BAHASA HUKUM DALAM MEDIA MASSA A. Pendahuluan Dalam menegakkan demokrasi pada bentuk sistem politik yang dapat berterima di masyarakat, media massa diperlukan sebagai pendorong proses demokrasi dan sebagai instrumen perubahan yang dapat juga mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya penegakan hukum, yang menjunjung tinggi rasa keadilan yang ada dalam masyarakat secara luas. Media massa diketahui memiliki peran yang signifikan, walau sering dianggap secara negatif, mampu memberikan perubahan yang terjadi di masyarakat. Media massa juga berpotensi untuk memproduksi dan menyebarluaskan makna sosial, baik makna kejadian yang terjadi di dunia sosial, budaya, dan hukum pada masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Tentu saja, instrumen yang digunakan berupa bahasa yang digunakan oleh media massa akan mewakili kelompok sosial tertentu masyarakat. Dalam hal ini, media massa memegang sebagian besar kendali terhadap siapa yang dapat berbicara dan apa yang dapat dibicarakan. Begitu juga pada berita hukum yang disajikan oleh media massa, selalu menyajikan bahasa yang sering kali di luar konteks hukum tersebut. Dalam mengkonstruksi peristiwa, bahasa merupakan instrumen pokok bagi media massa bukan hanya sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa juga menentukan sebuah pencitraan. Penggunaan bahasa dalam domain khusus berimplikasi pada pemaknaan tertentu. Diksi dan cara penyajian suatu realitas akan ikut menentukan entitas konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan bahasa dalam media massa bukan hanya dapat mencerminkan realitas, tetapi dapat pula menciptakan realitas. Di dalam media yang berupa teks, persoalan utama adalah dalam merepresentasikan suatu peristiwa. Bagaimana realitas atau objek dalam peristiwa tersebut dikomunikasikan oleh media massa menggunakan bahasa tulis. Ideologi yang terkandung didalam sebuah teks dapat berupa pernyataan sikap, pandangan, penilaian, maupun keyakinan sosial. Ideologi erat kaitannya dengan kekuasaan sosial (social power). Ideologi dalam hal ini berupa kontrol suatu kelompok atau organisasi untuk mengatasi tindakan atau pikiran anggota kelompok lain, sehingga membatasi kebebasan bertindak pihak lain atau memengaruhi pengetahuan, perilaku dan ideologinya (Subagyo dalam Puspitorini, dkk. (ed.), 2008: 400-401). Media massa, menurut Stuart Hall, pada dasarnya tidak mereproduksi makna itu sendiri, melainkan menentukan (to define) realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Lebih lanjut Hall mengatakan: “Makna tidak secara sederhana bisa dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle), sebuah perjuangan dalam memenangkan wacana. Pemaknaan yang berbeda dikarenakan penggunaan bahasa didalamnya. Ketika bahasa digunakan oleh media massa, media massa memiliki tanggung jawab yang besar dalam penyebaran dan penanaman stereotip atau prasangka tertentu” (Hall, dalam Sobur, 2001:40). Pada gilirannya, bahasa tertentu yang ditampakkan pada pemilihan kata dan kalimat membentuk realitas sosial tertentu. Bahasa memang digunakan sebagai bahan baku guna memproduksi berita. Akan tetapi, bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan fakta, informasi, atau opini. Bahasa juga bukan sekedar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik (Sobur, 2004:89). Perihal bahasa dalam menciptakan realitas, menurut Kenneth Burke, kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu, tetapi juga membatasi persepsi khalayak dan mengarahkan pada cara berpikir serta keyakinan tertentu. Dengan kata lain, kata-kata yang dipakai dapat membatasi seseorang untuk melihat perspektif lain, menyediakan aspek tertentu 1
dari suatu peristiwa, dan mengarahkan khalayak untuk memahami suatu peristiwa (Saripudin, 2003:18). Adapun beberapa praktik pemakaian bahasa yang dapat ditelaah. Pertama, penghalusan kata atau makna (eufimisme). Melalui pemakaian kata-kata ini realitas buruk bisa kembali menjadi halus, sehingga khalayak tidak melihat kenyataan yang sebenarnya. Kedua, pengasaran bahasa (disfemisme) yang mengakibatkan realitas menjadi kasar. Ketiga, penggunaan labelisasi (labeling), merupakan pemakaian kata-kata ofensif pada individu atau kelompok dengan segala aktivitasnya dengan tujuan mensifati atau menjuluki objek. Pada akhirnya, labelisasi ini dapat mempengaruhi pikiran khalayak dan membentuk citra tertentu (Saripudin, 2003:18-19). Adanya pemilihan kata dan cara penyajian suatu realitas oleh media maka akan ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Di lain hal, dimensi teks hukum, saat ini, banyak didominasi oleh positivisme hukum sebagai representasi hukum as it is. Implikasi praktisnya, terdapat pembatasan pada interpretasi teks hukum yang mengabaikan konteks sosial, politik, dan ekonomi yang melahirkan teks serta dialektika antara teks‐konteks sebelum termaterialisasi dalam bentuk suatu produk hukum. Misteri dibalik kekuasaan interpretasi dalam hukum salah satunya, dapat dipahami bila kita membongkar (interpretasi) kekuasaan itu sendiri. Foucault telah menjelaskan bahwa kekuasaan memiliki hubungan sangat intim dengan representasi dan pengetahuan, serta membuat sebuah regime of truth. Ia mempercayai bahwa kekuasaan sebagai sebuah struktur dan proses telah secara potensial mereproduksi ‘knowledge’ dan ‘truth’ dengan berbagai pelanggaran, eksploitasi, dan penyingkiran hak‐hak (Foucault, 2002). Di sini, tentu saja, media massa memiliki peran strategis dalam membangun korelasi hukum dengan masyarakat. Tentu saja, penggunaan bahasa hukum dalam media massa seharusnya mengikuti bentuk yang sudah diformulasikan di dalam peraturan perundang-undangan. Menjadikan hukum sebagai teks, tentu saja, mengandung tujuan-tujuan yuridis tertentu, dan karena itu bahasa yang digunakan mengandung kekhasan tersendiri, yaitu bahasa hukum yang memiliki rujukan realitas yang berbeda. Ini mengandung arti bahwa kadangkala menerima pengecualian/kekhasan tertentu sebagai hal biasa, sedang pada saat yang sama dalam bahasa sehari-hari hal itu kurang atau tidak dapat diterima. Dengan demikian harus diperhatikan bahwa kata-kata tidak dapat dipandang secara sendiri-sendiri dan hanya dimaknai (secara konseptual) belaka. Kata-kata, harus dilihat sebagai unsur (dan berfungsi dalam) keseluruhan komunikasi yang luas. Makna setiap kali tergantung pada konteks atau penggunaannya pada pendekatan dan dimensi hukum yang berlaku Pemanipulasian pemaknaan pada teks-teks yang memiliki akibat hukum seperti dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam bahasa Indonesia, tentu saja, akan menimbulkan interpretasi yang beragam, yang akibatnya akan menimbulkan ketidakpastian dalam memperoleh keadilan dan kemanfaatan hukum. Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum. Hukum terikat pada bahasa yang pada dasarnya selalu akan memberikan penafsiran dari teks tertulis di dalam peraturan perundang-undangan. (Sayogie & Rasyid, 2014: 1-2). Hukum sebagaimana banyak diterjemahkan melalui materialisasi teks telah menempatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya, hukum telah dibuat secara sadar oleh pembuat/pengambil kebijakan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Pembuat kebijakan atau pembentuk perundang‐undangan memegang penuh bagaimana mengarahkan dan menginterpretasikan teks hukum yang dibuatnya. Para filsuf politik sebenarnya sudah menaruh perhatian pada kekuasaan interpretasi tersebut, sebagaimana pandangan Trasymachus yang menyatakan bahwa hukum merupakan kendaraan untuk kepentingan‐kepentingan mereka yang kuat. Begitu juga Machiavelli yang menghapuskan jarak antara hukum dan kekuatan menyatakan bahwa hukum 2
tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan dan bisa menjadi alat pembenaran kekerasan (Herlambang, 2007: 67-70). B. Positivisme Bahasa Hukum Dalam paradigma Positivisme Hukum, undang-undang atau keseluruhan peraturanperundang-undangan dipikirkan sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap dan ketentuan undang-undang diterapkan secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai bunyi undang-undang (Freeman, 2001:1384-1386). Namun, paradigma positivisme hukum klasik yang menempatkan peraturan perundang:undangan, tidak memberikan kesempatan pada penegak hukum menjadi suatu institusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat. Paradigma positivistik, menekankan pada uniformitas, khususnya dalam hal penafsiran “monolitik” terhadap makna norma-norma itu sendiri. Biasanya metode yang digunakan dalam penafsiran peraturan perundang-undangan mengandalkan penafsiran gramatikal, bahkan cenderung tekstual secara leksikal. Penafsiran tersebut sebenarnya hanyalah salah satu metode penemuan hukum (rechtsvinding) saja. Meskipun di luar dikenal metode-metode lain seperti konstruksi atau argumentasi, namun para penegak hukum umumnya sering bermain di “wilayah aman” yaitu metode penafsiran konvensional. Penggunaan metode lain jarang digunakan, apalagi bila bersentuhan dengan hukum pidana, di. Larangan ini, menurut Shidarta (2005) tidak sekedar doktrin, melainkan sudah diformulasikan khawatirkan bertentangan dengan asas legalitas (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali). Pemikiran positivisme hukum biasanya tepat dan mampu bertahan dalam keadaan masyarakat yang stabil. Namun pada masa krisis, di mana hukum yang disiapkan menata proses interaksi dalam masyarakat gagal menjalankan fungsinya, asumsi-asumsi positivisme hukum tentang kepastian dan prediktabilitas mulai dipertanyakan. Sepanjang pengamatan, sejak permulaan krisis hingga sekarang, pendekatan hukum yang dilakukan masih menggunakan cara konvensional, padahal keadaan dan kualitas masyarakat sudah berubah. Para penegak hukum masih saja menggunakan metode berpikir yang lazim dipakai menangani masalah hukum dalam keadaan normal. Bahkan untuk menghadapi masalah yang luar biasa seperti korupsi, pelanggaran HAM, dan sebagainya, masih menggunakan doktrin, asas, dan logika di bawah ajaran positivisme hukum. Akibatnya, penegakan hukum mengalami kesulitan untuk melakukan terobosan hukum, terkerangkeng pada dogmatika, prosedur dan formalisme. Pada saat krisis hukum sekarang ini kita membutuhkan keberanian untuk melakukan lompatan progresif keluar dari tawanan asas–asas, logika-logika, dan doktrin–doktrin konvesional. Hanya dengan itu, pengadilan dapat bertindak kreatif dan tidak submisif (Rahardjo, 2005). Hukum, oleh ajaran positivisme hukum, digambarkan sebagai wilayah yang steril, terpisah dari moral. Doktrin Kelsenian, bahkan menampik keberadaan ilmu hukum yang terkontaminasi anasir-anasir sosiologis, politis, ekonomis, historis, dan sebagainya. Ilmu hukum dimurnikan (sebenarnya lebih tepat disebut “direduksi”) menjadi ilmu yang mempelajari “command of law givers”. Dalam ajaran ini, tidak perlu secara kreatif memikirkan tentang hukum yang ideal (das sollen), melainkan hanya menerapkan norma hukum positif (ius constitutum). Ajaran positivisme hukum memberi pemahaman bahwa hukum semata-mata hanya berurusan dengan norma-norma. Demikian pula, ajaran positivisme hukum tidak mempermasalahkan apakah substansinya adil atau tidak, dan juga tidak mempersoalkan bagaimana implikasi sosio-yuridisnya. Cara pandang yang demikian, membuat positivisme hukum melihat persoalan secara ”hitam-putih” sebagaimana yang ada dalam teks undang-undang, padahal masalah dalam masyarakat terlalu besar untuk 3
dimasukkan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Ajaran positivisme hukum ini dikritik karena pada dasarnya undang-undang yang telah ditetapkan cenderung bersifat kaku dan sulit sekali berubah sementara basis sosial tempat berpijaknya selalu berkembang, dan perkembangan tersebut membawa persoalan-persoalan hukum yang baru. Ketika undangundang itu dibuat mungkin dirasakan adil, namun setelah sekian lama undang-undang itu diterapkan bisa saja menjadi terasa tidak adil, karena masyarakatnya telah berubah. Positivisme sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati. Dengan kata lain, ”positif” sama dengan ”faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme ingin menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu, Comte dalam Hadirman (2004: 204-205) menolak sama sekali metafisika dan bentuk pengetahuan lain, seperti moral, etika, teologi, seni, yang melampaui fenomena teramati. Sebagai sebuah paradigma, positivisme pada dasarnya berasal dari aliran filsafat yang meminjam pandangan, metode, dan teknik Ilmu Alam dalam memahami realitas (saintisme). Pertemuan Positivisme dan Ilmu Alam tidak terlepas dari semangat keilmuwan pada saat itu untuk menjadikan ilmu sosial (termasuk hukum) netral (bebas nilai) dari kepentingan subyektif demi dicapainya obyektivitas dan kepastian yang terukur. Untuk itu ilmu hukum dibebaskan dari hermeneutika dan diharuskan mengikuti cara kerja (metode) kuantitatif ilmu pasti sehingga bukan suatu kebetulan jika penganut aliran ini mengagungkan kepastian hukum. Sebagaimana ditekankan Comte, positivisme selalu menekankan bahwa pengetahuan tidak boleh melampaui fakta. Dengan pernyataan ini, Comte ingin memisahkan ilmu pengetahuan dengan segala sesuatu yang berbau metafisika. Bahkan, Comte hendak meleyapkan penyelidikan filosofis yang tak kunjung selesai dan karena dianggap sia-sia dan tidak menghasilkan apa-apa, sebagaimana yang dilakukan metafisika. Karena itu, positivisme membatasi penyelidikan hanya pada ”fakta” (Wigjoesoebroto, 2001:1-2). Dalam rangka kepentingan memberikan jaminan kepastian hukum, positivisme hukum mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulasinya dan mengindentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan. Hanya dengan mengindentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan kepastian hukum akan diperoleh karena orang tahu dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Pemikiran ini mengimplikasikan perpisahan tajam antara hukum dan moral. Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, melainkan karena telah ditetapkan oleh penguasa yang sah. Epistemologi Positivisme Hukum yang semula kritis terhadap Hukum Kodrat, menyudahi kekritisannya ketika menganggap Positivisme Hukum merupakan aliran paling akhir dan paling mutlak dari ilmu hukum. Epistemologi Positivisme Hukum yang semula adalah filsafat yang begitu kritis terhadap Hukum Kodrat, bukannya meneruskan kritik atas ”dirinya” , melainkan menutup pintu kritik sehingga dialektika dianggap telah usai. Artinya, kaum Positivisme Hukum benar-benar menganggap ”kebenaran” ilmu dan praktik hukum telah final pada titik garis Positivisme Hukum, sehingga merasa tidak akan ada perkembangan baru di waktu mendatang. Sebuah monumen yang menjadi tanda usainya dialektika dalam ilmu dan praktik hukum adalah kodifikasi (Llyod, 1973:100). Penganut Positivisme percaya apabila sistem logika tertutup diikuti maka hanya akan menemukan satu kebenaran (kebenaran obyektif). Oleh karena hanya ada satu kebenaran atau kebenaran tunggal, maka penafsiran undang-undang harus monotafsir, terutama yang paling mungkin dilakukan adalah penafsiran gramatikal dan otentik. Walaupun silogisme penting dan perlu, dalam praktik penalaran hukum tidak sesederhana dan linier itu. Aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor selalu memerlukan interpretasi dalam konteks kenyataan faktual yang konkret. Selain itu, dinamika kehidupan selalu memunculkan situasi baru yang terhadapnya belum ada aturan eksplisit yang secara langsung dapat diterapkan. Itu 4
