BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan sebuah struktur yang bermakna. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang menggunakan media bahasa (Pradopo, 2010: 121). Bahasa merupakan media karya sastra yang diwujudkan dalam bentuk tulisan oleh penyair. Ada tiga genre sastra yang mewarnai kesusastraan Indonesia, yaitu puisi, prosa, dan drama. Ketiga genre sastra tersebut tidak pernah berhenti dicipta dan selalu mendapat perhatian dari para peminat sastra. Puisi sebagai salah satu genre sastra, berkembang pesat saat ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sastrawan dengan karya-karyanya dan banyak kritikus sastra yang selalu menanggapi setiap karya sastra yang tercipta. Salah satu jenis sastra adalah puisi. Puisi adalah pemadatan ide yang jika kadar kepadatannya diuraikan akan berwujud prosapuisi. Puisi mempunyai makna yang tidak terbatas pada teks yang tersurat, tetapi juga pada teks yang tersirat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Pemaknaan puisi tergantung pada kemampuan pembaca. Pembaca dapat memaknai puisi melalui hal-hal yang tersirat dan tersurat dalam puisi tersebut. Menurut Riffaterre (1978: 1), puisi adalah pernyataan sesuatu secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu dan berarti hal yang lain. Pemaknaan puisi
1
2
merupakan tugas pembaca. Seorang pembaca dalam memaknai puisi harus menguasai konvensi bahasa dan konvensi sastra (Pradopo, 2010: 107). Untuk memaknai sebuah karya sastra sebagai aktualisasi berbagai aspek kehidupan, khususnya puisi, pembaca harus mengetahui dan memahami aspek-aspek hakikat puisi. Fungsi tersebut, yaitu fungsi estetik atau fungsi seni, kepadatan, dan ketidaklangsungan ekspresi (Pradopo, 2010: 315). Fungsi estetik atau fungsi seni ini dapat dilihat dalam gaya bahasa yang berupa bunyi kata dan kalimat yang digunakan untuk mendapatkan efek tertentu. Kepadatan merupakan pemadatan yang terdapat dalam suatu puisi seperti menghilangkan imbuhan, awalan, dan akhiran. Dalam puisi, tidak semua peristiwa diceritakan. Peristiwa tersebut hanya berupa inti masalah, peristiwa, atau inti cerita. Ketidaklangsungan ekspresi ini meliputi pengungkapan sesuatu secara tidak langsung untuk menyatakan suatu hal dengan arti lain. Kesulitan pemahaman terhadap puisi disebabkan oleh sifat puisi yang padat. Sifat inilah yang membedakan antara puisi dengan prosa yang lebih bersifat menguraikan. Pemadatan kata dalam puisi menjadi menyimpang dari bahasa secara umum dan memiliki konsep tata bahasa yang khusus (Riffaterre, 1978: 1). Penyimpangan bahasa puisi merupakan indikasi yang menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Maknanya adalah kata-kata yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dapat memiliki arti lain (Riffaterre, 1978: i). Arti lain yang muncul merupakan ungkapan ekspresi pemikiran, pendapat atau keprihatinannya. Oleh karena itu, penyair berusaha memilih kata-kata dalam puisi untuk memberikan efek-efek kepuitisan kepada pembaca.
3
Salah satu penyair Indonesia adalah Rachmat Djoko Pradopo. Pradopo lahir di Klaten, 3 November 1939. Pada tahun 1965 Pradopo menyelesaikan Sarjana Sastra di Fakultas Sastra dan Kebudayaan (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UGM. Pada tahun 1978, Pradopo mengikuti Penataran Sastra yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Jakarta, bekerja sama dengan ILDEP. Pradopo terpilih untuk melanjutkan studi di Rijkuniversiteit di Leiden tahun 1980 sampai dengan tahun 1981. Pada tahun 1981 Pradopo kuliah kerja di School of Oriental and Asiam Studies (SOAS) di London dan lulus Program Doktor Ilmu Sastra di UGM dengan judul disertasi Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan. Sejak tahun 1967 sampai dengan tahun 2004, Pradopo menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM sebagai Profesor Emiritus. Selama menjadi dosen, Pradopo mengampu mata kuliah kesusastraan, yaitu mata kuliah Kritik Sastra dan Analisis Puisi. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1972, Pradopo dikirim oleh UGM untuk mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan dalam mata kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia.. Pradopo juga aktif dalam kegiatan sastra kreatif, puisi, dan esai, terutama sebagai penyair. Karya-karya tersebut banyak dimuat di berbagai surat kabar dan majalah, dan ada juga yang dibukukan. Sajak-sajak karya Pradopo bersama dengan beberapa penyair yang telah dibukukan diantaranya Tugu: Antologi 32 Penyair Yogya (1986), Tonggak (1987), dan Manifest (1968). Antologi puisi yang memuat karya Pradopo sendiri diantaranya ialah Matahari Pagi di Tanah Air
4
(1967), Hutan Bunga (1993), Aubade (1999), Mitos Kentut Semar (2006), dan Tidur Tanpa Mimpi (2009). Salah satu karya Pradopo yang akan diteliti adalah antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi. Antologi puisi ini dipilih karena dapat mewakili analisis semiotika Riffaterre yang berupa nilai religius. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, religius adalah bersifat religi, bersifat keagamaan, atau berhubungan dengan keagamaan. Religius dapat diwujud dengan seseorang berdoa untuk yakin dan percaya kepada Tuhan sehingga keadaan emosi mengalami ketenangan dan kedamaian. Keterkaitan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan dengan melakukan tindakan sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama dalam argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang kebesaran Tuhan dalam arti mutlak, dan kebesaran manusia dalam arti relatif selaku makhluk. Dalam antologi ini, banyak puisi yang memiliki nilai religius karena adanya wujud religius dalam bentuk doa yang dipanjatkan kepada Tuhan yang membuat
seseorang
merasakan
ketentraman
dan
kedamaian.
Adanya
penggambaran kuasa Tuhan terhadap makhluk ciptaanNya. Selain itu, antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi juga menggambarkan adanya hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini memilih antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi sebagai objek penelitian dan difokuskan pada nilai religius yang terdapat dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi ini.
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini memfokuskan pada: 1.
Pemaknaan terhadap antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi dalam semiotika Riffaterre. Pemaknaan tersebut sesuai produksi makna yang diungkapkan oleh Riffaterre, yaitu pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, matriks, model, dan varian, hipogram.
2.
Nilai Religius yang terdapat dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan terhadap antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, mengaplikasikan teori semiotika Riffaterre untuk mengetahui unsur-unsur semiotik yang terdapat dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi. Unsur-unsur tersebut diantaranya pembacaan heuristik dan hermeneutik antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi, matriks, model, varian, dan hipogram antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi. Secara praktis, penelitian ini bertujuan mengetahui nilai religius yang terdapat dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi berdasarkan teori semiotika Riffaterre.
Oleh
karena
itu,
penelitian
ini
diharapkan
pengembangan studi sastra Indonesia, khususnya dalam puisi.
1.4 Tinjauan Pustaka
berguna
untuk
6
Uniawati (2007) dalam tesisnya Mantra Melaut Suku Bajo dalam interpretasi semiotika Riffaterre menjelaskan tentang hubungan antara Mantra Melaut Suku Bajo yang memperlihatkan hubungan antara Tuhan dengan nabi. Selain itu, dijelaskan juga religiusitas mantra bajo menurut analisis semiotika Riffaterre. Secara keseluruhan, makna yang terkandung dalam sepuluh teks mantra melaut suku Bajo, dalam tesis Uniawati, dapat merepresentasikan konstruksi realitas sosial budaya masyarakat suku Bajo sekaligus sebagai identitas budaya bagi kelompok masyarakat tersebut. Pemaknaan terhadap mantra melaut suku Bajo memperlihatkan suatu pola kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat suku Bajo. Masyarakat suku Bajo meyakini keberadaan Tuhan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dan adanya nabi/rasul sebagai utusan-Nya. Selain itu, masyarakat suku Bajo juga meyakini akan adanya kekuatan gaib yang menjadi media perantara untuk mewujudkan suatu keinginan melalui pembacaan suatu mantra tertentu. Hariyani (2008) dalam skripsinya Aspek Religius dalam Novel “Ayat-ayat Cinta” Karya Habiburrahman El Shirazy: Tinjauan Semiotik menjelaskan tentang novel Ayat-Ayat Cinta yang merupakan sebuah novel Islami sekaligus novel pembangun jiwa yang di dalamnya terkandung ajaran yang terbungkus rapi tanpa meninggalkan segi keestetikaannya. Kisah cinta yang indah dibangun jauh dari kevulgaran dan keerotisan. Nilai-nilai syariat agama yang terdalam sebagai alat dakwah terbungkus secara rapi dengan ajaran-ajaran moral. Tema pokok karangannya yang bermanfaat bagi penyempurnaan manusia, yaitu tema cinta dalam arti luas. Seperti terlihat dari judul novel Ayat-Ayat Cinta (Sebuah Novel
7
Pembangun Jiwa), maka tema novel ini tidak hanya mengandung tema cinta manusia pada manusia semata, tetapi juga cinta manusia kepada Tuhan dan rasulNya. Dalam novel ini tersirat adanya pengertian cinta manusia kepada Tuhan yang diwujudkan dengan cara teguh menjaga keimanan berdasarkan petunjukNya. Selain itu, tema cinta tersebut menyiratkan adanya pengertian cinta Tuhan kepada manusia yang diwujudkan dengan diberikannya cobaan kehidupan dan wahyu berupa petunjuk ayat-ayat Al Quran dan Sunah Nabi. Lisa Esi Lestari dalam artikel penelitiannya yang berjudul “Nilai Religius Dalam Novel Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy” menjelaskan tentang nilai ketakwaan manusia terhadap Tuhan, ketaatan manusia terhadap sesama, dan nilai ketaatan manusia terhadap diri sendiri. Selain itu juga menjelaskan contoh-contoh bentuk ketakwaan kepada Tuhan.
1.5 Landasan Teori Menurut Pradopo (2010: 121), bahasa memiliki arti yang konvensional. Hal tersebut disebabkan adanya beberapa tingkatan dalam mengartikannya. Bahasa yang digunakan sehari-hari merupakan arti bahasa tingkat pertama, yang merupakan hasil konvensi dari kehidupan masyarakat. Arti bahasa tingkat kedua adalah bahasa sastra yang memiliki makna tersirat. Semiotika mempelajari sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda tersebut dapat diartikan.
8
Arti kata semiotika yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, semainon (penanda),
dan semaimeson (petanda). Jadi, semiotika adalah ilmu yang
mempelajari tentang tanda-tanda (Pradopo, 2010: 119). Riffaterre (1978: 166) mengatakan bahwa seorang pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada suatu karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan. Dalam pikiran pembacalah transfer semiotika dari tanda ke tanda terjadi. Menurut teori yang dikemukakan Riffaterre, ada empat hal dalam mengkaji sebuah puisi diantaranya adalah ketidaklangsungan ekspresi; pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik; matriks, model, dan varian; dan hipogram atau intertekstual.
1. Ketidaklangsungan Ekspresi Menurut Riffaterre (1978: 1), ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora merupakan bahasa kiasan yang membandingkan suatu hal tanpa adanya kata pembanding (bagai, seperti, bak, dan sebagainya). Sedangkan dalam KBBI, metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Metonimi adalah suatu majas yang berupa
9
pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya (Pradopo, 2010: 124). Penyimpangan arti disebabkan adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense dalam sebuah sajak. Ambiguitas disebabkan adanya arti ganda dalam bahasa sastra, terutama bahasa dalam puisi baik dalam sebuah frase ataupun kalimat. Adanya arti ganda ini memungkinkan terjadinya perbedaan pemahaman setiap selesai membaca. Selain itu, pembaca juga dapat memberikan arti sesuai dengan pemahamannya (Pradopo, 2010: 215). Kontradiksi adalah pertentangan antara dua hal yang sangat berlainan. Kontradiksi dalam puisi biasanya dituangkan dalam ironi. Melalui ironi, penyair berusaha mengungkapkan kenyataan yang terjadi dengan suatu hal yang berlawanan. Nonsense merupakan kata-kata yang secara bahasa tidak memiliki arti karena tidak terdapat di dalam kosakata. Para penyair menggunakan kata-kata nonsense ini untuk menimbulkan suasana aneh, gaib, maupun lucu (Pradopo, 2010: 219). Menurut Riffaterre (1978:2), penciptaan arti terjadi apabila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement (peloncatan arti), homologue (persejajaran bentuk), dan tipografi (Riffaterre, 1978: 2).
