas pemboran pada tahap eksplorasi pendahuluan di Area Blok Beruaq yang belum dilakukan pemboran sebelumnya di Sub-blok A. Daerah prioritas pemboran ini akan sangat diperlukan dalam interpretasi kemenerusan persebaran lapisan batubara di bawah permukaan, sehingga keyakinan geologi meningkat ke sumberdaya kategori tertunjuk.
3
Penggunaan data pemetaan geologi juga dikorelasikan dengan data pemboran sebelumnya yang dilakukan di Sub-blok B. Data tersebut digunakan untuk tahap eksplorasi rinci yang menghasilkan pemodelan sumberdaya batubara (kategori sumberdaya terukur) dan juga penentuan boundary prospect area pertambangan yang nantinya dapat menjadi informasi penting bagi tim mining engineering untuk mengetahui kondisi sumberdaya batubara, melakukan perhitungan cadangan batubara dan desain pit tambang. I.2. Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah Lokasi penelitian dilakukan di Area Blok Beruaq, PT. MHU Coal yang terletak di Desa Sungai Payang, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 1.1). Luas daerah penelitian ± 29 km2. Untuk mencapai lokasi pemetaan dibutuhkan waktu selama ± 2 jam dari Kota Samarinda dengan menggunakan kendaraan roda empat, melewati jalan aspal dari Samarinda ke Margasari. Dari Margasari, perjalanan ditempuh dengan melewati jalan batu dengan kondisi yang berlubang, kemudian melewati jalan hauling PT. Bara Kumala Sakti. Untuk menuju basecamp yang terletak di Dusun Beruaq, Desa Sungai Payang, perjalanan dilanjutkan dari hauling PT. Bara Kumala Sakti menuju hauling PT. ASTA, kemudian ke arah barat laut sekitar ± 15 Km dengan kondisi jalan berbatu dan berlubang. Perjalanan untuk mencapai daerah pemetaan dari basecamp membutuhkan waktu selama ± 20 menit dengan menggunakan kendaraan roda empat.
Gambar 1.1. Lokasi Area Blok Beruaq PT. MHU Coal.
4
5
I.3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Bagaimana kondisi geologi dan sumberdaya batubara di Area Blok Beruaq? b) Berdasarkan interpretasi geologi pada tahap eksplorasi umum terkait kondisi stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi dan sumberdaya batubara, bagaimanakah keyakinan geologi terhadap potensi yang ada di Area Blok Beruaq tersebut? Apakah perlu dilakukan tahap eksplorasi selanjutnya, yaitu tahap eksplorasi pendahuluan? c) Pada tahap eksplorasi pendahuluan terkait geometri persebaran seam batubara di permukaan, bagaimanakah perencanaan mengenai lokasi, arah dan spasi titik bor prioritas pemboran batubara di Sub-blok A Area Blok Beruaq dilakukan? d) Berdasarkan pengolahan data hasil pemetaan geologi dan data pemboran sebelumnya pada tahap eksplorasi rinci, bagaimanakah visualisasi model analog persebaran sumberdaya batubara di bawah permukaan Sub-blok B Area Blok Beruaq? e) Berdasarkan hasil pengolahan data pemetaan geologi dan pemodelan sumberdaya batubara yang dilakukan, dimanakah batas area prospek (boundary prospect area) seam batubara yang layak untuk ditambang di Sub-blok B Area Blok Beruaq?
6
I.4. Batasan Penelitian Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: a) Penelitian hanya di lakukan di Area Sub-Blok Beruaq konsesi milik PT. MHU Coal seluas 29 km². b) Kegiatan lapangan yang dilakukan berupa pemetaan geologi dengan mengumpul seluruh data seperti lokasi singkapan batuan (koordinat dan altitude), deskripsi singkapan batuan, measuring section, coal bearing of rock, ketebalan batubara, struktur geologi (sesar, lipatan, kekar, kedudukan perlapisan), struktur sedimen, kondisi medan dan pengambilan conto batuan. c) Data yang digunakan untuk penelitian berasal dari data hasil drilling dan logging dengan spasi titik bor 250 m. Data tersebut diperoleh dari hasil pengeboran milik PT. MHU Coal sebelumnya dan data pemetaan geologi yang dilakukan oleh peneliti. Data tersebut berupa:
Data hasil drilling dan logging tersebut hanya mewakili Sub-blok B area penelitian, yaitu data poin topografi, data lokasi lubang bor, data kualitas batubara dan data litologi (hanya batubara)
Data hasil pemetaan geologi, terkait litologi, struktur geologi, geomorfologi, kondisi alam, serta pengambilan sampel batuan baik batubara maupun non batubara.
7
d) Pemodelan sumberdaya dilakukan:
Menggunakan software Minescape, untuk menghasilkan model (fisik) persebaran seam batubara di Sub-Blok B, yang ditampilkan dalam bentuk penampang stratigrafi (2D) dan persebaran seam 3D.
Pemodelan terhadap seam batubara yang ketebalan > 1 m.
Pemodelan difokuskan untuk lokasi persebaran seam batubara Arah dan kemiringan seam batubara dan pola persebaran batubara.
e) Penentuan daerah target prioritas pemboran hanya dilakukan di Sub-blok A, dimana pada blok ini belum ada data pemboran, jadi difokuskan untuk penentuan lokasi pemboran pendahuluan. Berikut penjelasannya:
Penentuan titik bor dilakukan berdasarkan hasil interpretasi pemetaan geologi, yaitu persebaran batubara di permukaan (coal cropline).
Korelasi seam batubara memenuhi kriteria antara lain ketebalan seam berkisar antara tipis (0,5-1,5 m) hingga sangat tebal (>25 m), tingkatan batubara: low rank - high rank dan penyebaran yang menerus (ratusan meter).
Penentuan titik bor yang dilakukan dengan jarak spasi titik bor 250 - 500 m (closer spaced drilling ), dengan pola sebaran titik bor Fence line drilling dan/ Specific area drilling.
f) Penentuan batas area prospek (boundary prospect area) dilakukan di Subblok B, dimana di sub-blok ini akan dilakukan pengolahan data singkapan
8
dan data pemboran sebelumnya. Berikut penjelasan mengenai teknis penentuan batas area prospek di Sub-blok B Area Blok Beruaq:
Pemodelan boundary prospect area di lakukan pada setiap seam yang memenuhi syarat aspek ekonomis, yaitu ketebalan seam ≥ 1 m, kualitas batubara > lignit, kemenerusan lapisan jelas dan pola kedudukan perlapisan teratur.
Metode penentuan batas area prospek yang dipakai adalah metode incremental pit expansion and cash flow (Sasongko, 2009).
Penentuan batas area prospek didukung oleh model analog sumberdaya batubara hasil pengolahan Minescape.
I.5. Maksud dan Tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk kegiatan eksplorasi sumberdaya batubara yang dilakukan guna mengidentifikasi keterdapatan, keberadaan, ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas dan kualitas endapan batubara yang ada di daerah penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a) Memberikan informasi mengenai kondisi geologi dan sumberdaya batubara di Area Blok Beruaq. b) Melakukan pemodelan sumberdaya batubara di Sub-blok B Area Blok Beruaq. c) Memberikan rekomendasi mengenai daerah target prioritas pemboran (eksplorasi pendahuluan) di Sub-blok A dan batas area prospek (boundary prospect area) pertambangan (eksplorasi rinci) di Sub-blok B.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
II.1. Geologi Regional II.1.1. Konfigurasi cekungan dan evolusi tektonik Berdasarkan lokasi geografis, daerah penelitian merupakan bagian dari Cekungan Kutai. Cekungan Kutai merupakan cekungan terbesar dan terdalam di Indonesia bagian timur, yaitu dengan luas ± 165.000 km² dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan mencapai 12.000 - 14.000 km (Satyana, 1998). Cekungan Kutai terletak di sebelah timur Kalimantan. Cekungan Kutai terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Cekungan Kutai bagian atas dan Cekungan Kutai bagian bawah. Cekungan Kutai bagian atas terdapat di bagian barat laut yang merupakan area yang terangkat karena proses tektonik pada Miosen Bawah, sedangkan Cekungan Kutai bagian bawah terdapat di bagian timur dan lebih banyak dikenali pada endapan Neogennya daripada endapan-endapan regangan selama Paleogen yang merupakan deposenter di Cekungan Kutai bagian atas. Regangan-regangan yang terbentuk selama Paleogen tersebut telah mengalami inversi dan tererosi selama Neogen (Moss & Chambers, 1999). Daerah penelitian termasuk dalam Cekungan Kutai bagian bawah, Cekungan Kutai bagian bawah dibatasi oleh 2 sesar berarah timur laut – barat daya. Sesar-sesar tersebut adalah Sesar Adang di bagian selatan dan Sesar Sangkulirang di bagian utara. Terdapat suatu kelurusan di bagian selatan Sesar Sangkulirang yang dikenal sebagai kelurusan Bungalun. Kelurusan yang berarah
10
NW - SE ini membatasi Cekungan Kutai bagian bawah dan menjadi batas perubahan ketebalan sekuen sedimen neogen. Moss dan Chambers (1999), menyebutkan evolusi tektonik Cekungan Kutai terbagi dalam 3 fase tektonik, yaitu : Fase Syn-rift pada Eosen Tengah – Eosen Akhir, Fase Sagging pada Eosen Akhir – Oligosen, Fase Pengangkatan dan Penurunan pada Oligosen Akhir – Miosen (Gambar 2.1). Berikut penjelasan mengenai ketiga fase tektonik yang terjadi di Cekungan Kutai: a.
Fase Syn-rift pada Eosen Tengah – Eosen Akhir Pembentukan Cekungan Kutai dimulai dengan terbentuk sejumlah
regangan berarah timur laut - barat daya pada Kala Eosen Tengah. Regangan terbentuk karena ekstensi yang memisahkan Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan dan membentuk Selat Makasar sebagai akibat adanya kolisi mikrokontinen dan subduksi di bagian barat laut Kalimantan dan pembentukan Pegunungan Kalimantan Tengah. Pada fase ini dengan cepat terendapkan sedimen syn-rift. Regangan ini membentuk seri half graben (Moss & Chambers, 1999). Pengisian graben – graben ini terdiri 2 tipe, yaitu endapan asal darat pada bagian barat dan endapan asal laut pada bagian timur. Pengisian graben oleh material asal laut ini akibat dari graben yang berada di bawah muka air laut. Graben di bagian barat mungkin terisi oleh endapan-endapan kasar yg berasal dari kipas alluvial (Gambar 2.1). b.
Fase Sagging Eosen Akhir – Oligosen Pada Eosen Akhir, ekstensi Selat Makasar mengakibatkan adanya
subsidence. Ekstensi ini mengakibatkan paleogeografi menjadi lebih dalam
11
daripada paleeogeografi sebelumnya, sehingga banyak dipengaruhi oleh proses asal laut. fase ini secara regional yang menghasilkan sedimen laut dalam yang didominasi oleh shale yang cukup tebal, dan tinggian basement dan batas margin terbetuk batuan karbonat (Gambar 2.1). Kemudian terjadi ketidakselarasan akibat adanya gaya ekstensi baru yang berorientasi tegak lurus terhadap ekstensi pada Kala Eosen (Gambar 2.1). Hal ini menunjukkan adanya arah gaya pembentuk sesar yang berbeda di kedua kala tersebut (Moss & Chambers, 1999). c. Fase inversi dan progradasi Miosen Pada awal Miosen ini terjadi tektonik inversi pada cekungan sehingga terjadi pendangkalan dan dengan dimulainya progradasi delta ke arah timur. Fase inversi ini terus berlangsung hingga saat ini. Inversi ini terjadi akibat ekstensi Laut Cina Selatan pada 14 juta tahun yang lalu serta adanya kolisi blok Palawan Utara dengan blok Palawan Selatan membentuk deformasi kontraksi berarah barat laut – tenggara (McClay et al., 2000). Rotasi pulau Kalimantan dengan arah putaran berlawanan arah jarum jam pada 20 juta tahun yang lalu juga mempengaruhi terjadinya inversi ini (McClay et al., 2000). Subduksi di bagian timur Sulawesi (McClay et al., 2000), menghasilkan kolisi Banggai-Sula pada 10 juta tahun yang lalu. Kolisi pada 10 juta tahun yang lalu ini menyebabkan terjadinya percepatan inversi dan memperkuat terbentuknya sabuk lipatan Mahakam. Rezim kontraksi dengan arah barat laut – tenggara berlangsung hingga saat ini, diikuti dengan adanya pergerakan lempeng Indo-Australia ke arah utara menuju ke busur Banda (McClay et al., 2000).
12
Gambar 2.1. Evolusi tektonik Cekungan Kutai, A) Model pengendapan pada fase awal syn-rift yang terjadi selama Eosen Tengah – Eosen Akhir, terlihat adanya perbedaan geometri regangan di sisi transfer fault (Moss & Chambers, 1999). B) Model pengendapan pada fase sagging yang terjadi selama Eosen Akhir – Oligosen Akhir, tampak patahan ekstensional relatif berarah utara - selatan (Moss & Chambers, 1999). C) Model pengendapan pada 25 juta tahun yang lalu, terjadi aktifitas tektonik dan pengendapan material vulkanik Sintang dan terlihat adanya perbedaan geometri patahan ekstensional yang berarah relatif barat laut – tenggara (Moss & Chambers, 1999). D) Model sedimentasi selama inversi Akhir Miosen (Moss & Chambers,1999).
II.1.2. Fisiografi Cekungan Kutai Supriatna, dkk. (1995) menyebutkan bahwa dari barat ke timur Cekungan Kutai secara fisiografis dibagi menjadi 3 zona geomorfologi yang memanjang dari utara ke selatan (Gambar 2.2), yaitu: 1. Rawa-rawa, merupakan zona sinklinorium yang pada permukaannya berkembang menjadi rawa. Zona ini berkembang di bagian barat Cekungan, di hulu Sungai Mahakam.
13
2. Pegunungan Antiklinorium Samarinda, merupakan zona yang terdiri dari perbukitan bergelombang sedang hingga kuat dan memanjang dengan arah relatif timur laut – barat daya. Puncak-puncak bukit dan gunung di zona ini memiliki ketinggian antara 300 - 400 meter yang tersusun seluruhnya oleh batuan sedimen, membentuk morfologi lembah dan perbukitan bergelombang sedang hingga kuat. Zona ini berada pada bagian tengah dan menempati sebagian besar Cekungan Kutai. 3. Delta Mahakam, merupakan area yang terletak di bagian paling timur Cekungan Kutai. Kondisi morfologi komplek ini berupa perbukitan lemah sampai dataran delta yang berkembang menjadi delta hasil sedimentasi Sungai Mahakam yang menuju Selat Makasar dan memiliki potensi minyak bumi yang besar.
Gambar 2.2. Fisiografi Cekungan Kutai menurut Supriatna, dkk. (1995).
Daerah penelitian merupakan bagian dari Zona Pegunungan Antiklinorium Samarinda, yaitu ditandai oleh kotak merah pada Gambar 2.2.
14
II.1.3. Stratigrafi regional Cekungan Kutai Menurut Allen dan Chambers (1998), Cekungan Kutai tersusun atas endapan-endapan sedimen berumur Tersier yang memperlihatkan endapan fase transgresi dan regresi laut, yaitu: a. Fase transgresi Paleogen Fase sedimentasi Paleogen dimulai ketika terjadi fase tektonik ekstensional dan pengisian cekungan (syn-rift) dimulai pada Kala Eosen Awal. Pada masa ini merupakan awal dari proses pembentukan Cekungan Barito, Kutai dan Tarakan yang merupakan zona subsidence yang saling terhubungkan (Chambers dan Moss, 2000). Pada Kala Eosen hingga Kala Oligosen Bawah terjadi penurunan cekungan yang menyebabkan terjadinya kenaikan muka air laut (transgresi). Pada saat transgresi ini terjadi pengendapan sedimen laut dari arah timur ke barat dan selatan di lingkungan pasang-surut hingga laut dalam, sedangkan di tempat lain terjadi pembentukan batugamping di bagian paparan. Proses sedimentasi Paleogen mencapai puncak pada fase pengisian pada saat cekungan tidak mengalami pergerakan yang signifikan, sehingga mengendapkan serpih laut secara regional dan batuan karbonat pada Oligosen Akhir. Pada akhir Kala Oligosen terjadi orogenesa yang menyebabkan wilayah Paparan Sunda mengalami pengangkatan menjadi Tinggian Kuching dan Blok Schwaner. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pengendapan yang tidak selaras di atas batuan yang lebih tua.
15
b. Fase regresi Neogen Fase sedimentasi regresi Neogen dimulai pada Miosen Awal hingga sekarang, yang menghasilkan progradasi delta (deltaic progradation) yang masih berlanjut hingga sekarang. Penurunan muka air laut yang terjadi pada saat pengendapan lapisan-lapisan sedimen di Cekungan Kutai, hal ini menyebabkan terjadinya regresi yang menghasilkan lapisan-lapisan klastik deltaik hingga paralik yang mengandung banyak lapisan-lapisan batubara dan lignit. Progradasi terjadi dari arah barat ke timur menuju laut terbuka Selat Makasar. Pada fase ini di Cekungan Kutai terbentuk formasi lapisan sedimen yang menunjukkan fasies pasang-surut di lingkungan deltaik hingga neritik (Schlumberger, 1986). Hal tersebut menunjukkan siklus endapan deltaik yang dominan ditemukan di cekungan ini. Tiap siklus endapan dimulai dengan endapan paparan delta (delta plain) yang terdiri dari endapan rawa (marsh), endapan alur sungai (channel), point bar, tanggul-tanggul sungai (natural levees) dan crevasse splay. Di tempat yang lebih dalam diendapkan sedimen delta front dan prodelta.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Samarinda (Supriatna dkk., 1995), stratigrafi Cekungan Kutai dibagi dari tua ke muda menjadi Formasi Pamaluan, Formasi Bebuluh, Formasi Pulaubalang, Formasi Balikpapan dan Formasi Kampung Baru. Berikut penjelasan stratigrafi tiap formasi (Gambar 2.3): 1. Formasi Pamaluan (Tomp) Formasi ini tersusun oleh litologi batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, batulanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir kuarsa
16
bersifat karbonan dan gampingan dengan struktur sedimen berupa silang-siur dan perlapisan sejajar. Batugamping muncul sebagai batugamping terumbu dan batugamping berlapis secara setempat dan mengandung foraminifera besar Ketebalan lapisan batupasir kuarsa ini berkisar antara 1-2 meter, lapisan batulempung sekitar 45 cm, lapisan serpih berkisar antara 10-20 cm dan. Secara umum pada bagian bawah formasi ini bersifat lebih gampingan dan lebih banyak mengandung foraminifera plankton dibandingkan pada bagian atas. Tebal keseluruhan formasi ini kurang lebih 2000 meter. Pengendapan formasi ini dimulai sejak Miosen Awal di batimetri Neritik Luar hingga Neritik Dalam. Formasi Pamaluan merupakan batuan tertua yang tersingkap di Cekungan Kutai dan bagian atas formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh. 2. Formasi Bebuluh (Tmb) Formasi ini tersusun oleh litologi batugamping terumbu dengan sisipan batugamping pasiran dan serpih. Batugamping menghablur dan terkekarkan tak beraturan di beberapa tempat. Foraminifera besar berupa Lepidocyclina Sumatraensis BRADY, Miogypsina sp., Miogypsinoides sp., dan Operculina sp. menunjukkan umur Miosen Awal hingga Miosen Tengah. Formasi ini mengalami pengendapan di lingkungan laut dangkal dengan ketebalan sekitar 300 meter. 3. Formasi Pulau Balang (Tmpb) Formasi ini terdiri dari litologi berupa perselingan antara graywacke dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara dan tuff dasit. Graywacke berwarna kelabu kehijauan dan padat. Tebal lapisan antara 50 – 100 cm. Batupasir kuarsa berwarna kelabu kemerahan, setempat bersifat tufan dan
17
gampingan. Tebal lapisan antara 15 – 60 cm. Batugamping berwarna coklat muda kekuning-kuningan, batugamping ini terdapat sebagai sisipan dan lensa dalam batupasir kuarsa, tebal lapisan antara 10 – 40 cm. Batulempung berwarna kelabu kehitaman dengan tebal lapisan 1 – 2 cm. Batulempung ini berselingan dengan batubara dengan tebal hingga 4 m secara setempat. Tufa dasit yang berwarna putih merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa. Di Sungai Loa Haur, singkapan formasi ini mengandung foraminifera besar antara lain : Austrotrilina howchini, Borelis sp., Lepidocyclina sp., dan Miogypsina sp. yang menunjukkan umur Miosen Tengah dengan batimetri laut dangkal. Ditemukannya fragmen batubara pada batuan yang ada pada formasi ini menunjukkan bahwa terdapat pengangkatan di daerah barat. 4. Formasi Balikpapan (Tmbp) Formasi Balikpapan terdiri dari beberapa siklus endapan delta yang terdiri dari perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir kuarsa berwarna putih kekuning-kuningan, tebal lapisan berkisar antara 1 – 3 m dan disisipi lapisan batubara tebal 5 – 10 cm. Batupasir gampingan berwarna coklat, berstruktur sedimen lapisan bersusun dan silang siur. Tebal lapisan batupasir ini berkisar antara 20 – 40 cm, mengandung foraminifera kecil dan disisipi lapisan tipis karbon. Batulempung berwarna kelabu kehitam-hitaman, setempat mengandung sisa tumbuhan dan oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan. Setempat batulempung ini mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Batulanau gampingan muncul dalam bentuk lapisan tipis. Batuserpih juga muncul dalam bentuk lapisan tipis.
18
Batugamping pasiran mengandung foraminifera besar dan moluska yang menunjukkan umur Miosen Tengah bagian atas hingga Miosen Akhir bagian bawah. Lingkungan pengendapan formasi ini terletak pada perengan “paras delta – dataran delta”. Tebal formasi sekitar 1000 – 1500 meter. Formasi ini memiliki hubungan stratigrafi menjari dengan Formasi Pulau Balang. 5. Formasi Kampung Baru (Tmpk) Formasi ini tersusun atas batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih, batulanau, dan lignit. Batupasir umumnya berwarna putih, lepas - lepas, setempat mengandung lapisan tipis oksida besi, konkresi, tuf lanauan, batupasir konglomeratan, dan konglomerat. Formasi ini terbentuk pada Miosen Akhir dan berakhir pada Pleistosen, terbentuk di lingkungan pengendapan delta hingga laut dangkal, dengan ketebalan sedimen >500 m. Formasi ini terbentuk di atas Formasi Balikpapan dengan hubungan selaras. 6. Aluvium (Qa) Alluvium ini terdiri dari kerikil, pasir dan lumpur yang terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kampung Baru pada lingkungan sungai, rawa, delta dan pantai. Pengendapan formasi ini masih terus berlangsung hingga sekarang.
19
Gambar 2.3. Kolom Stratigrafi Cekungan Kutai (modifikasi dari Supriatna et al., 1995).
Berdasarkan hasil plotting lokasi Blok Beruaq di Peta Geologi Regional Lembar Samarinda, Kalimantan Timur (Supriatna, dkk, 1995) menunjukkan bahwa Blok Beruaq termasuk ke dalam Formasi Pulau Balang di bagian timur dan Formasi Balikpapan di bagian barat laut (Gambar 2.4).
penelitian, sedangkan Formasi Balikpapan terletak di bagian barat daerah penelitian.
Gambar 2.4. Peta Geologi Regional Daerah Penelitian (modifikasi dari Supriatna et al., 1995). Formasi Pulau Balang tersingkap di bagian timur daerah
20
21
II.I.4. Struktur geologi regional Cekungan Kutai Struktur geologi yang paling jelas terlihat pada Cekungan Kutai berupa adanya pegunungan lipatan memanjang yang disebut sebagai Sabuk Lipatan Mahakam (Gambar 2.5, Gambar 2.6 dan Gambar 2.7). Sabuk lipatan ini terdapat pada area darat dengan sangat intensif dan berkurang intensitasnya ke arah timur. Antiklin yang terdapat pada cekungan ini umumnya asimetris, panjang, dan dibatasi oleh patahan (thrust fault-bounded anticline). Antiklin ini memiliki orientasi utara-timur laut – selatan-barat daya dengan lebar sekitar 2 – 5 km dan panjang sekitar 50 km. Antiklin – antiklin ini dipisahkan oleh adanya sinklin yang luas dan terbuka (McClay et al., 2000). Bagian barat dari sabuk lipatan Mahakam ini disebut sebagai Antiklinorium Samarinda (Ott, 1987).
Gambar 2.5. Peta struktur geologi Cekungan Kutai bagian bawah yang menunjukkan adanya sabuk lipatan Mahakam. Daerah penelitian terletak di sekitar Sinklin Gitan yang tergambar dalam kotak merah (modifikasi dari McClay et al., 2000).
22
Gambar 2.6. Sayatan geologi dari peta struktur geologi pada Gambar 2.8 (warna menunjukkan adanya perlapisan batuan tanpa nama formasi). Daerah penelitian terletak di sekitar Gitan (modifikasi dari McClay et al., 2000).
Gambar 2.7. A) Area penelitian merupakan bagian dari Antiklinorium Samarinda dengan orientasi struktur perlipatan searah dengan garis pantai, yaitu timur laut-barat daya (NNE-SSW). B) Tampak perbukitan dan lembah di bagian tengah cekungan, yaitu kenampakan perlipatan asimetris antiklin dan sinklin yang berasosiasi dengan sesar naik, sesar turun dan sesar mendatar (Cloke et al., 1999).
23
II.2. Dasar Teori II.2.1. Eksplorasi sumberdaya batubara Eksplorasi batubara merupakan kegiatan untuk menemukan area yang berpotensi akan keterdapatan sumberdaya batubara berdasarkan penyelidikan geologi (Ward, 1984). Penyelidikan geologi berkaitan dengan kegiatan pemetaan geologi dan pemboran di lapangan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi keterdapatan, keberadaan, ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, serta kualitas dari suatu endapan batubara (Kang, 2010). Hal tersebut sebagai dasar untuk menentukan tingkat keyakinan geologi dan kelas sumberdaya batubara yang dihasilkan. Menurut Noppe (1992) tahapan penyelidikan dalam kegiatan ekplorasi batubara umumnya dilaksanakan melalui 3 tahap, yaitu eksplorasi umum, eksplorasi pendahuluan dan eksplorasi rinci (Tabel 3.1). Berikut penjelasan mengenai kegiatan eksplorasi tersebut: II.2.1.1. Eksplorasi umum Tahap eksplorasi umum bertujuan untuk mengidentifikasi daerah berpotensi bagi keterdapatan endapan batubara pada skala regional berdasarkan hasil studi geologi regional (Merrit, 1986). Eksplorasi umum pada kegiatan eksplorasi terbagi menjadi 2 macam, yaitu studi pustaka dan reconnaissance detail. Berikut penjelasannya:
24
a. Studi Pustaka Pada tahap studi pustaka dilakukan kompilasi data-data geologi regional area yang terkait dan melakukan interpretasi kondisi geologi yang mengontrol secara regional. Studi tersebut dapat berasal dari literatur yang dipublikasi maupun yang tidak dipublikasi, peta geologi regional, peta dasar topografi, citra satelit maupun foto udara. Pengumpulan semua literatur yang berhubungan dengan daerah yang akan diselidiki, termasuk mempelajari peta-peta dasar seperti peta geologi, peta topografi serta laporan dari penyelidikan terdahulu. Penaksiran data-data geologi regional terkait area penelitian akan memberikan gambaran dan interpretasi mengenai kondisi stratigrafi, geomorfologi, stratigrafi maupun sumberdaya yang ada. Tahap ini berguna untuk membantu dalam kegiatan survei tinjau lapangan (reconnaissance detail), yaitu dengan mengetahui lokasi-lokasi mana saja yang dianggap menarik untuk dilakukan pengecekan lapangan, baik melalui pengamatan singkapan maupun pemboran. Setelah pemilihan lokasi ditentukan langkah berikutnya, studi faktor-faktor geologi regional dari peta geologi regional sangat penting untuk memilih daerah eksplorasi, karena pembentukan endapan bahan galian dipengaruhi dan tergantung pada proses-proses geologi yang pernah terjadi, dan tanda-tandanya dapat dilihat di lapangan. b.
Survei tinjau (reconnaissance detail) Tahap eksplorasi survei tinjau (reconnaissance detail) merupakan tahap
peninjauan lapangan di beberapa lokasi secara sekilas untuk mengetahui keadaan
25
lokasi dan infra-struktur secara umum terutama kesampaian daerahnya serta perijinan dan koordinasi dengan aparatur pemerintah desa. Kegiatan yang dilakukan, yaitu pengecekan singkapan yang dianggap mmenarik, pengeboran dan pengambilan sampel untuk analisis kimia. Pengecekan singkapan terkait dengan jenis litologi, deskripsi litologi, kemiringan perlapisan, struktur geologi, tingkat pelapukan, keberadaan seam batuabara, ketebalan seam, dll. Pengecekan singkapan hanya dilakukan pada beberapa singkapan yang tersebar secara merata, hal tersebut dilakukan untuk melihat secara umum persebaran litologi, kemiringan perlapisan, struktur geologi, karakter seam batubara di area penelitian. Pengecekan ini juga berguna dalam perencanaan lintasan pada tahap survei lapangan eksplorasi selanjutnya. Pengeboran pada tahap ini dilakukan untuk melihat persebaran litologi baik non batubara maupun batubara di bawah permukaan area penelitian. Menurut Noppe (1992), pengeboran yang dilakukan pada tahap ini dengan spasi jarak titik bor yang lebar (wide-spaced grid) dengan spasi berkisar antara 3 - 5 km atau pengeboran juga dapat dilakukan pada titik tertentu yang dianggap menarik berdasarkan hasil interpretasi geologi regional, pola pengeboran ini disebut juga selectively placed drilling. Pengambilan sampel batubara dilakukan untuk melihat tingkatan batubara yang ada di area penelitian melalui analisis kimia di laboratorium. Sampel batubara diambil baik dari singkapan maupun core pada pengeboran.
26
II.2.1.2. Eksplorasi pendahuluan Menurut Noppe (1992), eksplorasi pendahuluan merupakan tahap awal evaluasi terhadap target dengan cara mengidentifikasi dan menginvestigasi target yang telah direncanakan atau disebut tahap target identification and investigation (preliminary evaluation). Tahapan ini melalui penaksiran lapangan secara rinci dengan melakukan kegiatan pemetaan geologi dan pengeboran serta logging. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan Gambaran keadaan geologi yang mengontrol, startigrafi, struktur geologi, sebaran batubara, kualitas dan kuantitas sumberdaya batubara serta kondisi medan. Menurut Thompson (2005), teknik investigasi pada tahap eksplorasi pendahuluan dibagi menjadi 2 kegiatan, yaitu pemetaan geologi (surface mapping) dan subsurface investigation yang terdiri dari pemboran dan geophysical logging. Berikut penjelasan mengenai kegiatan pada tahap eksplorasi pendahuluan: a. Pemetaan geologi (surface mapping) Pemetaan geologi merupakan kegiatan survei lapangan secara rinci dengan tujuan untuk mendapatkan seluruh data mengenai keadaan geologi melalui pengamatan singkapan pada beberapa titik yang tersebar dan measuring section pada jalur yang telah direncanakan. Data-data yang dikumpul dari kegiatan pemetaan geologi ini berupa jenis litologi, deskripsi litologi, kemiringan perlapisan, struktur geologi, tingkat pelapukan, identifikasi seam batuabara dan sumberdaya lainnya, ketebalan batuan dll. Data-data tersebut akan diinterpretasi melalui pembuatan
27
laporan pemetaan geologi yang berisikan peta-peta, seperti peta geologi, peta geomorfologi, peta struktur geologi, pola penyaluran, dll. Interpretasi tersebut diharapkan akan memberikan Gambaran kondisi geologi yang lengkap dan komprehensif, sehingga dapat memberikan rekomendasi terhadap investigasi yang lebih rinci pada tahap eksplorasi selanjutnya. Menurut Merrit (1986), data-data hasil pemetaan geologi yang dikompilasi dengan data sebelumnya dapat digunakan untuk perencanaan pemboran yang lebih rinci pada tahap eksplorasi selanjutnya, yaitu: -
Menentukan daerah prioritas pemboran
-
Membuat peta rencana pemboran
-
Menentukan grid pemboran dengan mempertimbangkan tipe lapisan
-
Menentukan koordinat titik bor
-
Mengevaluasi hasil data bor guna perencanaan titik bor selanjutnya
b. Subsurface Investigation Subsurface investigation terdiri dari kegiatan pemboran dan geophysical logging. Kegiatan pemboran dan logging di dalam eksplorasi batubara menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui kondisi persebaran lapisan batubara di bawah permukaan (Thomas, 1994). Data hasil pemboran dapat meningkatkan keyakinan geologi dari aspek geologi. Hasil dari kegiatan ini akan diperoleh data mengenai kondisi batubara yang terdapat di bawah permukaan, antara lain meliputi ketebalan, jumlah seam batubara, kedalaman batubara dari permukaan, kekerasan lapisan batuan
28
penutup (overburden) dan pengapit batubara (interburden) serta perhitungan sumberdaya dan pengambilan sample berupa core dan cutting. Metode pemboran yang dilakukan dengan spasi antar titik bor yang lebih rapat (closer spaced drilling), yaitu spasi titik bor ≤ 1 km. Untuk nilai yang lebih spesifik akan tergantung kompleksitas geologi yang mengontrol di area penelitian (Tabel 3.1). Pola persebaran titik bor dengan pola grid space yang teratur dan berjajar atau disebut fence line drilling, namun dapat juga digabung dengan pola specific area drilling. Pengeboran dengan pola specific area drilling dilakukan pada zona tertentu yang berdasarkan hasil interpretasi geologi (surface mapping interpretation) dianggap menarik untuk diselidiki lebih lanjut, seperti zona sesar, zona patahan, zona intrusi dll. Metode geofisika atau logging membantu dalam hal interpretasi data mengenai persebaran litologi yang ada, yaitu melalui log gamma ray dan density. Data yang diperoleh melalui logging memiliki kelebihannya tersendiri, yaitu dapat merekam variasi litologi yang ada di bawah permukaan, keberadaan dan ketebalan seam batubara dan juga membantu dalam melakukan korelasi seam batubara. Dari kegiatan subsurface investigation akan dihasilkan data untuk dilakukan pemodelan fisik persebaran geologi dan gambaran mengenai sumberdaya batubara, hal ini memberikan alasan untuk penetapan apakah daerah survei yang bersangkutan memberikan harapan baik (prospek) atau tidak. Jika daerah tersebut mempunyai prospek yang baik, maka dapat diteruskan dengan tahap eksplorasi selanjutnya.
29
II.2.1.3. Eksplorasi rinci Tahap eksplorasi rinci juga disebut sebagai tahap prospective selection and investigation (Noppe,1992). Tahap eksplorasi rinci bertujuan untuk mendelineasi secara rinci dalam 3 dimensi terhadap endapan batubara yang telah diketahui dari pengambilan conto dari singkapan, paritan, lubang bor dan bukaan tambang. Jarak sampling yang rapat, sehingga ukuran, bentuk, sebaran, kemenerusan, kuantitas dan kualitas dari endapan batubara tersebut dapat ditentukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi (Noppe, 1992). Menurut Merrit (1987), hasil akhir dari kegiatan eksplorasi rinci juga dapat mendukung mine plan engineer dalam mendesign dan/atau mengembangkan pertambangan. Kegiatan utama yang dilakukan, yaitu evaluasi pendahuluan dan sampling serta pemodelan sumberdaya. Evaluasi yang dilakukan terkait area target yang telah dipilih, yaitu area yang memenuhi syarat untuk evalusi lebih lanjut (prospective selection area). Area yang dipilih berdasarkan hasil interpretasi pada tahap eksplorasi pendahuluan dan juga pemodelan sumberdaya. Area yang menjadi target, yaitu area yang terdapat persebaran seam batubara dengan ketebalan yang memenuhi syarat, kemenerusan yang jelas, kualitas > lignit, bernilai ekonomis untuk proses penambangan (berkaitan dengan kemiringan seam dan overburdence). Model fisik persebaran yang diproses menggunakan sangat membantu dalam evaluasi sumberdaya. Pemodelan sumberdaya sangat membantu dalam proses melihat area mana yang sangat prospek untuk ditambang nantinya, karena dengan adanya model fisik persebaran seam batubara,
30
dan juga section stratigraphic, kontur struktur, coal cropline, kualitas dan kuantitas akan terlihat jelas di mana saja seam yang prospek. Untuk pemodelan sumberdaya yang rinci, perlu adanya kegiatan pemboran dan logging yang lebih rinci. Metode pemboran yang dilakukan yaitu dengan jarak antar titik bor yang lebih rapat, yaitu dengan grid space ≤ 500 m (closer spaced drilling), namun untuk jarak yang lebih spesifik perlu ditinjau kembali tingkat kompleksitas geologi yang mengontrol (Tabel 3.1). Kedalaman lubang bor harus lebih dalam 5 m dari kedalaman target yang ditentukan. Core drilling pada tahap pemboran ini sangat diperlukan untuk pengambilan sampel uji geotek, selain sampel seam batubara yang ditargetkan. Open-hole logging yang dilakukan untuk merekam seluruh variasi litologi sepanjang lubang bor menembus formasi batuan. Data yang didapatkan pada tahap sebelum evaluasi harus akurat mengenai kedalaman, ketebalan, kemiringan dan penyebaran sumberdaya secara 3 dimensi (panjang-lebar-tebal) serta data mengenai kekuatan batuan sampling, kondisi air tanah dan penyebaran struktur akan sangat memudahkan perencanaan kemajuan tambang, lebar/ukuran bahwa bukaan atau kemiringan lereng tambang. Juga penting untuk merencanakan produksi bulanan/tahunan dan pemilihan peralatan tambang maupun prioritas bantu lainnya.
