BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menghadapi tantangan era globalisasi saat ini, sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan aset yang sangat diperlukan oleh setiap negara agar dapat bersaing dengan negara lainnya (Surjana, 2002). Peningkatan SDM menjadi suatu prioritas penting dan merupakan kewajiban bagi sebuah negara (Munandar, dalam Syukri & Zulkarnain, 2005). Kualitas SDM yang dibutuhkan adalah SDM yang mampu melaksanakan pembangunan nasional secara inovatif, kreatif, produktif serta memiliki semangat kerja dan disiplin yang tinggi (Rohanan, 2008). Menurut United Nations Development Programme (UNDP) (dalam Rohanan, 2008), indeks kualitas SDM (Human Development Index) negara Indonesia pada tahun 2006 menduduki peringkat 69 dari 104 negara. Selain itu, menurut World Economic Forum (dalam Nsrupidara, 2008), indeks daya saing SDM (Growth Competitiveness Index) negara Indonesia pada tahun 2006 berada pada posisi 74 dari 117. Untuk wilayah Asia, indeks kualitas SDM Taiwan dan Singapura menduduki peringkat ke-5 dan 6, Jepang pada peringkat ke-12, China dan India pada peringkat ke-49 dan 50, sementara Indonesia disejajarkan dengan negara Gambia, dan masuk ke dalam kategori negara berpenghasilan rendah (low income countries). Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas dan daya saing SDM yang dimiliki oleh negara Indonesia tergolong rendah serta kurang mampu dan
Universitas Sumatera Utara
siap dalam menghadapi persaingan global. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas SDM memerlukan penanganan yang serius demi pembangunan negara Indonesia (Rohanan, 2008). Usaha peningkatan SDM pada hakikatnya menuntut komitmen dalam dua hal, yaitu: pertama, menemukan dan mengembangkan bakat-bakat unggul dalam berbagai bidang. Kedua, pemupukan dan pengembangan kreativitas yang pada dasarnya dimiliki setiap orang dan perlu dikenali dan dirangsang sedini mungkin (Munandar dalam Syukri & Zulkarnain, 2005). Kreativitas yang dimiliki oleh individu akan sangat bermanfaat dalam membantu memecahkan persoalanpersoalan yang menghalangi proses pembangunan suatu negara (Diana, 1999). Pada abad ke-21 ini, kreativitas memegang peranan yang penting agar seseorang dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik. Menurut Campbell (dalam Manguhardjana, 1986), kreativitas merupakan suatu kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya baru, berguna, dan dapat dimengerti. Selain itu, Munandar (1985) menyatakan kreativitas tidak selalu menciptakan hasil yang baru, tetapi juga dapat berupa gabungan dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Dengan kreativitas individu akan mampu mengidentifikasi masalah secara tepat dan
menyelesaikannya,
serta
mampu
mengidentifikasi
kemungkinan-
kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang ada yang mungkin tidak diperhatikan oleh orang lain (Craft, 2005). Selain berguna bagi individu, kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara juga bergantung pada sumbangan kreatif berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan teknologi baru. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki indeks
Universitas Sumatera Utara
kualitas SDM yang rendah memerlukan tenaga-tenaga kreatif yang mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian, serta kepada kesejahteraan bangsa pada umumnya (Munandar, 2009). Pendidikan memegang peranan yang penting dalam pengembangan kreativitas (Craft, 2005). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tilaar (2004) bahwa kualitas kreativitas manusia merupakan hasil dari proses pendidikan. Pendidikan pada setiap jenjangnya, mulai dari pendidikan pra sekolah hingga ke perguruan tinggi dapat berperan dalam menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas individu (Munandar, 2009). Oleh karena itu, kreativitas tidak lagi menjadi bagian terluar dari pendidikan atau hanya berasal dari aspek seni, melainkan telah menjadi aspek inti dari pendidikan (Craft, 2005). Pada kenyataanya, proses-proses pemikiran tinggi termasuk berpikir kreatif pada pendidikan di Indonesia masih jarang dilatih (Munandar, 2009). Pendapat senada juga dikemukakan Tilaar (2004) yang menyatakan sistem pendidikan yang diterapkan saat ini di Indonesia merupakan suatu sistem yang menghasilkan “robot-robot” tanpa berpikir kreatif. Selain itu menurut ASIAWEEK (dalam Tilaar, 2004), ciri khas dari pendidikan di Asia lebih menonjolkan pada penguasaan ilmu-ilmu eksakta dan kurang memberikan perhatian kepada kemampuan berpikir kreatif, yang belum tentu dapat menjamin bahwa bangsabangsa Asia akan mampu bersaing dengan negara-negara lainnya. Nashori (dalam Diana, 1999) menyatakan penyebab rendahnya kreativitas di Indonesia karena lingkungan yang terlalu membiasakan individu untuk berpikir secara tertib dan menghalangi kemungkinan merespon serta memecahkan
Universitas Sumatera Utara
persoalan secara bebas. Pada hasil-hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia, ditemukan banyak lembaga pendidikan maupun orangtua yang cenderung mendidik siswa berpikir secara linier (searah) atau konvergen (terpusat). Cara berpikir divergen, yang merupakan ciri dari kreativitas (Munandar, 2009), pada siswa kurang didorong dan dikembangkan (Nashori dalam Diana, 1999). Selain itu, menurut Munandar (2009), kurangnya pemahaman guru dan orangtua akan arti dari kreativitas dan bagaimana mengembangkannya pada anak dalam tiga lingkungan pendidikan yaitu di rumah, di sekolah, dan di dalam masyarakat, juga turut mempengaruhi rendahnya kreativitas di Indonesia. Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kreatif, namun dengan tingkat atau derajat kreativitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya kreativitas (Munandar, 2009). Rogers (dalam Munandar, 2009) menyatakan kreativitas dapat terwujud oleh adanya dorongan dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) serta dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik). Setiap individu memiliki kecenderungan atau dorongan dari dalam dirinya untuk mengembangkan
kreativitas,
mewujudkan
potensi,
mengungkapkan
dan
mengaktifkan semua kapasitas yang dimilikinya. Selain dorongan dari dalam diri individu, lingkungan juga mempengaruhi kreativitas seseorang. Individu akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada. Karena itu, baik perubahan di dalam diri individu maupun dari lingkungan dapat menunjang atau dapat menghambat upaya kreativitas (Munandar, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan yang dapat mengembangkan kreativitas adalah lingkungan yang dapat memberikan keamanan dan kebebasan psikologis bagi individu untuk mengungkapkan dan mewujudkan dirinya (Rogers, dalam Munandar 2009). Munandar
(2009)
menyatakan
kreativitas
dapat
dikembangkan
dengan
memberikan kebebasan kepada individu untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. Proses pengembangan kreativitas akan terjadi dengan sendirinya pada lingkungan yang memiliki iklim menunjang, menerima dan menghargai individu. Dengan kata lain, proses pengembangan kreativitas berkaitan dengan iklim yang terdapat di dalam lingkungan. Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kreativitas dapat berupa lingkungan keluarga, masyarakat, dan juga sekolah (Munandar, 2009). Dalam lingkungan sekolah, iklim kelas memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kreativitas. Iklim kelas yang menghargai cara berpikir dan berperilaku kreatif; memberi kebebasan dan keamanan untuk mengambil resiko; mengembangkan penguasaan dalam pokok area tertentu; serta menyediakan waktu bagi siswa untuk berkreasi, dapat meningkatkan dan mengembangkan kreativitas siswa (Omrod, 2003). Iklim kelas dapat diartikan sebagai kondisi, pengaruh, dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial, dan intelektual yang mempengaruhi peserta didik (Bloom, dalam Tarmidi & Wulandari, 2005). Iklim kelas merupakan keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya. (Rawnsley & Fisher, 1998). Persepsi siswa akan lingkungan kelas merupakan
