BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan
suatu
sistem
nilai
yang
berlaku
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 2009: 146). Pengaturan interaksi dalam masyarakat tidak terlepas dari norma-norma kehidupan yang dijadikan acuannya. Tanpa adanya norma tersebut, masyarakat hanya sebatas kumpulan manusia dengan tidak adanya rasa kebersamaan. Berdasarkan konsep tersebut adat-istiadat dan identitas bersama merupakan unsur yang terpenting dalam masyarakat. Adat-istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.
Adat-istiadat
juga
berkaitan
erat
dangan
adanya
rasa
kebersamaan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan baik secara kelompok maupun individu di dalam masyarakat. Perbedaan kelompok dan kualitas individu yang ada dalam masyarakat tersebut, mengakibatkan munculnya ketertiban, keselarasan dan rasa solidaritas diantara sesama. Solidaritas dalam konteks penelitian ini adalah keterikatan erat antara individu yang satu dengan individu yang lain pada situasi sosial tertentu. Solidaritas yang
1
2
muncul dalam setiap kelompok masyarakat disebabkan adanya beberapa persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan, dan tempat tinggal. Oleh karena itu solidaritas menurut Doyle (1986: 181) menunjuk pada suatu hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut dan di perkuat oleh pengalaman emosional bersama, ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional. Setiap individu yang terikat dalam suatu ikatan solidaritas kelompok masyarakat, memiliki kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif adalah keseluruhan keyakinan dan perasaan yang membentuk sistem tertentu dan dimiliki bersama. Kesadaran kolektif memiliki sifat sakral karena mengharuskan rasa hormat dan ketaatan, hal tersebut dapat tercipta dengan baik apabila perilaku individu dalam kelompok masyarakat telah sesuai dengan sistem yang ada (Soekanto, 2006: 26). Solidaritas dalam bentuk keterkaitannya sering muncul dalam aktivitas gotong-royong, menurut Koentjaraningrat (2009: 2) gotong royong adalah kerjasama diantara anggotaanggota suatu komunitas. Lebih lanjut gotong-royong dapat digolongkan kedalam tujuh jenis, yakni: 1. gotong-royong yang timbul bila ada kematian atau beberapa kesengsaraan lain yang menimpa penghuni desa. 2. gotong-royong yang dilakukan oleh seluruh penduduk desa. 3. gotong-royong yang terjadi bila seorang penduduk desa menyelenggarakan suatu pesta. 4. sistem gotong-royong yang dipraktekkan untuk memelihara dan membersihkan kuburan nenek moyang. 5. gotong-royong dalam membangun rumah. 6. gotong-royong dalam pertanian.
3
7. gotong-royong yang berdasarkan menyumbangkan tenaga manusia (Koentjaraningrat, 2009: 32-33).
pada untuk
kewajiban kuli dalam kepentingan masyarakat
Aktivitas gotong-royong ini sering dijumpai di setiap daerah yang masing-masing memiliki latar kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok masyarakat Jawa pedesaan, hubungan sosial desa di Jawa sebagian besar berdasarkan sistem gotong-royong, walaupun gotong-royong tidak terbatas pada hubungan keluarga saja, namun sistem itu oleh kelompok masyarakat desa di Jawa dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan yang mempunyai pengaruh kuat. Seperti kehidupan kelompok masyarakat desa di Jawa, gotong-royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam aktivitas pertanian di sawah, dengan adat sopan santun seorang petani meminta penduduk di desanya untuk dapat membantunya dalam memanenkan hasil pertanian padi di sawahnya. Sebagai imbalan bagi tenaga petani tersebut, cukup disediakan makan siang kepada penduduk desa yang datang untuk membantu selama pekerjaannya berlangsung (Koentjaraningrat, 2009: 57). Demikian juga halnya dengan petani sebagai warga masyarakat desa, seorang petani pemilik sawah biasa mendapat bantuan dari orang lain, baik bantuan itu dilakukan dengan imbalan berupa upah maupun tanpa upah. Tentunya hal ini dilakukan terutama terhadap pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh keluarga petani yang bersangkutan, mulai dari penanaman sampai panen dan bahkan sampai menjual hasilnya. Tetapi
4
walaupun suatu luasan tanah tertentu dapat dikerjakan sendiri oleh keluarga petani yang menggarapnya, ada kalanya keluarga tersebut masih tetap juga mendapat bantuan tenaga orang lain. Ini menunjukkan adanya keterikatan dan rasa kebersamaan seorang anggota masyarakat dengan masyarakatnya yang tercermin dalam konsep gotong-royong. Salah satu tahap pekerjaan dalam pertanian padi di sawah yang dilakukan dengan cara gotong-royong dan biasa mendapatkan bantuan dari orang lain (luar keluarga petani yang bersangkutan) adalah tahap pekerjaan terakhir di sawah, yaitu panenan. Panen adalah tahapan dimana petani memetik hasil jerih payahnya selama satu musim, berupa padi. Dalam pekerjaan panen ini dikenal istilah derep. Derep ialah melakukan panenan di sawah orang lain (Satjadibrata R, 1954: 83). Untuk pekerjaan tersebut para buruh tani biasa memperoleh upah berupa sebagian dari hasil derepnya. Hasil yang menjadi bagian penderep ini disebut bawon. Bawon merupakan upah natura yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Bawon juga merupakan sistem upah secara tradisional yang dikenal para petani pedesaan Jawa. Bawon biasanya dikenakan pada buruh perempuan sebagai upah dari hasil panen padi yang mereka peroleh pada masa panen. Pada saat musim panen, banyak buruh tani perempuan ikut membantu memanen padi di sawah orang lain dengan harapan memperoleh upah. Jumlah upah yang diterima para penderep disetiap daerah pedesaan di Jawa belum tentu sama, tergantung