10
2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang didasarkan konvensi bahasa. Pembaca harus memiliki pemahaman linguistik agar dapat memahami arti (meaning) karena bahasa memiliki arti referensial. Kompetensi linguistik yang dimiliki oleh pembaca berfungsi sebagai sarana untuk memahami beberapa hal yang disebut sebagai ungrammatical (ketidakgramatikalan teks). Pembacaan ini juga disebut dengan pembacaan semiotik pada tataran pertama. Dalam pembacaan pada tataran ini, masih banyak arti yang beraneka ragam, makna yang tidak utuh, dan ketakgramatikalan. Untuk itu, pembacaan pada tataran ini masih perlu dilanjutkan ke pembacaan tahap kedua. Pembacaan tataran kedua yang dimaksud adalah pembacaan hermeneutik. Pada pembacaan ini, akan terlihat hal-hal yang semula tidak gramatikal menjadi himpunan kata-kata yang bermakna (Riffaterre, 1978: 56).
3. Matriks, model, dan Varian Riffaterre (1978: 13) menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks. Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model.
11
Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993 :126). Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu (Riffaterre, 1978: 19-21). Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi.
4. Hipogram Hal keempat adalah prinsip intertekstual atau hipogram. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra (Pradopo, 2010: 167). Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan responsatau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan tersebut
12
dapat berupa penyimpangan atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 2010: 167). Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978: 2) mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit.
1.6 Metode Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Metode ini bekerja dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam suatu penelitian kemudian disusul dengan analisis sistematis. Berdasarkan hal tersebut, tahap-tahap yang dlakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, menentukan objek penelitian, yaitu antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi. Kedua, menentukan populasi, sampel, dan data penelitian berdasarkan kesamaan tema yang tertuang dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi. Ketiga, menganalisis data objek penelitian dengan teori semiotika Riffaterre:
13
1. Puisi dibaca secara heuristik, yaitu pembacaan berdasarkan tata bahasa normatif (biasa). 2. Puisi dibaca secara hermeneutik, yaitu pembacaan ulang secara retroaktif (bolak-balik) dengan memberikan tafsiran. 3. Berdasarkan pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik maka dilakukan pemaknaan puisi secara keseluruhan. Pemaknaan ini juga didukung oleh matriks sebagai kata kunci. Selain itu ditentukan pula model, varian, hipogram, dan menganalisis nilai religius dalam puisi. 4. Menyimpulkan hasil analisis.
1.7 Populasi, Sampel, dan Data Populasi penelitian ini adalah antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi yang diterbitkan pada tahun 2009. Dari antologi puisi tersebut, diambil lima puisi sebagai sampel, yaitu Tidur Tanpa Mimpi, Demi Waktu, Cakrawala, Hanya Dia Yang Maha, dan
Doa.
Pemilihan lima puisi ini karena puisi-puisi tersebut cukup mampu mewakili nilai religius yang terdapat dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi. Data penelitian ini adalah aspek-apek nilai religius menurut semiotika Riffaterre dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi.
1.8 Sistematika Penyajian Penelitian ini disusun dalam empat bab dengan perincian sebagai berikut
14
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, populasi sampel dan data, sistematika penyajian. Bab II Pemaknaan antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi berdasarkan pembacaan heuristik, pembacaan hermenenutik, matriks, model, dan varian dan hipogram. Bab III Nilai religius dalam antologi puisi Tidur Tanpa Mimpi Bab IV Kesimpulan.