Universitas Sumatera Utara
penilaian paling tepat untuk mengetahui iklim kelas dikarenakan siswa telah menghadapi lingkungan belajar yang beraneka ragam serta telah menghabiskan banyak waktu di dalam kelas sehingga memiliki perasaan yang akurat terhadap kelas (Nair, 2001). Persepsi menurut Irwanto, Elia, Hadisoepandma, Priyani, Wisimanto, dan Fernandes (1996) adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti. Persepsi terhadap iklim kelas dapat diartikan sebagai proses pengenalan dan pemahaman akan keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya. (Rawnsley & Fisher, 1998). Menurut Myers (dalam Sampson, 2009), persepsi siswa akan iklim kelas didasarkan pada seberapa baik guru menciptakan lingkungan dimana terdapat hubungan yang bernilai, saling mendorong dan mendukung. Moos & Trickett (dalam Amar & Strugo, 2003) menambahkan bahwa kegiatan harian dan rutin dapat membentuk persepsi siswa akan iklim kelas. Pada iklim kelas yang positif, guru dan siswa membentuk hubungan yang positif serta saling menghargai satu dengan yang lainnya. Guru dan siswa juga memiliki rasa antusias untuk belajar dan menghabiskan waktu bersama-sama di dalam kelas (Pianta, 2005). Amar & Strugo (2003) menambahkan bahwa siswa akan lebih merasa senang jika berada pada kelas dengan iklim positif, yang mengikutsertakan keterlibatan mereka di dalam kelas, memiliki hubungan personal antara guru dengan murid, memakai cara belajar yang inovatif, serta
Universitas Sumatera Utara
memiliki aturan-aturan tingkah laku yang jelas. Sebaliknya pada iklim kelas yang negatif, siswa tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan serta kurang mendapat perhatian akan kebutuhan-kebutuhan yang dihadapinya. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa ketidakpuasan pada siswa (Adelman & Taylor, dalam Lee, 2003). Pada penelitian ini, subjek yang akan diteliti merupakan siswa SMA. Masa SMA termasuk ke dalam usia remaja dan dimulai dari usia 15/16-17/18. Pada usia tersebut, individu berada pada tahapan kreativitas post-conventional. Pada tahap ini, individu menghasilkan karya-karya baru yang disesuaikan dengan batasanbatasan eksternal dan nilai-nilai konvensional. Oleh karena itu, kreativitas individu sudah mulai stabil karena telah mampu menyesuaikan kemampuan kreatif yang dimilikinya dengan batasan-batasan yang terdapat di lingkungan (Cropley, 1999). Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa siswa SMA Kalam Kudus sebelum melakukan penelitian yang sebenarnya. Siswa-siswa yang diwawancarai menyatakan suasana kelas yang mereka rasakan nyaman dan menyenangkan. Teman-teman sekelas siswa saling membantu dan mendukung di dalam belajar. Selain itu, siswa-siswa juga menyatakan bahwa guru-guru yang mengajar di dalam kelas memperlakukan semua siswa dengan adil dan bersahabat. Sehingga interaksi antara siswa dengan guru berlangsung dengan akrab. Peneliti juga mewawancarai siswa yang merupakan pindahan dari SMA Xaverius NTT dan menyatakan bahwa iklim kelas di SMA Kalam Kudus Medan
Universitas Sumatera Utara
lebih menyenangkan daripada di sekolahnya dahulu. Siswa lebih menyukai keadaan kelasnya saat ini karena teman-teman yang sekelas dengannya lebih menyenangkan serta mau berteman dan membantunya. Selain itu, siswa juga merasa lebih akrab dengan guru-guru yang mengajar di kelasnya saat ini dibandingkan dengan guru-gurunya dahulu. Berikut kutipan wawancara dengan siswi XI IPS 1, yang berinisial YS: “...suasana kelas di sekolah yang sekarang lebih enak kak daripada di sekolah yang dahulu. Teman-teman sekelas saya, orang-orangnya semua baik dan menyenangkan. Guru-gurunya juga lebih ramah daripada yang dulu jadinya rasanya le\kbih enak dan akrab. Meskipun saya baru 3 minggu sekolah di sini, tapi saya udah mengenal semua teman-teman sekelas saya, dan mereka juga mau bantu saya dalam belajar..” (Komunikasi personal, 16 November 2009) Peneliti juga telah mewawancarai beberapa guru yang mengajar di SMA Kalam Kudus Medan. Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa guruguru telah mendorong siswa untuk mengembangkan kreativitas yang mereka miliki di dalam kelas. Guru memberikan kesempatan dan kebebasan kepada siswa untuk menujukkan kreativitas yang dimiliki. Guru-guru juga menghargai setiap hasil karya dan ide-ide yang diberikan siswa. Akan tetapi kebanyakan siswa masih kurang menunjukkan kemampuan kreativitas yang mereka miliki saat belajar di dalam kelas. Berikut kutipan wawancara dengan X, guru agama yang mengajar di SMA Kalam Kudus Medan: “...beberapa murid ada yang kreatif, misalnya ketika saya kasih tugas agama menulis ayat-ayat penting, ada yang menambahkan dengan gambargambar yang berkaitan dengan nats alkitab, lagu-lagu rohani. Akan tetapi lebih banyak murid yang hanya mengerjakan begitu saja, bahkan tidak rapi dan menarik..... Pada dasarnya guru menghargai setiap hasil karya siswa. Siswa boleh bereksplorasi dengan kemampuan yang dia miliki, dan guruguru mengizinkan hal tersebut terjadi bahkan sangat dihargai...” (Komunikasi personal, Januari 2010)
Universitas Sumatera Utara
Hal serupa juga dinyatakan oleh Y, guru seni musik yang mengajar di SMA Kalam Kudus Medan: “...yah kita memang dari sekolah sudah menekankan pada pengembangan kreativitas dalam diri siswa. Kita menyediakan sarana yang diperlukan untuk siswa. Misalnya ketika jam belajar musik, disediakan mic, gitar, piano, drum untuk siswa manfaatkan. Beberapa siswa memanfaatkan sarana itu dan menunjukkan bakat kreativitasnya, tetapi lebih banyak siswa yang tidak mau menunjukkan kemampuan mereka, setidaknya belajar untuk memakai dan mengembangkan alat musik tersebut. Sehingga saya rasa, siswa masih kurang mau untuk mengembangkan dirinya...” (Komunikasi personal, 20 November 2009)
Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa guru menghargai kemampuan kreativitas yang dimiliki siswa dan beberapa siswa menunjukkan kreativitas yang dimiliki akan tetapi lebih banyak siswa yang mengerjakan tugas seadanya dan tidak mengembangkan kreativitas yang dimiliki. Menurut Munandar (2009) untuk dapat merangsang anak melibatkan diri dalam kegiatan kreatif, maka sarana prasarana sangatlah diperlukan. Dalam hal ini, SMA Kalam Kudus Medan telah menyiapkan sarana yang dibutuhkan siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, tetapi hanya beberapa siswa yang memakai sarana tersebut, dan lebih banyak siswa yang tidak memanfaatkannya. Dari data yang diperoleh, diduga bahwa siswa SMA Kalam Kudus memiliki persepsi positif terhadap suasana kelas, akan tetapi siswa kurang mau mengembangkan diri dan menunjukkan kemampuan kreativitas yang mereka miliki di dalam kelas. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara teori persepsi iklim kelas dengan kreativitas. Ormrod (2003) menyatakan iklim kelas yang menghargai cara berpikir dan berperilaku kreatif; memberi kebebasan dan
Universitas Sumatera Utara
keamanan untuk mengambil resiko; mengembangkan penguasaan dalam pokok area tertentu; serta menyediakan waktu bagi siswa untuk berkreasi, dapat meningkatkan dan mengembangkan kreativitas siswa. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi Pendidikan, khususnya bagi Psikologi Sekolah, berkaitan dengan persepsi terhadap iklim kelas dan kreativitas. 2. Manfaat praktis a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi sekolah untuk lebih meningkatkan kreativitas siswa yang sangat dibutuhkan demi kesuksesan siswa dalam menghadapi tantangan zaman.
b.
Memberi masukan bagi sekolah untuk lebih memperhatikan aspek-aspek yang terdapat di dalam iklim kelas.
Universitas Sumatera Utara
D. Sistematika Penelitian Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang kreativitas, iklim kelas, persepsi dan siswa SMA. Bab III: Metode Penelitian Berisikan mengenai metode-metode dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, lokasi penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data. Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan hasil tambahan penelitian. Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara