BAB I Pendahuluan ; Menggapai Malioboro 1.1. Latar Belakang Dalam tradisi Ilmu Sosial, Kota didefinisikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistic (Bintarto,1977). Adapun Henri Lefebvre memaknai kota sebagai salah satu ruang absolut yang maknanya diproduksi secara sosial. Jauh sebelum itu Plato, seorang filsuf Yunani, pada masa hidupnya sudah mengutarakan konsepnya tentang Kota yang ideal. Ia mendefinisikannya sebagai sebuah pencerminan dari kehidupan dalam ruang jagat yang berdasar pada hubungan manusia dengan sesamanya. Plato juga mendefinisikan kota sebagai sebuah bentuk organisasi sosial dan politis yang memudahkan warganya mengembangkan potensi mereka dan hidup bersama sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kebenaran. Awal dari bentukan kota pun berasal dari sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat dan berdiam berdasarkan suatu tujuan. Dari ketiga uraian di atas maka dapat dikatakan Kota tersusun dari manusia dan ruang, dari usaha keras manusia untuk memproduksi ruang hingga akhirnya ruang yang di bangun dapat dimaknai secara sosial. Dalam konteks ini, kota ditempatkan sebagai species-being dan keberlanjutannya ditentukan oleh praktik sosial. Cara memaknai kota tersebut sangat berbeda dengan Yanto, seorang penjual angkringan di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Bagi 1
Yanto, Kota hanya memiliki satu arti ; tempat mencari nafkah yang lebih baik dari pada tempat tinggalnya di desa. Yanto, tidak pernah berusaha untuk mengerti bagaimana Plato menjelaskan Kota Ideal atau Levebfre mengutarakan pemaknaan ruang secara sosial. Aktivitas Yanto hanyalah bangun pagi, berbelanja, lalu menggelar dagangannya sampai dini hari. Hal itu seperti menandakan tidak ada waktu bagi Yanto untuk sekedar menyempatkan membaca baik karya sastra aapalagi buku bacaan akademis. Di Yogyakarta, penjual angkringan seperti Yanto tidak sedikit jumlahnya. Rata-rata mereka datang ke Yogyakarta untuk mengadu nasib sebagai penjual angkringan. Orang dengan semangat dan tujuan seperti Yanto tersebut bisa menempati setengah dari kepadatan kota. Keberadaan Yanto (dalam upaya mencari rejeki di kota) merupakan salah satu contoh praktik sosial di kota. Makna ekonomi yang mendasari praktik sosial tersebut membuktikan keberadaan kota sebagai tempat produksi. Hal tersebut yang membuat Lefebvre (1991) mengandaikan kota sebagai ruang abstrak karena pada banyak praktik sosial di kota hanya berada pada wilayah produksi material, sedangkan produksi sosial menjadi terabaikan. Kondisi ini yang akhirnya akan mengancam keberlangsungan kota sebagai tempat hidup. Tidak dapat dipungkiri bahwa kota adalah salah satu entitas yang berkaitan erat dengan pengalaman modern kemanusiaan. Walau demikian, bukan perkara mudah untuk memahami hubungan keduanya. Alienasi atau keterasingan manusia dalam pengalaman berkota menunjukkan bahwa hidup di kota tidak bermakna memiliki kehidupan di kota itu sendiri. Mengenai hal tersebut, Henri Lefebvre mengkorelasikannya dengan kemampuan manusia untuk memproduksi ruang
2
hidupnya sendiri. Pendapat tersebut dilandasi thesis bahwa ruang menjadi bagianbagian yang membentuk kota itu sendiri. Dalam kaitannya dengan produksi ruang, Malioboro yang merupakan salah satu pusat kota dapat dijadikan sebagai contoh. Sebagai sebuah ruang, Malioboro dimiliki oleh berbagai jenis aktivitas manusia yang tentu saja menimbulkan pengalaman-pengalaman bermacam-macam. Tentu saja kondisi Malioboro pada saat ini tidak terjadi begitu saja. Beberapa teks sejarah mencatat tentang peran dan posisi Malioboro di dalam dinamika pertumbuhan kota Yogyakarta. Soemardjan (1981) mengemukakan dalam bukunya mengenai posisi Malioboro dalam perubahan sosial dan politik di Indonesia. Sebagai Ibu Kota Indonesia dalam agresi militer Belanda II, Yogyakarta memegang peranan penting dalam proses perjuangan fisik. Salah satunya adalah Serangan Umum Satu Maret 1949 yang dipusatkan di Malioboro. Alasan dipilihnya Malioboro oleh Pour (2009) diartikan sebagai bentuk dukungan Keraton terhadap perjuangan Indonesia. Kondisi Malioboro paska revolusi fisik sedikit disinggung oleh Arwan Tuti Artha dalam bukunya Yogyakarta Tempoe Doloe, 2000. Diceritakan dahulu pada dekade 1970an Malioboro sempat dijadikan tempat berkumpulnya pelbagai komunitas seni, bahkan sampai ada julukan Presiden Malioboro yang disematkan kepada Umbu Landu Paranggi. Banyak kegiatan seni yang berpusat di sana. Selain itu Malioboro telah membentuk sebuah kawasan tempat berkumpulnya berbagai komunitas.