31 Tabel 2.1. Kerangka kegiatan eksplorasi.
32
II.2.2. Batubara Batubara merupakan komponen penting sebagai energi alternatif yang dibutuhkan selain minyak dan gas. Batubara merupakan batuan sedimen yang tersusun atas > 80 % material organik, sehingga persebaran lapisannya mengikuti batuan sedimen yang ada di sekitarnya. Endapan Batubara merupakan endapan hasil akumulasi material organik yang berasal dari bekas tumbuhan yang telah melalui proses penggambutan dan pembatubaraan litifikasi untuk membentuk lapisan batubara. Material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorphosis oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologis. Bahanbahan organik yang terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat lebih dari 50% atau volume bahan organik tersebut, termasuk kandungan lengas bawaan (Inherent moisture), lebih dari 70% (BSN, 2011). II.2.3. Lingkungan pengendapan batubara Batubara sendiri umumnya banyak ditemukan pada lingkungan pengendapan rawa paralis, terutama lingkungan pengendapan delta. Menurut Horne dkk (1978), lingkungan pengendapan batubara di delta (Gambar 2.6) dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. Lingkungan back barrier, memiliki ciri-ciri endapan batubara lapisan yang tipis, penyebaran lateral tidak menerus dan memiliki kandungan sulfur yang tinggi.
33
2. Lingkungan lower delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan yang tipis, penyebaran luas dan distribusi kandungan sulfur bervariasi. 3. Lingkungan transisi antara lower dan upper delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan tebal, penyebaran lateral luas, serta rendah sulfur. 4. Lingkungan upper delta plain - fluvial, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan cukup tebal, setempat dan umumnya penyebaran lateral tidak merata dengan kandungan sulfur yang rendah.
Gambar. 2.8. Lingkungan pengendapan batubara pada daerah delta (Horne dkk, 1978).
34
II.2.4. Geometri batubara Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu lapisan batubara yang meliputi parameter ketebalan, kemiringan, kemenerusan, keteraturan, sebaran, bentuk, kondisi roof dan floor, cleat, dan pelapukan (Kuncoro, 2000). Pembahasan dan pemahaman geometri lapisan batubara harus dikaitkan dengan kegiatan eksplorasi dan penambangan batubara. Pada tahap eksplorasi akan sangat membantu di dalam usaha menentukan besarnya sumberdaya batubara, yang nanti akan sangat membantu untuk evaluasi pada setiap tahap eksplorasi, perencanaan pengembangan atau perluasan daerah eksplorasi, sebaran kualitas dan sekaligus kuantitas, keputusan mendirikan usaha pertambangan dan rencana penambangan. Kondisi lapisan batubara di lapangan dijumpai dalam urutan yang tidak teratur, pelamparan yang terbatas, sebaran tidak teratur, tidak menerus, menebal, menipis, terpisah, dan melengkung dengan geometri yang bervariasi. Kondisi geometri lapisan batubara yang demikian, dapat dipahami jika hubungannya dengan lapisan batuan yang berasosiasi (lingkungan pengendapan) diperhitungkan bersamaan dengan proses tektonik yang mempengaruhinya (Horne, 1978). Agar geometri lapisan batubara menjadi berarti dan menunjang pada tahap perhitungan cadangan, bahkan sampai
pada
kegiatan
perencanaan
tambang,
penambangan,
pencucian,
pengangkutan, penumpukan, maupun pemasarannya, maka perlu diketahui mengenai parameter-parameter dari geometri batubara. Seperti yang dijelaskan pada sub-bab
35
sebelumnya, bahwa parameter geometri batubara terdiri dari beberapa parameter, yaitu: a. Ketebalan Ketebalan lapisan batubara adalah unsur penting yang langsung berhubungan dengan perhitungan cadangan, perencanaan produksi, sistem penambangan dan umur tambang. Kecenderungan arah perubahan ketebalan, penipisan, pembajian dan splitting terjadi karena diperngaruhi oleh faktor-faktor geologi. Faktor-faktor yang terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan kecepatan akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya channel, sesar dan proses karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi permukaan. Ketebalan lapisan batubara tersebut termasuk parting (gross coal thickness), tebal lapisan batubara tidak termasuk parting (net coal thickness), atau tebal lapisan batubara yang dapat ditambang (mineable thickness). Menurut Jeremic (1985), pembagian kategori ketebalan lapisan batubara adalah (a) sangat tipis, apabila tebalnya kurang dari 0,5 m, (b) tipis 0,5-1,5 m, (c) sedang 1,5-3,5 m, (d) tebal 3,5-25 m, dan (e) sangat tebal, apabila >25 m. b. Kemiringan Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh terhadap perhitungan cadangan ekonomis, nisbah pengupasan dan sistem penambangan (Kuncoro, 1988). Pola kemiringan suatu perlapisan batubara dapat berbentuk pola linier, pola lengkung, atau pola luasan (area) dan pola kemiringan lapisan batubara tersebut dapat bersifat
36
menerus dan sama besarnya sepanjang cross strike maupun on strike atau hanya bersifat setempat. Menurut Jeremic (1985), kemiringan lapisan batubara: (a) lapisan horisontal, (b) lapisan landai, bila kemiringannya kurang dari 25o, (c) lapisan miring, kemiringannya berkisar 25o-45o, (d) lapisan miring curam, kemiringannya berkisar 45o-75o, dan (e) vertikal.
c. Pola sebaran lapisan batubara Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh karena itu, faktor pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan oleh struktur lipatan (antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar dengan pola tertentu atau dengan pensesaran kuat (Diessel, 1992). Menurut Jeremic (1985), pembagian pola kedudukan lapisan batubara atau sebarannya adalah (a) teratur dan (b) tidak teratur. d. Kemenerusan lapisan batubara Menurut Kuncoro (2000) pada parameter ini yang perlu diketahui adalah apakah kemenerusannya dibatasi oleh proses pengendapan, split, sesar, intrusi, atau erosi. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu pada kegiatan eksplorasi untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan penentuan perhitungan cadangan. Menurut Jeremic (1985), kemenerusan lapisan batubara adalah (a) ratusan meter, (b) ribuan meter 5-10 km, dan (c) menerus sampai lebih dari 200 km.
37
e. Keteraturan lapisan batubara Menurut Kuncoro (2000) keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola kedudukan lapisan batubara (jurus dan kemiringan), artinya apakah pola lapisan batubara di permukaan (cropline) menunjukkan pola teratur (garis menerus yang lurus, melengkung/meliuk pada elevasi yang hampir sama) atau membentuk pola tidak teratur (garis yang tidak menerus (washout), bercabang (splitting), melengkung/meliuk pada elevasi yang tidak sama) dan apakah bidang lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang hampir rata, bergelombang lemah, atau bergelombang). f. Bentuk Lapisan Batubara Bentuk lapisan batubara dikontrol oleh bentuk cekungan sedimentasi, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses pembatubaraan. Bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam menghitung sumberdaya dan cadangan batubara serta merencanakan cara penambangannya. Bentuk lapisan batubara adalah perbandingan antara tebal lapisan batubara dan kemenerusannya, apakah termasuk kategori bentuk melembar, membaji, melensa, atau bongkah (Kuncoro, 2000). Menurut Sukandarrumidi (1995), bentuk-bentuk lapisan batubara adalah sebagai berikut (Gambar 2.7): -
Horse back Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen
yang menutupinya melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi.
38
Tingkat perlengkungan sangat ditentukan oleh besarnya gaya kompresi. Makin kuat gaya kompresi yang berpengaruh, maka makin besar pula tingkat perlengkungannya. Ke arah lateral lapisan batubara dapat memiliki ketebalan yang sama atau mengalami penipisan. -
Pinch Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah.
Pada umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis, misalnya batulempung, sedangkan di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur. Bentuk pinch ini bukan penampakan tunggal, melainkan merupakan penampakan berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch bervariasi dari beberapa meter sampai puluhan meter. Dalam proses penambangan batubara, batupasir yang mengisi pada alur-alur tersebut tidak terhindar ikut tergali, sehingga keberadaan fragmen-fragmen batupasir tersebut juga dianggap sebagai pengotor anorganik. -
Clay Vein Bentuk ini terjadi apabila di antara 2 bagian lapisan batubara terdapat
urat lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahn yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir. Apabila
39
batubaranya ditambang, bentukan clay vein ini dipastikan ikut tertambang dan merupakan pengotor anorganik (mineral matter) yang tidak diharapkan. -
Burried Hill Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana batubara semula terbentuk
suatu kulminasi, sehingga lapisan batubara seperti terintrusi. Lapisan batubara pada bagian yang terintrusi tersebut dapat mengalami penipisan atau bahkan hilang sama sekali. Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari beberapa meter sampai puluhan meter. Data hasil pemboran inti pada saat eksplorasi akan banyak membantu dalam menentukan dimensi bentukan tersebut. Apabila bentukan intrusi tersebut merupakan batuan beku, pada saat proses penambangan dapat dihindari, tetapi apabila bentukan tersebut merupakan tubuh batupasir, dalam proses penambangan sangat dimungkinkan ikut tergali. Oleh sebab itu dibutuhkan ketelitian dalam perencanaan penambangan, sehingga fragmen-fragmen intrusi tersebut dalam batubara yang dihasilkan dari kegiatan penambangan dapat dikurangi. -
Fault Bentuk ini terjadi apabila deposit batubara mengalami beberapa seri
patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan perhitungan sumberdaya batubara, kondisi batubara di daerah tersebut akan hancur, hal tersebut mengakibabkan terjadinya kontaminasi material anorganik.
40
-
Fold Bentukan ini terbentuk akaibat dari proses tektonik yang kuat,
sehingga terjadi perlipatan. Lipatan tersebut berupa antiklin dan sinklin yang bentuknya dapat menunjukkan tingkat intensifitas gaya yang bekerja pada lapisan tersebut. Semakin kompleks perlipatan yang terjadi, maka gaya kompresi yang bekerja juga intensif. Pada umumnya lapisan batubara yang mengalami perlipatan berasosiasi dengan lapisan batubara yang terpatahkan. Dalam hal untuk melakukan rekonstruksi perlapisan dengan kondisi struktur geologi yang kompleks diperlupan kegiatan eksplorasi seperti pemboran, sehingga dapat membantu dalam hal merekonstruksi dan juga perhitungan sumberdaya maupun cadangan batubara.
Gambar 2.9. Bentuk perlapisan batubara menurut Sukandarumidi (1995) adalah A) horse back B) Pinch C) Clay vein D) Burried hill E) fault F) Fold.
41
g. Kondisi Roof dan floor Kondisi roof dan floor. Kontak batubara dengan roof dan floor merupakan fungsi dari proses pengendapannya (Kuncoro, 2000). Pada kontak yang tegas menunjukkan proses pengendapan berlangsung secara tiba-tiba, sebaliknya pada proses pengendapan yang berlangsung secara lambat diperlihatkan oleh kontak yang berangsur kandungan karbonannya. II.2.5. Kualitas batubara Kualitas batubara berperan penting dalam menentukan kelas batubara (Thomas, 1994). Kualitas suatu batubara dapat ditentukan dengan cara analisa parameter tertentu baik secara fisik maupun secara kimia. Parameter yang ditentukan dari suatu analisa batubara tergantung tujuan untuk apa batubara tersebut digunakan. Berdasarkan panduan kualitas batubara Thomas (1994), parameter kualitas batubara terdiri dari: Total Moisture, Proximate, Total Sulfur, Calorific Value, Ultimate Analysis dan Ash Analysis, berikut penjelasannya: a. Kadar air (Moisture) Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada batubara. Tinggi rendahnya total moisture akan tergantung pada peringkat batubara, ukuran distribusi dan kondisi pada saat sampling. Peringkat batubara adalah perubahan batubara dari batubara muda ke batubara tua (Schweinfurth, 2009). Semakin tinggi peringkat suatu batubara semakin kecil porositas batubara tersebut atau semakin padat batubara tersebut. Dengan demikian akan semakin kecil juga moisture yang dapat diserap atau
42
ditampung dalam pori batubara tersebut. Kadar air sendiri dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
Kadar air bebas (free surface moisture), yaitu air yang menempel pada permukaan batubara yang berasal dari air hujan dan juga permukaan batubara yang berasal dari air hujan dan juga air semprotan yang mana akan mudah menguap dalam kondisi laboratorium.
Kadar air bawaan (inherent moisture), yaitu yang terdapat pada rongga (pori) dan mineral yang terdapat dalam batubara. Air ini dapat dihilangkan dengan suhu pemanasan 105 - 110°C.
Kadar air total (total moisture), merupakan jumlah dari kadar air bebas ditambah dengan kadar air bawaan. Total Moisture dapat dipengaruhi oleh kondisi pada saat batubara tersebut di Sampling. Yang termasuk dalam kondisi sampling seperti kondisi batubara pada saat disampling, size distribusi sample batubara yang diambil terlalu besar atau terlalu kecil dan cuaca pada saat pengambilan sample.
b. Analisis Proksimat Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas batubara (coal rank). Analisis proksimat adalah rangkaian analisis yang terdiri dari air dried moisture, ash, volatile matter dan fixed carbon (Thomas, 1994).
Air dried moisture (ADM) adalah moisture yang terkandung dalam batubara setelah batubara tersebut dikering udarakan. Besar kecilnya nilai
43
ADM dipengaruhi oleh peringkat batubara. Semakin tinggi peringkat batubara, semakin rendah kandungan ADM nya.
Kadar abu (ash content), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal atau tidak terbakar sewaktu batubara dibakar pada suhu 815°C. Abu pada pembakaran batubara dapat dihasilkan dari pengotor bawaan maupun pengotor sebagai hasil penambangannya. Abu yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara dapat berupa fly ash maupun bottom ash. Semakin tinggi kadar abu pada jenis batubara yang sama, semakin rendah nilai kalorinya.
Zat terbang (volatile matter), yaitu komponen-komponen dalam batubara yang dapat lepas atau menguap pada saat dipanaskan di ruang hampa udara pada suhu 900°C. Zat terbang ini meliputi zat terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat terbang organic (volatile organic matter). Volatile meter adalah bagian organik batubara yang menguap ketika dipanaskan pada temperature tertentu. Kadar Volatile Matter dalam batubara ditentukan oleh peringkat batubara. Semakin tinggi peringkat suatu batubara akan semakin rendah kadar volatile matter-nya.
Karbon tertambat (fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang tertambat pada batubara setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat terbangnya dihilangkan.
44
c. Sulfur Di dalam batubara, sulfur dapat merupakan bagian dari mineral sulfat dan sulfida. Dengan sifatnya yang mudah bersenyawa dengan unsur hidrogen dan oksigen untuk membentuk senyawa asam, maka keberadaan sufur diharapkan dapat seminimal mungkin karena sifat tersebut yang merupakan pemicu polusi (Anonim, 2011a). Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak masalah dalam pemanfaatannya. Salah satu senyawa yang umum dijumpai pada endapan batubara adalah sulfur. Beberapa jenis sulfur yang umum dijumpai pada batubara, yaitu:
Pirit (
, dijumpai berupa bentukan makrodeposit, seperti lensa, urat
dan sekahan (joint)
Sulfur organik, umumnya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah antara 20-80%.
Sulfur sulfat, umunya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah relatif kecil.
d. Nilai kalori (calorific value)
Calorific value adalah nilai energi yang dapat dihasilkan dari pembakaran batubara. Nilai Kalori batubara bergantung pada peringkat batubara. Semakin tinggi peringkat batubara, semakin tinggi nilai kalorinya. Pada batubara yang sama Nilai kalori dapat dipengaruhi oleh moisture dan juga Abu. Semakin tinggi moisture atau abu, semakin kecil nilai kalorinya (Anonim, 2011a).
45
e. Analsis ultimat Analisis ultimat adalah analisis sederhana yang digunakan untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk batubara dengan hanya memperhatikan unsur kimia pembentuk yang penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks yang ada di dalam batubara. Unsur-unsur penyusun batubara, yaitu Karbon (C), Hydrogen (H), Oksigen (O), Sulfur (S), Nitrogen (N). f. Ash analysis Ash analysis, yang digunakan sebagai indikator karakteristik abu di dalam pembakaran batubara. Kandungan komposisi abu tergantung pada unsur pembentuk batubara, dan juga dipengaruhi oleh abu yang berasal dari luar seperti dilusi atau material yang terbawa selama penambangan. II.2.6. Klasifikasi batubara Klasifikasi batubara digunakan untuk mengetahui tingkat (rank) dari batubara. Penentuan klasifikasi batubara di daerah penelitian didasarkan atas salah satu atau lebih sifat fisik, kimia dan kombinasinya, yang menentukan kualitas batubara, yaitu kandungan karbon tertambat (fixed carbon), nilai kalori (calorific value), kandungan zat terbang (volatile matter) dan kandungan air (moisture). Berikut beberapa klasifikasi batubara yang dapat digunakan dalam penentuan peringkat batubara adalah:
46
a. Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials) Klasifikasi ASTM yang bersifat komersil dan didasarkan atas jumlah unsur karbon tertambat (fixed carbon) (Tabel 2.2). Parameter dasar yang digunakan dalam Klasifikasi ASTM, yaitu:
Untuk batubara berperingkat tinggi (fixed carbon ≥ 69%), parameter yang digunakan adalah jumlah tertambat (fixed carbon) dan zat terbang (volatile matter).
Untuk batubara berperingkat rendah (fixed carbon ≤ 69%), maka parameter yang digunakan adalah nilai kalori (calorific value).
Parameter tambahan, berupa sifat karakter penggumpalan (coking).
Hasil analisis proksimat yang dilakukan di laboratorium memiliki nilai kalori pada basis pelaporan air dried basis (adb). Pada basis adb ini, conto batubara ditempatkan pada ruangan terbuka, sehingga secara perlahan kadar airnya akan mencapai titik kesetimbangan dengan kelembaban udara, sedangkan untuk penggolongan batubara menggunakan Klasifikasi ASTM, batubara digolongkan berdasarkan nilai kalori pada basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf). Analisis dengan menggunakan basis dmmf ini akan memberikan Gambaran mengenai komposisi organic murni pada batubara. Untuk mengkonversi nilai kalori dalam basis adb menjadi dmmf digunakan Parr Formulas (Wood dkk, 1983) dengan rumus sebagai berikut:
47
( (
( (
(
( ( (
Keterangan: FC : % Fixed Carbon (adb) VM : % Volatile matter (adb) M
: % Moisture (adb)
A : % Ash (adb) S
: % Sulphur (adb)
Btu: British Termal Unit; per pound = 1,8185 x CV (adb)
Tabel 2.2. Klasifikasi peringkat batubara oleh ASTM (Wood dkk, 1983).
48
b.
Klasifikasi fuel ratio Klasifikasi ini didasarkan atas perbandingan antara persentase karbon
tertambat (fixed carbon) dan persentase zat terbang (volatile matter) dengan rumus:
Menurut Sukandarrumidi (1995), klasifikasi fuel ratio (Tabel 2.3) digunakan untuk mengetahui kesempurnaan pembakaran, sehingga makin tinggi nilai fuel ratio, maka semakin banyak unsur karbon yang tidak terbakar. Klasifikasi batubara berdasarkan fuel ratio, yaitu sebagai berikut: Tabel 2.3. Klasifikasi fuel ratio Sukandarrumidi (1995).
II.2.7. Pemodelan sumberdaya batubara menggunakan Minescape Pemodelan endapan batubara bertujuan untuk mengetahui pola penyebaran lapisan batubara, baik geometri secara umum, letak/posisi lapisan, kedalaman,
49
kemiringan, serta penyebaran dari tanah penutup (Tambunan, 2009). Konstruksi model endapan batubara direpresentasikan dalam bentuk peta-peta, yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak (Tambunan, 2009). Data-data dasar yang dperlukan berupa data topografi dan data lubang bor. Dari data-data tersebut dapat dibuat data turunan untuk perhitungan sumberdaya, yaitu peta kontur struktur roof dan floor batubara.
Secara umum, pemodelan dan perhitungan sumberdaya batubara memerlukan data-data dasar sebagai berikut (Tambunan, 2009), data topografi, data penyebaran singkapan batubara (data survei), data dan sebaran titik bor, data analisis kualitas sampel batubara dan peta geologi lokal (meliputi litologi, stratigrafi, dan struktur geologi). Pengolahan data dasar yang dilakukan yaitu memasukkan data ke dalam Minescape berupa data topografi, rekapitulasi data lubang bor (baik data litologi maupun data survey) dan data analisis sampel. Pada setiap data rekapitulasi lubang bor, terdapat suatu posisi lubang bor yang disebut dengan seam. Seam adalah lapisan batubara yang terdapat di antara batas roof dan floor. Tiap seam ini nantinya akan dibuat pemodelan, baik model kontur, kualitas dan perhitungan resources. Prinsip yang digunakan adalah prinsip stratigrafi terutama tentang urutan lapisan yang diendapkan pada suatu periode tertentu yang menerus atau selaras. Sesuai dengan prinsip stratigrafi tersebut, pembuatan model endapan batubara dengan menggunakan kedua perangkat lunak ini dilakukan dengan cara mengkorelasikan unit-unit yang sama pada suatu urutan lapisan.
50
Data yang digunakan untuk korelasi, dapat berasal dari hasil pemboran, survey dsb. Model yang dibuat atau dihasilkan akan dikontrol oleh suatu definisi yang disebut schema atau block model. Pembuatan schema atau block model itu sendiri, harus melalui beberapa rangkaian proses. Setelah proses tersebut selesai dilaksanakan, maka schema atau block model dapat digunakan untuk dasar pembuatan model, sehingga pada akhirnya data output atau hasil akhir dapat ditampilkan dan dianalisis serta dapat dilakukan perhitungan resources. Data penyebaran singkapan batubara berguna untuk mengetahui cropline batubara, yang merupakan posisi dimana penambangan dimulai (Tambunan, 2009). Dari pemboran diperoleh hasil berupa data elevasi roof dan floor batubara. Peta situasi dan data-data yang memuat batasan-batasan berguna untuk menentukan boundary perhitungan sumberdaya (Tambunan, 2009). Endapan batubara yang tidak memiliki batasan-batasan tersebut, tidak dapat ditambang karena tidak dapat dilakukan perhitungan sumberdaya (Tambunan, 2009). Dari data-data dasar tersebut akan dihasilkan suatu data keluaran, yaitu data dasar yang diolah untuk menghasilkan model endapan batubara secara 2D dan 3D untuk selanjutnya akan dilakukan penghitungan sumberdaya endapan batubara. a. Prinsip dasar pemodelan menggunakan minescape Minescape merupakan software yang umum digunakan dalam permodelan batubara dan perencaaan tambang. Prinsip dasar pemodelan dalam perangkat lunak ini adalah menggunakan suatu metode yang disebut dengan metode grid. Grid-grid
51
menyimpan data spatial pada grid node dalam form biasa. Nilai grid dibuat oleh interpolasi data original ke dalam jaringan grid node. Selain grid node, juga terdapat tempat menyimpan untuk data regular pada lokasi X, Y, dan Z tertentu. Tempat menyimpan data lokasi tersebut dinamakan dengan grid file. Semakin banyak nilai unsur grid (baris dan kolom) yang dibuat maka hasil dari pemodelan yang ditampilkan semakin jelas dan rinci. Untuk perhitungan sumberdaya batubara, prinsip dasar yang digunakan adalah dengan menggunakan metode poligon. Metode Poligon (area of influence). Metoda poligon ini merupakan metoda perhitungan yang konvensional. Metoda ini umum diterapkan pada endapan-endapan yang relatif homogen dan mempunyai geometri yang sederhana. Kadar pada suatu luasan di dalam poligon ditaksir dengan suatu model geologi yang berada di tengah-tengah poligon sehingga metoda ini sering disebut dengan metoda poligon daerah pengaruh (area of influence). Daerah pengaruh dibuat dengan membagi beberapa jarak antara daerah pengaruh yang telah ditentukan jaraknya (Tambunan, 2009). Dalam perangkat lunak ini seorang geologist akan menggunakan salah satu tools untuk melakukan pembuatan pemodelan endapan batubara. Tools tersebut adalah stratmodel. Penjelasan mengenai stratmodel, akan dijelaskan pada sub-bab berikut.
52
b. Stratmodel Stratmodel adalah salah satu aplikasi dari minescape yang dirancang untuk membuat dan mengolah model dua dimensi dan tiga dimensi suatu endapan geologi yang berlapis terutama batubara atau endapan-endapan geologi lainnya seperti posfat atau bauksit (Azizy, 2011). Stratmodel telah dirancang untuk menyediakan geologist atau mining engineer dengan fasilitas untuk memodel dan memeriksa depositnya dalam 2D dan 3D (Azizy, 2011). Stratmodel didasarkan pada prinsip umum stratigrafi terutama tentang urutan lapisan yang diendapkan pada suatu periode tertentu yang menerus atau selaras. Urutan lapisan selaras dalam stratmodel dikenal dengan istilah conformable sequence, secara stratigrafi conformable sequence adalah merupakan suatu paket endapan yang mempunyai karakteristik stratigrafi dan struktural yang sama. Sesuai dengan prinsip stratigrafi tersebut, stratmodel membuat model satu atau lebih conformable sequence dengan mengikuti pola kecenderungan struktur regional yang mempengaruhi seluruh bentuk lapisan. Susunan lapisan dalam suatu conformable sequence dimodel sedemikian rupa satu dengan yang lainnya sehingga tidak saling berpotongan. Stratmodel dapat membuat suatu model geologi yang terdiri dari beberapa conformable sequence yang selaras maupun tidak satu sama lainnya. Dalam panduan training minescape mitrais (Tambunan, 2009), dijelaskan bahwa conformable sequence dalam stratmodel dapat didefinisikan sebagai susunan satu atau lebih interval (lapisan batubara) atau surface (bentuk permukaan seperti batas pelapukan). Surface tidak mempunyai ketebalan, sedangkan interval
53
mempunyai ketebalan dan terdiri dari dua buah surface, yaitu roof dan floor. Interval dan surface dalam stratmodel termasuk sebagai bagian dari suatu istilah yang disebut Unit. Unit dibagi kedalam dua jenis (Gambar 2.10), yaitu: 1.
Elemental unit, berupa lapisan tunggal, spliting dari seam atau surface.
2. Compound unit, berupa interval yang analog dengan parent seam dari seam yang split.
Gambar 2.10. Elemental vs compund Unit (Tambunan, 2009).
Dalam stratmodel semua parameter pembuatan model meliputi stratigrafi dan parameter geologi lainnya didefinisikan dalam suatu istilah yang disebut schema. Schema adalah suatu diagram sistematik dari stratigrafi yang menyimpan informasi yang digunakan untuk membuat suatu model geologi. Stratmodel menggunakan data lubang bor sebagai dasar pembuatan model stratigrafi. Pada saat pembuatan model dilakukan, data lubang bor dimasukkan ke dalam sebuah form model yang telah
54
ditentukan dalam schema. Pembuatan schema sendiri memiliki beberapa tahap sebelum memasuki tahap pemodelan dan perhitungan sumberdaya.
Gambar 2.11. Penampang seam batubara hasil pemodelan minescape (Tambunan, 2009).
Pembuatan model berdasarkan prinsip stratigrafi dan struktur regional, stratmodel juga dapat menyertakan patahan pada model baik vertikal maupun miring yang didefinisikan oleh pengguna. Sumber data yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan model adalah data litologi hasil pemboran maupun pemetaan dan data hasil pengukuran survey baik untuk titik bor maupun topografi. Kedalam model stratigrafi yang dihasilkan dapat pula ditambahkan data hasil analisis kualitas, sehingga model yang dihasilkan tersebut merupakan suatu model geologi yang lengkap. Contoh dari hasil pemodelan yang dibuat menggunakan minescape, dapat dilihat pada (Gambar 2.11).
55
II.2.8. Optimasi Pit Limit Tambang Terbuka Batubara Optimasi pit adalah usaha untuk menentukan batas tambang terbaik (ultimate pit limit) dan memberikan keuntungan yang maksimal atau bernilai ekonomis (Sasongko, 2009). Metode yang digunakan pada pit tambang terbuka adalah metode penambahan ekspansi pit. Metode ini dilakukan dengan trial and error, sehingga perlu dilakukan beberapa simulasi. Metode incremental pit expansion juga dipadukan dengan model aliran kas (cash flow model). Metode ini menggunakan beberapa parameter kunci yang akan berpengaruh terhadap penentuan batas tambang terbuka dengan memberikan nilai ekonomis, yaitu sebagai berikut (Tabel 2.4.): Tabel 2.4. Parameter kunci dalam penentuan batas tambang terbuka terbaik (Sasongko, 2009). No
Parameter kunci
Satuan
Simbol
1
Biaya pemindahan material penutup (overburden)
$/bcm
w
2
Biaya penambangan batubara (coal mining)
$/ton
c
3
Harga jual batubara (coal price)
$/ton
s
4
Iuran produksi
%
x
Selain menggunakan parameter tersebut, kondisi geometri batubara dan kualitas batubara juga ikut mempengaruhi batas tambang terbaik tersebut. Oleh karena itu, metode ini juga harus didukung dengan model geologi yang pada umumnya diolah dengan menggunakan software, seperti Minescape dan Minex. Model geologi menyediakan kenampakan model analog seperti persebaran seam batubara dan perhitungan sumberdaya batubara. Hal tersebut akan diproses secara manual dengan menerapkan metode incremental pit expansion dan cash flow model untuk mendapatkan batas tambang terbaik. Cara ini dianggap lebih efesien
56
dibandingkan dengan memproses model hingga memberi batas tambang terbaik secara komputerisasi.
Gambar 2.12. Penentuan batas tambang terbaik dengan menggunakan simulasi a, b, c, dan d.
Pada Gambar 2.12. diterapkan metode trial and error pada beberapa simulasi batas tambang, sehingga pada simulasi tertentu akan didapatkan batas tambang terbaik. Penentuan batas tambang tersebut selain menggunakan metode penambahan ekspansi pit, juga menggunakan model aliran kas dengan memasukkan parameter kunci (Tabel 2.4.). Model aliran kas pada penentuan batas tambang terbaik ini menggunakan rumus sebagai berikut:
BESR = [
(
]
Keterangan: BESR : Break even stripping ratio x
: Iuaran produksi (16,9 %)
s
: Harga jual batubara (fob), $/ton
c
: Biaya penambangan batubara, $/ton
w
: Biaya pemindahan overburden, $/bcm
57
Gambar 2.13. Metode incremental pit expansion dengan beberapa simulasi terbaik.
Hasil perhitungan BESR dengan menggunakan parameter kunci Tabel 2.4. akan memberikan nilai perbandingan batubara dan overburden yang diambil sama dengan 0, sehingga untuk penentuan batas tambang harus dengan nilai perbandingan yang lebih besar. Misalkan BESR menunjukkan nilai 16 : 1, maka untuk batas tambang terbaik adalah lebih besar dari 16 : 1, contohnya 14 : 1. Contoh lain, yaitu pada Gambar 2.13., dimana simulasi a dengan posisi block-strip paling dekat dengan seam akan memberikan nilai SR 15 : 1, maka pada simulasi a dengan block-strip tersebut akan memberikan keuntungan pada proses tambang terbuka, sedangkan pada simulasi d dengan posisi block-strip terjauh dengan seam akan memberikan nilai SR 20 : 1, maka hal tersebut tidak akan memberikan keuntungan, melainkan simulasi tersebut merugikan. Oleh karena itu, metode penambahan ekspansi pit dan model aliran kas dikaitkan untuk mendapatkan batas tambang terbuka terbaik.
58
BAB III HIPOTESIS DAN METODE PENELITIAN
III.1. Hipotesis 1. Kondisi geologi Area penelitian termasuk bagian dari Cekungan Kutai tepatnya di Zona Antiklinorium Samarinda, dengan kondisi sebagai berikut:
Fisiografi: Perbukitan bergelombang sedang hingga kuat dengan ketinggian puncak bukit 300 - 400 m dpl.
Stratigrafi: Bagian dari Formasi Pulaubalang di bagian timur, yang terdiri dari perselingan antara greywacke dengan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara dan tuff dasit. Bagian dari Formasi Balikpapan di bagian barat laut, yang terdiri dari perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan batulanau, serpih, batugamping dan batubara.
Struktur geologi: Perlipatan asimetris antiklin dan sinklin dengan sumbu di bagian tengah area penelitian, serta pensesaran berupa sesar naik, sesar turun dan sesar mendatar.
2. Kondisi sumberdaya batubara
Blok Beruaq berpotensi akan sumberdaya batubara. Lapisan batubara sebagai sisipan di kedua Formasi Pulaubalang dan Formasi Balikpapan.
59
Ketebalan: Ketebalan batubara di Formasi Pulaubalang bervariasi, berkisar antara 0,1 - 4 m, sedangkan di Formasi Balikpapan relatif lebih tebal.
Lingkungan pengendapan: Formasi Pulaubalang pada bagian bawah terbentuk di lower delta plain dan mengalami transgresi, sehingga di bagian atas terendapkan di lingkungan laut terbuka (middle neritic). Formasi Balikpapan terendapkan di lingkungan transisi antara lower dan upper delta plain.
Kondisi kualitas batubara: Kualitas batubara relatif sedang, karena formasi batuan yang ada relatif muda (Kala Miosen Tengah) dan lingkungan pengendapan dipengaruhi oleh sistem fluvial dan pasang-surut laut, sehingga pasti influx sedimen masih dominan.
Kondisi geometri batubara: Formasi Pulaubalang relatif tipis, penyebaran luas dan distribusi kandungan sulfur bervariasi, sedangkan di Formasi Balikpapan lapisan batubara relatif tebal, penyebaran lateral luas dan rendah sulfur.
3. Pemodelan sumberdaya batubara di Sub-blok B Model persebaran sumberdaya batubara di Sub-blok B dipengaruhi oleh perlipatan dan pensesaran yang tersebar, struktur tersebut merupakan bagian dari struktur yang ada di Zona Antiklinorium Samarinda. Berdasarkan
60
hasil studi pustaka menunjukkan bahwa Area Beruaq dikontrol oleh perlipatan asimetris antiklin dan sinklin dan sesar geser (Gambar 3.1.).
Gambar 3.1. Model geologi dan sumberdaya batubara yang diperkirakan.
61
4. Titik rencana pengeboran (eksplorasi pendahuluan) di Sub-blok A
Gambar 3.2. Lokasi target pemboran di Sub-blok A.
Area Beruaq berpotensi akan keterdapatan sumberdaya batubara. Dilihat dari kondisi struktur geologi dan kenampakan citra DEM pada Gambar 3.2. menunjukkan bahwa jurus perlapisan relatif berorientasi barat daya - timur laut, sehingga untuk pola pengeboran yang dilakukan akan tegak lurus terhadap jurus perlapisan seam batubara yang ada. Rencana pengeboran yang dilakukan di Sub-blok A menggunakan
62
pola fence line drilling dengan orientasi barat laut - tenggara. Spasi antar titik bor adalah 500 cm (Gambar 3.2).
III.2. Tahapan Penelitian Tahapan lapangan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahapan pra-lapangan (tahap persiapan), tahapan pekerjaan lapangan (tahap pengambilan data) dan tahapan pasca lapangan (tahap analisis data dan pembahasan). III.2.1. Tahap persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan pra-lapangan. Tahap persiapan merupakan bagian dari tahap awal eksplorasi umum, yaitu studi pustaka dan survei tinjau (reconnaissance detail). Metode studi pustaka yang dipakai pada tahap persiapan, yaitu penaksiran regional (planning & literature review). Pada tahap ini, peneliti melakukan kompilasi data-data geologi regional terkait area penelitian dan juga bantuan citra satelit maupun foto udara untuk menghasilkan suatu interpretasi geologi mengenai kondisi area penelitian. Berikut data-data sekunder yang dipakai untuk penaksiran regional Peta Geologi Regional Lembar Samarinda, citra satelit dan citra foto udara, peta topografi, paper atau karya tulis yang berkaitan dengan wilayah pemetaan yang telah dilakukan sebelumnya dan data administratif area penelitian Survei tinjau (reconnaissance detail) bertujuan untuk pengambilan data pada tahap eksplorasi umum, yaitu untuk melihat secara umum kondisi geologi di lapangan dan juga untuk melakukan perencanaan kegiatan lapangan pada tahap pemetaan
63
geologi dan pemboran serta geophysical logging. Kegiatan pengambilan data pada tahap ini, yaitu: a. Pengecekan singakapan pilihan Pengecekan singkapan berguna dalam perencanaan lintasan pada tahap survei lapangan eksplorasi selanjutnya. Pengecekan singkapan terkait dengan jenis litologi, deskripsi litologi, kemiringan perlapisan, struktur geologi, tingkat pelapukan, keberadaan seam batuabara, ketebalan seam dan sampling batuan dll. b. Pengeboran dan geophysical logging Pengeboran dan logging dilakukan untuk melihat kondisi geologi di bawah permukaan, yaitu data variasi litologi, keberadaan seam batubara, ketebalan seam batubara dan pengambilan sampel core dan cutting. Kegiatan ini dilakukan hanya untuk melihat kondisi bawah permukaan secara umum di area penelitian. Data hasil pengeboran berupa sampel core dan data geophysical logging. c. Pengambilan sampel Pengambilan sampel yang dilakukan untuk analisis di laboratorium, yaitu sampel batubara untuk kepentingan kualitas batubara dan tingkatan batubara yang tersebar di area penelitian. Sampel ini diambil baik dari singkapan batuan yang masih segar maupun sampel core hasil pengeboran.
64
III.2.2. Tahap pengambilan data Tahap pengambilan data merupakan tahapan pekerjaan lapangan yang merupakan bagian dari kegiatan eksplorasi pendahuluan. Tahapan ini bertujuan untuk pengumpulan data-data primer dengan cara melakukan kegiatan sebagai berikut: a. Pemetaan geologi Pengambilan data pada tahap pemetaan geologi dilakukan untuk mengumpulkan seluruh data mengenai keadaan geologi yang mengontrol di lapangan. Kegiatan pemetaan geologi berupa pengamatan singkapan pada beberapa titik yang tersebar secara rinci dan measuring section pada jalur yang telah direncanakan. Berikut data-data primer yang didapatkan pada saat pemetaan geologi data koordinat pengamatan kenampakan morfologi, variasi litologi, kedudukan perlapisan, struktur geologi, potensi batubara, pembuatan sketsa singkapan, pengambilan foto dan sampel litologi batubara. b. Pemboran dan geophysical logging Pengeboran dan geophysical logging dilakukan pada tahap ini untuk melihat kondisi geologi di bawah permukaan secara rinci yaitu data variasi litologi, keberadaan seam batubara, ketebalan seam batubara dan pengambilan sampel core.
65
Data hasil pengeboran dan logging serta analisis sampel telah disediakan oleh pihak PT. Multi Harapan Utama untuk Sub-blok B Area Blok Beruaq. Data pengeboran yang diberikan termasuk bagian dari eksplorasi rinci, hal ini dikarenakan untuk grid space dari titik bor pengeboran yang dilakukan dengan jarak 250 m antar titik lubang bor. III.2.3. Tahap analisis data Tahap ini dilakukan setelah data-data sekunder dan primer telah didapatkan. Pengolahan data dibagi menjadi dua bagian, yaitu untuk Sub-blok A dan Sub-blok B Area Blok Beruaq. Analisi data yang dilakukan untuk keperluan interpretasi kondisi geologi dan sumberdaya batubara, pemodelan sumberdaya dan memberikan rekomendasi untuk lokasi pemboran di Sub-blok A dan penentuan boundary prospect area di Sub-blok B. a. Sub-blok A
Gambar 3.3. Sub-blok A merupakan area bagian barat Blok Beruaq .
66
Sub-blok A terletak di bagian barat area penelitian (Gambar 3.3). Data yang dapat diolah untuk Sub-blok A hanya berasal dari kegiatan eksplorasi umum, berupa studi pustaka dan recconnaissance detail, dan juga kegiatan eksplorasi pendahuluan berupa kegiatan pemetaan geologi. Di Sub-blok A ini belum dilakukan kegiatan pengeboran sama sekali, sehingga peneliti hanya dapat melakukan kegiatan eksplorasi hingga tahap eksplorasi pendahuluan saja.
Pengolahan data yang dilakukan berupa data lapangan hasil pemetaan geologi, yaitu melakukan interpretasi kondisi geologi secara rinci di Subblok A. Peneliti mencoba melakukan interpretasi mengenai kondisi stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi dll dan memvisualisasi kondisi tersebut ke dalam bentuk peta dan juga laporan dalam bentuk paragraf.
Peneliti mencoba untuk melakukan korelasi terhadap singkapan batubara yang didapatkan hasil pemetaan geologi yang dilakukan berdasarkan karakteristik seam batubara, ketebalan seam batubara dan kedudukan seam batubara. Hasil dari korelasi ini berupa peta cropline batubara. Korelasi seam batubara memenuhi kriteria antara lain: - Ketebalan: paling tipis hingga sangat tebal (>25 m) - Tingkatan batubara: low rank- high rank - Penyebaran yang menerus (ratusan meter)
67
Peneliti mencoba memberikan rekomendasi target titik pengeboran di Sub-blok A berdasarkan hasil interpretasi kondisi geologi dan persebaran seam batubara di permukaan. Penentuan titik bor memenuhi kriteria sebagai berikut: - Jarak titik bor: spasi titik bor ≤ 1 km (closer spaced drilling) - Pola sebaran titik bor: fence line drilling dan/ specific area drilling
b. Sub-blok B
Gambar 3.4. Sub-blok B merupakan area bagian timur Blok Beruaq.
Sub-blok B terletak di bagian timur area penelitian (Gambar 3.4). Pengolahan data yang dilakukan pada Sub-blok B baik berupa hasil kegiatan lapangan yang dilakukan peneliti dan juga pengolahan data pengeboran yang telah dilakukan oleh PT. Multi Harapan Utama Coal.
68
Pengolahan data lapangan hasil pemetaan geologi dilakukan dengan menginterpretasi
mengenai
kondisi
stratigrafi,
struktur
geologi,
geomorfologi dll dan memvisualisasi kondisi tersebut ke dalam bentuk peta dan juga laporan dalam bentuk paragraf seperti halnya di Sub-blok A.
Pengolahan data hasil pengeboran yang dilakukan di Sub-blok B menggunakan aplikasi perangkat lunak berupa Minescape.
Pengolahan data menggunakan Minescape, yaitu: -
Melalukan input data titik singkapan, titik bor dan topografi di Minescape. Proses ini disebut Minescape core, yaitu tahap awal untuk memulai pemodelan. Hasil dari proses ini yaitu untuk mengetahui di mana saja persebaran titik singkapan dan titik bor yang ada di Area Beruaq.
-
Membuat model 3 dimensi kontur Area Beruaq melalui pemrosesan data poin topografi yang disediakan oleh perusahaan.
-
Membuat penampang profil persebaran lapisan batubara di bawah permukaan.
-
Membuat cropline batubara melalui titik singkapan dan titik bor yang ada di Area Beruaq.
-
Membuat model kontur struktur Area Sub-Blok Beruaq untuk melihat kemenerusan seam batubara yang tersebar.
69
-
Penentuan batas area prospek (boundary prospect area) di Blok B Area Sub-Blok Beruaq yang prospek ditambang.
Model sumberdaya lebih difokuskan kepada lokasi persebaran seam batubara, bagaimana arah dan kemiringan seam batubara, pola persebaran batubara dan perhitungan sumberdaya batubara pada beberapa seam yang cukup tebal saja. Model sumberdaya ditampilkan dalam penampang stratigrafi dan kenampakan 3 D persebaran seam batubara.
Penentuan batas area prospek (boundary prospect area), yaitu area yang memiliki prospek untuk ditambang menurut keyakinan geologi yang paling tinggi, yaitu dibantu dengan model sumberdaya. Pemberian batas area terhadap suatu seam yang prospek berdasarkan beberapa parameter, yaitu ketebalan seam ≥ 1 m, kualitas batubara > lignit, kemenerusan lapisan jelas dan pola kedudukan perlapisan teratur. Penentuan batas area prospek menggunakan metode incremental pit expansion and cash flow (Sasongko, 2009).
III.3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode deskriptif analitis. Metode penelitian yang dilakukan, yaitu berorientasi pemecahan masalah dengan cara pengumpulan
data-data
sekunder
sebelum
melakukan
pekerjaan
lapangan,
pengambilan data primer langsung di lapangan, pengolahan data (analisis) dan
70
pembuatan laporan akhir yang berisikan jawaban dari permasalahan yang dihadapi dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan. Beberapa metode yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu metode pemetaan geologi, metode korelasi lapisan batubara, metode pengeboran, metode komputasi pemodelan sumberdaya metode incremental pit expansion and cash flow (Sasongko, 2009). Berikut penjelasan metode-metode tersebut: III.3.1. Metode pemetaan geologi Pengumpulan data primer di lapangan melalui kegiatan pemetaan geologi di Area Beruaq, metode yang digunakan dalam pemetaan ini antara lain : a. Metode jalur stratigrafi terukur Metode ini digunakan untuk mengetahui variasi litologi melalui pembuatan jalur stratigrafi terukur (measured section). Jalur pengamatan ini direncanakan tegak lurus terhadap jurus perlapisan batuan agar dapat mengetahui karakter litologi seperti tekstur, struktur, komposisi dan ketebalan batuan dengan lebih rinci dan lebih akurat. Metode ini digunakan pada jalurjalur yang memiliki data singkapan batuan yang cukup baik, seperti di jalan hauling atau sungai intermitten. b. Metode stasiun pengamatan Metode ini digunakan dengan melakukan pengamatan geologi di satu titik yang ada pada daerah pemetaan. Pembuatan rencana stasiun pengamatan (STA) ini diusahakan menyebar di area pemetaan, terutama pada daerah yang
71
dicurigai memiliki kondisi geologi yang cukup penting. Dari stasiun-stasiun pengamatan ini, kemudian disusun sedemikian rupa, sehingga dapat mengetahui hubungan atau posisi secara stratigrafis terhadap stasiun yang lain dengan data measured section sebagai acuannya. c. Metode pengambilan sampel Pengambilan sampel batuan dilakukan pada setiap singkapan batubara. Sampel batubara yang diambil merupakan sampel batuan yang segar dengan teknik
channel
sampling
untuk
kepentingan
analisa
proksimat
di
laboratorium. III.3.2. Metode korelasi singkapan batubara Dalam melakukan penentuan penyebaran lapisan batubara dilakukan korelasi terhadap singkapan-singkapan batubara yang ditemukan berdasarkan ketentuanketentuan, yaitu karakteristik batubara, jurus dan kemiringan lapisan batubara, ketebalan lapisan batubara, roof dan floor dari singkapan batubara, lapisan pengotor pada lapisan batubara, struktur geologi yang dijumpai di lapangan, topografi yang dikontrol oleh hukum “V.” Korelasi merupakan suatu metode untuk mengetahui hubungan ekuivalensi antar unit – unit stratigrafi. Beberapa konsep mengenai korelasi antara lain adalah korelasi litostratigrafi, korelasi biostratigrafi dan korelasi kronostratigrafi. Korelasi menggunakan konsep biostratigrafi dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan litostratigrafi. Korelasi biostratigrafi menggunakan kandungan
72
fosil penciri umur yang menjadi kunci korelasinya, sehingga menjadi dasar yang lebih kuat dibandingkan litostratigrafi untuk melakukan korelasi. Tidak adanya kandungan fosil menyebabkan korelasi stratigrafi yang dilakukan menggunakan korelasi litostratigafi, dengan kunci korelasi berupa kesamaan atau kemiripan litologi dan posisi stratigrafinya. III.3.3. Metode pengeboran Metode pengeboran pada penelitian ini membahas mengenai lokasi titik bor di area penelitian. Penentuan lokasi titik bor berdasarkan tahap eksplorasi yang dilakukan dan berdasarkan kompleksitas kondisi geologi yang mengontrol. Perencanaan pengeboran di Sub-blok A Area Blok Beruaq pada penelitian ini dilakukan pada tahap pengeboran ekplorasi pendahuluan. Metode pemboran yang dilakukan Pengeboran pada saat eksplorasi pendahuluan dengan spasi antar titik bor yang lebih rapat (closer spaced drilling), yaitu spasi titik bor 250 – 500 m. Untuk nilai yang lebih spesifik akan tergantung komplesitas geologi yang mengontrol di area penelitian. Pola persebaran titik bor dengan pola grid space yang teratur dan berjajar atau disebut fence line drilling, namun dapat juga digabung dengan pola specific area drilling. Pengeboran dengan pola specific area drilling dilakukan pada zona tertentu yang berdasarkan hasil interpretasi geologi (surface mapping interpretation) dianggap menarik untuk diselidiki lebih lanjut, seperti zona sesar, zona patahan, zona intrusi dll.
73
Metode geofisika atau geophysical logging membantu dalam hal interpretasi data mengenai persebaran litologi yang ada, yaitu melalui log gamma ray dan density. Data yang diperoleh melalui logging memiliki kelebihannya tersendiri, yaitu dapat merekam variasi litologi yang ada di bawah permukaan, keberadaan dan ketebalan seam batubara dan juga membantu dalam melakukan korelasi seam batubara. III.3.4. Metode pemodelan sumberdaya batubara Pemodelan sumberdaya batubara penelitian dilakukan dengan menggunakan software Minescape. Minescape merupakan salah satu software yang paling umum dipakai di dunia pertambangan batubara, yaitu salah satunya untuk input dan pemodelan data untuk perhitungan resource, reserve dan desain pit. Secara umum pemrosesan hanya menggunakan Minescape core untuk proses input data dan stratmodel untuk pemodelan persebaran lapisan batubara dan perhitungan resource untuk penentuan boundary prospect area di Sub-blok B. Berikut penjelasan mengenai metode pemodelan sumberdaya batubara: a. Data yang diperlukan Secara umum, pemodelan dan perhitungan sumberdaya batubara memerlukan data-data dasar sebagai berikut (Syafrizal dalam Tambunan, 2009), yaitu data topografi, data penyebaran singkapan batubara (data survei), data dan sebaran titik bor, data analisis kualitas sampel batubara, peta geologi lokal (meliputi litologi, stratigrafi, dan struktur geologi).
74
b. Langkah-langkah Langkah pengerjaan minescape terbagi menjadi 3, yaitu validasi data, minescape core dan stratmodel. Berikut penjelasannya:
Gambar 3.5. Diagram pemodelan sumberdaya batubara menggunakan Minescape.
1) Validasi data Tahap validasi data dilakukan dengan melakukan analisis statistik, sebelum data-data yang tersedia di input kedalam perangkat lunak, baik data rekapitulasi lubang bor dan data analisis kualitas sampel. Tujuannya adalah untuk mengetahui parameter dan karakteristik sampel di daerah penelitian, sehingga data yang akan di input sudah memenuhi persyaratan yang
75
disesuaikan dengan perangkat lunak yang digunakan serta mengurangi error dalam pemrosesan data. 2) Minescape core Pengolahan data dasar yang dilakukan yaitu memasukkan data ke dalam Minescape core berupa data topografi, rekapitulasi data lubang bor (baik data litologi maupun data survei) dan data analisis sampel. Di dalam pemrosesan data di Minescape core, dilakukan input data, berupa titik singkapan, titik bor dan data topografi. Pada tahap ini akan memunculkan persebaran titik singkapan, titik bor dan kenampakan kontur 3 dimensi. Intinya dalam minescape core yaitu pembuatan pembuatan project, posting titik bor, titik singkapan dan topografi dan kontur. 3) Stratmodel Stratmodel adalah salah satu aplikasi dari Minescape yang dirancang untuk membuat dan mengolah model 2 dimensi dan 3 dimensi suatu endapan geologi yang berlapis terutama batubara atau endapan-endapan geologi lainnya seperti posfat atau bauksit (Azizy, 2011).
Langkah pembuatan
schema, yaitu data yang diolah melalui Minescape yaitu berupa data lokasi persebaran batubara, topografi Area Beruaq, data batubara berupa ketebalan batubara, roof dan floor batubara tersebut serta dikorelasikan dengan data pemboran. Model ini untuk menunjukkan pola persebaran batubara di permukaan maupun bawah permukaan Area Beruaq.
76
III.3.5. Metode incremental pit expansion and cash flow Metode ini digunakan untuk menentukan batas area prospek (optimasi pit) untuk memberikan keuntungan yang maksimal jika sumberdaya batubara tersebut ditambang. Metode yang digunakan pada pit tambang terbuka adalah metode penambahan ekspansi pit. Metode ini dilakukan dengan trial and error, sehingga perlu dilakukan beberapa simulasi. Metode incremental pit expansion juga dipadukan dengan model aliran kas (cash flow model). Metode ini menggunakan beberapa parameter kunci yang akan berpengaruh terhadap penentuan batas tambang terbuka dengan memberikan nilai ekonomis, yaitu biaya pemindahan material penutup (overburden), biaya penambangan batubara (coal mining), harga jual batubara (coal price) dan iuran produksi. Selain menggunakan parameter tersebut, kondisi geometri batubara dan kualitas batubara juga ikut mempengaruhi batas tambang terbaik tersebut. Oleh karena itu, metode ini juga harus didukung dengan model geologi yang pada umumnya diolah dengan menggunakan software, seperti Minescape dan Minex. Model geologi menyediakan kenampakan model analog seperti persebaran seam batubara dan perhitungan sumberdaya batubara. Hal tersebut akan diproses secara manual dengan menerapkan metode incremental pit expansion dan cash flow model untuk mendapatkan batas tambang terbaik. Cara ini dianggap lebih efesien dibandingkan dengan memproses model hingga memberi batas tambang terbaik secara komputerisasi.
77
Gambar 3.6. Diagram alir penelitian.
78
Tabel 3.1. Jadwal rencana penelitian
Tahapan
Tahun 2014
Tahun 2015
No Penelitian Tahap 1 Persiapan Tahap 2
Pengambilan Data Tahap
3
Analisis Data
4
Pembahasan
5
Kesimpulan
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
79
BAB IV PENGOLAHAN DATA
IV.1. Ketersediaan Data Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data primer dan data sekunder yang ada (Tabel 4.1). Data primer berupa data hasil pemetaan geologi, sampel dari lapangan dan data pemboran, sedangkan data sekunder berupa Peta Geologi Regional Lembar Samarinda, citra satelit dan citra foto udara, peta topografi, paper atau karya tulis yang berkaitan dengan wilayah pemetaan yang telah dilakukan sebelumnya dan data administratif area penelitian. Tabel 4.1. Ketersedian data penelitian. Data Primer
Sekunder
Data hasil pemetaan geologi
Peta Geologi Regional Lembar Samarinda
Data sumberdaya batubara
Citra satelit dan citra foto udara Peta topografi Paper atau karya tulis Data administratif area penelitian Data Pengeboran Data hasil laboratorium sampel batubara
Pengambilan
data
pada
tahap
pemetaan
geologi
dilakukan
untuk
mengumpulkan seluruh data mengenai keadaan geologi yang mengontrol di lapangan dan juga informasi mengenai keterdapatan sumberdaya batubara. Data hasil pemetaan geologi berupa data koordinat pengamatan, pengukuran lereng dan kenampakan morfologi, variasi litologi melalui pengamatan singkapan pada beberapa titik yang
80
tersebar secara rinci dan measuring section, kedudukan perlapisan, pengukuran struktur geologi berupa kekar, sesar dan lipatan, pencatatan potensi batubara, pembuatan sketsa singkapan, pengambilan foto dan pengambilan sampel batubara. Data sumberdaya batubara juga didapatkan dari hasil pemetaan geologi, yaitu berupa data persebaran titik-titik singkapan batubara, pengukuran ketebalan, kemiringan roof dan floor, serta deskripsi megaskopis batubara. Kegiatan pemetaan geologi dilakukan dengan mengamati singkapan pada beberapa titik yang tersebar di Blok Beruaq secara rinci dan juga melakukan pengukuran jalur stratigrafi terukur (measuring section) pada jalur yang telah direncanakan. Data hasil pemboran dan geophysical logging serta analisis sampel telah disediakan oleh pihak PT. Multi Harapan Utama Coal untuk Sub-blok B Area Blok Beruaq. Data pengeboran yang diberikan termasuk bagian dari eksplorasi rinci, hal ini dikarenakan untuk grid space dari titik bor pengeboran yang dilakukan dengan jarak interval 250 m. Pengeboran dan logging dilakukan pada tahap ini untuk melihat kondisi geologi di bawah permukaan secara rinci, yaitu keberadaan seam batubara, ketebalan seam batubara, pengambilan sampel core dan cutting. Data sekunder yang telah disebutkan pada Tabel 4.1. digunakan untuk pembuatan peta tentatif dan interpretasi geologi sebelum ke lapangan. Hal tersebut sangat berguna untuk penentuan rencana jalur lintasan pengamatan/pemetaan. Setelah dilakukan pengumpulan data-data primer dan dikompilasi dengan data-data sekunder, maka tahap selanjutnya adalah pengolahan data yang dibagi
81
menjadi dua bagian, yaitu Sub-blok A dan Sub-blok B Area Blok Beruaq. Analisis data yang dilakukan untuk keperluan interpretasi kondisi geologi dan sumberdaya batubara untuk seluruh bagian Blok Beruaq, sedangkan pemodelan sumberdaya dan rekomendasi untuk lokasi pemboran hanya dilakukan untuk Sub-blok A dan penentuan boundary prospect area hanya untuk Sub-blok B. Kerangka pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Kerangka pengolahan data. No
1
2
3
Subjek
Analisis kondisi geologi
Analisis kondisi sumberdaya batubara
Pemboran dan pemodelan
Subjek Analisis
Data
Hasil Analisis
Geomorfologi
Kelerengan, DEM
Pola penyaluran, satuan geomorfologi, stadia daerah
Stratigrafi
Persebaran litologi, MS
Satuan batuan, kolom stratigrafi, rekonstruksi penampang, peta geologi, sejarah pengendapan
Struktur geologi
Pola jurus, pola kelurusan, kekar, sesar, lipatan
Geometri
Profil batubara (MS), pengukuran strike dip dan ketebalan, deskripsi
Jenis struktur geologi, arah gaya, mekanisme pembentukan struktur geologi Ketebalan, kemiringan, pola kedudukan, kemenerusan, keteraturan, sebaran seam
Persebaran singkapan
Keberadaan singkapan, korelasi singkapan
Persebaran batubara di permukaan (Coal cropline)
Pemodelan endapan batubara
Persebaran singkapan & titik koordinat lubang bor, topografi, litologi batubara
Model endapan batubara berupa pola sebaran seam (cropline), profil penampang seam batubara, perhitungan sumberdaya batubara
Sampel batubara hasil pemetaan geologi
Karakteristik kualitas batubara, peringkat batubara
Primer 4
Analisis laboratorium Sekunder
Sampel batubara hasil pemboran
Karakteristik kualitas batubara, peringkat batubara
82
IV.2. Data dan Analisis Kondisi Geologi Data lapangan yang diperoleh merupakan data hasil pemetaan geologi di Blok Beruaq. Pemetaan geologi yang dilakukan merupakan tahap eksplorasi umum, dengan tujuan untuk menginterpretasi kondisi geologi terutama berupa informasi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi. Data lapangan tersebut berupa deskripsi litologi, pengukuran dimensi persebaran litologi (strike/dip), struktur sedimen, pengamatan struktur geologi (kekar, sesar dan lipatan), pengukuran lereng dan pengambilan foto. IV.2.1. Geomorfologi Pembagian
zona
morfologi
yang
dilakukan
di
daerah
pemetaan
memperhitungkan beberapa aspek penting, yaitu morfografi, morfometri dan morfogenesa, serta penggunaan Klasifikasi Van Zuidam (1974) sebagai acuan penilaian aspek tersebut. Data yang digunakan untuk pembagian zona morfologi, yaitu data kelerengan, data persebaran pola penyaluran dan stadia daerah Blok Beruaq. Pengolahan data tersebut bertujuan untuk interpretasi kondisi geomorfologi yang
berkaitan
dengan
faktor-faktor
yang
membentuk
bentang
alam,
pengelompokkan satuan bentang alam, evaluasi perkembangan daerah dan prosesproses eksogenik yang bekerja. Pengolahan data tersebut adalah sebagai berikut: a. Pola penyaluran Pola penyaluran di Blok Beruaq dikontrol oleh keberadaan struktur geologi dan differential erosion dari persebaran batuan yang ada. Struktur geologi yang
83
mengontrol berupa perlipatan antiklin dan sinklin menunjam asimetris, yang menyebabkan pembentukan zona lemah. Keberadaan zona lemah tersebut menjadi aliran sungai parenial dan aliran sungai intermiten yang ada pada saat ini (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Pola penyaluran Blok Beruaq bertipe Subdendritik.
Secara keseluruhan, pola penyaluran yang ada pada Blok Beruaq adalah pola penyaluran subdendritik. Pola penyaluran ini hadir dengan ciri berupa sungai yang bercabang menyerupai tulang daun, namun dipengaruhi oleh kontrol struktur geologi yang ada. b. Satuan geomorfologi Penentuan satuan geomorfologi dilakukan dengan cara menganalisis peta topografi, citra DEM dan citra TIN Blok Beruaq serta pengukuran lereng secara langsung di lapangan. Dasar penetuan satuan geomorfologi berdasarkan aspek
84
morfografi, morfometri dan morfogenesa (Tabel 4.3). Berikut penjelasan mengenai aspek-aspek tersebut: -
Aspek morfografi Aspek morfografi merupakan suatu aspek dalam geomorfologi yang
menyangkut Gambaran deskriptif dari suatu area. Contohnya, yaitu dataran, perbukitan, pegunungan dan plateu. Penentuan tipe area untuk aspek morfografi berdasarkan analisis citra DEM (Lampiran 2) dan Peta Kelerengan Blok Beruaq (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa Blok Beruaq didominasi oleh tipe area berupa perbukitan cuesta dan hogback, dengan persebaran perbukitan cuesta dominan di bagian tengah dan perbukitan hogback dominan di bagian barat laut Blok Beruaq. Hanya di bagian utarabarat laut yang berupa daratan. -
Aspek morfometri Aspek morfometri merupakan aspek kuantitatif yang ada pada suatu area
seperti kelerengan dan ketinggian. Berdasarkan nilai kemiringan pada perhitungan kelerengan di lapangan, peta topografi, pengolahan kelerengan menggunakan citra DEM dan TIN, maka Blok Beruaq di dominasi oleh perbukitan bergelombang sedang di bagian timur, perbukitan bergelombang kuat di bagian barat laut dan berupa daratan pada sumbu antiklin di bagian utara-barat laut Blok Beruaq.
85
-
Aspek morfogensa Aspek
morfogenesa
adalah
suatu
faktor
yang
mempengaruhi
pembentukan suatu daerah. Morfogenesa ini menyangkut 2 hal utama, yaitu litologi dan proses geomorfik. Kondisi morfologi daerah pemetaan terlihat sebagai perbukitan melengkung di bagian timur, tengah dan barat daya daerah pemetaan. Kondisi tersebut dikontrol oleh 2 hal, yaitu litologi dan proses geomorfik. Blok Beruaq secara keseluruhan dikontrol oleh Perlipatan antiklin dan sinklin menunjam asimetris yang cukup intensif. Variasi litologi di Blok Beruaq menyebabkan adanya differential erosion, sehingga bentukan perlipatan dengan variasi litologi tersebut menghasilkan bentang alam yang terlihat seperti saat ini. Zona barat Blok Beruaq dipengaruhi oleh litologi yang tingkat resistensi batuan relatif tinggi dan proses geomorfik yang relatif tidak terlalu berpengaruh, sehingga menghasilkan bentukan morfologi perbukitan yang terjal. Zona timur Blok Beruaq dikontrol oleh litologi yang tingkat resistensi batuan relatif rendah dan proses geomorfik yang sangat intensif, sehingga menghasilkan perbukitan yang relatif lebih landai. Proses konstruksional merupakan pembentukan lahan awal Blok Beruaq oleh gaya endogen, yaitu berupa pembentukan struktur geologi berupa perlipatan dan struktur geologi lainnya serta proses pengendapan batuan dan. Kemudian proses
86
tersebut dilanjutkan dengan proses destruksional. Proses tersebut merupakan proses perusakan lahan awal yang sudah terbentuk. Proses tersebut berupa proses eksogenik. Proses tersebut berupa proses pelapukan, pengerosian, transportasi dan pengendapan, sehingga zona lemah yang telah terbentuk menghasilkan suatu bentukan baru akibat proses eksogenik tersebut. Tabel 4.3. Pengolahan data geomorfologi berdasarkan aspek morfografi, morfometri dan morfogenesa untuk penentuan satuan geomorfologi. Peta Topografi Area Pengukuran
Barat Daya
Tengah
Timur
Barat laut
Kode Pengukuran
Nilai Kelerengan (%)
Beda Tinggi (m)
A
1,83
34,66
B
2,19
46,25
C
2,37
51,67
D
3,05
40
E
2,44
46,97
F
2,51
44,67
G
2,20
27,59
H
2,58
37,17
I
3
31,52
J
3,01
55,65
K
2,31
Tengah (Barat dayaUtara)
38
TIN Nilai Kelerengan (%)
Aspek Geomorfologi Morfografi
Morfometri
Morfogenesa
Satuan Bentang Alam
15-30
15-30
Bergelombang sedang Perbukitan
Struktural: Hogback dan Cuesta
Satuan Perbukitan Cuesta Hogback
30-70
0-2
Satuan Perbukitan Hogback
Bergelombang kuat
70
Dataran
Dataran
Alluvial
Satuan Dataran Aluvial
c. Stadia daerah Analisis stadia daerah menggunakan beberapa parameter, yaitu struktur geomorfologi, bentuk puncak, bentuk lembah, kelerengan, proses erosi, luasan dataran dan stadia sungai. Struktur geomorfologi yang tersebar di Blok Beruaq
87
berupa perbukitan hampir di seluruh area, hanya sebagian kecil berupa daratan. Bentuk puncak relatif runcing, bentuk lembah relatif sempit yang diapit oleh perbukitan-perbukitan. Kelerengan pada bagian timur relatif bergelombang sedang, sedangkan bagian barat relatif bergelombang kuat. Luasan daratan relatif tidak luas, yaitu hanya 12,8 % dari luasan Blok Beruaq dan keterdapatan sungai intermiten yang sangat dominan, serta proses erosi yang terus berlanjut hingga saat ini hingga menghasilkan inverted topography dari perlipatan yang ada. Berdasarkan pada kenampakan ciri-ciri bentang alam tersebut, maka secara umum stadia daerah Blok Beruaq termasuk dalam kategori stadia dewasa (mature), seperti terlihat pada Gambar 4.2. di bagian tengah. Kenampakan morfologi sisa dari ubahan bentang alam konstruksional (stadia muda) berupa perlipatan terubah menjadi bentang alam destruksional (stadia dewasa) seperti terlihat pada Gambar di bawah (Gambar 4.2). Young
Mature
Old
Gambar 4.2. Blok Beruaq berstadia dewasa dengan bentukan lipatan yang telah mengalami proses eksogenik pada sebagian bentukan lipatannya.
Berdasarkan aspek morfografi, morfometri dan morfogenesa, maka Blok Beruaq dapat dibagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu satuan perbukitan bergelombang sedang struktural, satuan perbukitan bergelombang kuat struktural dan satuan dataran alluvial (Gambar 4.3). Berikut penjelasan mengenai satuan geomorfologi di Blok Beruaq:
88
a. Satuan perbukitan cuesta - hogback Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 66,4% dari luasan total daerah penelitian di bagian timur daerah pemetaan. Pada peta geomorfologi, satuan ini ditandai dengan warna kuning. Berdasarkan aspek morfografi, satuan ini termasuk suatu perbukitan. Titik tertinggi yang ada pada satuan ini berada pada elevasi 115 mdpl, sedangkan
titik terendahnya berada pada elevasi 15 mdpl.
Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk dalam morfometri bergelombang sedang dengan nilai kelerengan sekitar 15 – 70%. Litologi yang tersebar di satuan ini didominasi oleh batuan berbutir halus, yaitu berupa batupasir halus, batupasir karbonatan, batupasir kuarsa, batupasir tufan, batulempung, batulanau, dan batubara. Peta topografi dan citra DEM (Digital Elevation Model) menunjukkan adanya morfologi cuesta dan hogback serta pola - pola kelurusan yang menunjukkan adanya morfogenesa struktural pada satuan ini. b. Satuan perbukitan hogback Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 20,8% dari luasan total daerah penelitian. Satuan ini terletak di bagian barat daerah pemetaan dan ditandai dengan warna merah jambu pada peta geomorfologi. Berdasarkan aspek morfografi, satuan ini termasuk dalam morfografi perbukitan. Titik tertinggi di satuan ini berada pada elevasi 140 mdpl dan titik terendahnya berada pada elevasi 23 mdpl. Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk dalam topografi bergelombang
89
kuat, dengan kemiringan lereng sekitar 70%. Kelerengan yang terjal ini dapat terlihat jelas dari peta topografi dengan kontur yang cukup rapat pada lereng perbukitan. Berdasarkan aspek morfogenesa, satuan ini merupakan bentuk lahan struktural. Satuan ini terbentuk lebih dikarenakan adanya kontrol struktur geologi berupa lipatan dan kemiringan perlapisan batuan yang bersifat resisten pada satuan ini. Morfologi yang dominan ditemukan di bagian barat laut Blok Beruaq berupa hogback. c. Satuan dataran Alluvial Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 12,8% dari luasan total daerah penelitian. Satuan ini terdapat di bagian barat daerah pemetaan dan ditandai dengan warna hijau tua pada peta geomorfologi. Berdasarkan aspek morfografi, satuan ini termasuk topografi datar. Titik tertinggi di satuan ini berada pada elevasi 24 mdpl dan titik terendahnya berada pada elevasi 9 mdpl. Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk morfometri dataran dengan kelerengan sekitar 0 - 2%. Berdasarkan aspek morfogenesa, satuan ini cenderung dipengaruhi oleh proses eksogenik dibandingkan proses endogenik. Proses eksogenik yang terjadi yaitu pelapukan, erosi, transportasi, dan pengendapan material hasil erosi dan transportasi batuan di sekitarnya. Struktur geologi yang terdapat di bawah satuan ini berupa antiklin, menutupi sumbu antiklin yang telah mengalami penelanjangan atau denudasional processes.