sebabnya, aturan hukum selalu mengalami pembentukan dan pembentukan ulang (dengan interpretasi). Premis minornya berupa fakta yuridis, yakni fakta-fakta dari sebuah kasus dalam masalah hukum, juga tidak begitu saja terberi, melainkah harus dipersepsi dan dikualifikasi dalam konteks aturan hukum yang relevan, untuk kemudian diseleksi dan diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori hukum. Jadi, fakta yuridis bukanlah “bahan mentah”, melainkan fakta yang sudah diinterpretasi dan dievaluasi (Wigjoesoebroto, 2001:1-2). Namun persoalannya, interpretasi dalam silogisme seperti dalam sangkar besi (iron cage), karena jawaban (konklusi) diam-diam sebenarnya sudah “tersedia” dalam premis mayor. Dalam silogisme, norma yang didudukan sebagai premis mayor diasumsikan lebih luas dari fakta (premis minor). Premis mayor berposisi sebagai “konsep ortodoksi” yang secara aksiomatis dianggap mampu mencakup, melingkupi, bahkan mengantisipasi semua persoalan di masyarakat. Semua fakta ditampung dalam norma, sehingga norma dalam premis mayor mengikat dan menyerap fakta-fakta apa pun permasalahannya. Ketika norma hukum menjadi ukuran seragam bagi semua perbuatan manusia, cenderung akan mereduksi perbuatan manusia yang unik ke dalam standar tertentu. Menurut Hart (1961, 1994: 302), apabila dipetakan, positivisme hukum mempunyai banyak varian atau menampung banyak pandangan sebagai berikut: (1) bahwa hukum adalah wilayah kekuasaan manusia; (2) bahwa tidak ada hubungan perlu atau niscaya antara hukum dan moral, atau hukum sebagaimana adanya dan hukum sebagaimana seharusnya; (3) bahwa analisis atau studi atas makna konsep-konsep hukum merupakan studi penting yang harus dibedakan dari (meskipun sama sekali tidak bertentangan dengan) penelitian sejarah, penyelidikan sosiologis, dan penilaian kritis atas hukum dalam tinjauan moral, fungsi-fungsi, tujuan-tujuan, dan lain-lain; (4) bahwa suatu sistem hukum merupakan ‘sistem logika tertutup’ di mana keputusankeputusan yang benar bisa dihasilkan dengan bersumber dari peraturan-peraturan hukum yang tertentukan sebelumnya melalui sarana logika semata; (5) bahwa penilaian moral tidak bisa dibangun, tidak seperti pernyataan-pernyataan fakta, melalui argumen rasional, kejadian atau pembuktian (‘non kognitivisme dalam etika’). Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Karena itu, positivisme logis harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan benar, salah, atau tidak memiliki arti sama sekali. Sebuah pernyataan, menurut positivisme logis, dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris berdasarkan hubungannya dengan data atau fakta dan juga bisa diterima secara logis (Keraf dan Dua, 2001). Kekuatan positivisme logis terletak pada verifikasi. Setiap proposisi yang ilmiah dan logis berarti proposisi yang bisa diverifikasi dengan data. Konsekuensi dari cara pandang positivisme logis ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat diverifikasi secara empiris dan logis, termasuk di antaranya adalah etika dan estetika, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga digolongkan ke dalam metafisika. Prinsip verifikasi ini mempengaruhi bidang bahasa. Hakikat bahasa, menurut Positivisme Logis, selain sebagai suatu penggambaran empiris juga secara prinsip harus dapat diverifikasi. Oleh karena itu, makna suatu kalimat itu adalah terletak pada prinsip verifikasinya. Prinsip verifikasi ini mempunyai 2 (dua) tujuan; (a) verifikasi dimaksudkan untuk menghilangkan metafisika, dan (b) verifikasi dimaksudkan untuk klarifikasi bahasa ilmiah (Kaelan, 2004:222). Menurut Posivisme Logis bahwa kalimat yang mengandung metafisika pada hakikatnya tidak mempunyai makna apa-apa. Misalnya kalimat yang menyatakan “putusan hakim itu adil” atau yang menyatakan “putusan hakim itu tidak adil”, keduanya menurut Positivisme Logis sama-sama tidak bermakna. Keadilan mengandung metafisika sehingga tidak bisa diverifikasi secara empiris. Pemikir Posivisme Logis, Rudolf Carnap, menjelaskan bahwa dalam wilayah metafisika termasuk semua filsafat nilai dan teori 5
normatif hanya akan menghasilkan hal yang negatif dan tidak bermakna, sebagaimana dikutip oleh Ayer (1959:76), Carnap menyatakan sebagai berikut: In the domain of metaphysics, including all philosophy of value and normative theory, logical analysis yields the negative result that the alleged statements in this domain are entirely meaningless. Bahasa adalah rumah berpikir, sehingga logika erat hubungannya dengan bahasa. Aristoteles dalam Organon atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Logika Tradisional itu mengajarkan butir-butir pemikiran yang bertaut erat dengan bahasa meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan pikir, penyimpulan langsung dan sesat pikir. Bagi Aristoteles, proposisi merupakan suatu ungkapan yang mengandung kemungkinan benar atau salah. Akan tetapi dalam perkembangan filsafat selanjutnya pengertian proposisi yang demikian menjadi kabur atau tidak jelas, karena dalam bahasa filsafat acapkali dijumpai ungkapan yang disebut proposisi namun tidak mengandung kemungkinan benar atau salah (Mustansyir, 2007:25). Beranjak dari “kekacauan bahasa” yang demikian itu, filsuf analitis Ludwig Wittgenstein dalam pemikiran filsafat bahasa periode I yang yang diungkapkan dalam Tractatus Logico-Philosophicus, mengajukan konsep tentang “makna” (meaning) untuk membedakan antara ungkapan yang bermakna (meaningful) dengan ungkapan yang tidak bermakna (meaningless). Pemikiran fisalfat analitis Wittgenstein mendapat respon positif dari kalangan Positivisme Logis. Wittgenstein (1961:37-46) menekankan pada pada suatu bahasa ideal yang mendasarkan pada teori gambar (picture theory). Melalui teori gambar, Wittgenstein berpendapat bahwa hakikat makna bahasa merupakan suatu penggambaran realitas dunia fakta yang diletakkan dalam struktur logika. Oleh karena itu, hakikat makna bahasa merupakan suatu gambaran logis tentang realitas. Artinya, struktur logis makna bahasa menggambarkan struktur logis realitas yang diwakilinya. Karena struktur logis bahasa merupakan gambaran struktur logis dunia fakta, maka hakikat makna bahasa tertuang dalam suatu proposisi yang secara tidak langsung merupakan suatu “gambar logis” dari situasi yang diwakilinya. Misalnya, A menjadi suatu gambar logis dari realitas B. Untuk itu terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi; (1) harus ada hubungan satu dan lainnya tentang komponen A dan komponen B; (2) untuk setiap ciri atau bentuk dari sruktur A harus ada hubungan dengan ciri atau bentuk dari struktur B; (3) harus ada aturan dari proyeksi yang menghubungkan komponen A dan B. Konsep logika bahasa Wittgenstein tersebut merupakan dasar fundamental dari konsep Positivisme Logis, sehingga langkah berikutnya Positivisme Logis mengembangkan analisis terhadap pengetahuan dan metode pada matematika dan logika. Dalam hubungan inilah Positivisme Logis tiba pada suatu kesimpulan bahwa filsafat tidak akan mampu memecahkan problema-problema dalam ilmu pengetahuan, kecuali memberikan suatu penjelasan yang logis. Positivisme Logis secara ambisius mengembangkan kesamaan bahasa bagi seluruh ilmu pengetahuan. Bahasa fisika, menurut Carnap, merupakan bahasa universal dan disebut fisikalisme. Fisikalisme bermaksud menyangkal setiap perbedaan prinsipiil antara ilmu pengetahuan alam dengan pengetahuan budaya, sehingga seluruh gejala fisika, psikis, dan kultural dapat dikembalikan kepada gejala empiris sehingga fisikalisme menjadi bahasa universal (Bertens:1981:174). Konsekuensinya, jika fisikalisme digunakan sebagai sistem dalam bahasa ilmu, maka tidak ada tempat bagi metafisika. Terdapat perbedaan perbedaan prinsipil antara Wittgenstein dengan Positivisme Logis dalam memandang metafisika. Wittgenstein menyatakan bahwa ungkapan metafisika termasuk di dalamnya filsafat nilai, estetika, dan etika pada hakikatnya tidak bermakna dalam arti tidak mengungkapkan dunia empiris. Terhadap metafisika, Positivisme Logis memiliki sikap lebih radikal dibanding Wittgenstein. Karena metafisika dipandang tidak bermakna, menurut Positivisme Logis, maka ia harus dihilangkan. Para pemikir filsafat analitis bermaksud melakukan ‘pemurnian bahasa’ 6
dengan menghilangkan kekaburan arti (vagueness), makna ganda dalam bahasa (ambiguity), ketidak-eksplisitan (inexplicitness), dan menolak sama sekali metafora karena dianggap tidak memberi kepastian dan tidak bisa diverifikasi. Implikasi verifikasi terhadap bahasa ini juga berpengaruh pada bahasa hukum. Dalam bahasa hukum, disadari atau tidak, juga dilakukan pemurnian bahasa, misalnya menggunakan bahasa yang rigid, pasti, jelas, dan tidak bermakna ganda, sehingga setiap kata dan kalimat mencapai penjelasan yang lebih pasti tentang artinya. Dalam konteks bahasa hukum, misalnya, dibedakan tiga jenis penggunaan bahasa, yakni deskriptif, evaluatif, dan preskriptif. Pernyataan deskriptif adalah kalimat-kalimat yang dapat diklasifikasikan sebagai “benar” dan “tidak benar”. Ke(tak)benaran dari pernyataan deskriptif pada dasarnya ditentukan oleh pengujian atau verifikasi pernyataan pada kenyataan. Pernyataan seperti “Pada tahun 1919 HR mengeluarkan Arrest Lindebaum Cohen” – benar atau tidaknya tergantung pada keberhasilan verifikasi. Jenis bahasa yang kedua adalah bahasa evaluatif, digunakan untuk menilai atau mengevaluasi. Misalnya, “Pada tahun 1919 HR mengeluarkan Arrest Lindebaum Cohen yang adil”. Adil adalah sebuah penilaian atau bersifat evaluatif dan tidak bisa diverifikasi secara empiris. Sehingga, dalam bahasa hukum, bahasa evaluatif sering dihindari karena tidak memberi kepastian, kalau pun digunakan hanya untuk asas-asas hukum yang abstrak. Terakhir, penggunaan bahasa preskriptif ditujukan untuk mengarahkan perilaku manusia, biasanya dapat dikenali dari istilah-istilah deontis seperti “wajib”, “dilarang” dan sebagainya. Misalnya, dalam bentuk perintah (pengendara motor wajib mengenakan helm), atau larangan (dilarang mengambil barang milik orang lain), dan sebagainya. Maka, agar frasa itu bisa diverifikasi harus dipositifkan dalam undang-undang. Misalnya, frasa “dilarang mengambil barang milik orang lain” agar bisa diverifikasi harus dipositifkan (ius constitutum) menjadi rumusan pasal 362 KUHP yakni “barang siapa mengambil barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum.” Sehingga dalam optik preskriptif, untuk memverifikasi ada tidaknya larangan pencurian tinggal membuka atau meneliti dalam kitab undang-undang (Recht en Taal, 2007:29). C. Media Massa Media massa adalah media saling silang pesan antar massa. Pengertian media massa menurut Sudarman (2008:5-6), media massa merupakan media yang diperuntukkan untuk massa. Oleh karena itu, memahami posisi media massa dan saling silang pesan antar massa adalah hal yang penting (Pareno, 2005:7). Dengan demikian, media massa adalah alat yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan instrumen komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara, 2000:134-135). Tujuan media dalam masyarakat antara lain yaitu: informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan, mobilisasi dll (McQuail,1989:70). Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk komunikasi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia saat ini. Dari sinilah informasi dibawa dan disampaikan kepada melalui berbagai media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Media massa mengacu pada media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara masal pula (Bungin, 2007:71). Fungsi media massa menurut Sudarman (2008:7-8) antara lain menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), mempengaruhi (to influence), memberikan responsibilitas sosial (to social responbility), dan penghubung (to linkage). Menginformasikan di sini adalah media massa merupakan tempat untuk menginformasikan peristiwa-peristiwa atau hal-hal penting yang perlu diketahui oleh khalayak. Selanjutnya adalah mendidik yang mana berarti tulisan di media massa dapat mendorong perkembangan 7
intelektual, membentuk watak dan dapat meningkatkan keterampilan serta kemampuan yang dibutuhkan para pembacanya. Media massa juga bisa berfungsi untuk menghibur di mana media massa dapat memberikan hiburan atau rasa senang kepada pembacanya atau khalayak. Selain menghibur, media massa juga dapat mempengaruhi di mana pengaruhnya dapat bersifat pengetahuan, perasaan, maupun tingkah laku. Selai itu, media massa juga dapat memberikan responsibilitas sosial di mana media massa dapat menanggapi fenomena dan situasi sosial atau keadaan sosial yang terjadi. Dan yang terakhir adalah media massa dapat menghubungkan unsur-unsur yang adadalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung ataupun tak langsung. Rivers (2003 : 19-20) mengungkapkan beberapa karakteristik komunikasi massa, yaitu sifatnya satu arah hanya dari komunikator kepada khalayak; setiap media memilih khalayaknya karena pada dasarnya media melakukan segmentasi audien dan hal ini juga dilakukan untuk meraih khalayak sebanyak mungkin; media memiliki kemampuan manjangkau khalayak secara luas dan ini mendorong proses produksi informasi standar secara massal; dan komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya. Media massa pada dasarnya adalah perangkat teknis yang dipergunakan dalam proses komunikasi atau penyampaian pesan. Komunikasi menjadi mesin pendorong proses sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi antarmanusia dan membantuk manusia sebagai makhluk sosial. Komunikasi sudah menjadi integral dengan manusia sejak manusia ada, yang wujud primer antara lain bahasa, gerak tubuh, imitasi, dan pola perilaku sosial. Sementara itu komunikasi membutuhkan perangkat komunikasi atau teknik sekunder yang mencakup berbagai peralatan untuk berkomunikasi. Teknik sekunder ini muncul pada masyarakat yang telah memiliki peradaban yang cukup tinggi untuk memanfaatkan perangkat komunikasi. Alat sekunder ini bentuk fisiknya bermacam-macam dari yang sederhana sampai yang canggih tetapi fugsinya sama yaitu memudahkan komunikasi, terutama dalam situasi di mana komunikasi sedehana (tatap muka) tidak dimungkinkan. Semua teknik sekunder menyajikan secara tidak langsung proses primer penyebaran pola perilaku sosial. Media massa sebagai perangkat komunikasi dipergunakan dalam proses komunikasi massa yang melibatkan khalayak luas. (Rivers, 2003 : 26-27) Sesuai dengan konsep Habermas tentang publicsphere, media massa dapat didudukan sebagai salah satu ruang publik. Ruang publik yang dimaksud adalah ruang di mana negara dan masyarakat, individu-individu di dalamnya memeiliki kesempatan dan peran yang setara untuk melibatkan diri dalam dirkursus tentang berbagai isu permasalahan bersama untuk mendapatkan konsensus di antara mereka. Peran media secara ideal adalah mewadahi atau sarana berbagi informasi, jalur komunikasi yang diperlukan untuk nentukan sikap dan menfasliitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan diri secara independen dan otonom sehingga berbagai isu dapat diperdebatkan secara obyektif dan setara. (Sudibyo, 2001 : vii) Media massa memiliki keterkaitan yang erat dengan masyarakat. Bahkan dalam sistem sosial, media massa menjadi salah satu institusi sosial yang memiliki potensi dan efek yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat, sebagai sumber kekuatan perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial politik. Sekaligus juga sebaliknya, media massa memiliki ketergantungan terhadap kehidupan politik (Arifin, 1992 : 17). Media massa dalam suatu negara terikat dalam jejaring sistem sosial dan politik, sebagaimana dijelaskan oleh McQuail (1989 : 75-76) sebagai berikut: Media massa sebagai bagian dari sistem kenegaraan, maka kalangan otoritas kebijakan negara (society/nation) akan menentukan mekanisme operasionalisme media massa dalam menjalankan fungsinya sesuai kepentingan nasional/negara. Di lain pihak, pemerintah dan politisi memerlukan media massa untuk memperkenalkan gagasan mereka kepada masyarakat. Hal di atas dapat dilihat bagaimana fungsi media berjalan dalam aktivitas politik ketika secara rutin media melakukan 8
pendapat dari sekitar aktivitas para pelaku politik dan kebijakan pemerintahan dalam memberikan keputusan untuk menjalankan roda pemerintahan ke ruang publik (public sphere). Pada banyak kasus, pemberitaan media cenderung memarjinalkan kelompok masyarakat bawah. Dalam pemberitaan mengenai unjuk rasa atau tuntutan petani yang sedang menuntut hak atas tanah, misalnya, para petani sering digambarkan sebagai kelompok yang anarkis, berlainan dengan pihak pengusaha perkebunan yang digambarkan secara baik. Kaum buruh yang berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji, dalam banyak pemberitaan juga seringkali digambarkan sebagai pihak yang membuat onar, menimbulkan kemacetan dan keresahan. Sebaliknya, gambaran pengusaha yang tidak adil cenderung kurang mendapat liputan yang memadai. (Sobur, 2001: 40). Sementara itu pemilik media (media owner) memperlakukan media massa sebagai sarana bisnis, sedangkan bagi para komunikator terutama wartawan yang ditujuan adalah kepuasan profesi dan idealisme. Bagi kalangan masyarakat tertentu berupaya memanfaatkan media massa sebagai infrastruktur kekuasaan. Adapun regulasi, kebijakan perundang-undangan, peraturan-peraturan mengenai media merupakan refleksi keterlibatan kalangan kelas dominan (dominant class) dalam kehidupan media massa. Sementara kalangan masyarakat umum (subordinate class) mengharapkan media massa mewakili dirinya sebagai alat kontrol sosial dan perubahan. Dalam banyak kasus media, terutama yang berhubungan dengan peristiwa yang melibatkan pihak dominan selalu disertai dengan penggambaran buruk pihak yang dominan. Dalam pemberitaan media massa memang selalu ada pihak yang dirugikan dan pihak yang diuntungkan. Memang persoalannya adalah bahwa media dapat bertindak tidak netral. Penggunaan atribut-atribut tertentu dari media dapat mengkondisikan pesan-pesan yang dikomunikasikan. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan, “the medium is the message,” medium itu sendiri merupakan pesan. “apa-apa yang dikatakan” ditentukan secara mendalam oleh medianya. Terlebih lagi jika disadari bahwa di balik pesan-pesan yang disalurkan lewat media niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan, mitos sebagai sistem signifikansi, mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada kepentingan mereka yang berkuasa (Sobur, 2001:37). Salah satu fungsi klasik media massa ialah menjadi wacana pembentukan pendapat umum. Media memiliki kemampuan dalam membentuk pendapat umum, aktivitas politik dan para pengambil kebijakan publik yang tidak dapat dipisahkan dari peran media dan media yang memiliki fungsi menyebarluaskan informasi dan ide serta sebagai penjaga (watch dog). Tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai hal- hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mengonstruksikan realitas. Laporan tentang kegiatan orang yang berkumpul di sebuah lapangan terbuka guna mendengarkan pidato politik pada musim pemilu, misalnya, adalah hasil konstruksi realitas mengenai peristiwa yang lazim disebut kampanye pemilu itu. Begitulah setiap hasil laporan adalah hasil konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan. Pada prinsipnya setiap upaya menceritakan sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik hingga hiburan adalah usaha mengkonstruksi realitas. Penyusunan realitas secara subyektif juga terjadi dalam pembuatan dan penulisan berita. Dari yang awalnya berbentuk data atau fakta yang acak dan terpenggal-penggal menjadi sistematis dalam bentuk realitas simbolik berupa berita dan cerita. Dengan demikian, sesungguhnya berita-berita yang dikonsumsi khalayak setiap hari adalah realitas (peristiwa, keadaan, benda) yang telah dibahasakan oleh para komunikator massa (Saripudin, 2003:15). Apa yang disiarkan media adalah produk intelektual yang penuh dengan muatan dan kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari pemilik, pengelola dan pendukung media itu sendiri. Artinya, media bukan sekedar pelaku dalam proses konstruksi realitas sosial dalam sebuah arena publik, tetapi juga wadah bagi 9