3
Pada tahun-tahun menjelang reformasi, demonstrasi yang terjadi di Yogyakarta berpusat di dua lokasi: Bunderan UGM dan Malioboro. Bahkan sering terjadi long march para demonstran dari berbagai arah menuju Malioboro untuk berkumpul bersama. Kejadian tersebut yang akhirnya menjadikan Malioboro dimaknai sebagai tempat untuk menyampaikan aspirasi secara komunal hingga sekarang. Seiring dengan berlalunya peristiwa-peristiwa tersebut, Malioboro tumbuh menjadi ruang yang terbuka, baik secara fisik maupun gagasan. Hasil dari keterbukaan tersebut menjadikan Malioboro sebagai ruang yang dapat dimaknai secara beragam. Oleh Soja (2000;8) kondisi tersebut di identifikasikan sebagai cityspace yaitu, “kota sebagai fenomena historis-sosial-spasial, tetapi dengan spasialitas intrinsik yang ditekankan untuk tujuan penafsiran dan penjelasan”. Sejurus dengan itu, Malioboro sebagai ruang mempunyai peran spasial yang sangat penting dalam membentuk kontrol. Dalam tahap wacana, bentuk kontrol sering dikerjakan oleh kelompok dominan spasial yang berhasil mengakomodasi wacana mayoritas. Selanjutnya, kontrol tersebut dijalankan guna melaksanakan kepetingan mereka atas ruang tersebut. Dalam penelitian ini, gagasan Henri Lefebvre (1991) mengenai ruang sosial akan digunakan untuk melihat Malioboro. Batasan ruang sosial terletak pada proses pemaknaan yang beragam. Melalui perspektif tersebut, Henri Lefebvre ingin mengemukakan bahwa ruang tidak hanya selesai pada tataran wacana, terlebih-lebih fisik, namun juga diteruskan pada tataran praktik yang berada di dalamnya.
4
1.2. Rumusan Masalah •
Dimanakah ruang sosial Malioboro?
1.3. Tujuan Penelitian Malioboro sebagai sebuah ikon di Kota Yogyakarta dapat dikatakan merupakan sebuah kawasan yang mapan. Sejarahnya yang dinamis dan panjang semakin menguatkan dan mengokohkannya sebagai lanskap kota. Sebagai lanskap kota, dalam gerak dinamika setiap harinya, sudah barang tentu Malioboro mempunyai khasanah yang berbeda dari tempat lain. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran lain tentang Malioboro melalui gagasan ruang sosial. Selain itu, penelitian ini diharapkan untuk dimulainya diskusi-diskusi yang dapat menimbulkan gagasan-gagasan baru tentang praktek ruang di Malioboro. Secara teoritik, pada kesempatan penelitian ini, pemilihan metode Sosiologi Visual sebagai sebuah alat pembuktian juga diharapkan dapat memberikan perspektif baru dalam dunia Sosiologi. Hal itu karena, praktek Sosiologi Visual sudah mulai diperkenalkan oleh para Sosiolog Amerika pada era tahun 70an, belum begitu dikenal di Indonesia. 1.4. Landasan Teori 1.4.1 Produksi Ruang Henri Lefebvre (1991) menyatakan bahwa aktivitas produksi manusia tidak hanya menciptakan produk-produk kebudayaan seperti sistem sosial dan barang-barang konsumsi. Ruang juga merupakan sebuah produk dari sebuah
5
kebudayaan. Menurut Lefebvre ruang sosial adalah produk sosial. Setiap relasi sosial pasti melakukan aktivitas produksi dan pada saat yang sama aktivitas produksi itu memproduksi ruang-ruang yang spesifik dengan kebutuhan produksinya. Oleh karena aktivitas produksi manusia merupakan sebuah bentuk relasi sosial, maka ruang juga merupakan sebuah produk sosial. Hal ini dinyatakan Lefebvre, “A second implication is that every society – and hence every mode of production with its subvariants (i.e. all those societies which exemplify the general concept) – produces a space, its own space … For the ancient city had its own spatial practice: it forged its own – appropriated space” (Lefebvre,1991, 31). Henri Lefebvre meyakini bahwa di dalam ruang, selain means of production, juga terdapat means of control. Dengan demikian, sebuah ruang tentunya memuat dominasi dan kekuatan, seperti yang dikatakannya berikut ini: “(Social) space is a (social) product … the space thus produced also serves as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of production it is also a means of control, and hence of domination, of power; yet that, as such, it escapes on part from those who would make use of it.” (Lefebvre,1991, 26-27). Ruang hidup manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sistem sosial dan pengetahuan. Relasi sosial dalam sebuah masyarakat tidak hanya menciptakan sistem sosial. Sistem itu sendiri tidak mungkin mewujud tanpa ruang yang diciptakan khusus untuk mengakomodasinya. Namun secara berkebalikan pula, setiap ruang yang diciptakan manusia dapat menentukan aktivitas yang satu dengan yang lainnya. Pendek kata, praktik kultural sehari-hari manusia dapat ditentukan oleh ruang-ruang yang diciptakan manusia itu sendiri. Praktik kultural memproduksi
6
ruang dan ruang itu kemudian menentukan praktik kultural yang memproduksi kebudayaan. Praktik kultural yang dilakukan manusia langsung berkenaan dengan produksi dan apropriasi ruang disebutnya sebagai Spatial Practice (Praktik Spasial) yang diungkapkannya sebagai berikut: “…the spatial practice of a society secretes that society’s space; it propounds and presupposes it, in a dialectical interaction; it produces it slowly and surely as it masters and appropriates it. … the spatial practice of a society is revealed through the deciphering of its space. … embodies a close association, within perceived space, between daily reality (daily routine) and urban reality (the routes and networks which link up the places set aside for work, ‘private’ life and leisure). … A spatial pratice must have a certain cohesiveness, but this does not imply that it is coherent (in the sense of intelectually worked out or logically conceived).” (Lefebvre, 1991, 38-39) Lefebvre melihat produksi ruang dalam tiga tataran. Tataran pertama, praktik spasial adalah tataran fisik-material. Proses penciptaan ruang manusia secara fisik-material terjadi ketika manusia mulai membedakan ruang dengan setiap aktivitas yang dilakukannya, dan kemudian menciptakan ruang khusus untuk berbagai keperluan/ kebutuhan, misalnya membangun rumah. Aktivitas manusia ini, tidak akan terjadi tanpa adanya gagasan dan konsep manusia terhadap tempat tinggal ideal. Hal tersebut dapat termanifestasi dalam bentuk pengetahuan (desain maupun filosofi) membangun tempat tinggal. Bentuk proses penciptaan kedua, yaitu Representations of Space (Representasi Ruang). Ruang ini merupakan ruang dalam tataran konseptual atau gagasan akan ruang. Sementara berbagai konsep dan gagasan tersebut tidak akan pernah utuh tanpa pengalaman manusia itu sendiri terhadap ruang hidupnya yang membuatnya menginginkan tempat tinggal. Lefebvre (1991) berargumentasi 7
bahwa Representasi Ruang memiliki dampak pragmatik karena memberi peluang bagi ruang untuk tidak dibaca hanya dari konteks fisiknya saja, melainkan juga konteks tertentu. Konteks inilah yang menuntut hadirnya representasi yang mampu mengintervensi dan memodifikasi situasi dan kondisi ruang tersebut. Pengetahuan dalam hal ini berperan penting untuk membentuk representasi tersebut. Representasi ini berguna untuk “menjaga” ruang tersebut agar tidak hilang ditelan simbolisme atau imajinasi. Ia mengatakan, “Their intervention occurs by way of construction – in other words, by way of architecture, conceived of not as the building of a particular structure, palace or monument, but rather as a project embedded in spatial context and a texture which call for ‘representations’ that will not vanish into the symbolic or imaginary realms.” (Lefebvre, 1991, 42) Konteks Representasi Ruang tidak hanya mencakup “desain” dari ruang fisik. Konsep dan gagasan tentang ruang juga dapat beroperasi pada ruang imajiner. Misalnya saja gagasan sebuah ruang yang terilustrasikan sebagai latar pada sebuah cerita, baik dalam film maupun novel. Dalam hal ini, apa yang seorang sutradara lakukan pada setting film merupakan contoh sederhananya. Walaupun secara fisik ruang yang dimaksud terwujud melalui set-building (sebagai praktik spasial). Namun sebenarnya praktik spasial itu merupakan representasi dari ruang imajiner yang ingin disampaikan oleh sutradara. Gagasan tentang ruang sesungguhnya (yang menjadi latar cerita) tetaplah imajiner, hanya dalam benak sutradara dan para kru film. Ketika terekam dalam film, ruang tersebut tetap merupakan konseptualisasi dari gagasan tentang ruang tertentu.
8
Henri Lefebvre juga menyatakan bahwa pengalaman manusia terhadap ruang juga memproduksi ruang lain yang disebutnya sebagai Space of Representations atau Ruang Representasi. Yaitu, ruang sebagai sebuah pengalaman yang mencakup seluruh pengalaman manusia terhadap ruang, dalam konteks fisik, emosional hingga konseptual. Produk dari Ruang Representasional ini adalah simbolisme yang seringkali (karena tataran simbolik tersebut) dilihat hanya dalam wacana estetika. Lefebvre mengatakan: “Representational spaces is alive: it speaks. It has an affective kernel or centre: Ego, bed, bedroom, dwelling, house; or: square, church, graveyard. It embraces the loci of passion, of action and of lived situations, and thus immediately implies time. Consequently it may be qualified in various ways: it may be directional, situational or relational, because it is essentially qualitative, fluid and dynamic” (Lefebvre, 1991, 42). Ketika ruang dipahami semata secara simbolik, maka sesungguhnya praktik spasial dalam keseharian manusia menjadikan simbolisme itu sebagai penanda relasi antar-ruang yang paling konkret. Contoh yang paling sederhana adalah ikon laki-laki dan perempuan yang dipasang di setiap penanda dan pintu toilet umum. Layanan umum yang dimaksudkan di sini sebenarnya adalah upaya kontrol atas seksualitas yang terjadi di ruang publik. 1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Epiphany; Sosiologi dan Fotografi “So words still dominate. But yes, visual images, successive images, play an enormous part in our lives today, larger than ever before. Those images can show
9
the same insecure inventiveness as do our manipulations of words” (Richard Hoggart, Life and Times, vol. 1) Sebagai mahasiswa yang kebetulan mendalami disiplin ilmu Sosiologi dan mempunyai hobi fotografi, pernah terbesit pertanyaan “apa jadinya bila sosiologi di kolaborasikan dengan fotografi?”, “seberapa jauh sosiologi dapat membaca fenomena di masyarakat melalui media visual?”. Sebelum mengurai lebih banyak perihal kolaborasi sosiologi dan fotografi, tidak ada salahnya memberikan sedikit gambaran tentang garis besar sosiologi itu sendiri. Sosiologi sendiri merupakan sebuah ilmu yang memiliki kajian terhadap masyarakat dalam hubungannya dengan sejarah, perbandingan, sistem atau organisasi. Lebih gamblangnya lagi, dapat dikatakan sosiologi merupakan ilmu sosial yang menitikberatkan kajian-kajiannya kepada masyarakat, dan akhirnya dapat memberikan berbagai perspektif (seperti ekonomi, politik, budaya, hukum) dalam memandang fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan kata lain bahwa persoalan sosiologi sangat kompleks, tetapi pada prinsipnya mempelajari kehidupan nyata manusia secara kolektivitas. “Di dalamnya (sosiologi) banyak dijumpai paradigma (teori maupun metodologi) yg berbeda, bahkan saling bertentangan satu sama lain” (Swingewood dalam Milton C. Albrcht, 1972). Fotografi sendiri, merujuk kepada definisi dasarnya, hakekatnya adalah suatu kegiatan yang memiliki pengertian melukis cahaya (berasal dari photo: cahaya, graphy: melukis). Pada prakteknya, fotografi merupakan usaha untuk menangkap atau mengabadikan sebuah peristiwa melalui alat bantu kamera. Akan tetapi, dikarenakan sifatnya lebih cenderung individual mengakibatkan produk-
10
produk yang dihasilkan memiliki kemampuan multi-intepretatif. Ini membuat setiap individu bebas mengartikan sebuah produk foto, bahkan mungkin berbeda dengan pesan yang terkandung di dalam foto. Kenyataan inilah yang pada akhirnya membuat fotografi mengalami kesulitan memasuki dunia sosiologi. Selain itu tidak terlembaganya fotografi sebagai sebuah simbol yang dapat ditangkap dan direspon oleh masyarakat secara luas, membuat kajian-kajian sosiologi tentang fotografi tidak banyak dan cenderung tidak menyeluruh. Sebenarnya fotografi dan sosiologi mempunyai kesempatan untuk bertatap muka secara langsung ketika pemikiran sosiologi seni mulai banyak bermunculan dan ramai di perbincangkan. Namun sampai hari ini, posisi fotografi di sosiologi seni ternyata jarang di singgung. Secara keseluruhan, sosiologi seni hanya memberikan ruang kepada lembaga sosial dan seni, ini di maksudkan agar di satu sisi dapat berguna sebagai salah satu bidang kajian dan pendidikan seni, dan pada sisi lain dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pendekatan untuk mengkaji, menganalisis, dan meneliti karya seni dalam hubungannya dengan masyarakat (seni). Masyarakat di sini dapat diartikan sebagai penikmat, pemerhati, pengkaji, peneliti, pendidik (konsumen), dan pengelola seni. Pada perkembangannya, kesempatan fotografi untuk bertemu dengan sosiologi memungkinkan terjadi ketika foto sendiri digunakan sebagai instrumen pelengkap terhadap sebuah metodologi penelitian. Akan tetapi lagi-lagi pembuktian visual belum bisa menjadi intrumen penting atau bahkan sejajar dengan data tertulis dalam sebuah metodologi.
11
“Seeing comes before words. The child looks and recognizes before it can speak”(Berger proclaims on the front cover of Ways of Seeing, 1972) 1.5.2. Sosiologi Visual 1.5.2.1. Etnografi Visual Sosiologi Visual, oleh Douglas Harper disebut sebagai sub primer dari penelitian kualitatif. Bisa juga dikatakan memiliki kaitan erat dengan sejarah munculnya Antropologi Visual, dan Fotografi Dokumenter. Berhentinya kepopuleran Photo Documentary pada era 1930-an memunculkan inovasi baru dalam fungsinya ke dalam dunia penelitian. Sejarah panjang dunia fotografi dalam mengawal perkembangan dunia jurnalistik membuatnya sudah teruji matang dalam usaha membeberkan realita dan mewacanakan isu-isu besar. Keyakinan inilah yang membuat para peneliti di kala itu mengikutsertakan photo documentary sebagai perangkat penelitian mereka. Salah satu yang berhasil mengawalinya adalah Bateson dan Mead dalam sebuah penelitian antropologi tentang kebudayaan masyarakat Bali (Balinese Characters, 1942). Selama hampir dasawarsa, Bateson dan Mead meneliti dan menulis temuannya tentang kebudayaan masyarakat Bali, namun mereka menemukan kesulitan dalam menemukan kosakata ilmiah yang cocok untuk menjelaskan bagaimana penduduk Bali mengorganisasi kehidupan emosional mereka ke dalam bentuk budaya yang standar. Karena tidak menemukan kosakata yang cocok itulah akhirnya mereka memanfaatkan metode fotografi yang dapat merangkum tulisan dan gambar dan bersifat saling melengkapi.
12
“Dalam mengurai hubungan-hubungan tak tersentuh antara berbagai jenis aktivitas yang masuk dalam kategori budaya, kami menggunakan metode-metode baru, yakni dengan meletakkan potret-potret budaya persis di samping laporan tertulis, satu demi satu. Dengan metode fotografi, keseluruhan aktivitas dapat disajikan secara lengkap. Sementara itu, rujukan silang dilakukan dengan meletakkan serangkaian foto aktivitas kebudayaan pada halaman yang sama.” (Bateson, G & Mead,M 1942:9) Dalam penelitian itu, keduanya bekerja sebagai tim, Bateson sebagai pakar fotografi, sedangkan Mead sebagai pengarah. Dalam kurun waktu lebih dari 2 tahun di lapangan, keduanya berhasil menghimpun lebih dari 25.000 foto. Dari jumlah tersebut, mereka menyeleksi 759 foto untuk ditempel dalam Balinese Character. Selanjutnya foto-foto tersebut di kelompokan berdasarkan kategorikategori budaya penduduk Bali, seperti : Upacara Adat, Tahap Pengenalan Lokasi/Ruang, Celah-Celah Tubuh, dll. Seperti dalam kutipan di atas, karya-karya mereka menawarkan model baru yang mengintegrasikan laporan tertulis dengan gambar. Foto-foto tersebut ditempel dan diberi urutan sesuai angka, diberi halaman penjelasan secara mendetail satu per satu. Selanjutnya, analisis bergerak dari level konseptual ke rincian peristiwa dan kegiatan, unsur-unsur, dan momenmomen budaya penduduk Bali. Nilai penting dari penelitian Bateson dan Mead adalah keduanya menganggap foto-foto sebagai bagian dari observasi budaya yang dapat memberikan banyak informasi. Bateson menulis : “Secara umum, adalah fatal jika kita berusaha membidik satu detail peristiwa tertentu, karena hasil terbaik kami dapatkan ketika kami membidik secara acak dan cepat.” (Bateson, G & Mead,M 1942:50) 13
Sampai saat ini, teknik fotografi fotografi di bidang etnografi belum banyak di kembangkan melebihi apa yang sudah dilakukan Balinese Character, dalam artian bahwa fotografi di dalam Antropologi hanya terhenti pada fotografi biasa/standar yang melulu menggambarkan monograf-monograf etnografis. 