90
91
IV.2.2. Stratigrafi Pembagian satuan batuan pada Blok Beruaq dilakukan berdasarkan analisis litologi jalur stratigrafi terukur (Gambar 4.4) dan persebaran batuan tiap stasiun pengamatan atas kesamaan pola persebaran litologinya. Penggabungan data litologi dari jalur startigrafi terukur dengan pengamatan pada tiap stasiun pengamatan dilakukan dengan cara korelasi litostratigrafi, namun juga dibantu dengan data hasil pengamatan paleontologi Rudianto & Rizkiawan (2015). Korelasi menggunakan konsep biostratigrafi dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan litostratigrafi. Korelasi biostratigrafi menggunakan kandungan fosil penciri umur yang menjadi kunci korelasinya, sehingga menjadi dasar yang lebih kuat dibandingkan litostratigrafi untuk melakukan korelasi. Pada penelitian ini, korelasi biostratigrafi tidak dapat digunakan sepenuhnya karena hanya pada jalur 3 didapatkan fosil penciri umur yang pendek. Tidak adanya kandungan fosil pada jalur lain menyebabkan korelasi stratigrafi yang dilakukan menggunakan korelasi litostratigafi, dengan kunci korelasi berupa kesamaan atau kemiripan litologi dan posisi stratigrafinya. Adanya struktur geologi berupa antiklin, sinklin dan sesar naik pada daerah penelitian sangat mempengaruhi posisi stratigrafis dari jalur pengukuran stratigrafi yang ada. Jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2 memanjang dari barat daya ke timur laut, terletak pada dari sayap sinklin bagian timur ke arah barat. Jalur pengukuran stratigrafi 3 dan 4 terletak pada bagian barat daerah penelitian (Lampiran 4). Korelasi
92
antara jalur pengukuran stratigrafi 1 terhadap jalur pengukuran stratigrafi 2 merupakan korelasi strike section, karena posisi jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2 terletak pada garis jurus yang relatif sama. Korelasi antara jalur pengukuran stratigrafi 1 atau 2 terhadap jalur pengukuran stratigrafi 3 atau 4 merupakan korelasi dip section (Gambar 4.4). Berdasarkan kemiripian litologi dan posisi stratigrafinya, didapatkan marker bed atau lapisan kunci korelasi pada jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2 (Gambar 4.40). Marker 1 dan Marker 4 didasarkan adanya lapisan batubara yang dijumpai pada jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2. Lapisan batubara ini diperkirakan menerus dari jalur pengukuran stratigrafi 1 hingga jalur pengukuran stratigrafi 2. Penentuan batubara sebagai marker ini didasarkan pada posisi stratigrafi antar batubara yang terletak relatif pada jurus yang sama. Marker 2 dan Marker 3 berupa batupasir dengan struktur sedimen scouring. Penentuan batupasir dengan struktur sedimen scouring sebagai marker bed didasarkan pada posisi stratigrafis antar batupasir yang terletak pada jurus yang sama Jalur pengukuran stratigrafi 3 memiliki umur Miosen Awal
(N5 - N8)
berdasarkan kandungan foraminifera besar berupa Lepidocyclina sumatraensis, Operculina sp., dan Austrotrilina howchini (Rizkiawan, 2015). Umur dari jalur pengukuran stratigrafi 4 didapatkan dari data sekunder. Data sekunder tersebut berupa penelitian yang dilakukan oleh Rudianto (2015). Penelitian ini dilakukan dengan lokasi yang dekat dengan daerah penelitian, bersambung dengan daerah
93
penelitian di bagian barat. Lokasi pengambilan sampel foraminifera oleh Rudianto (2015) cukup dekat dengan satuan perselingan batupasir - batulanau yang berada di bagian barat daerah penelitian dan memiliki posisi stratigrafis yang relatif sama. Berdasarkan penelitian oleh Rudianto (2015) tersebut, umur dari satuan perselingan batupasir – batulanau berupa N9 - N10 (Miosen Tengah) berdasarkan kandungan fosil Globorotalia peripheroacuta. Fosil spora/pollen yang didapatkan pada jalur pengukuran stratigrafi 1 dan jalur pengukuran stratigrafi 2 menunjukkan rentang umur yang relatif panjang. Umur yang didapatkan dari spora/pollen ini adalah Miosen Tengah – Miosen Akhir atau ekuivalen dengan zona N9 – N16 berdasarkan adanya pollen Florshuetza meridionalis. Berdasarkan umur tersebut, diketahui bahwa posisi stratigrafis jalur pengukuran stratigrafi 3 merupakan jalur yang tertua di daerah penelitian (Miosen Awal), kemudian dilanjutkan oleh jalur pengukuran stratigrafi 4, bersamaan dengan jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2 (Miosen Tengah – Miosen Akhir). Berdasarkan data geologi regional oleh Supriatna et al. (1995), jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2 merupakan bagian dari Formasi Pulau Balang. Jalur pengukuran stratigrafi 3 merupakan bagian dari Formasi Pamaluan dan Formasi Bebulu. Jalur pengukuran stratigrafi 4 merupakan bagian dari Formasi Balikpapan.
94
Gambar 4.4. Korelasi antar jalur pengukuran stratigrafi. Korelasi ini mempertimbangkan kesamaan litologi dan posisi stratigrafis antar jalur dengan marker berupa lapisan batubara, batupasir dengan struktur sedimen scouring, dan umur batuan (Rizkiawan, 2015).
95
Berdasarkan pemetaan geologi di Blok Beruaq dalam skala 1: 25.000, maka Blok Beruaq dapat dibagi menjadi beberapa satuan batuan. Berikut urutan dari yang tertua hingga termuda, yaitu satuan batulanau, satuan batugamping, satuan perselingan batulanau-batupasir (Gambar 4.5). Berikut penjelasannya satuan dari yang tertua hingga termuda: a. Satuan batulanau Satuan ini tersebar di bagian barat, dekat dengan antiklin yang ada pada daerah penelitian. Satuan ini dicirikan dengan adanya batulanau yang tersementasi dengan kuat (well cemented siltstone). Selain batuan yang bersifat keras, perbedaan lain satuan batulauan dengan satuan perselingan batupasir – batulanau adalah tidak ditemukannya lapisan batubara pada satuan ini. Satuan batulanau ini secara stratigrafis menjemari dengan satuan batugamping yang berumur Miosen Awal (N5 – N8) (Rizkiawan, 2015). Berdasarkan hubungan stratigrafis yang saling menjari ini, diperkirakan umur dari satuan batulanau ini juga Miosen Awal. Satuan batulanau ini lebih mengarah kepada Formasi Pamaluan atau Formasi Bebulu berdasarkan umur satuan ini. b. Satuan batugamping Satuan batugamping ini tersingkap di bagian barat laut daerah pemetaan dengan orientasi memanjang dengan arah barat daya – tenggara, menempati satuan geomorfologi perbukitan bergelombang kuat struktural. Secara lebih detail, jenis terumbu atau batugamping tersebut antara lain: platy coral reef, massive coral reef,
96
dan batugamping kristalin. Satuan batugamping merupakan bagian dari Formasi Bebulu yang memiliki hubungan stratigrafis yang menjari dengan satuan batulanau yang merupakan bagian dari Formasi Pamaluan. c. Satuan perselingan batupasir - batulanau Satuan ini menempati satuan geomorfologi perbukitan bergelombang sedang struktural, dan sebagian di perbukitan bergelombang kuat. Pola umum yang ditemukan pada satuan ini adalah perselingan batupasir – batulanau dengan sisipan batulempung, batulanau, batupasir karbonatan, batupasir tufan atau batubara dengan ketebalan yang bervariasi. Satuan ini tersingkap di bagian barat dan timur daerah penelitianSatuan perselingan batulanau – batupasir. Satuan ini termasuk ke dalam Formasi Pulau Balang, pada bagian bawah satuan ini berhubungan menjari dengan Formasi Balikpapan yang tersebar di bagian ujung barat laut Blok Beruaq. Berdasarkan Gambar 4.6. terlihat bahwa persebaran satuan batuan di Blok Beruaq dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan asimetris antiklin dan sinklin menunjam. Perlipatan tersebut menyebabkan persebaran batuan mengalami pengulangan. Selain itu juga terdapat sesar naik sinistral yang diperkirakan di bagian tengah – utara blok. Kontrol sesar tersebut tidak banyak mengontrol persebaran satuan batuan yang ada, namun kontrol sesar dapat terlihat jelas pada kenampakan morfologi di citra DEM. Pada Peta Geologi Blok Beruaq (Gambar 4.6) dapat terlihat pelamparan satuan batuan juga kontrol struktur geologi.
Gambar 4.5. Kolom satuan batuan Blok Beruaq.
97
98
99
IV.2.3. Struktur geologi Struktur geologi terdapat pada Blok Beruaq cukup beragam. Struktur geologi ini didapatkan baik langsung dari lapangan seperti kekar dan zona patahan maupun hasil analisis seperti pola kelurusan, rekonstruksi lipatan dan pola jurus. Berikut penjelasannya: a. Pola jurus Pola jurus yang berada pada daerah pemetaan didapatkan dari hasil interpolasi jurus-jurus perlapisan batuan yang berdekatan. Pola jurus ini bertujuan untuk melihat bagaimana kontrol tektonik terhadap arah kemiringan dan kelurusan dari persebaran lapisan di Blok Beruaq. Pola jurus yang tersebar, yaitu pola tenggara-barat laut di bagian timur Blok Beruaq dan pola timur laut-barat daya di bagian selatan, barat daya dan barat laut Blok Beruaq. b. Pola Kelurusan Pola kelurusan yang terdapat pada daerah pemetaan didapatkan dari hasil interpretasi adanya kelurusan-kelurusan lembah yang terlihat jelas pada citra DEM serta berdasarkan temuan langsung di lapangan. Pola kelurusan di Blok Beruaq memiliki orientasi yang bervariasi dan muncul hampir di seluruh daerah pemetaan. Secara umum, pola kelurusan yang terdapat pada daerah pemetaan dapat dibagi menjadi beberapa zona. Berdasarkan arah dari pola kelurusan yang ada, zona tersebut adalah Zona Timur, Zona Selatan dan Zona Barat Laut. Zona Timur memiliki pola kelurusan yang didominasi oleh arah tenggara – barat laut dengan bentukan melengkung ke arah barat daya. Pada Zona Selatan
100
Tengah, pola kelurusan didominasi oleh arah utara selatan yang berbentuk melengkung ke arah barat laut di ujung bagian utara dari kelurusan ini. Zona Barat Laut dicirikan dengan pola kelurusan didominasi oleh arah timur laut-barat daya. Pola ini juga mengalami pelengkungan ke arah tenggara. c. Kekar Tabel 4.4. Data pengukuran kekar kompresi di lapangan serta hasil analisis kekar. STRIKE/ NO
STA
X
KEKAR
Y DIP
KOMPRESI
ROSENET
MEAN
Rose Diagram N
1
STA 124
494351
9925354
N 126 E/30
Kekar N 155 E, N 150 E, N 180 E, N 130 E, N 200 E, N 155 E. Riedl dextral movement N 20 E
W
E
-19.52
S
N
2
STA 34
493545
9925364
N 158 E/18
Kekar N 311 E, N 60 E, N 60 E, N 205 E
W
E
-37.84
S Rose Diagram
N
3
STA 47
491560
9923543
N 225 E/16
Kekar N 55 E, N 137 E, N 56 E, N 130 E, N 110 E, N 60 E
W
E
-1.48
S
Kekar yang terdapat pada daerah penelitian terdiri dari kekar ekstensi dan kekar kompresi. Kekar ekstensi dicirikan dengan kenampakan kekar yang saling sejajar, sedangkan kekar-kekar kompresi dicirikan dengan adanya kekar yang saling memotong dan membentuk sudut lancip antar keduanya. Kekar ekstensi yang terdapat
101
pada daerah pemetaan relatif lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan kekar kompresi. Berikut data pengukuran kekar di lapangan: Kekar kompresi dengan trend tenggara – barat laut dijumpai di STA 124, STA 34 dan STA 47 Blok Beruaq. Arah trend tersebut menunjukkan bahwa gaya kompresi pembentuk kekar berarah tenggara – barat laut (Tabel 4.5). Tabel 4.5. Data pengukuran kekar ekstensi di lapangan serta hasil analisis kekar. STRIKE/ NO
STA
X
KEKAR
Y DIP
EKSTENSI
ROSENET
MEAN
Rose Diagram N
1
STA 83
493638
9926064
N 165 E/20
Kekar N 330 E, N 300 E, N 340 E, N 330 E, N 280 E, N 320 E
W
E
-41.88
S
Rose Diagram N
4
STA 42
487525
9924520
N 290 E/35
N 47 E, N 115 E, N 100 E, N 48 E, N 200 E, N 200 E
W
-42.04
E
S
Rose Diagram N
5
STA 118
489167
9923356
N 35 E/13
Kekar N 20E, N 25 E, N 20 E, N 20 E, N 23 E, N 30 E, N 17 E, N 25 E
W
(22,5)
E
22.49
S
d. Sesar Sesar adalah struktur rekahan yang mengalami pergeseran. Sesar yang ada di Blok Beruaq didapatkan dari hasil pengamatan langsung di lapangan dan analisis citra DEM Blok Beruaq. Pola-pola kelurusan dikombinasikan dengan data lapangan, yaitu
102
berupa kemiringan batuan, pola jurus dan adanya zona-zona hancuran di lapangan. Data tersebut menunjukkan bahwa pada bagian tengah – utara Blok Beruaq terganggu oleh sesar. Sesar naik sinistral diperkirakan memiliki orientasi tenggara – barat laut. Sesar ini menyebabkan adanya pelengkungan morfologi, pola jurus dan pola kelurusan di bagian tengah Blok Beruaq, mendorong bagian tengah Blok Beruaq bergerak ke arah tenggara. e. Lipatan Tabel 4.6. Data perlipatan Blok Beruaq. No
Jenis Lipatan
Persebaran Lipatan
Keterangan
1
Sinklin menunjam
Area Tengah Blok Beruaq
Orientasi sumbu yang memanjang dari arah selatan ke timur laut, melengkung di bagian tengah menuju ke barat
2
Antiklin
Area Barat Blok Beruaq
Bersifat asimetris dengan sayap sinklin menunjam pada bagian timur lebih landai dibandingkan dengan sayap sinklin menunjam bagian barat
3
Homoklin
Area Timur Blok Beruaq
Homoklin ini merupakan sayap dari antiklin yang berada di luar Blok Beruaq di bagian timur laut. Sayap homoklin miring ke arah barat daya.
Lipatan adalah deformasi lapisan yang terjadi akibat dari gaya tegasan, sehingga batuan bergerak dari kedudukan semula membentuk lengkungan. Berdasarkan bentuk lengkungannya lipatan dapat dibagi dua, yaitu lipatan sinklin dan lipatan antiklin. Lipatan sinklin adalah bentuk lipatan yang cekung ke arah atas, sedangkan lipatan antiklin adalah lipatan cembung ke arah atas. Lipatan yang terdapat pada Blok Beruaq berupa lipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin
103
(Tabel 4.6). Lipatan tersebut merupakan hasil dari rekonstruksi persebaran kemiringan perlapisan batuan yang ada di Blok Beruaq dan citra DEM. Berdasarkan Gambar 4.7. menunjukkan bahwa struktur lipatan yang terdapat di Blok Beruaq berupa lipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin. Interpretasi tersebut berdasarkan hasil rekonstruksi jurus dan kemiringan lapisan yang ada, serta analisis citra DEM. Persebaran lipatan tersebut, yaitu homoklin di bagian timur, dengan arah kemiringan lapisan relatif ke barat daya. Lipatan antiklin terbentuk di bagian barat dengan sumbu berorientasi barat daya – timur laut. Lipatan antiklin tersebut dicirikan oleh adanya perbedaan arah jurus dan kemiringan lapisan batuan. Bagian atas dari sumbu antiklin merupakan zona lemah yang sangat berpotensi terkena proses eksogenik. Lipatan sinklin menunjam terbentuk di bagian tengah blok. Lipatan sinklin menyebabkan dimensi batuan yang berbentuk seperti mangkok, dengan arah kemiringan yang relatif saling menutup. Pada bagian tengah – utara terdapat sesar naik yang berorientasi tenggara - barat laut. Pada sumbu lipatan antiklin diinterpretasikan terdapant sesar naik berdasarkan adanya strike dip perlapisan pada sayap antiklin bagian timur yang cukup curam.
sesar naik.
Gambar 4.7. Peta struktur geologi daerah penelitian. Karakter struktur geologi utama pada daerah penelitian adalah lipatan dan
104
105
IV.3. Data dan Analisis Kondisi Sumberdaya Batubara Sumberdaya batubara merupakan bagian dari endapan batubara dalam bentuk dan kuantitas tertentu serta mempunyai prosepek beralasan yang memungkinkan untuk ditambang secara ekonomis. Lokasi, kualitas, kuantitas, karakteristik geologi dan kemenerusan dari lapisan batubara telah diketahui, diperkirakan atau diinterpretasikan dari bukti geologi tertentu. Data mengenai sumberdaya batubara di Blok Beruaq diperoleh melalui kegiatan pemetaan geologi. Data tersebut dianalisis bertujuan untuk memberikan informasi mengenai keterdapatan sumberdaya batubara meliputi informasi mengenai penyebaran batubara di Blok Beruaq, karakteristik batubara yang tersebar, geometri batubara, kualitas batubara dan jenis batubara yang tersebar. Berikut penjelasan mengenai informasi sumberdaya batubara di Blok Beruaq: a. Penyebaran batubara Berdasarkan hasil pemetaan geologi di Blok Beruaq, ditemukan 45 titik singkapan batubara. Batubara pada Blok Beruaq dominan tersebar secara merata di bagian timur, tengah dan di bagian ujung barat laut. Terdapat 22 titik singkapan batubara di Sub-blok B, yaitu di bagian timur Blok Beruaq dan 23 titik singkapan di Sub-blok A, yaitu di bagian tengah dan barat Blok Beruaq (Gambar 4.8). b. Karakteristik batubara Batubara yang tersebar di Blok Beruaq dominan memiliki karakteristik yang hampir sama di bagian timur laut, barat daya dan barat laut, namun berbeda dengan
106
karakteristik batubara di bagian tengah Blok Beruaq. Umumnya kenampakan batubara berwarna hitam, dengan kondisi yang umum tampak cukup segar di bagian tengah blok, namun pada beberapa tempat mengalami pelapukan cukup intensif di bagian timur laut dan barat laut blok. Cleat yang cukup intensif umumnya terisi oleh material lempung, lanau, oksida dan sulfida. Kilap batubara bervariasi dari bright di bagian tengah blok, kilap dull – semibright di bagian timur dan barat, dengan dominasi semi-bright. Pecahan subconchoidal, agak keras dan non-banded. Komposisi utama berupa karbon dan pengotor berupa sulfida dan oksida.
. Gambar 4.8. Peta Persebaran Batubara Blok Beruaq.
107
108
c. Geometri Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu lapisan batubara. Data mengenai geometri didapatkan dari hasil pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan Blok Beruaq. Parameter geometri batubara yang dipakai berdasarkan Jeremic (1985), yaitu ketebalan, kemiringan, pola sebaran, keteraturan lapisan batubara, kemenerusan lapisan batubara dan roof dan floor. Kondisi geometri batubara secara jelas dapat dilihat pada korelasi seam batubara (Lampiran 7). Berikut penjelasan mengenai parameter geometri batubara di Blok Beruaq: -
Ketebalan Tabel 4.7. Persebaran variasi ketebalan seam batubara di Blok Beruaq.
No.
Kategori Ketebalan
Variabel Ketebalan (m)*
Jumlah
Area Sebaran
1
Sangat tipis
< 0,5
20
timur, utara, tenggara, timur laut, tengah, barat laut,
2
Tipis
0,5 - 1,5
25
tengah, tenggara, timur, utara, selatan, timur laut, barat daya
3
Sedang
1,5 - 3,5
10
tenggara, timur laut, selatan, barat laut, barat daya
4
Tebal Sangat tebal
3,5 - 25
0
-
> 25
0
5
-
*Acuan: jeremic (1985)
Ketebalan seam batubara yang terdapat di Blok Beruaq relatif bervariasi. Ketebalan seam yang paling banyak ditemukan, yaitu kategori tipis. Ketebalan berkategori tipis tersebar sebaran di seluruh area Blok
109
Beruaq, yaitu di bagian tengah, tenggara, timur, utara, selatan, timur laut dan barat daya. Ketebalan seam batubara berkategori sangat tipis ditemukan secara merata di bagian timur, utara, tenggara, timur laut, tengah dan barat laut. Ketebalan seam batubara berkategori sedang tersebar di tenggara, timur laut, selatan, barat laut dan barat daya. Di Blok Beruaq tidak ditemukan seam batubara dengan ketebalan berkategori tebal dan sangat tebal (Tabel 4.7). -
Kemiringan
No. 1 2
Tabel 4.8. Persebaran variasi kemiringan seam batubara di Blok Beruaq. Kategori Variabel Jumlah Kemiringan Kemiringan (°)* Horisontal 0° 0 Landai
< 25°
38
3
Miring
25° - 45°
8
4
Miring curam
45° - 75°
8
5
Vertikal
> 75°
1
Area Sebaran Tersebar merata Dominan: timur laut, barat daya, sedikit di tenggara Dominan: timur laut, barat laut utara
* Acuan: jeremic (1985)
Kemiringan seam batubara yang tersebar di Blok Beruaq bervariasi, mulai dari yang landai hingga yang vertikal. Kemiringan seam yang paling banyak ditemukan, yaitu berkategori landai. Kemiringan seam yang landai tersebar merata di Blok Beruaq sebanyak 38 seam. Kemiringan seam berkategori miring ditemukan sebanyak 8 seam, yang dominan ditemukan di bagian timur laut dan barat daya Blok Beruaq,
110
hanya sedikit di bagian tenggara. Kemiringan seam berkategori miring curam ditemukan sebanyak 8 seam yang dominan di timur laut dan barat laut Blok Beruaq, sedangkan kemiringan seam berkategori vertikal hanya terdapat di 1 seam di bagian utara Blok Beruaq (Tabel 4.8). -
Pola sebaran Pola sebaran lapisan batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh struktur lipatan dan sesar yang intensif. Lipatan yang terdapat pada Blok Beruaq berupa sinklin menunjam dan antiklin (Lampiran 5).
-
Persebaran batubara (coal cropline) Berdasarkan hasil korelasi lapisan batubara, maka didapatkan 40 seam batubara di Blok Beruaq. Seam tersebut hanya berdasarkan interpretasi hasil pemetaan geologi. Seam tersebut tersebar dominan di bagian timur Blok Beruaq dengan arah orientasi memanjang barat laut tenggara sebanyak 31 seam batubara, 6 seam di bagian barat daya memanjang dengan orientasi barat laut - tenggara dan timur laut-barat daya dan 3 seam di bagian barat laut memanjang dengan orientasi timur laut - barat daya.
-
Keteraturan lapisan batubara Pola kedudukan seam batubara di menunjukkan pola yang berbeda-beda. Pada bagian barat laut, menunjukkan pola yang relatif teratur, dengan kedudukan seam yang memanjang timur laut - barat daya. Pada bagian barat daya, menunjukkan pola yang melengkung. Pada bagian
111
selatan, menunjukkan pola yang relatif teratur. Pada bagian utara, menunjukkan pola yang teratur, dengan orientasi seam memanjang timur laut-barat daya. Pada bagian timur laut, menunjukkan pola yang seam tidak teratur dan meliuk-liuk (Lampiran 5). -
Kemenerusan lapisan batubara Seam batubara yang ditemukan di bagian timur Blok Beruaq diinterpretasikan berkorelasi dengan seam batubara yang berada di tengah blok, sebaran seam tersebut dikontrol oleh struktur perlipatan antiklin dan sinklin menunjam, namun kemenerusan seam tersebut belum dapat dibuktikan pada tahap eksplorasi pendahuluan ini, perlu adanya pemodelan seam yang dibantu dengan data drilling dan geophysical logging.
-
Roof dan floor Kontak batubara dengan roof dan floor yang ditemukan di Blok Beruaq umumnya berupa shaly coal memilki ciri-ciri hitam, lunak, pecahan uneven, cleat kurang intensif hingga cukup intensif, kilap dull, laminasi, dan komposisi berupa karbon, sulfida, dan sisipan material berukuran butir lempung-lanau. Coaly shale berwarna abu-abu kehitamhitaman, berukuran butir lanau-lempung, struktur sedimen laminasi, komposisi berupa material berukuran butir lanau - lempung dan karbon. Kondisi kontak roof dan floor dengan batubara yang ditemukan bervariasi yang, ada yang tegas dan juga bergradasi.
112
d. Penentuan titik pengeboran (eksplorasi pendahuluan) Sub-blok A Interpretasi kondisi sumberdaya batubara di Blok Beruaq digunakan sebagai dasar dalam penentuan titik pengeboran di Sub-Blok B. Perencanaan titik bor berdasarkan persebaran seam batubara di permukaan (coal cropline), kemiringan seam batubara dan juga zona yang berpotensi akan keberadaan seam batubara yang tidak terekam pada saat pemetaan geologi. Kegiatan pengeboran yang akan dilakukan di Sub-blok A dibagi menjadi beberapa zona. Pembagian zona tersebut berdasarkan persebaran seam batubara yang ada di Sub-blok A. Berdasarkan hasil interpretasi korelasi seam batubara dan persebaran seam di permukaan, maka dapat dibagi 4 zona di Sub-blok A, yaitu Zona A, Zona B, Zona C dan Zona D. IV.4. Data Pemboran dan Pemodelan Pemboran dilakukan di Sub-blok B Blok Beruaq, yaitu di bagian timur Blok Beruaq. Pemboran dilakukan sebanyak 385 titik yang memiliki jarak antar bor sejauh 250 m, dengan pola pemboran fence line drilling. Data pemboran tersebut digunakan untuk pemodelan sumberdaya batubara di Sub-blok B terkait persebaran batubara, geometri batubara dan persebaran kualitas batubara. a. Pemodelan endapan batubara (eksplorasi rinci) Sub-blok B Pengolahan data hasil pengeboran yang dilakukan di Sub-blok B menggunakan aplikasi perangkat lunak berupa Minescape. Pengolahan data dilakukan dengan cara menginput data titik singkapan, titik bor dan topografi di Minescape. Proses ini disebut Minescape core, yaitu tahap awal untuk memulai
113
pemodelan. Hasil dari proses tersebut untuk mengetahui di mana saja persebaran titik bor yang ada di Blok Beruaq. Langkah selanjutnya adalah membuat kontur Blok Beruaq, dengan kenampakan 3D. Model kontur ini nanti akan digunakan untuk pemodelan dalam pembuatan schema dan kontur struktur subcrop pada tahap stramodel. Tahap selanjutnya, yaitu membuat model analog menggunakan Stratmodel. Awal dari tahap stratmodel adalah membuat schema. Tahap ini selanjutnya diproses untuk
momodelkan
penampang batubara (coal
seam section). Stratmodel
menggunakan data lubang bor dan data litologi hasil pengeboran sebagai dasar pembuatan model stratigrafi. Pemodelan untuk penampang seam batubara sangat penting untuk melihat geometri batubara meliputi kemiringan, kemenerusan dan arah persebaran. Tahap selanjutnya yaitu pembuatan peta persebaran subcrop seam batubara dan kontur struktur dengan cara memproses gridding seluruh data seam yang ada. Pembuatan kontur struktur digunakan untuk melihat persebaran seam di bawah permukaan. Kontur struktur dimodelkan berdasarkan persebaran seam (subcrop cropline) dan topografi. Tahap akhir dari pemodelan stramodel adalah perhitungan sumberdaya batubara. Perhitungan sumberdaya subcrop seam batubara menggunakan Metode Poligon. Perhitungan sumberdaya dilakukan 3 kategori sumberdaya, yaitu
114
sumberdaya tereka (inferred) dengan jarak 1000 m, sumberdaya tertunjuk (indicated) dengan jarak 500 m dan sumberdaya terukur (measured) dengan jarak 250 m. b. Penentuan batas area prospek (eksplorasi rinci) Sub-blok B Hasil dari pemodelan endapan batubara menggunakan minescape akan dijadikan sebagai dasar dalam penentuan batas area prospek di Sub-blok B. Dalam penentuan batas area prospek ini, akan ditampilkan beberapa model analog untuk membantu menilai area prospek. Model analog tersebut adalah persebaran seam prospek dan penampang seam batubara di Sub-blok B. Pemberian batas area prospek terhadap suatu seam yang ekonomis menggunakan metode incremental pit expansion and cash flow (Sasongko, 2009). Parameter yang digunakan dalam metode cash flow tersebut adalah (Tabel 4.9): Tabel 4.9. Parameter dalam perhitungan BESR Sub-blok B. Parameter
Simbol
Nilai
Harga jual batubara
s
53 $/ton
Biaya penambangan batubara
c
9,26 $/ton
Biaya pemindahan overburden
w
2,41 $/bcm
Iuran produksi (16,9 %)
x
0,169
Model analog akan dibagi menjadi beberapa pit limit yang layak untuk ditambang sebagai batas area prospek d Sub-blok B. Parameter dalam metode incremental pit expansion and cash flow akan dikaitkan dengan parameter lain, seperti kondisi geometri seam batubara dan kualitas seam batubara. Berikut perhitungan dalam penentuan batas area pit yang layak untuk ditambang pada Subblok B menggunakan nilai hasil perhitungan BESR, yaitu:
115
BESR = [
(
)
BESR = 14,43
]
14
(Nilai BESR untuk penentuan pit prospek di Sub-blok B adalah 14) Hasil perhitungan BESR dengan parameter pada tabel di atas memberikan nilai 14 : 1. Nilai perbandingan 14 : 1 merupakan rasio perbandingan antara overburden dan batubara yang layak untuk ditambang, namun tidak memberikan keuntungan, sehingga ratio pada perhitungan untuk penentuan batas area pit prospek harus dengan perbandingan yang lebih kecil. Berikut adalah hasil perhitungan pit limit sebagai batas area prospek di Sub-blok B (Tabel 4.10):
Tabel 4.10. Hasil penentuan Pit Limit pada Sub-blok B.
Zona
Overburden (ton)
Pit limit A1
49.855
Jumlah batubara (ton) 6.779
Pit limit A2
20.908
2.744
8:1
Pit limit B1
23.905
4.313
6:1
Pit limit B2
55.455
7.587
7:1
Pit limit B3
14.590
1.331
11:1
Pit limit C1
30.085
2.840
11:1
Pit limit C2
16.875
5.089
3:1
Pit limit C3
36.012
3.029
12:1
Pit limit D1
81.713
7.291
11:1
Pit limit D2
30.609
3.411
9:1
Pit limit D3
12. 055
1.271
10:1
Pit limit D4
10.328
1225
8:1
Pit limit E1
123.363
19.681
6:1
Pit limit E2
61.384
6.695
9:1
Pit limit F1
31.945
3.792
8:1
Kode Pit Limit Penampang A - A'
B - B'
C - C'
D - D'
E - E' F - F'
Rasio 7:1
116
Tabel 4.10. Lanjutan
G - G'
Pit limit F2
18.544
4.795
4:1
Pit limit F3
39.374
10.689
4:1
Pit limit F4
17.056
2.348
7:1
Pit limit F5
23.170
1.858
13:1
Pit limit G1
20.213
7.331
3:1
Pit limit G2
11.200
1.344
8:1
Tabel 4.10 tersebut menunjukkan bahwa dari setiap pit yang telah ditentukan, dengan menerapkan metode incremental pit expansion and cash flow dan menggunakan data mengenai kondisi geometri seam batubara dan kualitas seam batubara, maka didapatkan beberapa pit limit (Tabel 4.10) sebagai batas area prospek dengan rasio perbandingan antara overburden dan batubara di bahwa 14 : 1, sehingga pit tersebut layak untuk ditambang.
117
IV.5. Analisis Laboratorium Analisis laboratorium yang dilakukan adalah analisis kualitas batubara yang bertujuan untuk menentukan peringkat batubara dan menilai parameter-parameter kualitas batubara (Tabel 4.11). Sampel batubara yang dianalisa dibagi menjadi 2, yaitu sampel hasil pemetaan geologi (sampel primer) dan sampel core hasil pemboran (sampel sekunder). Analisis kualitas yang dilakukan adalah proximate analysis dan ultimate analysis. Berdasarkan parameter kualitas batubara oleh Thompson (1994), yaitu kadar air total, kadar air bawaan, kadar abu, zat terbang, kadar sulfur total, karbon tertambat dan nilai kalori (Tabel 4.11). Berikut penjelasan mengenai kualitas sampel primer dan sampel sekunder Blok Beruaq: Tabel 4.11. Analisis kualitas sampel batubara yang dilakukan. No.
Hasil Analisa yang dilakukan oleh PT. MHU Coal
1
Kadar air total atau total moisture (TM)
2
Kadar air bawaan atau inherent moisture (IM)
3
Kadar abu atau ash content (AC)
4
Zat terbang atau volatile matter (VM)
5
Kadar sulfur total atau total sulphur (TS)
6
Karbon tertambat atau fixed carbon (FC)
7
Nilai kalori atau calorific value (CV)
Jenis Sampel
Sampel hasil pemetaan geologi & Sampel hasil Pemboran PT. MHU Coal
a. Primer Sampel primer diambil pada seam batubara yang terletak di bagian ujung barat laut Blok Beruaq. Sampel batuan yang dianalisis pada daerah pemetaan hanya 2 sampel, yaitu sampel STA_078_LP2 dan STA_079.
118
Sampel tersebut berbasis air-dried basis (adb) untuk nilai IM, AC, VM, FC, TS dan CV. Berikut hasil analisis kedua sampel (Tabel 4.12): Tabel 4.12. Analisis kualitas sampel hasil pemetaan geologi di Blok Beruaq.
IM
AC
VM
FC
TS
CV
CV (gar)
Seam berkorelasi dengan STA
Kcal/kg
Air-dried basis (adb) Tebal
Seam
RD
TM
STA_078_LP2
0,80
1,36
7,95
6,94
5,66
42,99
44,41
5,09
6.748
6.674
078_LP2
STA_079
1,80
1,31
7,72
6,76
2,00
44,30
46,94
2,20
7.236
7.161
079
Tabel 4.13. Hasil pengolahan data kualitas batubara sampel hasil pemetaan geologi Blok Beruaq. No
Parameter Kualitas
Nilai
Penilaian Parameter
1
Kadar air total atau total moisture (TM)
Minimum 7,72 % wt dan maksimum 7,95 % wt
Relatif rendah
2
Kadar air bawaan atau inherent moisture (IM)
Minimum 2,00 % wt dan maksimum 5,66 % wt
Relatif rendah
3
Kadar abu atau ash content (AC)
Minimum 42,99 % wt dan maksimum 44,30 % wt
Relatif rendah
Minimum 44,41 % wt dan maksimun 46,94 % wt
Relatif tinggi
Minimum 2,20 % wt dan maksimum 5,09 % wt
Relatif tinggi
Minimum 6.748 kcal/kg dan maksimum 7.085,85 kcal/kg
Relatif tinggi
4
5 6
Zat terbang atau volatile matter (VM) Kadar sulfur total atau total Sulphur (TS) Nilai kalori atau calorific value (CV)
Acuan: Thompson (1994)
Berdasarkan parameter kualitas yang digunakan oleh Thompson (1994), maka disimpulkan bahwa kualitas batubara sampel primer relatif baik. Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif rendah, kadar air bawaan relatif rendah, kadar abu relatif rendah, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif tinggi dan nilai kalori relatif tinggi (Tabel 4.13).
119
-
Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials) Berdasarkan nilai kalori sampel primer batubara, yaitu dengan nilai
6.748 kcal/kg dan 7.085,85 kcal/kg, maka dapat disimpulkan bahwa peringkat batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous (grup high volatile B dan C) (Tabel 4.14). Tabel 4.14. Jenis batubara berdasarkan Klasifikasi ASTM sampel hasil pemetaan geologi. CV
STA
Seam
078_LP2
STA_078_LP2
6.748
079
STA_079
7.236
Jenis Batubara
(kkal/kg)
Kelas Bituminous Coal
Grup High Volatile C High Volatile B
Acuan: Klasifikasi ASTM (1981)
-
Klasifikasi fuel ratio Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang
dianalisis memiliki nilai fuel ratio 1,03 dan 1,06. Hal tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous dan jenis lower bituminous coal (Tabel 4.15). Tabel 4.15. Fuel Ratio Batubara sampel hasil pemetaan geologi Blok Beruaq.