segala subjektivitas kepentingan berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat, termasuk di dalamnya ideologi profesional yang secara riil dipraktekkan para pekerja media (Saripudin, 2003:17). Di sini, realitas yang ditampilkan dalam teks media dipenuhi oleh unsur kepentingan. Dengan cara lain, dalam melihat pertalian media dengan realitas empiris, keberadaan media ditentukan oleh kerangka konseptual yaitu apakah media membentuk (moulder) ataukah sebaliknya dibentuk (mirror) realitas empiris. Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemologis dalam kajian media, hubungan antara masyarakat dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara masyarakat empiris dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik. Aliran pertama, bahwa media membentuk realitas empiris bertolak dari pandangan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus–respons dalam behaviorisme. Teori media dalam landasan positivisme ini terdiri atas varian pengaruh, pertama: menimbulkan peniruan langsung (copycat), kedua: menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas dari tekanan psikis (catharsis). Sedang dengan landasan kultural, berkembang pula perspektif kritis yang melihat pengaruh media adalah dalam menyampaikan dan memelihara dominasi ideologi borjuis. Paradigma positivistik melihat proses komunikasi mengarah pada terciptanya konsensus dan kesamaan arti. Oleh karena itu, media dilihat sebagai saluran yang bebas, tempat beragam pandangan bertamu dan bersatu. Paradigma ini percaya bahwa masa depan dapat diprediksikan dan dikontrol. Dalam studi penelitian isi media, paradigma ini dikembangkan oleh Universitas Chicago (Amerika) dan berkembang terutama dalam tradisi penelitian di Amerika dan Eropa, Asia serta Australia. Titik perhatian dari paradigma ini terutama pandangan bahwa proses komunikasi melalui proses yang linear, dari sumber ke penerima melalui media. Paradigma ini terutama banyak mengembangkan studi mengenai efek media. Titik berat pada studi mengenai efek media ini terutama didasarkan pada model Shannon dan Weaver yang melihat komunikasi sebagai proses yang linear. Paradigma positivistik juga menekankan objektivitas bahwa fenomena dunia dapat dijelaskan dengan hukum-hukum yang objektif, rasional, dan dapat diuji. Oleh karena itu, objek kajian dari positivistik ini pada umumnya konkret dan individual sifatnya. Penelitian, misalnya menekankan pengaruh media terhadap perilaku memilih atau membeli produk (Eriyanto, 2001: 3, 47-48). Aliran kedua menempatkan media sebagai teks yang merepresentasikan makna, baik makna yang berasal dari realitas empiris maupun yang diciptakan oleh media. Dengan demikian realitas media dipandang sebagai bentukan makna baik karena bersifat imperatif dari faktor-faktor yang berasal dari realitas empiris, maupun berasal dari orientasi kultural pelaku media. Dari sini media dilihat pada satu sisi sebagai instrumen dari kekuasaan (ekonomi dan/atau politik) dengan memproduksi budaya dominan untuk pengendalian(dominasi dan hegemoni) masyarakat, dan pada sisi lain dilihat sebagai institusi yang memiliki otonomi dan independensi dalam memproduksi budaya dalam masyarakat. Di lain sisi paradigma kritis digunakan dalam studi analisis teks berita yang berpandangan bahwa berita bukanlah sesutu yang netral, dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Media sebaliknya adalah ruang di mana kelompok dominan menyebar luaskan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan. Demikianlah, minat khusus dari analisis wacana dalam pemberitaan adalah menemukan dan mengkritisi bagaimana kelompok minoritas wanita, buruh pabrik, imigran gelap, petani penggarap, komunis, diberitakan dan dimarjinalkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001:49). Dalam buku Analisis Framing, Eriyanto menuliskan bahwa media massa bukanlah sekedar alat untuk menyalurkan pesan saja, didalamnya ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya (Eriyanto, 2005:23). Disini 10
berita dihasilkan bukan hanya menggambarkan realitas saja, tetapi juga merupakan hasil dari konstruksi media itu sendiri. Media massa dipandang sebagai agen konstruksi yang mendefinisikan realitas. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Karena itulah, fakta yang terkandung didalamnya sudah mengalami penyaringan dari media itu sendiri. Dalam buku Politik Kuasa Media yang ditulis oleh Noam Chomsky dijelaskan bahwa fakta di media massa hanyalah hasil rekonstruksi dan olahan para pekerja redaksi. Walaupun mereka telah bekerja dengan menerapkan teknik-teknik presisi, tetapi tetap saja kita tidak dapat mengatakan bahwa apa yang mereka tulis adalah fakta yang sebenarnya (Chomsky, 2006:5). Media massa melakukan pemberitaan dilandasi dengan pertimbangan etika yang secara praktis dapat ditunjukkan melalui komitmennya untuk melakukan kinerja yang profesional. Profesionalitas ini akan terlihat dalam performen pemberitaan media massa, yakni kemampuan media massa untuk menyajikan pemberitaan yang obyektif. Persoalan obyektivitas pemberitaan ini memang menjadi perdebatan yang pelik, mengingat setiap media massa, setiap pewartanya memiliki aspek subyektivitas, terlebih dengan berbagai faktor penentu dan proses dalam newsroom media massa dipandang tidak mungkin seratus persen obyektif. Denis McQuail (1989 : 96-210) mencoba mengembangkan kerangka obyektivitas dalam pemberitaan. Suatu pemberitaan memiliki wilayah kognitif yang merupakan pengamatan empiris, dan wilayah evaluatif yang meliputi netralitas (neutrality) dan keseimbangan (balance). Aspek kognitif erat hubungannya dengan faktualitas (factuality), yaitu kualitas informasi yang dikandung dalam berita yang menunjukkan realitas peristiwa. Aspek ini meliputi kebenaran (truth), penginformasian (informativeness) dan relevansi (relevance). Kebenaran dapat diukur melalui apakah pemberitaan itu sudah menampilkan fakta yang sebenarnya (factualness), akurat (accuracy), dan lengkap (completeness). Penginformasian berhubungan dengan proses membangun pemahaman dan pembelajaran tentang sesuatu. Sedangkan relevansi mengacu pada kesesuaian pemberitaan dengan kriteria-kriteria tertentu, yakni teori normatif (normative theory), nilai dan praktek jurnalistik (journalistic), khalayak (audience) dan dunia nyata (real word). Aspek evaluatif berkaitan dengan imparsialitas/ketidakberpihakan (impartiality), yakni ada tidaknya upaya sistematis untuk menonjolkan satu sisi di atas yang lain, terutama dalam masalah kontroversial dengan tujuan menggiring khalayak secara konsisten ke arah tertentu. Aspek evaluatif ini meliputi keseimbangan (balance) dan netralitas (neutrality). Balance berhubungan dengan akses yang seimbang antara pihak yang terkait, dan berhubungan pula dengan seleksi atau penghilangan fakta-fakta tertentu yang dipandang merupakan nilai atau ekspresi pusat perhatian (point of view) mengenai apa yang dianggap fakta oleh pihak-pihak terkait. Sedangkan netralitas berhubungan dengan persoalan penyajian atau presentasi fakta, yakni yang tidak melakukan pencitraan tertentu (non-evaluative) dan tidak mendramatisir penyajian (non-sensational). D. Peran Bahasa Hukum dalam Media Massa Dalam membicarakan dan penggunaan bahasa hukum, terdapat tiga kriteria utama, menurut Bhatia (2010:37); pertama kejelasan (clarity) yang dimaknai sebagai bahwa teks hukum harus jelas penggunaannya sehingga dapat dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan. Apabila kadang-kadang terdapat kekaburan dalam penafsirannya (vagueness), maka perlu diberikan penjelasan agar tidak dimaknai berbeda, sehingga pemaknaan lain dapat dihindari. Kedua, teks hukum harus mengandung ketidaktaksaan (unambiguity), ketaksaan muncul diakibatkan ketidakjelasan makna, ketidaktersusunan 11
sintaksis dengan baik dan pemilihan kata yang kurang tepat. Ketiga, teks hukum harus bersifat presisif, dalam artian bahwa penulisan teks hukum harus bernas (concise). Hal ini dapat dicapai salah satunya melalui proses penulisan nominalisasi yang cukup banyak. Yang terakhir adalah teks hukum harus inklusif, kriteria ini berkaitan dengan spesifikasi teks hukum sehingga produksi putusan selalu bersifat dapat diakses oleh lebih banyak pihak. Di samping itu, penggunaan bahasa hukum dan penuangan wawasan dan gagasannya ke dalam kata-kata, kalimat, dan ungkapan perlu dilihat juga dari sudut pembacanya, yakni bagaimana pembaca mengartikannya, memahaminya, dan menafsirkannya. Nasihat Montesquieu–sebagaimana dikutip oleh C.K. Allen dalam Soeprapto (1998), untuk menggunakan bahasa hukum dalam peraturan perundang-undangan barangkali ada baiknya diperhatikan hal-hal berikut: (1) Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana; (2) Istilah yang dipilih sedapatnya bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan maksud agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat secara individual; (3) Hendaknya membatasi diri pada yang riil dan aktual, serta menghindarkan diri dari kiasan dan dugaan; (4) Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja; hendaknya tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada pada rata-rata manusia; (5) Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, pembatasan, atau pengubahan, kecuali apabila dianggap mutlak perlu; (6) Hendaknya tidak ‘memancing perdebatan/perbantahan’; adalah berbahaya memberikan alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu pertentangan; dan (7) Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah mengandung manfaat praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan serta kewajaran yang alami; karena peraturan yang lemah tidak diperlukan, dan yang tidak adil akan menyebabkan seluruh sistem peraturan dalam reputasi yang jelek dan karena itu mengguncangkan kewibaan negara. Berdasarkan norma-norma hukum yang ada, maka jelas bahwa naskah (teks) hukum yang mengandung tujuan-tujuan yuridis tertentu menjadikan bahasa yang digunakan mengandung kekhasan tersendiri. Dengan kata lain, bahasa hukum memiliki aturan main atau penggunaan bahasa tersendiri dengan rujukan realitas yang berbeda yang berdasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku secara material. Ini mengandung arti bahwa kadangkala menerima pengecualian/kekhasan tertentu sebagai hal biasa, sedang pada saat yang sama dalam bahasa sehari-hari hal itu kurang berterima. Ragam bahasa hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan harus mengikuti norma hukum yang berlaku dalam sistem peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan perundangundangan yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif agar dapat diterapkan pada peristiwa yang tepat dan dapat diberikan penafsiran/interpretasi seandainya ada peristiwa hukum yang konkrit. Penafsiran undang-undang itu pada dasarnya selalu akan merupakan penjelasan dari segi bahasa. Titik tolak di sini adalah bahasa sehari-hari. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh dari hanya sekedar “membaca undang-undang”. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Suatu norma hukum disebut bersifat abstrak jika rumusannya berisi nilai-nilai baik buruk sehingga harus dilarang (prohibere), disuruh (obligatere), ataupun dibolehkan (permittere) yang tidak secara langsung dikaitkan dengan subyek-subyek, keadaan atau peristiwa konkrit tertentu. Misalnya, dalam perumusan kalimat “Barangsiapa dengan sengaja mengambil hak milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya yang sah, dihukum dengan ancaman pidana sekurang-kurangnya 5 tahun”. Ketentuan di atas sama sekali tidak terkait dengan kasus tertentu, peristiwa atau keadaan tertentu yang sudah ada sebelumnya 12
(retrospektif), sehingga dapat disebut bersifat konkrit (concrete norms). Di samping itu, subjek yang ditunjuk dalam kalimat tersebut juga bersifat umum atau abstrak, yaitu dengan menggunakan perkataan “barangsiapa”. Artinya, subjek yang termasuk dalam ketentuan itu adalah siapa saja yang memenuhi kualifiksi sebagaimana yang dimaksud dengan ketentuan tersebut, yaitu “siapa saja yang dengan sengaja mengambil hak milik orang lain tanpa persetujuan pemilikinya yang sah”. Oleh karena itu, rumusan ketentuan normatif dalam kalimat di atas dikatakan berisi kaidah hukum yang bersifat umum (general norms), karena daya ikatnya tidak terkait dengan subjek-subjek hukum tertentu saja, melainkan kepada siapa saja yang karena kesengajaan atau ketidaksengajaan memenuhi kualifikasi yang dimaksud (Mertokusumo, 2003:160-162). Berdasarkan norma-norma hukum yang ada, maka jelas bahwa naskah (teks) peraturan perundang-undangan yang mengandung tujuan-tujuan yuridis tertentu menjadikan bahasa yang digunakan mengandung kekhasan tersendiri. Dengan kata lain, bahasa peraturan perundang-undangan atau hukum memiliki aturan main atau penggunaan bahasa tersendiri dengan rujukan realitas yang berbeda yang berdasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku secara material. Ini mengandung arti bahwa kadangkala menerima pengecualian/kekhasan tertentu sebagai hal biasa, sedang pada saat yang sama dalam bahasa sehari-hari hal itu kurang berterima. Bahasa hukum secara teknis-yuridis mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum, dan meniadakan manipulasi dan monopoli semantik. Hal ini bertujuan untuk memperoleh keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Oleh karena itu, media massa memiliki bukan hanya peran sosial, politik, demokrasi, ideologi tetapi juga peran hukum yang harus merepresentasikan dengan bahasa hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi kesalahan dalam memberikan informasi ke masyarakat. Dalam membicarakan bahasa hukum dalam media massa, semua pihak berkepentingan agar susunan kata dan bentukan kalimat yang dituangkan dalam proses penulisan bahasa hukum harus sesuai dengan nomenklatur yang ada di dalam peraturan perundang-undangan. Ini dimaksudkan agar pemahaman hukum yang dalam penggunaan bahasa hukum yang diinformasikan dalam media massa dapat memberikan kejelasan secara formil dan materiil kepada masyarakat. E. Bahasa Media Massa Bahasa media massa merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain (Sudaryanto, 1995). Bahasa media massa memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis teks apa yang akan ditulis sesuai dengan tujuan penulisan dengan menggunakan kaidahkaidah tertentu (Lynch, 2000). Namun, bahasa media massa tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Parni Hadi (1997) menyebutkan bahwa bahasa media massa berpedoman pada bahasa Indonesia baku. Bahasa media massa memiliki berbagai cirri khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik, dan kosakata yang digunakannya mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat. Ciri-ciri tersebut merupakan ragam bahasa media massa yang ditujukan kepada pembaca yang luas (masyarakat) yang tingkat pengetahuannya berjenjang. Dengan kata lain bahasa media massa harus dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Oleh karena itu, bahasa media massa sangat mengutamakan kemampuan untuk mengekspresikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya dengan mengutamakan daya komunikasinya (JS Badudu 1988). 13
Kelemahan bahasa media massa di satu sisi mendapatkan legitimasi oleh banyak pihak dan pada sisi lain menjadi alasan pembenar para pewarta untuk tidak memakai bahasa Indonesia baku (standar). Dalam perkembangannya, bahasa media massa semakin jauh dari bahasa Indonesia baku dan membentuk komunitas bahasa tersendiri, dengan segala karakteristiknya. Kelemahan tersebut disebabkan beberapa faktor. Pertama, berita di media massa diperoleh dari nara sumber yang tidak menggunakan bahasa Indonesia baku. Kedua, tidak semua pewarta menguasai penggunaan bahasa Indonesia yang baku. Ketiga, terbatasnya ruang dan waktu sehingga berita yang disajikan berprinsip asal informasi, tidak berpikir jauh tentang bagaimana struktur bahasa, sehingga konvensi bahasa media massa yang seharusnya adalah kelogisan dan inipun kadang-kadang dilanggar (Anshori, 2008). Ragam bahasa media massa memiliki ciri-ciri, yaitu bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami secara mudah; komunikatif karena dalam media massa harus menyampaikan berita yang tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak) dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Dalam ragam bahasa media massa awalan me- dan di- sering ditanggalkan, yang dalam penulisan berbahasa baku harus digunakan. Kalimat Gubernur tinjau daerah banjir dalam bahasa baku akan berbentuk Gubernur meninjau daerah banjir (Chaer dan Agustina, 1995:90-91). Terdapat beberapa penyimpangan bahasa media massa dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku: 1. Peyimpangan Morfologis. Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefik atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Matamata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad; 2. Kesalahan Sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional; 3. Kesalahan Kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalisir dampak buruk pemberitaan; 4. Kesalahan Ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, antarkota ditulis antar kota dll; 5. Kesalahan Pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja tanpa memperhatikan fungsi morfologis kata (Suroso, 2010). Dipandang dari fungsinya, bahasa media massa merupakan perwujudan dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972) sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa media massa itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993) dalam Suroso (2010) disebut retorika tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa media massa. Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukkan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresivitas. 1. Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, 14
dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain. Penyususunan bahasa media massa dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apapun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa media massa Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting. 2. Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami. 3. Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang, wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintakstik yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abrevisi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik. 4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjdi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
15
DAFTAR PUSTAKA Anshori, Dadang S, 2008. Hegemoni Dan Dominasi Bahasa Pejabat Dalam Media Massa Pasca Orde Baru: Analisis Wacana Kritis Tentang Idiom Politik Di Indonesia, makalah disajikan pada acara Seminar dan Lokakarya Nasional, Sabtu 30 Agustus 2008 di Auditorium JICA UPI yang diselenggarakan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI dengan tema ―Peluang dana Tantangan Pengajaran Bahasa Indonesia pada Era Kesejagatan dan Situasi Multikultur. Makalah tidak diterbitkan (t.t.) Arifin, Anwar. 1992. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila. Jakarta: Media Sejahtera. Ayer, A.J, 1959. Logical Positivism, The Free Press, New York: Mac Millan Publishing Co. Badudu, JS. 1988. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Bertens, 198. Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia. Bhatia, V. K. 2010. Legal Writing: Specificity Specification In Legislative Writing: Accessibility, Transparency, Power And Control dalam Coulthard, M. & Allison, J. The Routledge Handbook of forensic linguistics. New York: Routledge. Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Masyarakat. Jakarta: Kencana. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Chomsky, Noam. 2006. Politik Kuasa Media. Yogyakarta: Penerbit Pinus. Eriyanto, 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: Lkis. Eriyanto, 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis. Foucault, M. 2002. “The subject and power”, Power: essential works of Foucault, 1954‐1984, Vol. 3. James Faubion, ed. Harmondsworth: Penguin. Freeman, M.D.A. 2001. Llyods’s, Introduction to Jurisprudence. London: Sweet & Maxwell. Hardiman, F. Budi, 2004. Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Hart, H.L.A., 1961, 1994. The Concept of Law. Oxford: Oxford University Press. Kaelan, 2004. Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein. Yogyakarta:Paradigma. Keraf, A. Sony dan Mikhael Dua, 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Llyod, Dennys. 1973.The Idea of Law. Harmondsworth, Penguin Books. 16
Lynch, G. 2000. Jurnalisme Perdamaian Bagaimana Melakukannya. Surabaya: Media Watch. McQuail, Denis. 1989. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Terjemahan oleh Agus Dharma, Aminuddin Ram). Jakarta: Erlangga. Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta. Mustansyir, Rizal. 2007. Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta:Pustka Pelajar, Cet. II. Pareno, Sam Abede. 2005. Media Massa: Antara Realitas dan Mimpi. Surabaya: Papyrus. Rahardjo, Satjipto, 2005. Berantas Korupsi, Berpikirlah Luar Biasa, Kompas, 14/04/2005. Reah, Danuta.2000. The Language of Newspaper. London: Routledge. Recht en Taal, M.A. Loth, , 2007. Bahasa dan Hukum, diterjemahkan Linus Doludjawa, Jakarta:Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rivers, William L., dkk. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Terjemahan. Haris Munandar dan Dudy Priatna. Jakarta: Kencana Saripudin, H.A. & Qusyaini Hasan. 2003. Tomy Winata dalam Citra Media: Analisis Berita Pers Indonesia. Jakarta: JARI. Sayogie, Frans & Rasyid, Abdur, 2014. Interpretasi Teks Hukum Berdasarkan Pendekatan Positivisme Hukum dan Linguistik Forensik. Jakarta: Puslitpen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shidarta. 2005. Posmodernisme dan Ilmu Hukum, (Makalah disampaikan pada Seminar tentang posmodernisme dan Dampaknya terhadap Ilmu Pengetahuan), 17 Februari 2005. Makalah tidak diterbitkan (t.t.) Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana. Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sudarman, Paryati. 2008. Menulis di Media Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sudaryanto. 1995. Ragam Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran BI. Semarang: Citra Almamater. Suroso. 2010. Pemanfaatan Ragam Bahasa Jurnalistik Di Media Massa, makalah disampaikan dalam pelatihan jurnalistik Forum Wartawan Yogyakarta 24 November 2010 17
Wittgenstein, Ludwig. 1961. Tractatus Logico Philosophicus. London: Routledge & Kegan Paul LTD.
18