1.5.2.2. Fotografi Dokumenter dan Perkembangan Sosiologi Visual Kemunculan Sosiologi Visual terjadi pada tahun 1960-an, dan tidak banyak dipengaruhi oleh gerakan Antropologi Visual, justru lebih di pengaruhi oleh Fotografi Dokumenter/ Documentary Photo. Dari sinilah para ahli sosiologi visual terpanggil untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan fotografer documenter. Dari kurun waktu satu tahun 1969-1975 banyak peneliti mulai menggunakan fotografi dokumenter dalam penelitian mereka. Selain itu, para perintis Sosiologi Visual juga terinspirasi oleh proyek fotografi tentang kemiskinan imigran perkotaan pada tahun 1890 oleh Riffs (1971, How The Other Half Live). Douglas Harper (2009 ;561) berpendapat bahwa pada dasarnya para ahli fotografi dokumenter tidak dapat disebut sosiolog. Meskipun karya-karya mereka tidak memiliki dasar teori sosiologi, namun secara langsung memiliki andil besar untuk mengarahkan para sosiolog menuju paradigma yang lebih kritis. Kemampuan para ahli fotografi dokumenter untuk memproduksi pengetahuan dari dalam, menggunakan metode visual dan memiliki keterlibatan penuh dengan subjek di dalamnya, lebih kepada seorang sosiolog yang bekerja di lapangan. Misalnya, keterlibatan penulis dalam mendokumentasikan warga di Desa Stabelan yang berjarak 3,5 kilometer barat daya puncak Gunung Merapi satu 14
minggu setelah erupsi berakhir dan harus tinggal disana beberapa minggu. Penelitian ini lebih bersifat auto biogtrafi dan memberikan penekanan tentang pentingnya menghormati budaya setempat. Atau seorang jurnalis foto terkenal James Nachtwey dalam karya-karyanya tentang kemiskinan di Jakarta, dapat memberikan banyak informasi yang memiliki unsur-unsur sosiologi dan bahkan sudah menjangkau pokok-pokok pikiran sosiologi. Dalam bidang fotografi dokumenter, perdebatan-perdebatan atau diskusi-diskusi mengenai isu-isu seputar representasi, seputar ideologi, atau mengenai sejauh mana keterlibatan fotografer terhadap subjek, sangatlah jarang. Ini didasari oleh penelitian-penelitan yang dilakukan para fotografer dokumenter berlandaskan keinginan bahwa seorang fotografer harus mampu mengurangi problem-problem sosial dan mendidik masyarakat menuju perubahan, walaupun pada waktu-waktu sekarang, ide-ide tersebut sudah kehilangan daya dobraknya. Dalam jurnal awalnya, Howard S Becker membahas tentang penelitian komunikasi visual yang menetapkan landasan dasar bagi bidang sosiologi visual. Menurut Becker (1976), Fotografi dan Sosiologi memiliki objek kajian yang sama, yakni mengenai eksplorasi masyarakat. Tema-tema eksplorasi tentang berbagai isu sosial salah satunya dipakai oleh American Journal Of Sociology yang selalu memanfaatkan ilustrasi foto-foto, atau ketika Lewis Hine pada awal abad 20, melakukan survey fotografik tentang problem-problem sosial di masa itu. Howard Becker juga menambahkan, jika ilmu sosiologi lebih condong ke ilmu pengetahuan maka ilmu fotografi lebih mirip dengan bidang seni. Pernyataan
15
Becker ini dianggap sebagai tulisan awal yang membangun dialog antara kedua lintas bidang tersebut. Becker menyarankan agar para sosiolog sebaiknya juga belajar ilmu fotografi, karena para fotografer juga denga tekun belajar topik-topik yang sama dengan bidang-bidang dalam sosiologi, misalnya; kelompok-kelompok masyarakat, problem-problem sosial, kelas sosial, masyarakat kota dan tema-tema yang lebih abstrak seperti tipe-tipe kelompok sosial dan karakteristik adat. Kemunculan ide-ide Howard Becker menyangkut Sosiologi Visual dianggap penting terkait dengan peran teori dalam representasi seni fotografi. “Meskipun foto-foto tersebut dapat diurai dengan keterangan yang panjang lebar, namun seringkali para fotografer membatasi diri dengan uraian dan pernyataanpernyataan singkat. Terlalu banyak pengulangan menunjukan kedangkalan pengetahuan intelektual dan analitis, dan secara retoris sebagai strategi pembuktian yang sangat penting” (Becker, 1974:11).
Oleh Becker, para
fotografer disarankan untuk memiliki teori yang dapat menunutun keahlian fotografinya, baik teori biasa (berdasarkan asumsi-asumsi tentang cara dunia teratur secara alami) maupun berupa teori yang mendalam dan detail tentang masyarakat dan semua aktivitas yang dikaji. Berdasarkan pemapran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi visual adalah bidang keilmuan yang merujuk pada aktivitas etnografi yang menggunakan kamera untuk merekam kejadian/peristiwa budaya dan peduli dengan potret masyarakat seperti kajian para sosiolog, begitu juga dari tugas lapangan di bidang sosiologi.