5
pada keadaan daerah tempat para penderep bekerja (Gatut M.,dkk., 2000: 25). Pada sistem bawon tradisional, panen padi merupakan aktivitas komunitas yang dapat diikuti oleh semua atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari hasil. Menurut tradisi di beberapa tempat, petani tidak dapat membatasi jumlah orang yang ikut memanen. Sistem tersebut merupakan bawon yang benar-benar terbuka dalam arti setiap orang diijinkan ikut memanen (Hayami dan Kikuchi, 1981: 50). Para petani dan penderep hanya menyatakan bahwa hal itu sudah berlangsung sejak turun-temurun dari nenek moyang, entah mulai kapan dan bagaimana asal-usulnya. Seperti tradisi sistem bawon yang terjadi di desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung, para petani yang mempunyai sawah meminta bantuan para tetangganya untuk menanam padi di sawah mereka. Namun para tetangga tersebut tidak serta-merta ikut dalam mengolah dan merawat tanaman padi, hanya menjelang waktu panen para tetangga yang tadinya ikut menanam padi diminta kembali untuk memanen padi yang dahulu mereka tanam. Menurut salah satu warga desa Mungseng, warga desa akan lebih senang apabila para pemilik sawah saat musim padi menggunakan sistem bawon dimana para tetangga sekitar petani tersebut diajak menanam, derep dan bawon dengan perbandingan 4:1. Pemberian upah gabah menggunakan bawon 4:1 akan lebih berguna dibandingkan dengan upah uang harian seperti buruh tetap, apabila dengan upah uang maka akan cepat habis untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan apabila menggunakan upah bawon maka
6
akan lebih awet. Selain masih berbentuk gabah yang harus digiling dulu, biasanya ibu-ibu di desa cenderung malu untuk menjual gabah hasil bawon yang tidak seberapa besar. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, kini para petani pemilik sawah mulai beralih meninggalkan sistem bawon pada masyarakat tradisional. Contohnya petani di Mertoyudan Magelang, selalu kesusahan mencari tenaga panen apabila menjelang waktu panen padi. Desanya sekarang sepi dari tenaga kerja produktif karena para pemuda lebih senang merantau ke Jakarta. Masalah selanjutnya adalah hilangnya hasil panen sekitar 11-17% karena masih menggunakan alat dan cara tradisional. Artinya apabila hasil padi yang dibawa pulang petani itu 6 ton/ha, maka sebenarnya ada gabah yang hilang tercecer dilahan selama proses panen sebesar
660-1.020
kg
atau
rata-rata
sekitar
840
kg/ha
(http://paskomnas.com/id/berita/Biaya-panen-murah.produksi meningkat.php/ diakses 3 September 2012). Contoh lainnya yaitu proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga tani dan sistem gotong-royong menjadi sistem menyewa buruh tani. Hal itu disebabkan oleh murahnya tenaga buruh tani dan makin bertambahnya jumlah petani yang tidak memiliki tanah, atau petani yang hanya memiliki tanah yang sangat sempit sehingga tidak cukup menghasilkan untuk memberi makan satu keluarga Jawa sepanjang musim. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Temanggung, Ronny Nurhastuti, jarangnya buruh tani yang menyimpan gabah atau beras seiring dengan berubahnya paradigma
7
sistem pengupahan tenaga kerja dikalangan petani pemilik tanah dewasa ini. Paradigma pemberian upah dari majikan kepada buruh tani telah bergeser, sebelumnya imbalan yang diberikan diwujudkan dengan bentuk hasil panenan,
kini
pemberian
upah
didominasi
dalam
bentuk
(http://www.suaramerdeka.com/harian/0704/02/kedu05.htm/diakses
uang 6
September 2012). Fenomena tersebut akan menjadi permasalahan ketika kebiasaan turun-temurun yang sangat berhubungan dengan keterikatan antar individu di dalam masyarakat mula mengikis dan pudar. Hal inilah menarik bagi penulis ketika sebuah kebiasaan kebersamaan telah berlangsung secara turun-temurun dan
merupakan
hal
ideal
dari
masyarakat
desa,
ternyata
dalam
perkembangannya telah terjadi pengikisan kebiasaan akibat banyak faktor yang melatarbelakangi kesenjangan tersebut. Oleh karena itu berdasarkan permasalahan diatas penulis ingin meneliti lebih khusus mengenai Bagaimana Pelaksanaan Sistem Bawon di Desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
diatas
dapat
diidentifikasikan
permasalahan- permasalahan sebagai berikut : 1. Mulai ditinggalkannya sistem bawon pada proses panen padi oleh para petani
di
desa
Temanggung.