STA
Seam
VM
FC
Fuel Ratio
078_LP2
STA_078_LP2
42,99
44,41
1,03
079
STA_079
44,3
46,94
1,06
Jenis Batubara Kelas
Grup
bituminous
lower bituminous coal
Acuan: Klasifikasi fuel ratio (1995)
b. Sekunder Sampel sekunder merupakan sampel batubara yang diambil dari kegiatan pemboran yang di lakukan di Sub-blok B. Sampel tersebut berupa
120
sampel batubara inti (coal core sample) yang akan digunakan sebagai pengecekan keberadaan batubara berdasarkan pembacaan log gamma ray dan resistivitas. Selain itu, sampel tersebut juga digunakan untuk dianalisis kualitas batubara. Data kualitas tersebut dapat menggambarkan kelayakan potensi sumberdaya batubara di Blok Beruaq, hal tersebut dikarenakan kualitas batubara yang baik akan bernilai ekonomis. Sampel sekunder juga akan digunakan untuk pemodelan sumberdaya batubara menggunakan perangkat lunak Minescape. Data kualitas batubara di bagian tengah dan timur Blok Beruaq didapatkan dengan cara mengkorelasi titik singkapan batubara hasil pemetaan geologi dengan seam hasil pengolahan data pemboran, sehingga data kualitas yang sama akan digunakan untuk interpretasi mengenai kualitas batubara di bagian tengah dan timur Blok Beruaq. Berdasarkan data hasil korelasi, dapat diketahui bahwa tidak semua seam hasil pemetaan telah di bor pada pengeboran sebelumnya, sehingga tidak seluruh seam hasil pemetaan dapat diketahui kualitasnya. Berikut data analisis proksimat 19 seam yang diketahui dari data pemboran yang dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan satuan batuan hasil interpretasi geologi:
121
1. Satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas Tabel 4.16. Analisis kualitas sampel batubara pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas. Air-dried basis (adb)
Tebal (m)
RD
S28
0,7
1,3
S24U
2,5
S31L
Seam
Kcal/kg
TM
Seam berkorelasi dengan STA
IM
AC
VM
FC
TS
CV (adb)
CV (gar)
26,13
22,1
7,4
36,1
34,4
1,71
4.855
4.604
004_LP2
1,3
29,71
25,4
3,8
36,6
34,2
0,73
4.877
4.595
004_LP3
0,15
1,3
28,17
22,3
7,1
35,3
35,3
0,45
4.691
4.337
007_S1
S13U
0,4
1,3
29,67
22,9
1,9
38,5
36,7
0,36
5.083
4.637
018
S33U
1
1,3
28,02
23,4
4,4
36,4
35,8
0,46
5.092
4.785
024
S34U
0,7
1,3
27,31
24,2
4,4
36,4
35
1,8
4.954
4.751
035
S32U
0,4
1,3
28,41
23,7
7,9
34,7
33,7
1,22
4.748
4.455
036
S19
0,5
1,3
29,43
24,2
2,5
35,7
37,6
0,14
4.920
4.581
084_S1
S19
0,3
1,3
29,43
24,2
2,5
35,7
37,6
0,14
4.920
4.581
084_S2
S24
>1,60
1,3
28,35
23,6
3,8
37,3
35,3
0,69
5.060
4.745
106
S24
1,5
1,3
28,35
23,6
3,8
37,3
35,3
0,69
5.060
4.745
108
S01L
>0,6
1,3
33,63
23,3
6,1
36,2
34,4
0,23
4.704
4.070
109
S03
1
1,3
31,59
24,4
12,8
34,1
28,7
0,23
4.173
3.776
110_LP2
S28
1,4
1,3
29,06
21,9
4,8
37,1
36,2
0,44
5.048
4.585
121
Satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas tersebar di bagian tengah Blok Beruaq, sebagian besar merupakan bagian dari Sub-blok A. Batubara muncul sebagai sisipan di antara batupasir kuarsa, dibatasi oleh roof dan floor berupa carbonaceous mudstone, shaly coal dan coaly shale. Berikut data laboratorium sampel batubara sekunder batupasir - batulanau bagian atas (Tabel 4.16).
pada satuan perselingan
122
Tabel 4.17. Hasil pengolahan data kualitas batubara sampel pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian atas. No
Nilai
Penilaian Parameter
Minimum 26,13 % wt dan maksimum 33,63 % wt
Relatif tinggi
Minimum 2,5% wt dan maksimum 7,4% wt
Relatif rendah hingga sedang
Minimum 34,7 % wt dan maksimum 37,3 % wt
Relatif rendah hingga sedang
Minimum 33,70 % wt dan maksimun 38,70 % wt
Relatif tinggi
Minimum 0,14 % wt dan maksimum 1,71 % wt
Relatif sedang
Minimum 4.573 kcal/kg dan maksimum 5.092 kcal/kg
Relatif rendah
Parameter Kadar air total atau total moisture (TM) Kadar air bawaan atau inherent moisture (IM) Kadar abu atau ash content (AC) Zat terbang atau volatile matter (VM) Kadar sulfur total atau total Sulphur (TS) Nilai kalori atau calorific value (CV)
1 2 3 4
5 6
Acuan: Thompson (1994)
Analisis kualitas batubara yang dilakukan pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas berjumlah 14 sampel. Berdasarkan parameter kualitas yang digunakan oleh Thompson (1994), maka dapat disimpulkan bahwa kualitas batubara sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas relatif tidak begitu baik (kualitas sedang). Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif tinggi, kadar air bawaan relatif rendah hingga sedang, kadar abu relatif rendah hingga sedang, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif sedang dan nilai kalori relatif rendah (Tabel 4.17). -
Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials) Berdasarkan nilai kalori sampel sekunder batubara pada satuan
perselingan batupasir - batulanau bagian atas, yaitu dengan nilai minimum 4.573 kcal/kg dan maksimum 5.092 kcal/kg, maka dapat disimpulkan bahwa
123
peringkat batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignit (grup subbituminous C) (Tabel 4.18). Tabel 4.18. Peringkat batubara berdasarkan Klasifikasi ASTM sampel batubara pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian atas. CV STA
Seam
CV STA
Grup
(kkal/ kg)
4.855
084_S1
S19
4.920
004_LP3
S24U
4.877
084_S2
S19
4.920
007_S1
S31L
4.691
106
S24
5.060
18
S13U
5.083
108
S24
5.060
24
S33U
5.092
109
S01L
4.704
35
S34U
4.954
110_LP2
S03
4.573
36
S32U
4.748
121
S28
5.048
Subbituminous C
S28
Lignit
004_LP2
Jenis Batubara
Kelas
Grup
Subbituminous C
Kelas
Seam
Lignit
(kkal/ kg)
Jenis Batubara
Acuan: Klasifikasi ASTM (1981)
-
Klasifikasi fuel ratio Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang
dianalisis memiliki nilai fuel ratio minimum 0,84 dan maksimum 1,05. Nilai fuel ratio tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignite dan bituminous, jenis black lignite dan lower bituminous coal (Tabel 4.19). Tabel 4.19. Fuel Ratio Batubara sampel pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas. Jenis Batubara
STA
Seam
VM
FC
Fuel Ratio
Kelas
Grup
004_LP2
S28
36,1
34,4
0,95
lignite
black lignite
004_LP3
S24U
36,6
34,2
0,93
lignite
black lignite
007_S1
S31L
35,3
35,3
1
bituminous
lower bituminous coal
18
S13U
38,5
36,7
0,95
lignite
black lignite
124
Tabel 4.19. Lanjutan. 24
S33U
36,4
35,8
0,98
lignite
black lignite
35
S34U
36,4
35
0,96
lignite
black lignite
36
S32U
34,7
33,7
0,97
lignite
black lignite
084_S1
S19
35,7
37,6
1,05
bituminous
lower bituminous coal
084_S2
S19
35,7
37,6
1,05
bituminous
lower bituminous coal
106
S24
37,3
35,3
0,95
lignite
black lignite
108
S24
37,3
35,3
0,95
lignite
black lignite
109
S01L
36,2
34,4
0,95
lignite
black lignite
110_LP2
S03
34,1
28,7
0,84
lignite
black lignite
121
S28
37,1
36,2
0,98
lignite
black lignite
Acuan: Klasifikasi fuel ratio (1995)
2. Satuan perselingan batupasir - batulanau bagian bawah Persebaran batubara pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian bawah tersebar di bagian timur Blok Beruaq. Batubara tersebut terdapat d Sub-blok B. Roof dan floor yang dominan ditemukan berupa carbonaceous mudstone, shaly coal dan coaly shale. Batubara pada satuan ini dapat menjelaskan kualitas batubara untuk Sub-blok B. Berikut data mengenai analisis kualitas batubara pada satuan perselingan batupasir – batulanau (Tabel 4.20): Tabel 4.20. Analisis kualitas sampel satuan perselingan batupasir-batulanau bagian bawah.. No
Parameter
Nilai
Penilaian Parameter
1
Kadar air total atau total moisture (TM)
Minimum 22,09 % wt dan maksimum 26,68 % wt
Relatif tinggi
2
Kadar air bawaan atau inherent moisture (IM)
Minimum 6,70 % wt dan maksimum 13,90 % wt
Relatif sedang
3
Kadar abu atau ash content (AC)
Minimum 28,6 % wt dan maksimum 37,3 % wt
Relatif sedang
4
Zat terbang atau volatile matter (VM)
Minimum 33,80 % wt dan maksimun 39 % wt.
Relatif tinggi
5
Kadar sulfur total atau total Sulphur (TS)
Minimum 1,67 % wt dan maksimum 2,32 % wt
Relatif sangat tinggi
6
Nilai kalori atau calorific value (CV)
Minimum 4.492 kcal/kg dan maksimum 5.328 kcal/kg
Relatif rendah
125
Tabel 4.21. Hasil pengolahan data kualitas batubara sampel satuan perselingan batupasirbatulanau bagian bawah. Air-dried basis (adb)
Tebal (m)
RD
S39U
2,5
1,3
S55
1,4
S54U
Seam
Kcal/kg
TM
Seam berkorelasi dengan STA
IM
AC
VM
FC
TS
CV (adb)
CV (gar)
26,68
21,6
7,9
36,7
33,8
1,88
4.999
4.675
008_S2
1,3
22,94
18
9,2
37,3
35,5
1,98
5.328
5.007
028_LP2
0,5
1,3
22,09
17,8
8,2
38,5
35,5
4,32
5.320
5.042
030_S2
S53L
0,2
1,3
25,2
20,7
6,7
33,6
39
1,83
4.933
4.653
032
S49
0,5
1,3
26,67
20,7
13,9
28,6
36,8
1,67
4.499
4.160
083
Acuan: Thompson (1994)
Analisis kualitas batubara yang dilakukan pada satuan perselingan batupasir – batulanau berjumlah 5 sampel. Berdasarkan parameter kualitas yang digunakan oleh Thompson (1994), maka dapat disimpulkan bahwa kualitas batubara sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir – batulanau relatif tidak begitu baik (kualitas sedang). Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif tinggi, kadar air bawaan relatif sedang, kadar abu relatif sedang, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif sangat tinggi dan nilai kalori relatif rendah (Tabel 4.21). -
Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials) Berdasarkan nilai kalori sampel sekunder batubara pada satuan
perselingan batupasir-batulanau bagian bawah, yaitu dengan nilai minimum 4.492 kcal/kg dan maksimum 5.328 kcal/kg, maka dapat disimpulkan bahwa
126
peringkat batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignit (grup subbituminous B dan C) (Tabel 4.22). Tabel 4.22. Jenis batubara berdasarkan Klasifikasi ASTM sampel batubara pada satuan perselingan batupasir-batulanau bagian bawah. CV
Jenis Batubara
STA
Seam by Drilling
(kkal/kg)
008_S2
S39U
4.999
028_LP2
S55
5.328
030_S2
S54U
5.320
032
S53L
4.933
Subbituminous C
083
S49
4.499
Subbituminous C
Kelas
Grup Subbituminous C Subbituminous B
Lignit
Subbituminous B
Acuan: Klasifikasi ASTM (1981)
-
Klasifikasi fuel ratio Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang
dianalisis memiliki nilai fuel ratio minimum 0,92 dan maksimum 1,29. Nilai fuel ratio tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignite dan bituminous (jenis black lignite dan lower bituminous coal) (Tabel 4.23). Tabel 4.23. Fuel Ratio Batubara sampel pada satuan perselingan batupasir-batulanau bagian bawah. Jenis Batubara
STA
Seam by Drilling
VM
FC
Fuel Ratio
Kelas
Grup
008_S2
S39U
36,7
33,8
0,92
lignite
black lignite
028_LP2
S55
37,3
35,5
0,95
lignite
black lignite
030_S2
S54U
38,5
35,5
0,92
lignite
black lignite
032
S53L
33,6
39
1,16
bituminous
lower bituminous coal
083
S49
28,6
36,8
1,29
bituminous
lower bituminous coal
Acuan: Klasifikasi fuel ratio (1995)
127
BAB V PEMBAHASAN
V.1. Kondisi Geologi di Blok Beruaq Berdasarkan hasil pemetaan geologi peneliti, kondisi geologi Blok Beruaq termasuk ke dalam kondisi geologi yang kompleks. Kondisi ini dipengaruhi oleh proses deformasi yang kuat, sehingga banyak ditemukan struktur-struktur geologi berupa perlipatan dan pensesaran. Perlipatan dan pergeseran yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik tersebut umum dijumpai dan bersifat rapat, sehingga menjadikan lapisan batuan sedimen yang ditemukan sulit untuk direkonstruksi dan dikorelasi. Bentuk perlipatan yang kuat juga mengakibatkan kemiringan lapisan yang bervariasi. Kondisi geomorfologi Blok Beruaq dipengaruhi oleh faktor batuan sedimen penusun dan struktur geologi yang ada di Blok Beruaq, sehingga faktor tersebut membentuk morofologi perbukitan dan lembah dengan kemiringan yang bervariasi. Penjelasan kondisi geologi di Blok Beruaq akan diulas lebih lanjut sebagai berikut: V.1.1. Geomorfologi Blok Beruaq Secara geomorfologi regional, Blok Beruaq terdapat pada Zona Antiklinorium Samarinda. Zona ini terbentuk akibat adanya sabuk lipatan yang sangat intensif, sehingga membentuk suatu pebukitan lipatan yang memanjang dengan arah relatif timur laut – barat daya. Bentukan geomorfologi ini dapat secara jelas diamati dari Foto udara atau citra satelit. Berdasarkan aspek morfografi, morfometri dan morfogenesa, daerah pemetaan dapat dibagi menjadi
128
3 satuan geomorfologi, yaitu satuan perbukitan cuesta – hogback, satuan perbukitan hogback dan satuan dataran alluvial. Berikut penjelasan mengenai satuan geomorfologi di Blok Beruaq: a. Satuan perbukitan cuesta - hogback Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 66,4% dari luasan total daerah penelitian di bagian timur daerah pemetaan. Pada peta geomorfologi, satuan ini ditandai dengan warna kuning. Berdasarkan aspek morfografi, satuan ini termasuk suatu perbukitan. Titik tertinggi yang ada pada satuan ini berada pada elevasi 115 mdpl, sedangkan titik terendahnya berada pada elevasi 15 mdpl. Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk dalam morfometri bergelombang sedang dengan nilai kelerengan sekitar 7 - 15%. Pola penyaluran yang berkembang pada satuan ini adalah pola penyaluran subdendritik dengan stadia sungai sedang. Kenampakan lapangan pada masing – masing satuan geomorfologi dapat dilihat pada Foto 5.1A. Peta topografi dan citra DEM (Digital Elevation Model) menunjukkan adanya morfologi cuesta dan hogback serta pola pola kelurusan yang menunjukkan adanya morfogenesa struktural pada satuan ini. Morfologi yang dominan ditemukan di bagian tengah Blok Beruaq berupa cuesta dan bagian sedikit ke timur dan bagian barat daya berupa hogback. Secara konseptual penyebab utama pembentukan morfologi ini dikontrol oleh tektonik, yaitu berupa homoklin dari sayap sinklin yang terdapat di Blok Beruaq. Morfologi cuesta merupakan bagian dari Gunung Meranti yang memiliki dip slope ke arah
129
relatif timur dan barat laut dengan kemiringan < 30°, sedangkan back slope yang relatif curam dengan kemiringan > 30°. Bentuk morfologi hogback di bagian satuan ini memiliki lapisan batuan yang miring ke arah barat laut - barat di bagian tengah, sedangkan hogback yang berada di bagian barat daya miring ke arah timur laut. Morfologi memanjang searah jurus perlapisan dengan orientasi retalif utara – selatan di bagian tengah dan orientasi barat laut – tenggara di bagian barat daya Blok Beruaq. Hogback ini memiliki kemiringan back slope dan dip slope yang relatif sama besar (bukit yang simetris) serta kemiringan lapisan batuan lebih dari 30°. b. Satuan perbukitan hogback Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 20,8% dari luasan total daerah penelitian. Satuan ini terletak di bagian barat daerah pemetaan dan ditandai dengan warna merah jambu pada peta geomorfologi. Berdasarkan aspek morfografi, satuan ini termasuk dalam morfografi perbukitan. Titik tertinggi di satuan ini berada pada elevasi 140 mdpl dan titik terendahnya berada pada elevasi 23 mdpl. Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk dalam topografi bergelombang kuat, dengan kemiringan lereng sekitar 30 - 70%. Kelerengan yang terjal ini dapat terlihat jelas dari peta topografi dengan kontur yang cukup rapat pada lereng perbukitan (Foto 5.1B). Pada satuan ini tampak perbukitan dengan kelerengan yang simetris memanjang relatif barat daya – timur laut pada bagian barat laut Blok Beruaq. Morfologi yang dominan ditemukan di bagian barat laut Blok Beruaq berupa hogback. Secara konseptual penyebab utama pembentukan morfologi ini
130
dikontrol oleh tektonik, yaitu di sayap bagian barat laut sumbu lipatan antiklin di yang terdapat di Blok Beruaq. Bentuk morfologi hogback dengan lapisan batuan yang miring ke arah barat laut. Morfologi memanjang searah jurus perlapisan dengan orientasi barat daya – timur laut. Hogback ini memiliki kemiringan back slope dan dip slope yang relatif sama besar (bukit yang simetris) serta kemiringan lapisan batuan lebih dari 30°. c. Satuan dataran alluvial Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 12,8% dari luasan total daerah penelitian. Satuan ini terdapat di bagian barat daerah pemetaan dan ditandai dengan warna hijau tua pada peta geomorfologi. Berdasarkan aspek morfografi, satuan ini termasuk topografi datar. Titik tertinggi di satuan ini berada pada elevasi 24 mdpl dan titik terendahnya berada pada elevasi 9 mdpl. Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk morfometri dataran dengan kelerengan sekitar 0 - 2% (Foto 5.1C). Berdasarkan aspek morfogenesa, satuan ini cenderung dipengaruhi oleh proses eksogenik dibandingkan proses endogenik. Proses eksogenik yang terjadi yaitu pelapukan, erosi, transportasi, dan pengendapan material hasil erosi dan transportasi batuan di sekitarnya. Struktur geologi yang terdapat di bawah satuan ini berupa antiklin, menutupi sumbu antiklin yang telah mengalami penelanjangan atau denudasional processes.
131
Gambar 5.1. Beberapa kenampakan morfologi daerah penelitian. A) Kenampakan perbukitan cuesta di bagian tenggara daerah pemetaan (azimuth foto N 35° E). B) Kenampakan perbukitan hogback di bagian barat laut daerah pemetaan (azimuth foto N 210° E). C) Kenampakan dataran aluvial di bagian barat daya daerah pemetaan (Azimuth foto N 15° E).
d. Pola penyaluran Secara keseluruhan, pola penyaluran yang ada pada Blok Beruaq adalah pola penyaluran subdendritik (Gambar 4.1). Pola penyaluran ini hadir dengan ciri berupa sungai yang bercabang menyerupai tulang daun namun dipengaruhi oleh kontrol struktur geologi yang ada. Pengaruh kontrol struktur geologi ini terbukti dengan adanya lipatan, kekar dan sesar yang ditemukan dan dianalisis pada Blok Beruaq ini. Keterdapatan sumbu antiklin yang memanjang dengan orientasi barat daya - timur laut ini menjadi zona lemah dan dialiri oleh sungai parenial. Sungai ini mengalir dari barat daya ke timur laut. Sumbu sinklin menunjam yang terletak di
132
bagian tengah daerah pemetaan juga merupakan zona lemah yang dialiri oleh sungai parenial yang mengalir dari selatan ke utara. Keterdapatan sesar naik sinistral di bagian utara daerah pemetaan ikut mengontrol aliran sungai parenial yang mengalir dari selatan ke utara. Keberadaan zona lemah tersebut menjadi aliran sungai parenial dan aliran sungai intermiter yang ada pada saat ini. e. Stadia daerah Stadia daerah di Blok Beruaq dikontrol oleh dua gaya, yaitu gaya endogen dan gaya eksogen. Gaya endogen ini menyebabkan terbentuknya struktur geologi berupa perlipatan antiklin dan sinklin serta sesar di Blok Beruaq. Proses tersebut menghasilkan bentukan bentang alam konstruksional. Selanjutnya bentang alam tersebut terkena gaya eksogen yang bersifat merusak (bentangalam destruksional) melalui proses sedimentasi, yaitu pelapukan, erosi, abrasi, transportasi dan pengendapan (Thornbury, 1954). Berdasarkan analisis stadia daerah menggunakan beberapa parameter, yaitu struktur geomorfologi, bentuk puncak, bentuk lembah, kelerengan, proses erosi, luasan dataran dan stadia sungai menunjukkan bahwa Blok Beruaq telah mengalami 2 proses, yaitu proses endogenik dan eksogenik. Proses endogenik menyebabkan pembentukan pembentukan perlipatan, sehingga membentuk struktur geomorfologi perbukitan hampir di seluruh area, hanya sebagian kecil berupa daratan. Proses selanjutnya merupakan proses eksogenik yang bersifat merusak. Proses tersebut berupa proses sedimentasi, yaitu pelapukan, erosi, abrasi, transportasi dan pengendapan. Hal tersebut menyebabkan bentuk puncak relatif runcing, bentuk lembah relatif sempit yang diapit oleh perbukitan-
133
perbukitan. Kelerengan pada bagian timur relatif bergelombang sedang, sedangkan bagian barat relatif bergelombang kuat. Luasan daratan relatif tidak luas, yaitu hanya 12,8 % dari luasan Blok Beruaq dan keterdapatan sungai intermiten yang sangat dominan, serta proses erosi yang terus berlanjut hingga saat ini hingga menghasilkan inverted topography dari perlipatan yang ada. Secara umum, stadia daerah pemetaan ini adalah daerah dengan stadia yang dewasa (mature) dengan adanya erosi yang sudah cukup dominan, namun masih terdapat morfologi-morfologi perbukitan dengan kelerengan yang relatif cukup terjal. Sungai-sungai yang berstadia dewasa juga membuktikan bahwa ternyata erosi vertikal masih terjadi dan erosi lateral mulai berkembang dengan cukup baik. Contoh rekonstruksi stadia dewasa dapat dilihat pada Gambar 4.2 pada bab sebelumnya. f. Morfogenesa Kondisi
morfologi
daerah
pemetaan
terlihat
sebagai
perbukitan
melengkung di bagian timur, tengah dan barat daya daerah pemetaan. Terdapat pula pola-pola kelurusan lembah yang mengindikasikan adanya kontrol struktur geologi. Akibat adanya kontrol struktur geologi yang cukup intensif, batuan pada area pemetaan menjadi retak, terlipat, dan patah, menyebabkan batuan menjadi mudah terkena proses eksogenik. Resistensi batuan di bagian barat Blok Beruaq yang relatif lebih tinggi menyebabkan daerah ini lebih sulit dihancurkan oleh proses geomorfik dan pada akhirnya menghasilkan perbukitan yang lebih terjal. Pada bagian timur area penelitian, batuan relatif lebih tidak resisten terhadap
134
proses eksogenik, akibatnya morfologi yang terbentuk adalah perbukitan bergelombang dengan kelerengan yang lebih landai (Gambar 5.1).
Gambar 5.1. Kenampakan 3D Blok Beruaq.
Sifat batuan yang getas (brittle) menyebabkan batuan terlipat oleh adanya gaya kompresi. Sinklin menunjam pada Blok Beruaq bersifat asimetris dengan sumbu melengkung akibat adanya kontrol sesar naik sinistral yang memotong sinklin menunjam ini. Ekspresi morfologi pada sinklin menunjam ini juga terlihat bahwa telah terjadi pelengkungan dan pergeseran di bagian utara. Antiklin pada Blok Beruaq bersifat asimetris dengan sumbu barat daya - timur laut. Pada area ini, bentukan antiklin tercermin pada kelurusan sungai dan perbukitan yang juga berorientasi dengan arah barat daya - timur laut. V.1.2. Stratigrafi Blok Beruaq Secara regional, daerah penelitian masuk ke dalam Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan yang berumur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (Gambar 2.4) (Supriatna et al., 1995). Hal yang berbeda diketahui setelah
135
dilakukan pemetaan geologi dengan skala 1:25.000. Berdasarkan pemetaan tersebut, diketahui bahwa daerah penelitian tidak hanya tersusun oleh Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan seperti yang tergambar pada Peta Geologi Regional Lembar Samarinda Skala 1:250.000. Terdapat formasi lain yang dijumpai pada daerah penelitian, yaitu Formasi Pamaluan dan Formasi Bebulu. Formasi – formasi tersebut secara umum terwakili oleh satuan batuan yang didapatkan berdasarkan pemetaan geologi skala 1:25.000. Berdasarkan pemetaan geologi skala 1:25.000 tersebut, daerah penelitian dapat dibagi menjadi beberapa satuan, antara lain satuan batulanau, satuan batugamping dan satuan perselingan batupasir – batulanau: a. Satuan batulanau Satuan ini tersebar di bagian barat, dekat dengan antiklin yang ada pada daerah penelitian. Satuan ini dicirikan dengan adanya batulanau yang tersementasi dengan kuat (well cemented siltstone). Selain batuan yang bersifat keras, perbedaan lain satuan batulauan dengan satuan perselingan batupasir – batulanau adalah tidak ditemukannya lapisan batubara pada satuan ini. Kenampakan lapangan dari satuan ini dapat dilihat pada Foto 5.2. Satuan batulanau ini secara stratigrafis menjemari dengan satuan batugamping yang berumur Miosen Awal (N5 – N8) (Rizkiawan, 2015). Berdasarkan hubungan stratigrafis yang saling menjari ini, diperkirakan umur dari satuan batulanau ini juga Miosen Awal.
136
Foto 5.2. Kenampakan salah satu singkapan satuan batulanau. Terlihat adanya batulanau tersementasi kuat di bagian bawah dan batugamping terumbu (bindstone) di bagian atas (azimuth kamera N 250° E) (kiri). Terkadang dijumpai adanya fragmen batubara pada batulanau (kanan).
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Samarinda skala 1:250.000 (Supriatna et al., 1995), bagian timur dari satuan ini termasuk ke dalam Formasi Pulau Balang, sedangkan bagian barat dari satuan termasuk ke dalam Formasi Balikpapan yang keduanya berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir. Hal ini berbeda dengan umur satuan batulanau di daerah penelitian yang berumur Miosen Awal. Kolom stratigrafi yang dibuat oleh Supriatna et al. (1995) menunjukkan bahwa formasi yang terendapkan pada kisaran umur Miosen Awal adalah Formasi Pamaluan dan Formasi Bebulu, sehingga satuan batulanau ini bukan merupakan bagian dari Formasi Pulau Balang atau Formasi Balikpapan berdasarkan kolom stratigrafi tersebut. Satuan batulanau ini lebih mengarah kepada Formasi Pamaluan atau Formasi Bebulu berdasarkan umur satuan ini. Menurut Supriatna et al. (1995), Formasi Pamaluan tersusun atas batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, batulanau, serpih, batugamping, dan batubara, sedangkan Formasi Bebulu tersusun oleh batugamping terumbu dengan sisipan batugamping pasiran dan serpih. Berdasarkan umur satuan dan variasi
137
litologi dari satuan batulanau ini, maka satuan batulanau ini merupakan bagian dari Formasi Pamaluan, bukan Formasi Pulau Balang atau Formasi Balikpapan (Gambar 4.5 dan Gambar 4.6). b. Satuan batugamping Satuan batugamping ini tersingkap di bagian barat laut daerah pemetaan dengan orientasi memanjang dengan arah barat daya – tenggara, menempati satuan geomorfologi perbukitan bergelombang kuat struktural. Satuan ini terdiri dari batugamping terumbu berjenis bindstone,
framestone dan batugamping
kristalin. Kenampakan lapangan dari satuan ini dapat dilihat pada Foto 5.3.
Foto 5.3. Kenampakan salah satu singkapan batugamping terumbu yang ditemukan pada satuan batugamping. Pada foto ini terlihat adanya bindstone dengan adanya terumbu berbentuk pipih (platy-like coral) (azimuth Kamera N 320° E).
Secara lebih detail, organisme terumbu atau jenis batugamping yang menyusun satuan batugamping ini secara lateral dapat dibagi menjadi beberapa
138
jenis berdasarkan jenis terumbu yang mendominasi. Pembagian jenis organisme terumbu ini tidak dapat terpetakan dalam peta geologi skala 1:25.000. Jenis terumbu atau batugamping tersebut antara lain: platy coral reef, massive coral reef, dan batugamping kristalin (Gambar 5.2).
Gambar 5.2. Gambaran skematis distribusi lateral jenis batugamping yang menyusun satuan batugamping (tanpa skala). Platy coral reef terdapat di bagian selatan dan barat daya satuan, massive coral reef terdapat di bagian tengah satuan, batugamping kristalin di bagian timur laut dan timur satuan (Rizkiawan, 2015).
Platy coral reef (Bindstone) dicirikan dengan adanya koloni terumbu yang berbentuk pipih dan koloni alga yang membentuk pita - pita pipih memanjang di bagian selatan dan barat daya satuan. Terumbu pipih yang terdapat pada fasies ini berupa koloni dari Porites sp., sedangkan koloni alga yang terdapat pada fasies ini berupa koloni Foralgalith (Novak et al., 2013). Massive coral reef (Framestone) dicirikan dengan adanya koloni terumbu yang berbentuk masif berupa Echinospora sp. (Novak et al., 2013) dan dijumpai di bagian selatan dan bagian tengah dari satuan batugamping ini. Batugamping terumbu dijumpai di bagian
139
timur – timur laut satuan (Gambar 5.2). Karakter batugamping pada fasies ini tidak dapat diidentifikasi akibat batuan yang telah terkristalisasi. Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar berupa Lepidocyclina sumatrensis, Operculina sp., dan Austrotrilina howchini , satuan ini memiliki umur Miosen Awal (N5 – N8) (Rizkiawan, 2015). Pola sebaran formasi yang terdapat pada Peta Geologi Regional Lembar Samarinda skala 1:250.000 (Supriatna et al., 1995) menunjukkan bahwa satuan ini sebagian besar termasuk ke dalam Formasi Pulau Balang dan sebagian kecil masuk ke dalam Formasi Balikpapan yang keduanya berumur Miosen Tegah – Miosen Akhir. Hal ini berbeda dengan umur satuan batugamping di daerah penelitian yang berumur Miosen Awal. Kolom stratigrafi yang dibuat oleh Supriatna et al. (1995) yang menunjukkan bahwa formasi yang terendapkan pada kisaran umur Miosen Awal adalah Formasi Pamaluan dan Formasi Bebulu. Berdasarkan komparasi umur dari satuan batugamping dan umur formasi oleh Supriatna et al. (1995) serta variasi litologi formasi, maka satuan batugamping ini merupakan bagian dari Formasi Bebulu, bukan merupakan bagian dari Formasi Pulau Balang atau Formasi Balikpapan. Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa satuan batugamping yang merupakan bagian dari Formasi Bebulu ini memiliki hubungan stratigrafis yang menjari dengan satuan batulanau yang merupakan bagian dari Formasi Pamaluan. Hal ini cukup sesuai dengan kolom stratigrafi oleh Supriatna et al. (1995) yang menggambarkan bahwa Formasi Bebulu dan Formasi Pamaluan memiliki hubungan stratgrafis yang saling menjari (Gambar 4.5 dan Gambar 4.6).
140
c. Satuan perselingan batupasir - batulanau Satuan ini menempati satuan geomorfologi perbukitan bergelombang sedang struktural, dan sebagian di perbukitan bergelombang kuat. Pola umum yang ditemukan pada satuan ini adalah perselingan batupasir – batulanau dengan sisipan batulempung, batulanau, batupasir karbonatan, batupasir tufan atau batubara dengan ketebalan yang bervariasi. Satuan ini tersingkap di bagian barat dan timur daerah penelitian (Gambar 4.6). Kenampakan lapangan dari satuan ini dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Foto 5.4. Kenampakan beberapa singkapan pada satuan perselingan batupasir – batulanau. a) Struktur sedimen lentikuler pada serpih (azimuth kamera N 165˚E). b) Struktur sedimen laminasi silang siur pada batupasir (azimuth kamera N 45˚E). c) fragmen batubara berukuran kerikil - berangkal pada batupasir kuarsa (azimuth kamera N 10˚E). d) fosil cetakan daun yang terkarbonisasi (azimuth kamera N 135˚E).
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Samarinda skala 1:250.000 (Supriatna et al., 1995), satuan ini termasuk ke dalam Formasi Pulau Balang,
141
namun perulangan satuan yang muncul di bagian barat daerah penelitian termasuk ke dalam Formasi Balikpapan. Satuan perselingan batupasir – batulanau yang terdapat di bagian barat daerah penelitian memiliki umur Miosen Tengah (N9 – N10) berdasarkan kandungan fosil Globorotalia peripheroacuta (Rudianto, 2015). Satuan perselingan batupasir – batulanau yang berada di bagian timur memiliki umur Miosen Tengah – Miosen Akhir (N9 – N16) berdasarkan fosil pollen Florshuetzia meridionalis (Rizkiawan, 2015). Umur dari satuan ini sesuai dengan umur Formasi Pulau Balang dan Balikpapan, yaitu Miosen Tengah – Miosen Akhir (Supriatna et al., 1995). IV.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan data geologi regional oleh McClay et al. (2000), struktur geologi yang berkembang di Cekungan Kutai adalah antiklin yang dibatasi oleh sesar – sesar anjak (thrust-fault-bounded anticline) yang dipisahkan oleh sinklin yang lebar. Hal ini agak berbeda dengan struktur geologi yang dijumpai di daerah penelitian berdasarkan hasil pemetaan geologi skala 1:25.000. Struktur geologi daerah penelitian didominasi oleh adanya lipatan berupa antiklin, sinklin menunjam, dan sesar anjak. Thrust-fault-bounded justru terjadi pada sinklin menunjam karena sinklin tersebut dibatasi oleh 2 sesar anjak. Struktur geologi lain berupa kekar dan pola kelurusan juga ditemukan di daerah penelitian. Peta struktur geologi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.7.
142
1. Pola Kelurusan Pola kelurusan yang terdapat pada daerah pemetaan didapatkan dari hasil interpretasi adanya kelurusan - kelurusan lembah yang terlihat jelas pada citra DEM (Digital Elevation Model). Berdasarkan hasil interpretasi ini, didapatkan bahwa daerah pemetaan memiliki pola kelurusan yang cukup bervariasi dan muncul hampir di seluruh daerah pemetaan. Pola kelurusan dengan arah tenggara – barat laut terdapat di bagian timur daerah penelitian. Pola kelurusan dengan arah relatif utara - selatan terdapat di bagian selatan daerah penelitian. Pola kelurusan dengan arah timur laut - barat daya terdapat di bagian barat daerah penelitian. Pola – pola kelurusan ini secara umum mengikuti pola jurus yang ada di daerah penelitian. Hasil analisis dari pola kelurusan menunjukkan bahwa pola kelurusan cukup merata ke segala arah, namun didominasi oleh pola tenggara – barat laut dan barat daya – timur laut. 2. Kekar Kekar yang terdapat pada daerah penelitian terdiri dari kekar ekstensi dan kekar kompresi. Kekar ekstensi dicirikan dengan kenampakan kekar yang saling sejajar, sedangkan kekar-kekar kompresi dicirikan dengan adanya kekar yang saling memotong dan membentuk sudut lancip antar keduanya. Pola kekar yang berada di bagian timur daerah penelitian relatif lebih acak dibandingkan dengan kekar-kekar yang terdapat pada bagian barat daerah penelitian. Pada STA 124, dijumpai kekar kompresi yang membentuk sudut lancip ke arah tenggara – barat laut. Pada STA 92 yang terletak di bagian selatan daerah
143
penelitian, kekar yang terbentuk memiliki jurus dengan arah tenggara – barat laut dan relatif sejajar satu sama lain (Gambar 5.3). Rose Diagram N
W
E
S
Gambar 5.3. Kenampakan kekar pada STA 92. Jurus kekar relatif sejajar dan mengarah ke tenggara – barat laut. Arah gaya pembentuk kekar berarah tenggara – barat laut.
Secara keseluruhan, kekar yang terdapat pada daerah penelitian didominasi oleh 2 pola utama yaitu pola tenggara – barat laut dan barat daya – timur laut. Kedua pola ini diinterpretasikan terbentuk akibat adanya gaya utama berupa gaya kompresi berarah tenggara – barat laut (Gambar 5.). 3.
Lipatan Lipatan yang terdapat pada daerah penelitian berupa sinklin menunjam
dan antiklin (Gambar 4.7). Sinklin menunjam terdapat pada area tengah daerah penelitian, sedangkan antiklin terdapat pada bagian barat daerah penelitian. Berdasarkan rekonstruksi, sinklin menunjam yang ada pada daerah penelitian ini memiliki orientasi sumbu yang memanjang dari arah selatan ke timur laut. Sinklin ini bersifat asimetris dengan sayap sinklin yang lebih landai di bagian timur dibandingkan dengan sayap bagian barat. Berdasarkan rekonstruksi, penunjaman sinklin terjadi di bagian selatan.
144
Antiklin yang ada pada daerah penelitian memiliki sumbu yang memanjang dari arah barat daya menuju ke timur laut. Antiklin ini merupakan antiklin asimetris dengan sayap bagian barat yang lebih terjal dibandingkan dengan sayap antiklin bagian barat. 4. Sesar Sesar yang ada di daerah penelitian didapatkan dari hasil pengamatan langsung di lapangan serta analisis laboratorium. Sesar naik yang berada di bagian tengah daerah penelitian didapatkan dari adanya pola kelurusan yang jelas terkihat pada citra dan kemiringan batuan. Kemiringan batuan yang sangat besar di daerah ini (78°) mengindikasikan bahwa sesar ini berjenis sesar anjak (thrust fault) yang berorientasi tenggara – barat laut. Sesar naik yang terdapat di bagian barat daerah penelitian didapatkan dari hasil analisa paleontologi yang menunjukkan adanya umur yang berbeda antara satuan batulanau dan satuan perselingan batupasir – batulanau. Berdasarkan data paleontologi, satuan batulanau yang menjari dengan satuan batugamping memiliki umur yang lebih tua dibandingkan satuan perselingan batupasir – batulanau. Berdasarkan hasil rekonstruksi perlipatan, sesar, pola jurus, pola kelurusan dan kekar (Tabel 5.1), maka disimpulkan bahwa karakter struktur geologi di Blok Beruaq terbentuk karena gaya kompresional berarah barat laut – tenggara (Gambar 5.4). Gaya kompresional tersebut menyebabkan pembentukan perlipatan asimetris antiklin dan sinkilin menunjam dengan orientasi sumbu lipatan relatif timur laut-barat daya. Selain itu, juga terbentuk sesar naik sinistral diperkirakan
145
dengan orientasi tenggara – barat laut. Keterdapatan struktur geologi di Blok Beruaq, dapat dimodelkan sesaui dengan Model Harding (1974) (Gambar 5.4). Tabel 5.1. Karakter struktur geologi dan orientasi polanya. Karakter Struktur
Bagian Timur
Bagian Selatan
Bagian Barat
Pola Kelurusan
Tenggara – barat laut
Utara – selatan
Timur laut – barat daya
Pola Jurus
Tenggara – barat laut
Kekar
Tenggara – barat laut
Tenggara – barat laut
Timur laut – barat daya
Kemiringan Batuan
Barat daya
Barat daya, timur laut
Timur laut, barat daya
Lipatan
-
Sinklin menunjam
Antiklin
Sesar
Sesar naik sinistral
Geologi
Timur laut – barat daya, melengkung
Timur laut – barat daya
Gambar 5.4. Mekanisme pembentukan struktur Blok Beruaq (Harding, 1974).
146
V.1.4. Sejarah geologi Blok Beruaq Penjelasan perkiraan paleogeografi dan lingkungan pengendapan satuan batuan di Blok Beruaq, peneliti menggunakan fasies model endapan-endapan delta oleh Coleman (1976). a. Sejarah pengendapan batuan di Blok Beruaq Sejarah geologi Blok Beruaq dimulai dengan adanya progradasi Delta Mahakam yang dikontrol oleh gaya kompresional berarah relatif barat laut – tenggara yang bekerja pada Kala Miosen Awal. Proses tersebut menyebabkan pembentukan batuan dan struktur geologi di Blok Beruaq. Berikut penjelasan mengenai sejarah geologi pengendapan satuan batuan di Blok Beruaq (Gambar 5.5): -
Pengendapan satuan batulanau Pada Kala Miosen Awal terjadi proses pengendapan satuan batulanau.
Satuan ini merupakan satuan tertua di Blok Beruaq. Satuan ini dicirikan dengan adanya batulanau yang memiliki ciri warna abu-abu, tersementasi kuat, keras, struktur sedimen laminasi, berlapis, terkadang dijumpai fragmen batubara dan burrow horizontal, terkadang bersifat karbonatan. Batulempung juga bersifat well cemented, keras, struktur sedimen masif dan berlapis. Satuan ini terendapkan di lingkungan shallow marine bagian inner shelf (Rizkiawan, 2015). Kondisi lingkungan ini tidak mendapatkan influx sedimen yang intensif. Sedimen yang masuk pada lingkungan ini hanya sedimen berbutir halus dengan mekanisme pengendapan suspensi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya pertumbuhan terumbu di reef. Kondisi laut yang cukup tenang, tanpa gangguan
147
sedimen yang cukup intensif dan cukup nutrisi serta cahaya matahari, sehingga menyebabkan terbentuknya satuan batugamping yang hubungannya menjari dengan satuan batulanau. -
Pengendapan satuan batugamping Kondisi shallow marine di
Blok
Beruaq menyebabkan
adanya
pertumbuhan karbonat terumbu. Hal ini menunjukkan kondisi laut yang cukup dangkal dengan intensitas cahaya dan nutrien yang cukup bagi terumbu untuk dapat tumbuh. Suplai sedimen yang masuk ke dalam cekungan tidak banyak, sehingga tidak menghalangi terumbu untuk tumbuh di beberapa tempat muncul batugamping terumbu akibat kondisi lingkungan yang cukup tenang bagi tumbuhnya terumbu. Satuan batugamping yang terdiri dari carbonate reef ini secara lateral dapat dibagi lagi menjadi 3 fasies, namun tidak terpetakan dalam peta geologi skala 1:25.000. Fasies – fasies tersebut antara lain: platy coral reef, massive coral reef dan crystalline limestone. Arah pertumbuhan terumbu yang mengarah ke arah tenggara menunjukkan bahwa proses sedimentasi pada Kala Miosen Awal mengarah ke arah tenggara, arah tersebut searah dengan progradasi Delta Mahakam. -
Pengendapan satuan perselingan batupasir – batulanau Pada Kala Miosen Tengah terjadi pengendapan satuan perselingan
batupasir – batulanau di atas satuan batulanau secara selaras. Bagian bawah satuan perselingan batupasir - batulanau serta bagian dari sekuen litologi yang terendapkan di bagian ujung barat laut Blok Beruaq ini terendapkan karena adanya penurunan muka air laut relatif, yaitu dari lingkungan shallow marine
148
menjadi delta plain. Pengendapan di bagian bawah satuan ini terjadi di sublingkungan lower delta plain. Sekuen litologi yang terbentuk dicirikan dengan kehadiran perselingan tipis batulanau - batupasir dengan variasi ketebalan berkisar antara 30 - 300 cm. Struktur sedimen berupa flaser, laminasi dan coarsening upward. Kehadiran batubara di bagian bawah satuan ini sebagai sisipan yang berasosiasi dengan batulempung dan batulanau dengan variasi ketebalan berkisar antara 15 - 300 cm. Bagian atas satuan ini terbentuk karena penurunan muka air laut relatif terus terjadi, sehingga kondisi sub-lingkungan berubah menjadi transitional lower delta plain. Satuan ini dicirikan dengan hadirnya batupasir kuarsa yang relatif cukup tebal dengan ketebalan berkisar antara 30 - 700 cm. Selain itu, satuan ini juga terdapat beberapa sisipan batuan lain seperti batulempung, batupasir karbonan, serta yang paling dominan adalah batulanau. Secara umum struktur sedimen yang berkembang pada tubuh batupasir kuarsa adalah masif dengan terdapatnya laminasi dan silang siur di beberapa bagian Sekuen litologi yang terbentuk agradasional. Batubara yang terdapat di satuan ini berasosiasi dengan batulempung dan batulanau. Batubara tersebut memiliki ketebalan berkisar antara 20 - 300 cm dengan persebaran yang cukup melimpah di bagian tengah satuan ini, yaitu di daerah rawa-rawa. Satuan perselingan batupasir - batulanau diinterpretasikan sebagai bagian dari Formasi Pulau balang. Satuan ini berhubungan menjari dengan batuan yang tersebar di bagian ujung barat laut Blok Beruaq. Sekuen litologinya relatif mirip dengan sekuen litologi pada bagian bawah satuan perselingan batupasir -
149
batulanau. Sekuen litologi tersebut diinterpretasikan bagian dari Formasi Balikpapan yang hubungannya menjari dengan Formasi Pulau Balang di bagian bawah satuan perselingan batupasir - batulanau. Berdasarkan hasil analisis paleontologi, satuan ini terbentuk pada Kala Miosen Tengah - Miosen Akhir (Rizkiawan dan Rudianto, 2015). b. Arah sedimentasi dan potensi batubara Blok Beruaq Arah sedimentasi di Blok Beruaq relatif ke arah timur hingga tenggara. Arah tersebut relatif sesuai dengan arah progradasi Delta Mahakam di Cekungan Kutai. Arah sedimentai ini diinterpretasikan berdasarkan adanya pertumbuhan dan perkembangan reef ke arah timur hingga tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa semakin ke arah timur hingga tenggara, lingkungan pengendapan batuan semakin ke arah laut, sehingga tidak berpotensi akan keterdapatan batubara. Sebaliknya relatif ke arah barat lingkungan yang berkembang adalah dataran delta, sehingga sangat berpotensi akan keterdapatan batubara. Potensi batubara yang ada berasosiasi dengan batuan berbutir halus seperti batulempung dan batulanau. Batubara sebagai sisipan di antara batuan tersebut. Potensi batubara dominan ditemukan di sub-lingkungan interdistributary bay dan rawa-rawa.
150
151
c. Sejarah pembentukan struktur geologi Blok Beruaq Proses progradasi Delta Mahakam dikontrol oleh proses inversi di cekungan, yaitu gaya kompresional barat laut – tenggara. Proses tersebut menghasilkan Pegunungan Antiklinorium Samarinda termasuk Blok Beruaq, yang terdiri dari perlipatan asimetri antiklin – sinklin serta sesar naik, sesar turun dan sesar mendatar. Berikut penjelasan mengenai proses pembentukan struktur geologi di Blok Beruaq (Gambar 5.6):
Gambar 5.6. Mekanisme pembentukkan struktur geologi di Blok Beruaq.
152
V.2. Kondisi Sumberdaya Batubara di Blok Beruaq Kondisi sumberdaya batubara yang terdapat di Blok Beruaq dikontrol oleh kondisi geologi yang kompleks. Batubara tersebut diendapkan dalam kondisi sedimentasi di lingkungan delta yang terus mengalami perubahan sub-lingkungan dan kemudian juga terkena deformasi tektonik, sehingga geometri batubara tersebut menjadi kompleks. Kualitas batubaranya banyak dipengaruhi oleh perubahanperubahan yang terjadi pada saat proses sedimentasi berlangsung atau pada pasca pengendapan seperti pembelahan atau kerusakan lapisan (wash out). Perlipatan dan pergeseran yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik, umumnya dijumpai dan sifatnya rapat, sehingga menjadikan lapisan batubara sulit direkonstruksi dan dikorelasi. Bentuk perlipatan yang asimetris juga mengakibatkan kemiringan lapisan yang bervariasi. Berikut penjelasan mengenai sumberdaya batubara meliputi penyebaran batubara, karakteristik batubara, lingkungan pengendapan batubara, geometri batubara, persebaran batubara di permukaan (coal cropline) dan kualitas batubara di Blok Beruaq: V.2.1. Penyebaran batubara di Blok Beruaq Berdasarkan hasil pemetaan geologi di Blok Beruaq, ditemukan 45 titik singkapan batubara yang terdapat di bagian sungai intermitten dan tebing jalan hauling. Penyebaran singkapan yang berada di sungai intermitten sangat dominan pada daerah pemetaan, terutama di bagian hulu sungai intermitten. Pengamatan yang sangat baik dilakukan di jalan hauling akibat adanya pemotongan tebing. Kondisi
153
batubara di jalan hauling umumnya cukup segar, sedangkan pada sungai intermitten batubara yang ada umumnya cukup lapuk dan tertutup air. Kenampakan singkapan batubara dapat dilihat di Foto 5.5.
a
b
c
d
e
f
g
Foto 5.5. Kenampakan singkapan batubara pada berbagai STA. a) Kenampakan batubara pada STA 83 (Azimuth Foto N 30° E). b) Kenampakan batubara pada STA 4/2 (Azimuth Foto N 230° E). c) Kenampakan batubara pada STA 108 (Azimuth Foto N 290° E). d) Kenampakan batubara pada STA 106 (Azimuth Foto N 135° E). e) Kenampakan batubara pada STA 120 (Azimuth Foto N 240° E). f) Kenampakan batubara pada STA 127 (Azimuth Foto N 110° E). g) Kenampakan batubara pada STA 114 (Azimuth Foto N 10° E).
154
Batubara pada Blok Beruaq dominan tersebar secara merata di bagian timur, tengah dan di bagian ujung barat laut. Terdapat 22 titik singkapan batubara di Subblok B, yaitu di bagian timur Blok Beruaq dan 23 titik singkapan di Sub-blok A, yaitu di bagian tengah dan barat Blok Beruaq (Gambar 4.8). Kondisi geologi Blok Beruaq dikontol oleh stuktur geologi berupa perlipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin. Hal tersebut memungkinkan terjadinya pengulangan seam yang sama, yaitu seam yang ada di salah satu sayap lipatan akan dijumpai kembali di bagian sayap yang lain, sehingga karakteristik dari batubara yang ada dimungkinkan akan sama. Berdasarkan analisis kesamaan karakteristik batubara di tiap singkapan terdekat dan juga penarikan korelasi singkapan berdasarkan hukum “V”, maka didapatkan 40 seam batubara di Blok Beruaq. Seam tersebut hanya berdasarkan data hasil pemetaan geologi yang tersebar dominan di bagian timur Blok Beruaq dengan arah orientasi memanjang barat laut - tenggara sebanyak 31 seam batubara, 6 seam di bagian barat daya memanjang dengan orientasi barat laut - tenggara dan timur laut barat daya dan 3 seam di bagian barat laut memanjang dengan orientasi timur laut barat daya. V.2.2. Karakteristik batubara di Blok Beruaq Batubara yang tersebar di Blok Beruaq dominan memiliki karakteristik yang hampir sama di bagian timur laut, barat daya dan barat laut, namun berbeda dengan karakteristik batubara di bagian tengah Blok Beruaq. Umumnya kenampakan
155
batubara berwarna hitam, dengan kondisi yang umum tampak cukup segar di bagian tengah blok, namun pada beberapa tempat mengalami pelapukan cukup intensif di bagian timur laut dan barat laut blok. Cleat yang cukup intensif umumnya terisi oleh material lempung, lanau, oksida dan sulfida. Kilap batubara bervariasi dari bright di bagian tengah blok, kilap dull – semibright di bagian timur dan barat, dengan dominasi semi-bright. Pecahan subconchoidal, agak keras dan non-banded. Komposisi utama berupa karbon dan pengotor berupa sulfida dan oksida. V.2.3. Lingkungan pengendapan batubara di Blok Beruaq Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan geologi sekitarnya. Ketebalan, persebaran, komposisi dan kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Perbedaan karakteristik yang disebutkan di atas diinterpretasikan sebagai hasil dari perbedaan lingkungan pengendapan batubara. Pada penjelasan sub-bab mengenai sejarah geologi Blok Beruaq telah dijelaskan bahwa adanya proses pengendapan satuan batuan pada lingkungan pengendapan yang berbeda di Blok Beruaq. Berikut penjelasan mengenai lingkungan pengendapan batubara tersebut: a. Lingkungan lower delta plain Menurut Horne (1978) dan juga hasil dari penelitian menunjukkan bahwa lingkungan lower delta plain memiliki ciri-ciri lapisan batubara yang tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebaran batubara umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisannya ditandai oleh hadirnya
156
splitting oleh endapan crevasse splay, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong oleh channel bentuk lapisan batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butiran yang mengkasar ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark.
Gambar 5.7. Sekuen litologi pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian bawah menunjukkan lingkungan pengendapan lower delta plain.
Berdasarkan hasil analisis fasies di Blok Beruaq, maka lingkungan pengendapan batubara pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian bawah terbentuk di lingkungan lower delta plain (Gambar 5.7). Batubara yang tersebar di bagian timur, barat daya dan barat laut di Blok Beruaq terbentuk di
157
bawah pengaruh lingkungan lower delta plain, yaitu di satuan perselingan batupasir – batulanau bagian bawah. Menurut Horne dkk (1978), lingkungan lower delta plain memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan yang tipis, penyebaran luas dan distribusi kandungan sulfur bervariasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh kontrol pasang-surut air laut. Ketika air laut pasang, maka air laut akan membawa berbagai nutrisi ke dalam rawa gambut, sehingga menyebabkan banyaknya pertumbuhan tanaman di daerah ini. Pasang-surut air laut menyebabkan lingkungan yang relatif luas ini mengalami proses sedimentasi yang luas dan terjadi terus menerus. Hal tersebut mengakibatkan akumulasi material organik tersebar secara luas. Akumulasi material organik di lingkungan ini tidak begitu melimpah, sehingga menghasilkan akumulasi gambut yang tidak begitu tebal. Pasang air laut ini juga akan membawa material sedimen klastik halus yang kemudian akan terendapkan pada rawa gambut dan menjadi pengotor dalam batubara. Kandungan batubara yang terbentuk pada lingkungan ini umumnya akan memiliki kandungan pirit yang berasal dari reduksi sulfat pada air laut yang terbawa ke lingkungan ini. b. Lingkungan transitional lower delta plain Berdasarkan hasil analisis fasies di Blok Beruaq, maka lingkungan pengendapan batubara pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas terbentuk di lingkungan transitional lower delta plain (Gambar 5.8). Batubara pada satuan tersebut tersebar di bagian tengah Blok Beruaq.
158
Menurut Horne (1978), lingkungan pengendapan transitional lower delta plain memiliki ciri-ciri lapisan batubaranya yang tebal, kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau sampai laut dan banyak ditemui burrowing.
Gambar 5.8. Sekuen litologi pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian atas menunjukkan lingkungan pengendapan transitional lower delta plain.
159
Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona transisi yang mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Disini sekuen bay fill tidak sama dengan sekuen upper delta plain ditinjau dari kandungan fauna air payau sampai laut terbuka serta struktur burrowed yang meluas. Endapan channel menunjukkan kenampakan migrasi lateral lapisan point bar accretion menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada transitional delta plain ini berbutir halus daripada di upper delta plain dan migrasi lateralnya hanya satu arah. Batupasir tipis crevasse spaly umum terdapat pada endapan ini, tetapi lebih sedikit banyak daripada di lower delta plain, namun tidak sebanyak di upper delta plain. Pengendapan satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas akibat adanya penurunan muka air laut relatif. Hal ini menyebabkan interdistributary bays maju (ekstensif), sehingga area Blok Beruaq berubah menjadi sub-lingkungan transitional lower delta plain. Di Blok Beruaq, sublingkungan ini dicirikan dengan adanya endapan-endapan distributary mouth bar dan channel. Distributary mouth bar pada satuan ini agak berbeda dengan distributary mouth bar pada satuan batuan sebelumnya, pada distributary mouth bar satuan ini tidak dijumpai perselingan batupasir – batulanau seperti pada satuan batuan sebelumnya. Penurunan muka air laut relatif secara terus
160
menerus menyebabkan terbentuknya channel yang dicirikan dengan adanya fragmen-fragmen batubara di antara batupasir kuarsa yang ada. Batubara yang terdapat pada sub-lingkungan ini umumnya relatif lebih tebal dibandingkan dengan batubara pada lower delta plain. Lingkungan ini transisi antara lower dan upper delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan tebal, penyebaran lateral luas, serta rendah sulfur (Horne et al., 1979).
Gambar 5.9. Menurut model lingkungan pengendapan batubara (Horne et al, 1978), batubara di Blok Beruaq terbentuk di lingkungan lower delta plain dan transitional lower delta plain (kotak merak).
Berdasarkan hasil analisis fasies menurut Coleman (1976) dan model sekuen menurut Horne et al (1979), maka dilakukan pencocok lingkungan pengendapan batubara di Blok Beruaq. Berdasarkan model lingkungan pengendapan batubara
161
menurut Horne et al, (1978), maka lingkungan pengendapan batubara di Blok Beruaq adalah lower delta plain dan transitional lower delta plain (Gambar 5.9). V.2.4. Geometri batubara di Blok Beruaq Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu lapisan batubara yang sangat penting dalam kegiatan eksplorasi batubara. Pada penelitian ini, penjelasan mengenai geometri batubara digunakan untuk perencanaan tahap eksplorasi selanjutnya, yaitu lokasi pengeboran di Sub-blok A di bagian barat Blok Beruaq (eksplorasi pendahuluan) dan penentuan batas area prospek (boundary prospect area) di Sub-blok B di bagian timur Blok Beruaq (eksplorasi rinci). Kondisi geometri lapisan batubara dipengaruhi oleh hubungan lapisan batubara dengan lapisan batuan yang berasosiasi lainnya, baik itu lingkungan pengendapan maupun proses tektonik (Horne, 1978). Kondisi geometri perlu diketahui untuk melihat kondisi sumberdaya batubara yang ada, hal tersebut berarti untuk mengetahui kondisi geometri itu sendiri, perencanaan tambang, penambangan hingga ke tahap penjualannya. Oleh karena itu perlu untuk diketahui parameter– parameter geometri dan juga pengontrol kondisi geometri tersebut. Berikut penjelasan mengenai pengontrol geometri batubara dan kondisi geometri batubara di Blok Beruaq: V.2.4.1. Pengontrol geometri batubara Kondisi geometri batubara yang ada saat ini merupakan hasil dari aktivitas geologi dan kegiatan manusia. Kontrol dari aktivitas geologi, yaitu paleogeografi
162
cekungan, proses sedimentasi, aktivitas tektonik dan aktivitas geomorfik. Berikut penjelasan mengenai pengontrol geometri batubara: a. Paleogeografi Paleogeografi, yaitu kondisi dasar cekungan pada saat proses pembentukan batuan. Pengendapan batubara akan mengikuti bentukan awal cekungan tersebut. Paleogeografi Blok Beruaq merupakan lingkungan delta. b. Proses sedimentasi Proses sedimentasi ini merupakan proses dimana terjadi pengendapan batuan beserta batubara. Proses sedimentasi akan berbeda-beda pada lingkungan yang berbeda. Lingkungan pengendapan batubara di Blok Beruaq, yaitu lingkungan delta, pada sub-lingkungan lower delta plain dan trantisional delta plain. Geometri batubara pada lingkungan tersebut menurut Horne dkk (1978), pada lingkungan lower delta plain, batubara memiliki persebaran yang luas dan ketebalan yang relatif tipis, sedangkan lingkungan trantisional delta plain, batubara tersebar luas dengan ketebalan yang relatif tebal. c. Aktivitas tektonik Aktivitas tektonik ini terjadi akibat adanya kontrol dari gaya kompresional yang bekerja secara regional. Menurut Guntoro (1998), terjadi pemekaran Selat Makassar yang bergerak mekar relatif ke arah barat laut dan tenggara pada Kala Eosen tengah. Selain itu, juga terjadi pengangkatan
163
Pegunungan Maratus pada Kala Pliosen. Kedua hal tersebut menyebabkan pembentukan Antiklinorium Samarinda. Gaya kompresional yang bekerja berarah tenggara – barat laut. Seperti tampak pada saat ini, Blok Beruaq dikontrol oleh perlipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin, serta sesar naik sinistral. Hal tersebut menyebabkan kondisi geometri di Blok Beruaq menjadi kompleks. d. Aktivitas geomorfik Aktivitas
geomorfik
berkaitan
dengan
proses
pengerusakan
(destructional process). Proses tersebut berupa proses eksogenik, yaitu proses pelapukan, erosi, transportasi dan pengendapan. Hal tersebut berhubungan erat dengan iklim dan bentukan geografi. Area penelitian sendiri dikontrol oleh iklim tropis, dimana proses eksogenik bekerja dengan sangat intensif, sehingga zona lemah yang ada akan mengalami pengerusakan oleh proses geomorfik. Hal tersebut kaitannya dengan geometri batubara, yaitu keterdapatan lapisan batubara memungkinkan sebagian terkena proses geomorfik, sehingga terjadi pengubahan geometri batubara. Perubahan tersebut memungkinkan terjadinya kehilangan batubara pada zona lemah, seperti pada sumbu antiklin, zona sesar, zona kekar dan lain-lain. e. Aktivitas manusia Aktivitas manusia dalam hal pengontrol kondisi geometri batubara termasuk hal yang negatif. Hal tersebut dikarenakan aktivitas manusia yang
164
sering ditemukan di lapangan justru merusak kondisi geometri batubara. Aktivitas tersebut seperti penebangan pohon, penimbunan batubara karena aktivitas suatu pembangunan dan penambangan liar. Penebangan pohon secara liar dapat mengakibatkan kebakaran hutan di sekitar keterdapatan batubara, akibatnya batubara ikut terbakar dan kualitasnya menurun. Penimbunan batubara juga dapat terjadi sewaktu-waktu, hal tersebut menyebabkan batubara tertimbun maupun mengalami perusakan karena kebutuhan pembangunan. Penambangan liar menyebabkan kerugian Negara karena tidak adanya izin penambangan. Hal tersebut mengurangi sumberdaya batubara secara cuma-cuma. V.2.4.2. Parameter geometri batubara Menurut Kuncoro (2000) dan Jeremic (1985), parameter geometri yang dipakai, yaitu ketebalan, kemiringan, kemenerusan, keteraturan, sebaran, bentuk, kondisi roof dan floor. Berikut penjelasan mengenai geometri batubara di Blok Beruaq: a. Ketebalan Ketebalan seam batubara yang terdapat di Blok Beruaq relatif bervariasi. Variasi ketebalan yang tersebar di Blok Beruaq dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan kecepatan akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar
165
cekungan, hadirnya channel, sesar dan/ atau proses karst atau proses yang terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi permukaan. Berdasarkan hasil interpretasi kondisi lingkungan pengendapan di Blok Beruaq, batubara yang tersebar di blok bagian timur laut dan timur termasuk bagian dari satuan perselingan batupasir - batulanau bagian bawah (Formasi Pulaubalang) yang
terendapkan di lower delta plain. Kondisi
lingkungan lower delta plain dipengaruhi oleh pasang air laut terhadap proses sedimentasinya. Ketika air laut pasang, maka akan membawa berbagai nutrisi ke dalam rawa gambut, sehingga menyebabkan banyaknya pertumbuhan tanaman di lingkungan ini. Akibat pasang air laut ini juga akan membawa material sedimen klastik halus yang kemudian akan terendapkan pada rawa gambut dan menjadi pengotor dalam batubara, serta mempengaruhi ketebalan dari akumulasi gambut.
Gambar 5.10. Ketebalan seam batubara di lower delta plain relatif tipis.
166
Batubara yang terendapkan pada lingkungan lower delta plain memiliki penyebaran lateral yang luas, tetapi ketebalannya relatif tipis. Pada lembar korelasi seam batubara di Blok Beruaq (Lampiran 7), dapat dilihat bahwa persebaran seam pada lingkungan lower delta plain relatif tipis (Gambar 5.10), namun persebarannya luas. Namun, terdapat beberapa seam batubara yang tebal, hal tersebut diinterpretasikan sebagai bentukan seam pada channel. Seam pada channel tersebut relatif tebal, tetapi persebarannya tidak luas, karena pola bentuk seam berupa lentikuler (Gambar 5.11).
Gambar 5.11. Ketebalan seam batubara yang tebal di lower delta plain dikontrol oleh endapan channel.
Pada bagian tengah blok, batubara yang termasuk bagian dari satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas terendapkan di lingkungan trasitional lower delta plain (Gambar 5.12). Kondisi tersebut menyebabkan batubara yang terbentuk relatif lebih tebal dibandingkan dengan batubara
167
yang terbentuk di lower delta plain. Kondisi lingkungan transitional lower delta plain terkena pengaruh pasang air laut dan juga kontrol dari dari darat, sehingga endapan penciri lingkungan ini menunjukkan ciri-ciri lingkungan lower delta plain dan juga upper delta plain. Pada lembar korelasi seam batubara di Blok Beruaq menunjukkan bahwa pada lingkungan tersebut berkembang dengan baik endapan channel dan crevasse splay. Di antara endapan-endapan channel tersebut berkembang rawa-rawa yang membawa endapan batubara yang memiliki ketebalan yang relatif tebal dan juga persebaran yang lebih luas dibandingkan seam batubara yang tersebar di lingkungan lower delta plain.
Gambar 5.12. Pada lingkungan transitional lower delta plain berkembang rawa-rawa yang membentuk batubara yang relatif tebal dan persebarannya luas.
168
Dapat disimpulkan bahwa ketebalan lapisan batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh lingkungan pengendapan batubara yang terbentuk di lower delta plain dan transitional lower delta plain. b. Kemiringan Kemiringan seam batubara yang ditemukan di lapangan sangat bervariasi. Pola sebaran kemiringan terbagi menjadi 2 macam, yaitu tersebar merata dan terdapat juga yang tersebar di area spesifik saja. Hal tersebut diakibatkan oleh kontrol struktur geologi yang dominan di Blok Beruaq. Arah kemiringan seam batubara yang tersebar juga bervariasi, dan berbeda-beda di setiap bagian Blok Beruaq. Perbedaan arah kemiringan lapisan batubara dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin. Pada bagian timur laut dan timur, seam batubara miring ke arah barat daya. Kemiringan pada area timur Blok Beruaq dikontrol oleh homoklin. Pada bagian tenggara, seam batubara relatif miring ke barat daya, namum semakin ke selatan mengalami perubahan arah kemiringan ke arah barat dan barat laut. Kemiringan pada bagian tenggara masih dikontrol oleh struktur homoklin, namun terdapat pengaruh dari struktur sinklin menunjam yang berada di bagian tengah blok. Pada bagian selatan, seam batubara miring ke barat laut. Pada bagian arah utara, kemiringan seam juga terbagi 2, yaitu pada sisi barat sumbu sinklin seam miring ke arah tenggara, sedangkan pada sisi timur sumbu sinklin seam
169
miring ke arah barat laut. Pada area selatan dan utara, secara keseluruhan dikontrol oleh struktur sinklin menunjam. Pada bagian barat daya, kemiringan lapisan batubara mengarah ke tenggara, sedangkan pada ujung barat laut, kemiringan lapisan batubara mengarah ke barat laut. Kemiringan pada area barat blok dikontrol oleh struktur antiklin. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan arah dan kemiringan lapisan batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan asimetri sinklin menunjam, antiklin dan homoklin. c. Pola sebaran lapisan batubara Pola sebaran lapisan batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh proses sedimentasi dan struktur geologi. Berikut penjelasan mengenai pola sebaran seam batubara berdasarkan pengontrol tersebut: -
Proses sedimentasi Proses sedimentasi mengontrol pola sebaran batubara pada saat proses
pembentukan batubara tersebut. Proses sedimentasi yang bekerja berbedabeda pada setiap lingkungan. Pada lingkungan lower delta plain, proses sedimentasi yang bekerja menyebabkan batubara yang terbentuk tersebar secara luas di interdistributary bays. Batubara yang terbentuk relatif tipis, dengan pola sebaran mengikuti orientasi paralel pola distributary yang ada. Namun, terdapat pola sebaran batubara yang relatif tersebar setempat, yaitu batubara yang terbentuk di channel. Di beberapa area lingkungan lower delta
170
plain, akumulasi material organik yang tebal dapat terjadi di channel. Pola sebaran seam tersebut membentuk pola lentikuler. Pada lingkungan transitional lower delta plain, batubara terbentuk relatif memiliki persebaran lebih luas dibandingkan lower delta plain, hal tersebut dikarenakan rawa-rawa pada lingkungan transitional lower delta plain berkembang dengan baik. Pada lembar korelasi seam batubara Blok Beruaq dapat dilihat bahwa seam batubara pada bagian bawah satuan perselingan batupasir - batulanau bagian bawah terdapat beberapa seam batubara yang relatif tipis. Seam tersebut diinterpretasikan sebagai seam yang memiliki persebaran yang luas dengan pola sebaran paralel terhadap pola endapan distributary yang ada. Pada bagian atas satuan tersebut terdapat beberapa seam batubara yang relatif tebal, seam tersebut terendapkan di sekitar channel. Seam tersebut diinterpretasikan sebagai seam yang tersebar dengan pola sebaran lentikuler. Pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian bawah bagian atas, banyak terbentuk seam batubara yang relatif tebal. Seam tersebut tersebar secara luas, yaitu seam batubara yang ditemukan di sayap sinklin bagian barat dapat dikorelasikan dengan seam batubara yang ditemukan di sayap sinklin bagian timur. Pola persebaran seam relatif luas. -
Struktur geologi Struktur geologi mengontrol pola sebaran batubara setelah batubara
tersebut terbentuk. Struktur geologi yang terdapat di Blok Beruaq berupa
171
lipatan dan sesar yang intensif. Lipatan yang terdapat pada Blok Beruaq berupa sinklin menunjam, antiklin dan homoklin. Sinklin menunjam terdapat pada area tengah blok, sedangkan antiklin terdapat pada bagian barat Blok Beruaq. Struktur homoklin mengontrol bagian timur Blok Beruaq. Kontrol struktur geologi tersebut menyebabkan pola sebaran seam batubara yang terdapat di Blok Beruaq menjadi kompleks. Pola tersebut diinterpretasikan bahwa persebaran batubara di Blok Beruaq mengalami perlipatan baik sinklin ataupun antiklin, dimana seharusnya batubara yang ada di bagian timur blok dapat dijumpai kembali di bagian barat blok, namun ternyata batubara di bagian barat sangat jarang dijumpai. Hal ini diinterpretasikan sebagai akibat dari adanya penipisan batubara ke arah barat. Berdasarkan interpretasi arah pengendapan batubara ke arah timur, maka batubara yang terbentuk memiliki sebaran dengan orientasi relatif barat – timur. Akibat dari kontrol aktivitas tektonik, gaya kompresional relatif tenggara – barat laut mengubah arah sebaran batubara. Pada bagian timur Blok Beruaq, pola sebaran batubara relatif tenggara – barat laut. Pola sebaran pada bagian timur dikontrol oleh homoklin. Homoklin tersebut merupakan bagian dari sayap antiklin yang berada di luar blok, tepatnya di timur laut Blok Beruaq. Pada bagian tengah, pola sebaran batubara dikontrol oleh struktur lipatan sinklin menunjam. Sumbu sinklin tersebut melengkung ke
172
arah barat laut. Orientasi sumbu tersebut relatif barat daya – timur laut. Hal tersebut menyebabkan pola sebaran batubara memiliki orientasi relatif barat daya – timur laut juga, namun sebaran batubara pada sisi barat sumbu (pada bagian selatan), sebaran batubara memiliki sebaran dengan orientasi relatif tenggara – barat laut. Pada bagian barat, pola sebaran batubara di kontrol oleh struktur antiklin. Sumbu antiklin memiliki orientasi relatif barat daya – timur laut. Pada ujung barat laut, batubara memiliki pola sebaran dengan orientasi yang sama dengan sumbu relatif barat daya – timur laut, namun pada ujung barat daya, pola sebaran melengkung ke arah barat laut (Lmapiran 8). d. Bentuk lapisan batubara Bentuk lapisan batubara dikontrol oleh bentuk cekungan sedimentasi, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses pembatubaraan. Bentuk lapisan batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh cekungan sedimentasi di lingkungan delta, proses sedimentasi yang dikontrol oleh pasang-surut air laut dan influx material organi dari darat, dan kontrol dari aktivitas tektonik. Dalam skala yang kecil, bentukan lapisan batubara dapat diamati pada lembar korelasi seam di Blok Beruaq. Bentukan seam yang ada menunjukkan bahwa seam mengalami splitting, penipisan, penebalan, dll (Gambar 5.10). Bentukan seam yang diamati tentu sudah mengalami kontrol dari 4 hal di atas, sehingga sulit untuk menjelaskan secara detail mengenai proses terjadinya
173
bentukan seam yang ada pada saat ini. Dalam skala besar, dapat dijelaskan bahwa seam tersebut dikontrol oleh proses sedimentasi dan proses tektonik. Bentukan lapisan batubara dikontrol oleh lingkungan Delta Mahakam akan menghasilkan batubara yang progradasi ke arah timur. Bentukan lapisan batubara mengikuti perlapisan batuan sedimen lainnya yang berkembang ke arah timur. Bentukan lapisan batubara yang terbentuk kemudian terkena gaya kompresional. Gaya tersebut menghasilkan struktur perlipatan. Struktur perlipatan yang terbentuk di Blok Beruaq berupa perlipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin. Selain itu terdapat struktur sesar naik sinistral. Bentukan lapisan batubara yang terlipat tersebut terbentuk akibat dari proses tektonik yang kuat, sehingga terjadi perlipatan. Perlipatan yang terbentuk di Blok Beruaq menunjukkan gaya kompresional yang cukup intensif, hingga membentuk lipatan asimetris dan juga sumbu sinklin yang melengkung. Gaya kompresional tersebut juga menyebabkan terbentuknya patahan berupa sesar naik sinistral. Dari keberadaan struktur geologi tersebut, tentu mempengaruhi bentuk lapisan batubara yang terkena struktur. Pada bagian timur, lapisan batubara dikontrol oleh homoklin yang miring ke arah barat daya. Pada bagian tengah blok, bentuk lapisan batubara membentuk cekungan seperti mangkok, hal tersebut diakibatkan oleh kontrol struktur sinklin menunjam. Pada bagian timur, bentuk lapisan batubara di kontrol oleh struktur antiklin.
174
Dalam hal untuk melakukan rekonstruksi perlapisan dengan kondisi struktur geologi yang kompleks diperlupan kegiatan eksplorasi seperti pemetaan geologi maupun pemboran, sehingga dapat membantu dalam hal merekonstruksi struktur tersebut. Rekonstruksi struktur di Blok Beruaq dilakukan berdasarkan hasil pemetaan geologi, namun akan dibuktikan melalui pemodelan. e. Kondisi Roof dan floor Kondisi kontak roof dan floor dengan batubara merupakan fungsi dari proses pengendapan (Kuncoro, 2000). Kontak batubara dengan roof dan floor yang ditemukan di Blok Beruaq umumnya berupa carbonaceous shale, shaly coal, coaly shale, batulempung, batulanau dan batupasir halus. Kondisi kontak roof dan floor dengan batubara yang ditemukan bervariasi, ada yang tegas dan juga bergradasi. Kontak tegas menunjukkan proses pengendapan berlangsung secara tiba-tiba, sebaliknya pada proses pengendapan yang berlangsung secara lambat diperlihatkan oleh kontak yang berangsur kandungan karbonannya. Roof dan floor berupa carbonaceous shale, coaly shale dan shaly coal umum ditemukan pada satuan perselingan batupasir – batulanau. Hal tersebut dikontrol oleh lingkungan pengendapan batubara, yaitu di lower delta plain. Influx material sedimen ke dalam akumulasi material organik menghasilkan batubara yang relatif tipis. Proses influx material sedimen tersebut
175
menyebabkan lapisan material organik tidak membentuk batubara, namun hanya carbonaceous shale, coaly shale dan shaly coal. Kontak carbonaceous shale, coaly shale dan shaly coal dengan batubara di Blok Beruaq relatif kontak gradasi. Hal tersebut terjadi dikarenakan proses pengendapan berlangsung secara lambat. Roof dan floor berupa batulempung, batulanau dan batupasir halus umum ditemukan pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas. Hal tersebut dikontrol oleh lingkungan pengendapan batubara, yaitu transitional lower delta plain. Lingkungan tersebut menunjukkan bahwa akumulasi batubara tidak terganggu oleh material sedimen. Batubara dapat terbentuk dengan ketebalan yang relatif tebal. Batuan Roof dan floor terbentuk ketikan
akumulasi
material
sedimen
terhenti
dikarenakan
aktivitas
pengendapan batulempung, batulanau dan batupasir halus terjadi secara tibatiba, sehingga menghasilkan kontak yang tegas. f. Kemenerusan lapisan batubara Kemenerusan seam batubara pada umumnya dibatasi oleh proses pengendapan, split, sesar, intrusi, atau erosi. Seam batubara pada Blok Beruaq tersebar
meluas
cenderung
memanjang
jurus
pengendapan,
tetapi
kemenerusan secara lateral sering terpotong oleh channel bentuk lapisan batubara.
176
Pada lembar korelasi seam Blok Beruaq (Lampiran 7), dapat diamati bahwa kemenerusan seam batubara yang terbentuk di lower delta plain terbagi 2, yaitu pada bagian bawah dan atas satuan perselingan batupasir – batulanau. Pada bagian bawah satuan tersebut, seam batubara relatif tersebar luas. Seam tersebut menerus mengikuti pola paralel distributary. Pada bagian atas satuan tersebut, seam batubara yang tebal diinterpretasikan terendapkan di channel. Kemenerusan seam tersebut dibatasi oleh channel dan membentuk pola lentikuler. Pada lingkungan transitional lower delta plain, terbentuk seam batubara yang cukup tebal dengan persebaran yang relatif luas. Seam relatif menerus pada area yang cukup luas. Seam tersebut terbentuk di rawa-rawa yang berkembang cukup intensif. Kemenerusan tersebut diinterpretasikan berdasarkan hasil korelasi seam di sekitar sinklin. Seam batubara di sayap sinklin bagian timur dapat dikorelasikan dengan seam batubara yang terdapat di sayap sinklin bagian barat. g. Keteraturan lapisan batubara Keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola kedudukan lapisan batubara (jurus dan kemiringan), yaitu pola lapisan batubara di permukaan (cropline) menunjukkan pola keteraturannya. Pola kedudukan seam batubara di permukaan (cropline) yang tersebar di Blok Beruaq menunjukkan pola yang berbeda-beda. Pada bagian barat laut, menunjukkan pola yang relatif
177
teratur, dengan kedudukan seam yang memanjang timur laut-barat daya. Pada bagian barat, menunjukkan pola yang melengkung. Pada bagian selatan, menunjukkan pola yang relatif teratur. Pada bagian utara, menunjukkan pola yang teratur, dengan orientasi seam memanjang timur laut-barat daya. Pada bagian timur laut, menunjukkan pola yang seam tidak teratur dan meliuk-liuk.
V.2.5. Kualitas Batubara Kualitas batubara menunjukkan karakteristik kimiawi dan fisik batubara tersebut, dan hal tersebut mempengaruhi kelayakan batubara untuk digunakan. Pembahasan akan difokuskan pada karakteristik kimiawi batubara. Karakteristik kimiawi batubara dikontrol oleh komposisi yang menyusun batubara, yaitu maseral, komponen mineral dan tingkatan pembatubaraan. Karakteristik kimiawi batubara dapat diketahui melalui analisis proksimat dan ultimat. Berdasarkan parameter kualitas batubara oleh Thompson (1994), maka analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui kadar air total, kadar abu, zat terbang, kadar sulfur total, karbon tertambat dan nilai kalori sampel batubara primer dan sekunder. Kualitas batubara juga berperan penting dalam menentukan kelas batubara (Thomas, 1994). Peringkat batubara dan kualitas batubara tersebut akan menjadi hal penting untuk menjual batubara, sehingga sangat penting untuk dibahas. Berikut pembahasan mengenai hasil analisis laboratorium sampel batubara primer dan sekunder:
178
V.2.5.1. Sampel primer Berdasarkan parameter kualitas yang digunakan oleh Thompson (1994), maka disimpulkan bahwa kualitas batubara sampel primer relatif baik. Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif rendah, kandungan abu relatif rendah, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif tinggi, karbon tertambat relatif rendah dan nilai kalori relatif tinggi. Berikut penjelasan mengenai kualitas sampel primer terhadap parameter kualitas batubara: a. Total moisture atau kadar air (TM) Kadar air (total moisture) pada sampel hasil pemetaan geologi menunjukkan nilai 7,79 % wt. Kandungan air yang terdapat pada batubara pada bagian barat laut beruaq relatif rendah. Rendahnya total moisture tersebut dipengaruhi oleh lamanya sampel disimpan untuk dianalisa, sehingga kadar air telah menguap ke udara. Berdasarkan teori, kadar air dikontrol oleh umur batuan dan roof floor dari batubara. Berdasarkan data geologi regional, sampel primer batubara tergolong batubara muda. Seharusnya kadar air pada sampel tersebut tinggi. b. Kandungan abu atau ash content (AC) Kandungan abu (ash content) sampel menunjukkan nilai minimum 2,00 % wt dan nilai maksimum 5,66 % wt. Kandungan abu yang bernilai demikian menunjukkan nilai yang relatif rendah. Kandungan komposisi abu yang rendah dipengaruhi oleh material-material sedimen yang ikut
179
terendapkan tidak intensif. Hal tersebut berkaitan dengan lingkungan pengendapan batubara yang tidak mengalami influx sedimen yang intensif. Rendahnya kandungan abu akan meningkatkan nilai kalori batubara, sehingga batubara akan lebih bernilai dengan kandungan abu yang rendah. c. Zat terbang atau volatile matter (VM) Zat terbang (volatile matter) sampel hasil pemetaan geologi menunjukkan nilai minimum 42,99 % wt dan nilai maksimum 44,30 % wt. Hal tersebut menunjukkan komponen-komponen dalam batubara yang dapat lepas atau menguap relatif tinggi, yaitu meliputi zat terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat terbang organik (volatile organic matter). Nilai zat terbang yang tinggi akan memberikan efek negatif terhadap kualitas batubara, yaitu semakin rendah tingkatan batubara jika kadar zat terbangnya tinggi. d. Karbon tertambat atau fixed carbon (FC) Jumlah karbon yang tertambat pada sampel batubara hasil pemetaan geologi ini relatif rendah, yaitu dengan nilai minimum 44,41 % wt dan nilai maksimun 46,94 % wt. Jumlah karbon yang tertambat pada batubara ini merupakan kandungan karbon setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat terbangnya dihilangkan. e. Kadar sulfur total atau total sulphur (TS) Sulfur yang terkandung di dalam sampel batubara di bagian barat laut blok menunjukkan nilai yang relatif tinggi, yaitu nilai minimum 2,20 % wt
180
dan nilai maksimum 5,09 % wt. Sulfur yang terdapat di batubara ini berasal dari mineral sulfida. Keberadaan mineral sulfida ini akan mudah bereaksi dengan unsur H dan O untuk membentuk senyawa asam, sehingga kehadiran sulfur dalam kadar yang tinggi akan sangat beresiko akan terjadinya polusi. Batubara sampel primer mengandung sulfur yang tinggi, hal tersebut sesuai dengan karakteristik batubara yang terbentuk di lingkungan lower delta plain. f. Nilai kalori atau calorific value (CV) Nilai kalori pada sampel batubara primer ini relatif tinggi, yaitu dengan nilai minimum 6.748 kcal/kg dan nilai maksimum 7.085,85 kcal/kg. Nilai kalori ini dapat dipengaruhi oleh nilai kandungan air dan abu di dalam batubara. Semakin rendah nilai kandungan air dan abu, maka nilai kalori pada batubara tersebut akan semakin tinggi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan benar, dimana nilai kandungan air dan abu pada sampel ini relatif rendah, sehingga mempengaruhi nilai kalori yang juga tinggi. Nilai kalori berkaitan dengan peringkat batubara, dimana batubara sampel primer ini merupakan batubara peringkat tinggi, karena nilai kalorinya tinggi. V.2.5.2. Sampel sekunder Kualitas batubara akan dikontrol oleh lingkungan pengendapan. Berdasarkan hasil interpretasi lingkungan pengendapan, menunjukkan bahwa satuan batuan di Blok Beruaq terendapkan pada lingkungan yang berbeda, sehingga untuk
181
pembahasan kualitas batubara harus dipisah. Berikut penjelasan mengenai kualitas batubara pada kedua satuan tersebut: 1. Satuan perselingan batupasir – batulanau bagian atas Satuan ini tersebar di bagian tengah blok. Batubara di satuan ini terendapkan di lingkungan transitional lower delta plain, sehingga kualitas batubara di bagian ini akan dipengaruhi oleh lingkungan rawa-rawa yang berkembang sangat baik. Kualitas batubara sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian atas relatif tidak begitu baik (kualitas sedang). Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif tinggi, kadar abu relatif rendah hingga sedang, zat terbang relatif tinggi, karbon tertambat relatif sangat rendah, kadar sulfur total relatif sedang dan nilai kalori relatif rendah. Berikut penjelasan mengenai kualitas batubara pada sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian atas: a. Total moisture atau kadar air (TM) Kadar air (total moisture) pada sampel batubara ini menunjukkan nilai minimum 26,13 % wt dan maksimum 33,63 % wt dengan nilai rata-rata 29,09 % wt. Kandungan air yang terdapat pada batubara bagian ini relatif tinggi. Tingginya kandungan air tersebut dipengaruhi oleh umur batubara, roof dan floor, serta lingkungan pengendapan. Umur batubara di satuan ini relatif muda, yaitu berdasarkan pembentukan satuan ini pada Kala Miosen Tengah, sehingga kandungan air masih dominan. Roof dan floor yang dominan ditemukan pada daerah ini adalah shaly coal dan coaly shale. Sifat kedua
182
batuan relatif impermeable, sehingga air yang terkandung pada batubara tidak dapat mengalir keluar. Hal tersebut menyebabkan tingginya kandungan air pada batubara pada satuan ini. b. Kandungan abu atau ash content (AC) Kandungan abu (ash content) sampel menunjukkan nilai minimum 2,5% wt dan nilai maksimum 7,4% wt dengan ratu-rata 4.7% wt. Kandungan abu pada sampel ini relatif rendah hingga sedang. Kandungan komposisi abu yang rendah hingga sedang ini dipengaruhi oleh material-material sedimen maupun material organik yang ikut terendapkan tidak intensif. Hal tersebut berkaitan dengan lingkungan pengendapan batubara yang tidak mengalami influx sedimen yang intensif. Rendahnya kandungan abu akan meningkatkan nilai kalori batubara, sehingga batubara akan lebih bernilai dengan kandungan abu yang rendah. c. Zat terbang atau volatile matter (VM) Zat terbang atau volatile matter sampel batubara di satuan ini menunjukkan nilai minimum 34,7 % wt dan nilai maksimum 37,3 % wt dengan rata-rata 36,1 % wt. Hal tersebut menunjukkan komponen-komponen dalam batubara yang dapat lepas atau menguap relatif tinggi, namun lebih rendah dibandingkan dengan sampel hasil pemetaan geologi. Zat terbang tersebut termasuk zat terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat terbang organik (volatile organic matter). Nilai zat terbang yang tinggi akan
183
memberikan efek negatif terhadap kualitas batubara, yaitu semakin rendah tingkatan batubara jika kadar zat terbangnya tinggi. d. Karbon tertambat atau fixed carbon (FC) Jumlah karbon yang tertambat pada sampel batubara sampel ini relatif sangat rendah, lebih rendah daripada nilai karbon yang tertambat pada sampel di bagian barat laut Blok Beruaq, yaitu nilai minimum 33,70 % wt dan nilai maksimun 38,70 % wt. Jumlah karbon yang tertambat pada batubara ini merupakan kandungan karbon setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat terbangnya dihilangkan. e. Kadar sulfur total atau total sulphur (TS) Sulfur yang terkandung di dalam sampel batubara ini menunjukkan nilai yang bervariasi dari yang terendah 0,14 % wt hingga tertinggi 1,71 % wt, namun rata-rata menunjukkan nilai kadar sulfur yang relatif sedang, yaitu 0,66 % wt. Sulfur yang terdapat di batubara ini berasal dari mineral sulfida. Kandungan tersebut dipengaruhi oleh kontrol lingkungan pengendapan batubara, yaitu di transitional lower delta plain, sehingga gambut yang terbentuk tidak kontak langsung dengan air laut, dan menghasilkan gambut dengan pH yang relatif tidak tinggi. Keberadaan mineral sulfida ini akan mudah bereaksi dengan unsur H dan O untuk membentuk senyawa asam, sehingga kehadiran sulfur dalam kadar yang relatif sedang sangat menguntungkan karena resiko akan terjadinya polusi tidak begitu tinggi.
184
g. Nilai kalori atau calorific value (CV) Nilai kalori pada sampel batubara di satuan ini relatif rendah, yaitu dengan nilai minimum 4.573 kcal/kg dan nilai maksimum 5.092 kcal/kg dengan rata-rata 4.899 kcal/kg. Nilai kalori ini dipengaruhi oleh nilai kandungan air yang tinggi, namun dengan kandungan abu yang tidak begitu tinggi atau nilainya relatif rendah hingga tinggi. Nilai kalori berkaitan dengan tingkatan batubara, dimana batubara sampel ini merupakan batubara peringkat rendah, karena nilai kalorinya rendah. 2. Satuan perselingan batupasir – batulanau bagian bawah Satuan ini tersebar di bagian timur blok. Batubara di satuan ini terendapkan di lingkungan lower delta plain, sehingga kualitas batubara di bagian ini akan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Analisis kualitas batubara yang dilakukan pada satuan perselingan batupasir – batulanau berjumlah 5 sampel. Kualitas batubara sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian bawah relatif tidak begitu baik (kualitas sedang). Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif tinggi, kadar abu relatif sedang, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif sangat tinggi dan nilai kalori relatif rendah. Berikut penjelasan mengenai kualitas batubara pada sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir – batulanau bawah:
185
a. Total moisture atau kadar air (TM) Kadar air (total moisture) pada sampel batubara ini menunjukkan nilai minimum 22,09 % wt dan maksimum 26,68 % wt dengan nilai rata-rata 24,72 % wt. Kandungan air yang terdapat pada batubara bagian ini relatif tinggi, namun lebih rendah daripada kandungan air pada satuan batupasir kuarsa sisipan batulanau. Nilai kandungan air tersebut dipengaruhi oleh umur batubara yang relatif lebih tua, sehingga lebih banyak air yang dapat keluar dari batubara tersebut. b. Kandungan abu atau ash content (AC) Kandungan abu (ash content) sampel menunjukkan nilai minimum 6,70 % wt dan nilai maksimum 13,90 % wt dengan rata-rata 9,18 % wt. Kandungan abu pada sampel ini relatif sedang. Kandungan komposisi abu yang sedang dipengaruhi senyawa anorganik yang ikut terendapkan intensif. Hal tersebut berkaitan dengan lingkungan pengendapan batubara di lingkungan lower delta plain, dimana lingkungan tersebut dipengaruhi pasang-surut air laut yang suplai sedimen yang intensif. Kandungan abu akan mengurangi nilai kalori batubara, sehingga tingkatan batubara akan semakin buruk. c. Zat terbang atau volatile matter (VM) Zat terbang atau volatile matter sampel batubara di satuan ini menunjukkan nilai minimum 28,6 % wt dan nilai maksimum 37,3 % wt
186
dengan rata-rata 34,94 % wt. Hal tersebut menunjukkan komponen-komponen dalam batubara yang dapat lepas atau menguap relatif tinggi, namun lebih rendah dibandingkan dengan sampel primer. Zat terbang tersebut termasuk zat terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat terbang organik (volatile organic matter). Nilai zat terbang yang tinggi akan memberikan efek negatif terhadap kualitas batubara, yaitu semakin rendah tingkatan batubara jika kadar zat terbangnya tinggi. d. Karbon tertambat atau fixed carbon (FC) Jumlah karbon yang tertambat pada sampel batubara sampel ini relatif sangat rendah, lebih rendah daripada nilai karbon yang tertambat pada sampel di bagian barat laut Blok Beruaq, yaitu nilai minimum 33,80 % wt dan nilai maksimun 39,00 % wt. Jumlah karbon yang tertambat pada batubara ini merupakan kandungan karbon setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat terbangnya dihilangkan. e. Kadar sulfut total atau total sulphur (TS) Sulfur yang terkandung di dalam sampel batubara ini menunjukkan nilai yang relatif sangat tinggi, yaitu nilai minimum 1,67 % wt dan nilai maksimum 2,32 % wt dengan rata-rata 1,94 % wt. Tingginya nilai kandungan sulfur ini dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan batubara yang tersebar di satuan ini, yaitu di lingkungan lower delta plain yang mendapatkan pengaruh air laut pada saat air pasang. Akumulasi sulfur di laut sangat tinggi, sehingga
187
sulfur tersebut akan ikut terendapkan bersamaan dengan gambut yang terbentuk di lower delta plain. Sulfur yang terdapat di batubara ini berasal dari mineral sulfida. Keberadaan mineral sulfida ini akan mudah bereaksi dengan unsur H dan O untuk membentuk senyawa asam, sehingga kehadiran sulfur dalam kadar yang sangat tinggi akan menyebabkan tingginya resiko akan terjadinya polusi. f. Nilai kalori atau calorific value (CV) Nilai kalori pada sampel batubara sampel ini relatif rendah, yaitu dengan nilai minimum 4.492 kcal/kg dan nilai maksimum 5.328 kcal/kg dengan rata-rata 5.016 kcal/kg. Nilai kalori ini dipengaruhi oleh nilai kandungan air yang relatif tinggi dan kandungan abu yang relatif sedang, sehingga nilai kalori pada batubara di satuan ini relatif rendah. Nilai kalori berkaitan dengan tingkatan batubara, dimana batubara sampel ini merupakan tingkat rendah, karena nilai kalorinya rendah. V.2.6. Peringkat batubara Hasil dari analisis sampel batubara selain digunakan untuk menentukan kualitas batubara juga digunakan untuk menentukan peringkat batubara (coal rank) menggunakan beberapa klasifikasi. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi ASTM dan fuel ratio. Penentuan klasifikasi batubara di daerah penelitian didasarkan atas salah satu atau lebih sifat fisik, kimia dan kombinasinya, yang menentukan
188
kualitas batubara, yaitu karbon tertambat (fixed carbon), nilai kalori (calorific value), zat terbang (volatile matter) dan air (moisture). 1. Sampel primer pada satuan perselingan batulanau - batupasir a. Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials) Berdasarkan nilai kalori sampel primer batubara, yaitu dengan nilai 6.748 kcal/kg dan 7.085,85 kcal/kg, maka dapat disimpulkan bahwa peringkat batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous (grup high volatile B dan C). b. Klasifikasi fuel ratio Klasifikasi ini didasarkan atas perbandingan antara persentase karbon tertambat (fixed carbon) dan persentase zat terbang (volatile matter). Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang dianalisis memiliki nilai fuel ratio 1,03 dan 1,06. Hal tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous, jenis lower bituminous coal. Nilai fuel ratio pada sampel ini menunjukkan kesempurnaan pembakaran yang tidak begitu baik, yaitu dengan ignition temperature sekitar 300 - 400 °C dan combustion on rate 75 - 140 kg/m² hr. 2. Sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian atas a. Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials) Parameter klasifikasi batubara ASTM untuk sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian atas di Blok Beruaq ini
189
menggunakan nilai kalori (calorific value), karena nilai karbon tertambat (fixed carbon) ≤ 69%. Peringkat batubara pada bagian tengah Blok Beruaq tergolong ke dalam kelas lignite (grup subbituminous C). b. Klasifikasi fuel ratio Klasifikasi ini didasarkan atas perbandingan antara persentase karbon tertambat (fixed carbon) dan persentase zat terbang (volatile matter). Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang dianalisis memiliki nilai fuel ratio minimum 0,84 dan maksimum 1,05. Nilai fuel ratio tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignite dan bituminous, jenis black lignite dan lower bituminous coal. Nilai fuel ratio pada sampel ini menunjukkan kesempurnaan pembakaran yang tidak begitu baik, yaitu dengan ignition temperature sekitar 250 - 450 °C dan combustion on rate 115 - 260 kg/m² hr. 3. Sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir – batulanau bagian bawah a. Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials) Parameter klasifikasi batubara ASTM untuk sampel hasil pemboran pada Blok Beruaq menggunakan nilai kalori (calorific value), karena nilai karbon tertambat (fixed carbon) ≤ 69%. Tingkat batubara pada bagian timur Blok Beruaq, yaitu satuan perselingan batupasir – batulanau bagian bawah tergolong kedalam kelas lignite (grup subbituminous B dan C).
190
b. Klasifikasi fuel ratio Klasifikasi ini didasarkan atas perbandingan antara persentase karbon tertambat (fixed carbon) dan persentase zat terbang (volatile matter). Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang dianalisis memiliki nilai fuel ratio minimum 0,92 dan maksimum 1,29. Nilai fuel ratio tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignite dan bituminous, jenis black lignite dan lower bituminous coal. Nilai fuel ratio pada sampel ini menunjukkan kesempurnaan pembakaran yang tidak begitu baik, yaitu dengan ignition temperature sekitar 250 - 450 °C dan combustion on rate 115 - 260 kg/m² hr.
191
V.3. Penentuan Daerah Target Eksplorasi Pendahuluan di Sub-blok A Eksplorasi pendahuluan merupakan tahapan eksplorasi yang sangat penting. Tahapan ini merupakan tahap awal evaluasi target sumberdaya batubara yang telah direncanakan dengan cara mengidentifikasi dan mengivestigasi sumberdaya batubara tersebut. Proses identifikasi dan investigasi dilakukan melalui kegiatan pemetaan geologi secara rinci (surface geological mapping) dan pengeboran investigasi bawah permukaan (subsurface investigation drilling). Kegiatan pemetaan geologi secara rinci telah dilakukan pada Blok Beruaq. Namun, kegiatan pengeboran belum dilakukan secara keseluruhan. Kegiatan pengeboran sebelumnya dilakukan pada Subblok B, yang terletak di bagian timur Blok Beruaq (Gambar 3.3). Pada Sub-blok A direncanakan akan dilakukan pengeboran selanjutnya. Penentuan daerah target pengeboran di Sub-blok A didasari oleh interpretasi kondisi sumberdaya batubara hasil pemetaan geologi. V.3.1. Pengeboran di Sub-blok A (eksplorasi pendahuluan) Pengeboran investigasi bawah permukaan (subsurface investigation drilling) terdiri dari kegiatan pengeboran dan geophysical logging. Kegiatan pengeboran dan logging di dalam eksplorasi batubara menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui kondisi persebaran lapisan batubara di bawah permukaan (Thomas, 1994). Data hasil pengeboran dapat meningkatkan keyakinan geologi dari aspek geologi. Hasil dari kegiatan ini akan diperoleh data mengenai kondisi batubara yang terdapat di bawah permukaan, antara lain meliputi ketebalan, jumlah seam batubara,
192
kedalaman batubara dari permukaan, kekerasan lapisan batuan penutup (overburden) dan pengapit batubara (interburden) serta perhitungan sumberdaya dan pengambilan sample berupa core dan cutting. Metode pengeboran yang dilakukan pada Sub-blok A dengan spasi antar titik bor yang lebih rapat (closer spaced drilling), yaitu spasi titik bor 250 - 500 m. Metode geofisika atau logging juga akan dilakukan dalam kegiatan pengeboran nantinya. Metode tersebut membantu dalam hal interpretasi data mengenai persebaran litologi yang ada, yaitu melalui log gamma ray dan density. Data yang diperoleh melalui logging memiliki kelebihannya tersendiri, yaitu dapat merekam variasi litologi yang ada di bawah permukaan, keberadaan dan ketebalan seam batubara dan juga membantu dalam melakukan korelasi seam batubara. Dari kegiatan pengeboran ini akan dihasilkan data untuk pemodelan fisik persebaran geologi dan gambaran mengenai sumberdaya batubara, hal ini memberikan alasan untuk penetapan apakah daerah survei yang bersangkutan memberikan harapan baik (prospek) atau tidak. Jika daerah tersebut mempunyai prospek yang baik, maka dapat diteruskan dengan tahap eksplorasi selanjutnya. V.3.2. Strategi penentuan target titik bor di Sub-blok A Daerah yang menjadi target pengeboran di Sub-blok A ditentukan berdasarkan interpretasi kondisi geologi dan sumberdaya batubara hasil pemetaan geologi secara rinci. Informasi tersebut akan menjadi acuan dimanakah titik bor akan direncanakan atau diplot. Perencanaan titik bor berdasarkan persebaran seam
193
batubara di permukaan (coal cropline), kemiringan seam batubara dan juga zona yang berpotensi akan keberadaan seam batubara yang tidak terekam pada saat pemetaan geologi. Berikut penjelasan mengenai strategi penentuan titik bor di Sub-blok A: V.3.2.1. Zona rencana pengeboran di Sub-blok A Kegiatan pengeboran yang akan dilakukan di Sub-blok A dibagi menjadi beberapa zona. Pembagian zona tersebut berdasarkan persebaran seam batubara yang ada di Sub-blok A. Berdasarkan hasil interpretasi korelasi seam batubara dan persebaran seam di permukaan, maka dapat dibagi 4 zona di Sub-blok A, yaitu Zona A, Zona B, Zona C dan Zona D. Zona A terletak di ujung barat laut Blok Beruaq dengan keterdapatan 3 seam batubara di permukaan. Zona B terletak di bagian barat daya Blok Beruaq dengan keterdapatan 2 seam batubara di permukaan. Zona C terletak di bagian tengah Blok Beruaq dengan keterdapatan 13 seam batubara di permukaan. Zona D terletak di bagian ujung timur laut Blok Beruaq dengan keterdapatan 8 seam batubara di permukaan. Jadi berdasarkan hasil kegiatan pemetaan geologi, maka terdapat 4 zona yang akan dilakukan pengeboran (Gambar 5.13.) V.3.2.2. Kondisi seam batubara di Sub-blok A Pelamparan seam batubara di permukaan diinterpretasi berdasarkan hasil korelasi seam batubara, penerusan arah jurus batubara dan kemiringan dengan mengikuti hukum “V.” Pembahasan mengenai persebaran seam batubara akan difokuskan pada seam yang tersebar di Sub-blok A (Gambar 5.14). Berikut
194
penjelasan mengenai persebaran seam batubara di setiap zona yang akan dilakukan pengeboran: a. Kondisi seam batubara pada Zona A Pada bagian barat daya terdapat 3 seam batubara. Ketiga seam termasuk ke dalam zona A. Seam tersebut, yaitu seam 1 (STA 78), seam 2 (STA 78) dan seam STA 79 dengan ketebalan berturut-turut 0,4 m, 0,5 m dan 1,8 m. Kemiringan seam tersebut relatif terjal, yaitu seam STA 78 dengan kemiringan 67° dan seam STA 79 dengan kemiringan 74°. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat laut. Pola persebaran seam di permukaan relatif teratur, yaitu memanjang dengan orientasi barat daya – timur laut (Gambar 5.14). Pada zona ini sampel batubara telah dilakukan analisis laboratorium untuk menilai kualitas batubara tersebut, sedangkan pada zona yang lain belum dilakukan analisis laboratorium sama sekali. Kualitas batubara sampel tersebut relatif baik. Berikut penilaian parameter kulitas batubara terhadap ketiga seam, yaitu kadar air total relatif rendah, kandungan abu relatif rendah, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif tinggi, karbon tertambat relatif rendah dan nilai kalori relatif tinggi. Peringkat batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous (grup high volatile B dan C) (Klasifikasi ASTM). Pada hasil analisis nilai fuel ratio juga menunjukkan
195
bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous, jenis lower bituminous coal (Klasifikasi fuel ratio). b. Kondisi seam batubara pada Zona B Pada bagian barat daya terdapat 2 seam batubara. Kedua seam termasuk ke dalam Zona B. Seam tersebut, yaitu seam STA 125 dan seam STA 119 dengan ketebalan berturut-turut 0,45 m dan 0,5 m. Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu seam STA 125 dengan kemiringan 18° dan seam STA 119 dengan kemiringan 20°. Kemiringan (down dip) seam tersebut relatif ke arah timur. Pola persebaran seam tersebut melengkung. Hal tersebut dikarenakan kontrol dari struktur geologi lipatan yang ada. Seam tersebut terletak tepat di bawah sumbu lipatan antiklin. c. Kondisi seam batubara pada Zona C Zona C merupakan zona di bagian tengah Blok Beruaq. Zona tersebut merupakan area yang dikontrol oleh struktur geologi sinklin, sehingga pada Zona C terdapat beberapa orientasi persebaran seam yang berbeda-beda. Pertama, pada bagian barat daya Zona C, terdapat 4 seam batubara, yaitu seam STA 90, seam STA 89/1, seam STA 89/2 dan seam STA 87 dengan ketebalan berturut-turut 1,4 m, 0,7 m, 1 m dan 1 m. Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu seam STA 89 dengan kemiringan 18° dan seam STA 87 dengan kemiringan 16°. Namun, seam STA 90 relatif miring, yaitu 37°.
196
Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah timur laut. Pola persebaran seam di permukaan berorientasi barat laut - tenggara. Kedua, pada bagian tenggara Zona C, terdapat 6 seam batubara yang tersebar di permukaan, yaitu seam 1 (STA 50), seam 2 (STA 50), seam 1 (STA 108), seam 2 (STA 108), seam STA 47/2 dan seam STA 86 dengan ketebalan berturut-turut, yaitu 0,5 m, 0,6 m, 0,2 m, 1,5 m, 1,5 m dan 0,7 m. Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu di bawah 25°. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat laut. Pola persebaran seam di permukaan berorientasi barat daya - timur laut. Ketiga, pada bagian utara Zona C, terdapat 3 seam yang tersebar di permukaan. Seam tersebut adalah seam STA 113, seam STA 109 – STA 127 dan seam STA 18 dengan ketebalan berturut-turut, yaitu 0,6 m, 0,7 m dan 0,4 m. Kemiringan seam tersebut dikontrol oleh lipatan sinklin yang berada diantara seam tersebut. Seam STA 113 dan seam STA 109 – STA 127 berada pada sayap barat laut sinklin, sehingga kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah tenggara. Kemiringan seam STA 113 sangat terjal, yaitu 78°, sedangkan seam STA 109 – STA 127 kemiringan relatif landai, yaitu di bawah 20°. Keberadaan seam STA 18 terletak di sayap tenggara sinklin. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat laut, yaitu 9°.
197
d. Kondisi seam batubara pada Zona D Persebaran seam batubara pada Zona D tersebar di bagian ujung timur laut Blok Beruaq. Seam tersebut dikontrol oleh struktur homoklin yang merupakan sayap lipatan antiklin yang berada di luar Blok Beruaq bagian timur laut. Terdapat 8 seam yang tersebar di Zona D ini, yaitu seam 1 (STA 80), seam 2 (STA 80), seam 3 (STA 80), seam STA 81, seam 1 (STA 82), seam 2 (STA 82), seam 3 (STA 82) dan seam 4 (STA 82) dengan ketebalan seam tersebut berturut-turut 0,5 m, 0,5 m, 0,15 m, 0,8 m, 0,1 m, 0,9 m, 1,6 m dan 0,4 m. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat daya, dengan kemiringan yang relatif miring hingga terjal, yaitu 25° hingga 57°. Pola persebaran seam di permukaan relatif teratur, yaitu memanjang dengan orientasi barat laut – tenggara.
Gambar. 5.13. Peta zona rencana pengeboran (eksplorasi pendahuluan) di Sub-blok A Blok Beruaq.
198
Gambar. 5.14. Peta persebaran seam batubara di permukaan (coal cropline) Blok Beruaq.
199
200
V.3.2.3. Perencanaan kegiatan pengeboran di Sub-blok A Kegiatan pengeboran harus dilakukan dengan perencanaan yang cukup matang. Pada tahap awal perencanaan, hal terpenting yang direncanakan adalah lokasi pengeboran. Berdasarkan kondisi persebaran seam batubara di permukaan, maka dapat direncanakan lokasi pengeboran yang akan dilakukan di Sub-blok A, yaitu di Zona A, Zona B, Zona C dan Zona D. Kemudian hal yang perlu direncanakan adalah jarak spasi antar titik bor. Jarak spasi antar titik bor pada tahap eksplorasi pendahuluan, yaitu ≤ 1 kilometer. Namun, kondisi keterdapan seam batubara yang sangat rapat dan melimpah, maka perlu dilakukan pengeboran dengan jarak spasi antar titik bor yang lebih rapat, yaitu antara 250 – 500 meter. Perencanaan selanjutnya adalah pola titik bor. Pola titik bor yang akan dilakukan adalah fence line drilling. Pola tersebut berdasarkan dari orientasi persebaran seam batubara di permukaan. Pola fence line drilling dibuat tegak lurus terhadap jurus seam batubara (orientasi persebaran seam batubara). Berikut penjelasan mengenai perencanaan kegiatan pengeboran pada zona–zona yang telah dibagi-bagi tersebut: a. Rencana pengeboran Zona A Rencana kegiatan pengeboran di Zona A dilakukan pada bagian ujung barat laut Blok Beruaq. Target pengeboran dilakukan pada 3 seam batubara, yaitu seam 1 (STA 78), seam 2 (STA 78) dan seam STA 79. Pengeboran di Zona A dilakukan untuk membuktikan kemenerusan dan persebaran seam tersebut di permukaan maupun bawah permukaan, serta mencari keberadaan
201
seam lainnya yang berada di sekitar seam tersebut. Kemiringan seam target pengeboran relatif terjal, yaitu 67° dan 74°, sehingga perencanaan titik bor yang direncanakan harus rapat pada kemiringan seam (down dip). Jarak spasi antar titik bor 250 m orientasi barat laut – tenggara (down dip) seam batubara dan jarak 500 m orientasi barat daya – timur laut (strike) seam batubara.
Gambar 5.15. Peta perencanaan pengeboran di Zona A.
Gambar 5.. Peta perencanaan pengeboran di Zona A. Perencanaan pengeboran yang dilakukan di Zona A berjumlah 8 titik
bor. Jumlah tersebut disesuaikan area pelamparan seam yang menjadi target pengeboran dan juga area di sekitar target seam yang memungkinkan terdapat
202
seam batubara, yaitu di antara ketiga seam tersebut dan juga di bagian belakang ditemukannya seam. Pola pengeboran yang digunakan adalah pola fence line drilling, yaitu titik–titik bor memanjang dengan orientasi barat laut – tenggara (Gambar 5.15). b. Rencana pengeboran Zona B Rencana kegiatan pengeboran di Zona B dilakukan pada bagian ujung barat daya Blok Beruaq. Target pengeboran dilakukan pada 2 seam batubara, yaitu seam STA 125 dan seam STA 119. Pengeboran di Zona A dilakukan untuk membuktikan kemenerusan dan persebaran seam tersebut di permukaan maupun bawah permukaan, serta mencari keberadaan seam lainnya yang berada di sekitar seam tersebut. Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu 18° dan 20°. Jarak spasi antar titik bor 250 m orientasi barat laut – tenggara (down dip) seam batubara. Hal tersebut dikarenakan jarak antar kedua seam relatif jauh (down dip), sehingga perlu penyelidikan yang rinci pada area di antara kedua seam. Jarak titik bor 500 m pada orientasi barat daya – timur laut (strike) seam batubara dengan bertujuan untuk menyelidiki pelamparan (strike) seam. Hal tersebut dikarenakan di permukaan tidak ditemukan seam yang dapat dikorelasi di sekitar ditemukan seam tersebut. Perencanaan pengeboran yang dilakukan di Zona B berjumlah 13 titik bor. Jumlah tersebut disesuaikan area pelamparan seam yang menjadi target pengeboran dan juga area di sekitar target seam yang memungkinkan terdapat seam batubara, yaitu
203
di antara kedua seam tersebut dan juga di bagian belakang ditemukannya seam. Pola pengeboran yang digunakan adalah pola fence line drilling, yaitu titik–titik bor memanjang dengan orientasi barat laut – tenggara (Gambar 5.16).
Gambar 5.16. Peta perencanaan pengeboran di Zona B.
c. Rencana pengeboran Zona C Rencana kegiatan pengeboran di Zona C dilakukan pada bagian tengah Blok Beruaq. Target pengeboran yang dilakukan pada Zona A dibagi menjadi 3 area, yaitu area barat daya Zona C, area tenggara Zona C dan area utara
204
Zona C. Berikut penjelasan mengenai perencanaan pengeboran di ketiga area tersebut:
Gambar 5.17. Peta perencanaan pengeboran di Zona C.
205
-
Area barat daya Zona C Rencana kegiatan pengeboran di area barat daya Zona C
dilakukan berdasarkan keberadaan 4 seam batubara, yaitu seam STA 90, seam STA 89/1, seam STA 89/2 dan seam STA 87. Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu 18° dan 16°, tetapi kemiringan seam STA 90 relatif miring, yaitu 37°. Pola persebaran seam (strike) berorientasi barat daya – timur laut. -
Area tenggara Zona C Rencana kegiatan pengeboran di area tenggara Zona C
dilakukan berdasarkan keberadaan 6 seam batubara yang tersebar di permukaan, yaitu seam 1 (STA 50), seam 2 (STA 50), seam 1 (STA 108), seam 2 (STA 108), seam STA 47/2 dan seam STA 86. Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu di bawah 25°. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat laut. Pola persebaran seam di permukaan berorientasi barat daya - timur laut. -
Area utara Zona C Rencana kegiatan pengeboran di area utara Zona C dilakukan
berdasarkan keberadaan 3 seam yang tersebar di permukaan. Seam tersebut adalah seam STA 113, seam STA 109 – STA 127 dan seam STA 18. Kemiringan seam STA 113 sangat terjal, yaitu 78°, sedangkan seam STA 109 – STA 127 kemiringan relatif landai, yaitu
206
di bawah 20°. Keberadaan seam STA 18 terletak di sayap tenggara sinklin. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat laut, yaitu 9°. Pola persebaran seam di permukaan berorientasi barat daya - timur laut. Pengeboran di Zona C dilakukan untuk membuktikan kemenerusan dan persebaran seam di permukaan maupun bawah permukaan, serta mencari keberadaan seam lainnya yang berada di sekitar seam tersebut. Jarak spasi antar titik bor 500 m. Perencanaan pengeboran yang dilakukan di Zona C berjumlah 31 titik bor. Jumlah tersebut disesuaikan area pelamparan seam yang menjadi target pengeboran dan juga area di sekitar target seam yang memungkinkan terdapat seam batubara. Pola pengeboran yang digunakan adalah pola fence line drilling, yaitu titik – titik bor memanjang dengan orientasi barat laut – tenggara pada bagian utara dan tenggara Zona C, sedangkan pada barat daya Zona C pengeboran dengan pola berorientasi barat daya – timur laut (Gambar 5.17). d. Rencana pengeboran Zona D Rencana kegiatan pengeboran di Zona D dilakukan pada bagian ujung timur laut Blok Beruaq. Target pengeboran dilakukan pada 8 seam yang tersebar di Zona D ini, yaitu seam 1 (STA 80), seam 2 (STA 80), seam 3 (STA 80), seam STA 81, seam 1 (STA 82), seam 2 (STA 82), seam 3 (STA 82) dan seam 4 (STA 82). Pengeboran di Zona D dilakukan untuk
207
membuktikan kemenerusan dan persebaran seam tersebut di permukaan maupun bawah permukaan, serta mencari keberadaan seam lainnya yang berada di sekitar seam tersebut. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat daya, dengan kemiringan yang relatif miring hingga terjal, yaitu 25° hingga 57°.
Gambar 5.18. Peta perencanaan pengeboran di Zona D.
Rencana kegiatan pengeboran dilakukan dengan jarak spasi antar titik bor 250 m. Hal tersebut dikarenakan kemiringan seam yang relatif tidak
208
landai, sehingga dibutuhkan spasi antar titik bor yang rapat. Perencanaan pengeboran yang dilakukan di Zona D berjumlah 15 titik bor. Jumlah tersebut disesuaikan area pelamparan seam yang menjadi target pengeboran dan juga area di sekitar target seam yang memungkinkan terdapat seam batubara, yaitu di antara kedua seam tersebut dan juga di bagian belakang ditemukannya seam. Pola pengeboran yang digunakan adalah pola fence line drilling, yaitu titik – titik bor memanjang dengan orientasi barat daya – timur laut (Gambar 5.18). Pola orientasi pengeboran berdasarkan pelamparan seam (strike), sehingga pengeboran dilakukan memanjang tegak lurus terhadap arah strike seam.
Gambar 5.19. Peta Rencana Titik Pengeboran Sub-blok B Area Beruaq.
209
210
V.4. Pemodelan Batubara Blok Beruaq Pemodelan batubara yang dilakukan di Blok Beruaq merupakan tahap eksplorasi rinci yang menjadi salah satu bagian penting dalam penelitian ini, yaitu bertujuan untuk mendelineasi secara rinci keterdapatan batubara yang ada secara 3D, sehingga ukuran, bentuk, sebaran, kemenerusan, kuantitas dan kualitas dari endapan batubara tersebut dapat ditentukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi (Noppe, 1992). Pemodelan endapan batubara bertujuan untuk mengetahui pola penyebaran lapisan batubara, baik geometri secara umum, letak/posisi lapisan, kedalaman, kemiringan, serta penyebaran dari tanah penutup (Tambunan, 2009). Pemodelan batubara di Sub-blok B dilakukan berdasarkan data pengeboran sebelumnya, dengan tujuan untuk membuat model analog seam batubara. Pemodelan batubara ini dilakukan dengan menggunakan software Minescape. Dalam tahap pemodelan, dilakukan 2 tahap pemodelan utama, yaitu minescape core dan stratmodel. Berikut penjelasan mengenai tahap minescape core dan stratmodel pada pemodelan endapan batubara di Sub-blok B: V.4.1. Minescape core Tahap pemodelan minescape core merupakan tahap awal membuat project dan memproses data topografi, rekapitulasi data titik koordinat lubang bor (data survei). Di dalam pemrosesan data di Minescape core, dilakukan input data berupa data titik koordinat lubang bor dan data topografi. Pada tahap ini akan memunculkan persebaran titik bor dan kenampakan kontur 3D (Gambar 5.20). Intinya dalam
211
minescape core yaitu pembuatan pembuatan project, posting titik lubang bor, topografi dan kontur.
Gambar 5.20. Pemodelan tahap minescape core menghasilkan model persebaran titik bor (A) dan kontur Blok Beruaq (B).
a. Titik lubang bor Pada Gambar 5.20A. dapat dilihat titik lubang bor di Sub-blok B sebanyak 385 titik lubang bor. Titik pengeboran menunjukkan bahwa pengeboran dilakukan dengan pola fence line drilling. Orientasi titik lubang bor berarah barat daya – timur
212
laut. Orientasi pengeboran tersebut tegak lurus terhadap jurus perlapisan batubara yang tersebar di area tersebut. b. Kontur Pada Gambar 5.20B. dapat dilihat kenampakan kontur dari Blok Beruaq. Kenampakan kontur disajikan dalam 3D. Berdasarkan pengolahan data topografi tersebut, maka tampak bahwa Blok Beruaq berupa perbukitan yang relatif sedang hingga curam, serta terdapat beberapa dataran. Titik tertinggi di Blok Beruaq berada di bagian barat pada ketinggian 175 mdpl, sedangkan titik terendah tersebar di bagian dataran di barat daya hingga bagian utara Blok Beruaq, pada ketinggian 15 mdpl. V.4.2. Stratmodel Stratmodel adalah salah satu aplikasi dari Minescape yang dirancang untuk membuat dan mengolah model 2D dan 3D suatu endapan geologi yang berlapis terutama batubara atau endapan-endapan geologi lainnya seperti posfat atau bauksit (Azizy, 2011). Pada tahap ini dilakukan pembuatan schema untuk memunculkan model analog berupa penampang batubara (2D), kenampakan batubara pada bagian teratas atau subcrop cropline (3D) dan kontur struktur seam batubara (3D). a. Schema Pembuatan penampang batubara (coal seam section) melalui pembuatan schema pada stratmodel (Gambar 5.21A). Stratmodel menggunakan data lubang bor sebagai dasar pembuatan model stratigrafi. Pada saat pembuatan model, data lubang bor dimasukkan ke dalam sebuah form model yang telah ditentukan dalam schema.
213
Pembuatan schema sendiri memiliki beberapa tahap sebelum memasuki tahap pemodelan. Hal yang paling penting dalam pembuatan schema, pembuatan Interval dan surface dalam stratmodel termasuk sebagai bagian dari suatu istilah yang disebut Unit. Elemental unit, berupa lapisan tunggal, spliting dari seam atau surface. Compound unit, berupa interval yang analog dengan parent seam dari seam yang split.
Gambar 5.21. Pemodelan tahap stratmodel dimulai dengan membuat schema (A) dan selanjutnya dilanjutkan dengan pemodelan pembuatan penampang batubara (B).
214
Pembuatan
schema pada pemodelan di
Sub-blok
B menggunakan
interpolation suface tipe FEM dengan radius 250 m, hal tersebut disesuaikan dengan kondisi seam batubara dengan kemiringan yang relatif landai hingga sedang. Jarak ekstrapolasi yang digunakan, yaitu 1000 m, hal ini berdasarkan keyakinan geologi terhadap kemenerusan seam batubara di bawah permukaan. Berdasarkan data survei dan data litologi, maka dimodelkan sebanyak 78 element unit dan 35 compound unit. Hal tersebut berdasarkan data keterdapatan seam yang dimodelkan. b. Penampang seam batubara Pemodelan untuk penampang seam batubara (Gambar 5.21B) sangat penting untuk melihat geometri batubara meliputi kemiringan, kemenerusan dan arah persebaran. Pembuatan penampang sebisa mungkin searah kemiringan seam (down dip), sehingga dapat dilihat secara jelas. c. Subcrop cropline Pembuatan subcrop cropline atau persebaran seam batubara (Gambar 5.22C) di bagian teratas bertujuan untuk melihat persebaran seam yang ada di teratas. Berdasarkan pemodelan ini didapatkan 55 seam batubara dengan orientasi sebaran relatif barat laut – tenggara. Kemenerusan seam di permukaan bervariasi, mulai dari puluhan meter hingga beberapa kilometer. Kemenerusan seam sangat baik pada bagian tengah, dimana seam relatif menerus beberapa kilometer.
215
d. Pembuatan kontur struktur Pembuatan kontur struktur digunakan untuk melihat persebaran seam di bawah permukaan. Kontur struktur dimodelkan berdasarkan persebaran seam (subcrop cropline) dan topografi. Pada kenampakan Gambar 5.22D menunjukkan bahwa persebaran seam (beraneka ragam warna) ke bawah permukaan dikontrol oleh perbedaan kedalaman yang ditandai garis berwarna ungu.
Gambar 5.22. Tahap lanjutan stratmodel, yaitu pembuatan persebaran subcrop seam (C) dan kontur struktur (D).
216
e. Perhitungan sumberdaya batubara Pembuatan poligon untuk perhitungan sumberdaya batubara di Sub-blok B Area Blok Beruaq dilakukan terhadap 5 seam batubara yang cukup tebal saja. Perhitungan dibatasi oleh topografi pada bagian teratas seam dan dibatasi oleh jarak pengaruh perhitungan sesuai kategori sumberdaya. Perhitungan sumberdaya dilakukan 3 kategori sumberdaya, yaitu sumberdaya tereka (inferred) dengan jarak 1000 m, sumberdaya tertunjuk (indicated) dengan jarak 500 m dan sumberdaya terukur (measured) dengan jarak 250 m (Gambar 5.23).
Gambar 5.23. Perhitungan sumberdaya batubara menggunakan minescape.
Perhitungan sumberdaya batubara yang dilakukan menggunakan minescape hanya pada 5 seam yang relatif cukup tebal, yaitu seam S15, S24, S28, S31 dan S33 (Tabel 5.2). 5 seam tersebut dianggap sangat prospek untuk ditambang mengingat
217
jumlah sumberdaya dan kualitas yang bernilai ekonomis. Hasil perhitungan sumberdaya batubara terhadap 5 seam tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.10. Jumlah sumberdaya ke-5 seam tersebut adalah kategori terukur atau measured sebanyak 6.389.985,97 ton, kategori tertunjuk atau indicated sebanyak 5.691.734,90 ton dan kategori tereka atau inferred sebanyak 11.112.429,49 ton. Tabel 5.2. Perhitungan sumberdaya 5 seam batubara menggunakan minescape.
Seam
S15
S24
S28
S31
S33
Kategori Sumberdaya Terukur (Measured) Tertunjuk (Indicated) Tereka (Inferred) Terukur (Measured) Tertunjuk (Indicated) Tereka (Inferred) Terukur (Measured) Tertunjuk (Indicated) Tereka (Inferred) Terukur (Measured) Tertunjuk (Indicated) Tereka (Inferred) Terukur (Measured) Tertunjuk (Indicated) Tereka (Inferred)
Kualitas
Jumlah Sumberdaya (ton)
Kadar Abu (AC)
Nilai Kalori (CV)
Kadar air bawaan (IM)
Berat Jenis Relatif (RD)
Sulfur Total (TS)
2.086.254,83
4,31
4.840
23,43
1,30
0,19
1.782.926,33
4,59
4.834
23,15
1,30
0,19
3.964.207,71
4,92
4.805
23,11
1,30
0,19
697.691,79
3,16
4.958
24,30
1,30
0,21
562.675,07
4,34
4.939
23,93
1,30
0,39
1.067.713,24
4,45
4.928
23,93
1,30
0,42
2.441.190,81
3,98
4.967
23,79
1,30
1,04
2.409.124,85
4,08
4.979
23,64
1,30
1,10
5.356.945,61
4,14
5.020
23,17
1,30
1,16
1.133.793,28
3,90
5.057
22,64
1,30
1,05
689.890,25
3,50
5.138
21,95
1,30
0,92
436.082,13
3,55
5.131
22,05
1,30
0,92
31.055,26
6,61
5.164
19,41
1,30
1,39
247.118,40
6,80
5.153
19,37
1,30
1,46
287.480,80
6,80
5.153
19,37
1,30
1,46
218
V.4.3. Persebaran seam di Sub-blok B berdasarkan pemodelan Minescape Persebaran seluruh seam batubara yang ada di Sub-blok B sejumlah 55 seam batubara. Seam tersebut hanya dihitung seam induknya saja, namun pada suatu seam dapat mengalami splitting, sehingga terdapat banyak anak-anak seam lainnya. Model persebaran seam Gambar 5.24 menunjukkan batubara yang tersebar di bagian timur blok (Sub-blok B) memiliki potensi karena keterdapatan seam batubara relatif melimpah. Seam yang tersebar pada Sub-blok B memiliki ketebalan yang bervariasi, hal ini dikontrol oleh lingkungan pengendapan batubara. Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa lokasi pemodelan di Sub-blok B tersebar seam batubara yang terbentuk pada lingkungan lower delta plain dan transitional lower delta plain. Secara umum, terdapat banyak seam dengan ketebalan > 1 meter. Kemenerusan seam di permukaan bervariasi, mulai dari puluhan meter hingga beberapa kilometer. Kemenerusan seam sangat baik pada bagian tengah, dimana seam rekatif menerus beberapa kilometer. Pola persebaran seam yang tampak pada model (Gambar 5.24) menunjukkan orientasi memanjang tenggara – barat laut. Persebaran seam dikontrol oleh struktur homoklin yang menunjukkan kemiringan relatif ke arah barat daya. Struktur geologi tersebut terbentuk akibat gaya kompresional berarah tenggara – barat daya. Gaya tersebut menyebabkan persebaran batubara yang terdapat di bagian timur Blok Beruaq menjadi melengkung dan meliuk-liuk.
Gambar 5.24. Persebaran seluruh seam batubara hasil drilling di Sublok B.
219
220
V.4.4. Arah kemiringan seam batubara berdasarkan pemodelan Minescape
Seam batubara menunjukkan arah kemiringan (down dip) ke arah barat daya (Gambar 5.25). Arah kemiringan seam batubara dapat dilihat dengan jelas pada penampang seam batubara (2D). Arah kemiringan tersebut dikontrol oleh struktur geologi berupa homoklin di bagian timur blok. Berdasarkan Peta Geologi Regional Samarinda oleh Supriatna dkk (1995), batubara tersebut merupakan bagian dari sayap antiklin yang terletak di bagian luar blok, yaitu di timur laut Blok Beruaq. Sumbu antiklin tersebut memiliki orientasi yang memanjang relatif tenggara – barat laut, sehingga sayap antiklin di bagian barat daya memiliki persebaran lapisan dengan arah kemiringan ke arah barat daya. Pada Gambar 5.25, kemiringan seam batubara relatif landai hingga sedang, yaitu 6 - 30°. Kemiringan tersebut menjadikan suatu hal yang positif untuk kegiatan pertambangan nanti. Semakin landai kemiringan seam yang ada, maka akan bernilai ekonomis kegiatan pertambangan yang dilakukan. Kemenerusan seam ke bawah permukaan menurut keyakinan geologi mencapai hingga ratusan meter. Hal ini didasari oleh interpretasi dari lingkungan pengendapan batubara. Karakteristik batubara di lingkungan lower delta plain dan transitional lower delta plain menunjukkan persebaran seam yang relatif luas. Kedua hal tersebut menjadi informasi yang sangat penting untuk melanjutkan kegiatan eksplorasi ini dengan kegiatan peninjauan area yang prospek.
.
Gambar 5.25. Penampang seam batubara Sub-blok B berdasarkan pemodelan Minescape.
221
222
V.5. Penentuan Batas Area Prospek (Eksplorasi Rinci) di Sub-blok B Penentuan batas area prospek (boundary prospect area), yaitu area yang memiliki prospek untuk ditambang menurut keyakinan geologi yang paling tinggi, yaitu dibantu dengan pemodelan endapan batubara menggunakan Minescape. Kegiatan pemberian batas area prospek terhadap seam batubara yang ada merupakan langkah kerja di dalam kegiatan eksplorasi rinci. Hal ini dikarenakan adanya pemodelan endapan batubara secara 2D dan 3D, sehingga keyakinan geologi terhadap keterdapatan endapan batubara tersebut semakin tinggi. Dalam penentuan batas area prospek ini, akan ditampilkan beberapa model analog untuk membantu menilai area prospek. Model analog untuk penentuan batas area prospek diolah dari data hasil pengeboran, yaitu data litologi dan kualitas. Data tersebut diolah menggunakan software Minescape untuk menampilkan persebaran seam batubara dan penampang seam batubara. Persebaran seam batubara akan berguna untuk melihat geometri seam batubara meliputi pola persebaran seam di permukaan maupun
seam teratas dekat permukaan (subcrop). Persebaran seam
tersebut juga dapat dikaitkan dengan kualitas batubara dan peringkat batubara. Penampang seam batubara akan sangat berguna untuk melihat geometri seam batubara meliputi kemiringan, ketebalan, kemenerusan dan bentuk seam batubara. Pemodelan endapan batubara untuk penentuan batas area prospek memiliki beberapa batas persyaratan, yaitu ketebalan seam ≥ 1 m, kualitas batubara > lignit, kemenerusan seam batubara jelas dan pola kedudukan perlapisan seam batubara
223
teratur (berdasarkan ketersediaan data seam batubara yang relatif menudukung pemodelan, yaitu minimal 3 data setiap seam). Berdasarkan persyaratan tersebut, maka diperoleh dari hasil pemodelan sebanyak 17 induk seam. Seam tersebut adalah seam S15, S16, S17, S9, S23, S24, S25, S28, S31, S33, S36, S39, S40, S42, S43 dan S45. V.5.1. Parameter penilaian dalam penentuan batas area prospek Pemberian batas area prospek terhadap suatu seam yang ekonomis berdasarkan beberapa parameter, yaitu geometri, kualitas, sumberdaya dan stripping ratio (SR). Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemberian batas suatu area terhadap keterdapatan beberapa seam batubara secara umum. Pemberian batas area prospek ini dilakukan dengan cara penilaian kualitatif terhadap beberapa parameter, yaitu kondisi geometri seam batubara dan kualitas seam batubara. Berikut penjelasan mengenai penilaian terhadap parameter-parameter yang digunakan untuk penentuan batas area prospek: a. Kondisi geometri seam batubara dinilai dari persebaran seam di permukaan Penilaian terhadap kondisi persebaran seam batubara di permukaan dilakukan dengan menggunakan beberapa aspek, yaitu jumlah seam, pola sebaran seam, arah sebaran seam, kemenerusan seam searah jurus dan kerapatan antar seam (Gambar 5.26). Berikut penjelasan mengenai kondisi geometri tersebut:
224
Gambar 5.26. Penilaian terhadap kondisi geometri seam batubara di Sub-blok B.
-
Jumlah seam Berdasarkan model analog, yaitu peta persebaran seam prospek Sub-
blok B menunjukkan bahwa persebaran 17 seam batubara tersebut terletak di bagian timur area penelitian (Sub-blok B). Keterdapatan 17 seam ini dinilai sudah cukup prospek untuk ditambang, hal ini dikarenakan seam tersebut hanya jumlah seam induk saja. Namun, bentuk seam tersebut juga mengalami splitting, sehingga banyak anak–anak seam lainnya. 17 seam tersebut merupakan seam pilihan sesuai dengan persyaratan pemodelan di awal, yaitu seam dengan ketebalan ≥ 1 m. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak seam lain di antara 17 seam ini yang dapat ditambang bersamaan.
225
-
Pola sebaran seam Orientasi persebaran seam tersebut dengan arah memanjang barat laut
– tenggara dan relatif teratur. Pola persebaran seam yang relatif teratur dan dengan orientasi yang relatif sejajar sangat menguntungkan pada saat proses penambangan. Hal tersebut dikarenakan jika pada saat area tersebut ditambang, maka dapat didesign pit dengan sederhana. -
Kemenerusan seam searah jurus Kemenerusan seam searah jurus seam batubara relatif luas, yaitu
ratusan meter hingga beberapa kilometer. Kemenerusan seam searah jurus relatif luas. Hal tersebut menunjukkan bahwa seam tersebut sangat bernilai ekonomis dengan area penambangan seam yang luas. Persebaran seam yang luas di permukaan lebih menguntungkan daripada kemenerusan seam searah dipping seam batubara. -
Kerapatan antar seam Jarak persebaran antar seam relatif rapat. Persebaran antar seam relatif
rapat. Hal ini sangat menguntungkan, yaitu dikarenakan dalam proses penambangan dapat dipermudah dengan persebaran seam yang menumpuk dan rapat. Jadi dengan pembukaan pit yang sedikit dapat menambang banyak seam batubara atau dengan 1 seam basalt dapat menambang beberapa seam lainnya secara bersamaan.
226
b. Kualitas seam batubara area prospek Sub-blok B Penilaian kualitas persebaran seam di Sub-blok B khususnya 17 seam tersebut menggunakan data kualitas sekunder. Hal ini dikarenakan secara keselurusahan 17 seam tersebut merupakan bagian dari satuan batupasir kuarsa sisipan batulanau. Berdasarkan pembahasan pada sub-bab kualitas dan peringkat batubara, maka batubara di area prospek ini tergolong batubara muda, yaitu lignit hingga subbituminus. Kualitas batubara area ini dijelaskan secara kualitatif dengan menggunakan parameter kadar air (moisture content), kandungan abu (ash content), zat terbang (volatile matter), karbon tertambat (fixed carbon), kadar sulfur total (total sulphur) dan nilai kalori (calorific value). Berikut penjelasan mengenai kualitas batubara di area prospek: -
Kadar air (moisture content): Batubara pada area ini mengandung kadar air (moisture content) yang relatif tinggi berkisar antara 26,13 % wt hingga 33,63 % wt dengan nilai rata-rata 29,09 % wt.
-
Kandungan abu (ash content): Kandungan abu batubara area ini relatif rendah hingga sedang berkisar antara 2,5% wt hingga 7,4% wt dengan ratarata 4.7% wt.
-
Zat terbang (volatile matter): Zat terbang batubara di area ini relatif tinggi berkisar antara 34,7 % wt hingga 37,3 % wt dengan rata-rata 36,1 % wt.
227
-
Karbon tertambat (fixed carbon): Jumlah karbon yang tertambat batubara pada area ini relatif sangat rendah, berkisar antara 33,70 % wt hingga 38,70 % wt.
-
Kadar sulfur total (total sulphur): Kadar sulfur total batubara pada area ini relatif bervariasi, dari yang terendah 0,14 % wt hingga tertinggi 1,71 % wt, namun rata - rata menunjukkan nilai kadar sulfur yang relatif sedang, yaitu 0,66 % wt
-
Nilai kalori (calorific value): Nilai kalori batubara pada area ini relatif rendah, yaitu dengan nilai minimum 4.573 kcal/kg dan nilai maksimum 5.092 kcal/kg dengan rata-rata 4.899 kcal/kg. Kualitas batubara muda (lignit hingga subbituminus) di area ini memiliki nilai
kalori berkisar antara 4.573 kcal/kg hingga 5.092 kcal/kg dipengaruhi oleh nilai kandungan air yang tinggi, namun dengan kandungan abu yang tidak begitu tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa batubara di area ini sudah tergolong prospek. V.5.2. Strategi penetuan batas area prospek Sub-blok B Strategi penentuan batas area prospek (boundary prospect area) terhadap seam yang ekonomis menggunakan metode incremental pit expansion and cash flow (Sasongko, 2009). Penentuan batas area melalui penentuan batas pit yang ekonomis untuk ditambang. Penerapan metode incremental pit expansion juga menggunakan metode trial and error pada beberapa simulasi batas tambang, sehingga pada simulasi tertentu akan didapatkan batas tambang terbaik, Parameter yang digunakan dalam
228
metode cash flow untuk menghitung nilai BESR sebagai nilai batas penetapan stripping ratio (SR) yang layak untuk ditambang dengan menggunakan beberapa data, yaitu harga jual batubara (s) 53 $/ton, biaya penampangan batubara (c) 9,26 $/ton, biaya pemindahan overburden (w) 2,41 $/bcm dan iuran produksi (x) 0,169. Hasil perhitungan BESR yang didapatkan adalah 14 : 1. Nilai perbandingan 14 : 1 merupakan rasio perbandingan antara overburden dan batubara yang layak untuk ditambang, namun tidak memberikan keuntungan, sehingga ratio pada perhitungan untuk penentuan batas area pit prospek harus dengan perbandingan yang lebih besar. Pada Tabel 4.10 menunjukkan bahwa dari setiap pit yang telah ditentukan, dengan menerapkan metode incremental pit expansion and cash flow. Metode tersebut juga menggunakan data kondisi geometri seam batubara dan kualitas seam batubara, maka didapatkan beberapa pit limit sebagai batas area prospek dengan rasio perbandingan antara overburden dan batubara di bawah 14 : 1, sehingga pit tersebut layak untuk ditambang. Berikut adalah Penampang Subcrop Seam Batubara Sub-blok B (Pit Limit Area Prospek) (Gambar 5.27) yang menjadi dasar penentuan batas area prospek di Sub-blok B. Penentuan Pit Limit tersebut didasari oleh pertimbangan nilai BESR 14 : 1 dan juga kondisi geometri subcrop seam batubara yang ada.
229
230
-
Penampang A – A’ Berdasarkan metode ekspansi pit, maka pada Penampang A – A’ dapat
dibatasi menjadi 2 pit limit yang prospek, yaitu Pit Limit A1 dan Pit Limit A2. Berdasarkan penentuan pit limit tersebut, maka didapatkan Pit Limit A1 dengan rasio 7 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 6.779,5 m² dan overburden 49.855 m². Pit limit A2 dengan rasio 8 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 2.744 m² dan overburden 20.908 m². Target seam yang akan ditambang pada masing-masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.3): Tabel 5.3. Target seam pada Pit Limit A1 dan Pit Limit A2. Pit Limit A1
Pit Limit A2
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S15
6,1
10
S33
6
14
S17
2,35
10
S36
3,1
30
S24
3,5
13
S31
4,1
16
-
Penampang B – B’ Pada Penampang B – B’, berdasarkan kondisi geometri seam batubara
mengalami perubahan kemiringan yang semakin curam, maka ditentukan 3 pit limit yang efesien untuk menjadi batas tambang, yaitu Pit Limit B1, Pit Limit B2 dan Pit Limit B3. Pit Limit B1 dengan rasio 6 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 4.313,5 m² dan overburden 23.905 m². Pit limit B2 dengan rasio 7 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 7.587,5 m²
231
dan overburden 55.455 m². Pit limit B3 dengan rasio 11 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1.331,25 m² dan overburden 14.590 m². Target seam yang akan ditambang pada masing-masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.4): Tabel 5.4. Target seam pada Pit Limit B1, Pit Limit B2 dan Pit Limit B3. Pit Limit B1
Pit Limit B2
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S15
7,7
20
S22
2,2
30
S19
7,3
30
S24
1,5
28
S25
1,3
28
S28
2,3
30
Pit Limit B3
-
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S31
12
25
S39
4,35
16
S33
1
25
S43
1,8
21
S36
4,6
15
Penampang C – C’ Pada Penampang C – C’ kerapatan antar seam batubara yang ada
mengalami perenggangan, sehingga perlu dibatasi menjadi 3 batas pit, yaitu Pit Limit C1, Pit Limit C2 dan Pit Limit C3. Pit Limit C1 dengan rasio 11 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 2.840,25 m² dan overburden 30.085 m². Pit limit C2 dengan rasio 3 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 5.089,1 m² dan overburden 16.875 m². Pit limit C3 dengan rasio 12 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 3.029,75 m² dan overburden 36.012 m². Target seam yang akan ditambang pada masingmasing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.5):
232
Tabel 5.5. Target seam pada Pit Limit C1, Pit Limit C2 dan Pit Limit C3. Pit Limit C1
Pit Limit C3
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S15
7,05
16
S36
1,9
25
S19
6,2
31
S39
4
18
S40
3,7
20
S42
2,35
20
S43
2,35
20
Pit Limit C2 Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S24
2,8
28
S25
1,4
15
S28
1,3
18
S31
7,9
16
-
Penampang D – D’ Pada Penampang D - D’ kondisi geometri seam batubara semakin
merenggang dibandingkan seam pada Penampang C – C’, sehingga dapat dibagi menjadi 4 batas pit yang efesien untuk ditambang, yaitu Pit Limit D1, Pit Limit D2, Pit Limit D3 dan Pit Limit D4. Pit Limit D1 dengan rasio 11 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 7.291,6 m² dan overburden 81.713 m². Pit limit D2 dengan rasio 9 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 3.411,5 m² dan overburden 30.609 m². Pit limit D3 dengan rasio 10 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1.271 m² dan overburden 12.055 m². Pit limit D4 dengan rasio 8 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1225,75 m² dan overburden 10.328 m². Target seam yang akan ditambang pada masing-masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.6):
233
Tabel 5.6. Target seam pada Pit Limit D1, Pit Limit D2, Pit Limit D3 dan Pit Limit D4. Pit Limit D1
Pit Limit D3
Seam
Tebal (m)
S15
3,4
Kemiringan (°) 9
S16
1
S17
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S39
4,1
20
11
S40
1,7
20
1
11
S39
2,9
14
S19
4,7
15
S40
1,42
15
S22
1,4
14
S42
2,7
13
S23
1,6
15
S43
1,3
16
S24
1,9
20
S45
3,5
15
S31
5,45
12 Pit Limit D4
Pit Limit D2
-
Seam
Tebal (m)
S33
3,4
Kemiringan (°) 16
S36
4,9
14
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S42
2,85
15
S43
0,6
17
S45
3,35
14
Penampang E – E’ Pada Penampang E - E’ kondisi geometri seam batubara dengan
kerapatan antar seam relatif rapat dan kemenerusan seam searah dip relatif jauh, sehingga dapat dibagi menjadi 2 batas pit yang propek untuk ditambang, yaitu Pit Limit E1 dan Pit Limit E2. Pit Limit E1 dengan rasio 6 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 19.681,2 m² dan overburden 123.363,7 m². Pit limit E2 dengan rasio 9 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 6.695 m² dan overburden 61.384,92 m². Target seam yang akan ditambang pada masing-masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.7):
234
Tabel 5.7. Target seam pada Pit Limit E1 dan Pit Limit E2. Pit Limit E1
Pit Limit E2
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S15
3
11
S36
2,4
9
S16
1
14
S39
2,9
14
S17
1,4
16
S40
1,42
15
S19
3,6
14
S42
2,7
13
S22
0,9
10
S43
1,3
16
S23
0,5
10
S45
3,5
15
S24
1
9
S25
0,9
10
S28
7,1
10
S31
6,4
10
S33
3,6
11
-
Penampang F – F’ Pada Penampang F - F’ kondisi geometri seam batubara mulai
merenggang kembali, dengan kemiringan seam yang relatif landai, sehingga dapat dibagi menjadi 5 batas pit yang efesien untuk ditambang, yaitu Pit Limit F1, Pit Limit F2, Pit Limit F3, Pit Limit F4 dan Pit Limit F5. Pit Limit F1 dengan rasio 8 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 3.792,9 m² dan overburden 31.945 m². Pit limit F2 dengan rasio 4 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 4.795,2 m² dan overburden 18.544 m². Pit limit F3 dengan rasio 4 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 10.689,5 m² dan overburden 39.374 m². Pit limit F4 dengan rasio 7 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 2.348,4 m² dan overburden 17.056 m². Pit limit F5 dengan rasio 13 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1.858 m²
235
dan overburden 23.170 m². Target seam yang akan ditambang pada masingmasing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.8): Tabel 5.8. Target seam pada Pit Limit F1, Pit Limit F2, Pit Limit F3, Pit Limit F4 dan Pit Limit F5. Pit Limit F1
Pit Limit F3
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S15
3,5
6
S28
5,9
10
S17
1,7
7
S31
8,2
13
S19
3,2
10
S33
4,8
12
Pit Limit F2
Pit Limit F4
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S22
1,2
10
S36
1,6
6
S24
6,4
10
S39
2,9
6
Pit Limit F5
-
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S42
2,4
11
S43
1,4
13
Penampang G – G’ Pada Penampang G - G’ kondisi geometri seam batubara semakin
merenggang dan hanya terdapat beberapa seam saja, sehingga dapat dibagi menjadi 2 batas pit yang efesien untuk ditambang, yaitu Pit Limit G1 dan Pit Limit G2. Pit Limit G1 dengan rasio 3 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 7.331,8 m² dan overburden 20.213 m². Pit limit G2 dengan rasio 8 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1.344 m² dan overburden
236
11.200 m². Target seam yang akan ditambang pada masing-masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.9): Tabel 5.9. Target seam pada Pit Limit G1 dan Pit Limit G2. Pit Limit G1
Pit Limit G2
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
Seam
Tebal (m)
Kemiringan (°)
S24
6,3
6
S39
2,8
5
S28
6,2
10
S31
7,3
10
Berdasarkan hasil penentuan pit limit di Sub-blok B, maka dapat dibuat batas area prospek di Sub-blok B Area Beruaq (Gambar 5.28). Batas area prospek di Subblok B dapat didukung kebenarannya oleh data hasil pemetaan geologi. Berdasarkan hasil pemetaan geologi, korelasi seam batubara yang menunjukkan ketebalan yang relatif tebal dan melimpah terletak di area kotak merah pada Gambar 5.29. Seam yang berada dalam kotak merah tersebut tersebar di bagian Sub-blok B, yaitu pada area yang relatif sama dengan area prospek hasil pemodelan Minescape. Pada area prospek hasil pemetaan geologi tersebar 9 seam induk dengan ketebalan dari 0,5 m hingga 2,5 m. Persebaran seam di area tersebut relatif tebal dan melimpah dibandingkan dengan area lainnya yang ada di Blok Beruaq. Kemiringan seam di area prospek tersebut juga relatif landai, yaitu berkisar antara 14° - 23°. Namun, terdapat seam dengan kemiringan yang relatif miring (37°), tersebar di dekat sumbu lipatan sinklin menunjam. Bentuk seam pada area prospek ini juga mengalami splitting, penebalan dan penipisan seam.
237
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, batubara yang terdapat di area prospek (Gambar 5.39) Blok Beruaq ini terbentuk pada lingkungan transitional lower delta plain (Horne, dkk, 1978). Kondisi lingkungan tersebut menyebabkan terbentuknya seam batubara dengan karakteristik ketebalan seam yang relatif tebal, penyebaran seam relatif luas dan kandungan sulfur rendah (Horne, dkk, 1978). Hal tersebut terbukti dengan data hasil penelitian yang dilakukan di Blok Beruaq ini.
Gambar 5.28. Peta Batas Area Prosspek Sub-blok B Area Beruaq.
238
239
230