16
1.6. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di sepanjang Jalan Malioboro (Hotel Inna Garuda-Toko Batik Terang Bulan). Pemilihan lokasi lebih pada alasan bahwa Jalan Malioboro adalah lanskap utama Kota Yogyakarta. Selain itu, Jalan Malioboro merupakan salah satu urat nadi perekonomian dan pariwisata di Yogyakarta, sehingga dapat diperkirakan bahwa banyak sekali aktifitas masyarakat yang akan berlangsung. 1.7. Sifat Penelitian Douglas Harper memilih untuk menyebut Sosiologi Visual sebagai sebuah sub bidang primer penelitian kualitatif yang menggunakan fotografi dokumenter sebagai metode pengambilan data. Pada proses penelitian ini, peneliti menggunakan dan memahami foto (fotografi dokumenter) sebagai perangkat dalam rangka menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. Penjelasannya, frame foto menjadi alat pembenaran dan pembuktian atas sebuah relita sosial. Sebagai dasar dalam mengkonstruksi sebuah penelitian visual, maka sangat diperlukan wacana dan teori yang lebih bersifat mikro. Secara keseluruhan, penelitian menggunakan instrumen visual (fotografi) sebagai data memiliki tahapan yang sedikit berbeda dengan peneltian kualitatif kebanyakan. Pada tahapan observasi, dalam rangka pemahaman mendalam, proses pengambilan data sudah bisa diambil. Dalam hal ini, kenyataan-kenyataan yang tersaji di lapangan selama observasi dapat diamati dengan baik. Ini tentu sangat membantu dalam proses selanjutnya.
17
Selama penelitian, mengkoleksi data visual dapat dilakukan selama dan setelah masa observasi. Maka diharapkan, frame demi frame foto yang dihasilkan memiliki efektifitas dalam usaha mengkaji gejala atau mencari jawaban atas pertanyaan penelitian. 1.8. Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini ditujukan kepada pedestrian yang terletak di sepanjang Jalan. Malioboro (Mulai dari Hotel Inna Garuda sampai Toko Batik Terang Bulan). Penelitian akan dilakukan pada titik-titik yang mewakili stereotip keramaian di Jalan Malioboro. Adapun titik-titik tersebut ; Malioboro Mall (pusat perbelanjaan modern), Pedestrian Apotik Kimia Farma dan Ramai Mall (pusat pedagang kaki lima). 1.9. Teknik Pengambilan Data 1.9.1. Observasi Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan indra penglihatan (mata) sebagai alat bantu utamanya selain indra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan indra lainnya (Bungin, 2008). Masih menurut Burhan Bungin, observasi sebagai metode ilmiah biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tindak hanya
18
terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebelum melakukan pengambilan data di lapangan, observasi dilakukan dengan dua cara. Pertama kajian literatur kedua observasi lapangan. Kajian literatur digunakan untuk pra kategorisasi data visual yang akan diambil, sedangkan observasi lapangan dimanfatkan untuk pra kondisi penelitian. Keduanya bisa dilakukan bersamaan atau saling berurutan. Contoh dari kajian literatur adalah melakukan pra kategorisasi data melalui penelitian/buku yang pernah ditulis mengenai kondisi lapangan. Sedangkan dalam penelitian ini beberapa buku dipilih untuk melakukan pra kategorisasi tersebut ; Malioboro (Sunyoto Usman), Yogakarta Tempoe Doloe (Arwan Tuti Artha), Hongkong Migrant Lives, Landscaps, and Journeys (Caroline Knowles and Douglas Harper), Perubahan Sosial di Yogyakarta (Selo Soemardjan), Doorstoot Naar Djokja (Julius Pour). Beberapa buku tersebut memiliki fungsi tersendiri dalam kegiatan kajian literature . Buku karangan Sunyoto Usman misalnya, memberikan gambaran Malioboro secara fisik. Dalam buku tersebut Sunyoto Usman membagi Malioboro dalam beberapa kategori ruang. Kategorisasi ini yang akan memudahkan proses pengambilan data. Sedangkan buku Yogyakarta Tempoe Doloe, Perubahan Sosial di Yogyakarta, dan Doorstoot Naar Djokdja dapat menjelaskan konteks historigrafi mengenai keadaan Malioboro sebagai salah satu pusat kota. Konteks dinamika sejarah tersebut tentunya sangat membantu dalam proses pemilihan persepektif data yang akan diambil. Terakhir, buku yang ditulis oleh Caroline
19
Knowles dan Douglas Harper memberikan contoh bagaimana data visual di elaborasikan di dalam sebuah penelitian. 1.9.2. Pengambilan Data Visual Alat yang digunakan untuk penelitian ini terbagi dalam tiga jenis kamera : 1. Digital Single Lens Reflex (DSLR) ; Merk Nikon D90 dan Canon EOS 5D 2. Mirrorless Camera/ Micro Fourth Third ; Merk Olympus EP L-1 3. Kamera pada telepon genggam merk HTC Droid Indcridible 2 Ketiga jenis kamera tersebut dipilih karena memiliki beberapa alasan. Untuk kamera DSLR, jenis yang digunakan (Nikon D90 dan Canon EOS 5D) merupakan kamera semi professional dan professional, diharapkan mampu memberikan hasil yang berkualitas. Sedangkan dua jenis kamera berikutnya dipersiapkan untuk kondisi tertentu. Apabila kondisi di lapangan tidak memungkinkan untuk menggunakan kamera jenis pertama. Misalnya ketika melakukan pengambilan data di Malioboro, orang-orang yang berada disana akan lebih nyaman ketika sadar dirinya difoto dua jenis kamera terakhir. Karena dua jenis kamera terakhir di asosiakan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh pengunjung, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan yang berlebihan seperti yang akan timbul apabila menggunakan kamera jenis pertama yang lebih berasosiasi kepada pewarta foto atau wartawan.
20
1.9.3. Studi Literatur Studi literatur adalah penggunaan kepustakaan sebagai sumber informasi dan berguna untuk menunjang data-data yang diperoleh dari pengambilan gambar dan pengamatan. Pemanfaatan studi literatur ini diperlukan, baik untuk penelitian lapangan maupun penelitian bahan dokumentasi terkait yang ada. Sehingga akan lebih memperkuat penelitian ini selanjutnya. Sebagai contoh dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa buku untuk acuan dalam pengambilan data. Misalnya buku-foto Estetika Banal milik Erick Prasetya, atau mengambil beberapa bab dari Visual Culture (John A Walker dan Sarah Chaplin). Dua buku yang disebutkan diatas lebih kepada memberikan pengetahuan tentang bagaimana gambar (khususnya foto) dapat dimaknai sebagai alat untuk bercerita. 1.10. Teknik Analisis Data 1.10.1. Pengelompokan Data Visual Pengelompokan data visual bertujuan untuk memudahkan identifikasi tema/wacana yang sedang diteliti. Selain itu, efisiensi terhadap data visual memang diperlukan mengingat banyaknya data visual yang akan dihasilkan selama proses pengambilan data. 1.10.2. Identifikasi Data Visual Pada proses ini, peneliti menitikberatkan kepada keberlangsungan sebuah cerita mengenai wacana yang diangkat. Tiap wacana terwakili melalui data visual yang sudah di kelompokan dan merupakan sebuah foto seri. Konstruksi gambar
21
atas wacana tersebut membuat peneliti mudah untuk memindahkan kode-kode visual ke dalam tulisan, keberlanjutan sebuah data visual dapat dinilai apabila mampu menampilkan realita dan wacana yang terkandung di dalamnya. 1.10.3. Menafsir Data Tahapan terakhir dalam penelitian ini adalah mengeksekusi segala bentuk data (visual maupun tulisan) dalam sebuah proses analisis wacana. Dalam prakteknya, analisis wacana tidak bisa lepas dari Hermeunitika kritis Habermas, yang mengemukakan bahwa menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai. Menurut Jurgen Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter. Salah satu contoh praktek Heurmenetik di atas pernah di gunakan oleh seorang Antropolog dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Antropologi UGM, PM. Laksono dalam tulisannya “Mediasi-mediasi Visual Sebelum dan Sesudah Reformasi di Indonesia : Sebuah Pencarian Keadilan Sosial”.
22
Dalam mukadimah tulisannya, PM Laksono sudah menegaskan secara eksplisit mengapa beliau memakai media visual. Dapat dipahami bahwa menempatkan foto (kesamaan ini yang menyebabkan penulis mengambil referensi dari tulisan beliau) tidak hanya sebagai perekam peristiwa akan tetapi juga memerlukan pertukaran dialektis dengan bahasa. Dalam praktek Heurmenetik, maka foto dianggap dan dipergunakan sebagai teks yang kemudian dalam proses selanjutnya dipertemukan dengan teori/ wacana (bahasa) sehingga terjadi proses dialektis. “Penulis ingin menunjukan jejak-langkah dari pencarian identitas ini melalui tampakan-tampakan visual, yaitu dalam pertukaran dialektis antara fotografi dan bahasa. Dalam hal ini bahasa merupakan hal yang memungkinkan untuk membaca gambar-gambar itu, atau untuk melihat teks yang ada di dalamnya ” (Laksono, 2004)
23
Skema yang digunakan dalam praktik menafsir data adalah sebagai berikut : Gambar 1. Skema penelitian
Data Visual dan Sumber Literer
Teori
Pembahasan
1.11. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan ditulis berdasarkan sistematika yang akan dibagi menjadi : BAB I
: Pendahuluan
BAB II
: Deskripsi Wilayah
BAB III
: Penyajian Data
BAB IV
: Menafsir Data
BAB V
: Kesimpulan
24