Mungseng
Kecamatan
Temanggung
Kabupaten
8
2. Adanya perbedaan perbandingan pembagian upah sistem bawon antar petani pemilik lahan. 3. Adanya pergeseran dari sistem bawon ke sistem pengupahan tetap di desa Mungseng. 4. Masih banyaknya hambatan untuk mempertahankan sistem bawon di desa Mungseng. 5. Ditinggalkannya sistem bawon karena sudah tidak bermakna atau sudah kurang bernilai. C. Pembatasan Masalah Ruang lingkup dalam penelitian ini sangat luas, sehingga peneliti membatasi permasalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan sistem bawon di desa Mungseng. Adapun permasalahan yang dikaji dan diteliti dalam penelitian ini antara lain: 1. Pelaksanaan sistem bawon saat ini di desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung. 2. Makna sistem bawon bagi masyarakat desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung. 3. Sistem bawon mulai ditinggal oleh para petani pemilik lahan. D. Rumusan Masalah Dari latar belakang dan identifikasi masalah diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan sistem bawon saat ini di desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung?
9
2. Apakah makna sistem bawon bagi masyarakat desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung? 3. Apa saja penyebab ditinggalkannya sistem bawon oleh para petani pemilik lahan? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan sistem bawon oleh petani di desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung. 2. Mendeskripsikan apa makna sistem bawon bagi masyarakat desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung. 3. Mendeskripsikan penyebab ditinggalkannya sistem bawon oleh para petani di desa Mungseng. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan, serta memberikan kegunaan untuk pengembangan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Adat
yang
merupakan
salah
satu
keilmuwan
dari
Pendidikan
Kewarganegaraan. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi pada penelitian di masa mendatang yang relevan dengan bidang penelitian.
10
2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus mengetahui kemampuan peneliti dalam penerapan ilmu yang didapatkan di bangku kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, serta sebagai bekal peneliti untuk menjadi guru yang profesional. b. Bagi petani dan masyarakat dapat menjadikan acuan dalam mempertahankan tradisi sistem bawon sehingga aspek kebersamaan dan saling tolongmenolong tidak hilang. G. Batasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap masalah yang diteliti, maka peneliti akan memberikan gambaran yang jelas. Untuk itu perlu diberi batasan pengertian sebagai berikut : 1. Pelaksanaan Pelaksanaan berasal dari kata laksana yang berarti sifat, laku atau perbuatan, sedangkan untuk pelaksanaan sendiri berarti proses, cara, perbuatan melaksanakan rancangan atau keputusan (KBBI, 2008: 627). 2. Sistem Bawon Sistem bawon merupakan sistem upah secara tradisional yang dikenal para petani pedesaan Jawa. Bawon biasanya dikenakan pada buruh perempuan sebagai upah dari hasil panen padi yang mereka peroleh pada masa panen. (Gatut M.,dkk., 2000: 25). Jadi sistem bawon adalah cara pengupahan secara tradisional yang dikenakan pada buruh tani dari hasil
11
panen padi yang mereka peroleh dengan cara ditakar dengan perbandingan 5:1 atau 6:1. 3. Makna Makna menurut KBBI adalah arti atau maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan (KBBI, 2008: 864). Makna juga mempunyai pengertian suatu cara memahami sesuatu secara mendalam di balik suatu peristiwa. Berpijak pada uraian tersebut, maka sistem bawon di desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung merupakan suatu sekumpulan kegiatan pengupahan secara tradisional yang dikenakan pada buruh tani dari hasil panen padi yang mereka peroleh dengan cara ditakar dengan perbandingan 5:1 atau 6:1 yang terjadi di desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung.