1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum yaitu : ubi societes ibi ius (dimana ada masyarakat di sana ada hukum).1 Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun 1945
menentukan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum menuntut, antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang dengan subyek hukum dalam masyarakat.2 Menurut Gustav Radbruch keberadaan hukum dimaksudkan adanya keadilan, kepastian hukum,
kemanfaatan hukum. Hukum
yang
dibuat
harus mampu memberikan rasa keadilan, kepastian hukum serta hukum mampu sebagai sarana pengintegrasian kepentingan sosial. Pembentukan hukum harus 1
Satjipto Raharjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung , hal.127. Dyah Sulstyani, “Penegakan Undang-Undang Jabatan Notaris, Etik dan`Moral Notaris` dalam Ketahanan Nasional” , http://medianotaris.com/ diunduh pada tanggal 18 September 2014 pukul 14.48 2
2
mampu menjamin kepentingan rakyat dan penegakan hukum harus mampu mewujudkan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat fundamental, sedangkan harapan hukum yang adil hanya dapat terpenuhi atas dasar kepastiannya melalui positivisasi hukum, atas pemahaman tersebut maka kepastian dan keadilan merupakan hakikat hukum dalam arti bahwa terselenggaranya hukum secara baik maka hukum positif harus merupakan realisasi dari prinsip-prinsip keadilan yang merupakan dasar tuntutan asasi manusia untuk dipenuhi.3 Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Dalam hal pemenuhan prinsip negara hukum tersebut menuntut dalam lalu lintas hukum kehidupan bermasyarakat diperlukan adanya alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai peristiwa maupun perbuatan hukum manusia, menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan dalam konsideran Undang-Undang No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ( yang selanjutnya disingkat menjadi UUJNP )4
3
Ibid. Konsideran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris “ bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang” 4
3
Peranan Notaris sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat, karena Notaris sebagai pejabat umum berwenang untuk membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.5 Menurut Tan Thong Kie, keberadaan Notaris tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat yang membutuhkan seseorang (figure) yang keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar) atau (unimpeachhable), yang tutup mulut dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindungi di hari-hari akan datang. Kalau seorang advocate membela hakhak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang Notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu. 6 Notaris merupakan profesi yang terhormat dan selalu berkaitan dengan moral dan etika ketika menjalankan tugas jabatannya. Dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris berpegang teguh dan menjunjung tinggi martabat profesinya sebagai jabatan kepercayaan dan terhormat. Karena lekatnya etika pada profesi Notaris disebut sebagai profesi yang mulia (officium nobile)7 Ketentuan hukum yang menjadi landasan bagi keberadaan notaris di Indonesia adalah Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jabatan 5
Akta-akta yang pembuatannya ditugaskan kepada pihak lain atau oleh undang-undang dikecualikan pembuatannya dari Akta Notarias, antara lain : 1. Akta pengakuan anak diluar kawin (Pasal 281 KUH Perdata) 2. Akta Berita Acara tentang lkkelalaian pejabat penyimpan hipotek (Pasal 1227 KUH Perdata) 3. Akta Catatan Sipil ( Pasal 4 KUH Perdata) 4. Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) 6 Tan Thong Kie, 200, 7Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, cet. I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, , hal. 449. 7 Abdul Ghofur Anshori, , 2009,Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal.6.
4
Notaris ini juga diatur berdasarkan undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 jo 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ( untuk selanjutnya disingkat UUJN ) yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 117 menggantikan Reglement of Het Notaris Ambt in Indonesia (S.1860 No. 3) tentang Peraturan Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut PJN) yang sudah tidak berlaku lagi. Diberlakukannya UUJN dan UU perubahan atas UUJN diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. UU perubahan atas UUJN telah menetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) tentang kewenangan seorang Notaris yaitu Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu dalam Pasal 15 ayat (2) UU perubahan atas UUJN menyatakan Notaris juga berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta,
5
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah lelang. Dari beberapa kewenangan tersebut jasa seorang Notaris kebanyakan dibutuhkan oleh masyarakat dalam hal pembuatan akta otentik Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Notaris merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah dalam hal ini negara, dimana negara telah memberikan kepercayaan kepada Notaris untuk menjalankan sebagian urusan negara, khususnya dalam bidang hukum Perdata. Keberadaan Notaris diharapkan menjawab kebutuhan masyarakat akan bantuan hukum yang netral, sehingga melindungi kepentingan hukum masyarakat. Notaris juga diharapkan dapat memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, khususnya dalam pembuatan akta, sehingga masyarakat akan mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Menurut Adrian Djuaini (Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia): “Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian tugas penguasa, dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus secara profesional memberikan bantuan hukum kepada masyarakat dalam pembuatan alat bukti tertulis berupa akta autentik untuk suatu perbuatan hukum/peristiwa hukum, harus selalu menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat profesinya, serta memiliki tanggung jawab hukum (legal accountability) kepada masyarakat dan Negara serta bangsa untuk
6
mendorong terciptanya kepastian hukum dan juga menegakkan supremasi hukum”.8 Pada saat menjalankan tugas dan jabatannya, Notaris berkewajiban menyimpan atau merahasiakan segala keterangan atau ucapan yang diberikan dihadapannya sehubungan dengan pembuatan akta.Menjaga kerahasiaan itu merupakan salah satu bentuk kewajiban Notaris sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya, Notaris juga wajib: “bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.9 Pada era globalisasi, otonomi daerah dan pasar bebas sekarang ini, dibutuhkan Notaris yang berkualitas.Kualitas tersebut mencakup kualitas keilmuan, maupun kualitas moralitas dan etika yang baik, serta menjunjung tinggi keluhuran martabatnya dalam memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat.Seorang notaris yang menjalankan profesi Notaris bukan tidak mungkin melakukan tindakan yang merendahkan profesi notaris, dapat merugikan masyarakat, bahkan menjalankan profesi Notaris tidak sesuai undangundang.Untuk meminimalkan pelanggaran-pelanggaran ini asosiasi profesi ataupun negara membuat berbagai aturan, mulai dari kode etik Notaris sampai dengan penjatuhan sanksi. Akta merupakan refleksi dari pemenuhanserta pelaksanaan hak dan kewajiban antara suatu subjek hukum dengan subjekhukum lainnya. Menurut R. 8 9
Seminar Nasional, Membangun Hukum Kenotariatan di Indonesia, Yogyakarta, 27 Feb 2014 Indonesia Legal Center, 2009,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Jabatan Notaris&
PPAT, Karya Gemilang, Jakarta, , hal.8.
7
Subekti, suatu akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani, dengan demikian unsur penting untuk suatu akta adalah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu.10 Di dalam penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris dijelaskan bahwa: “Akta autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta Notaris yang ditandatanganinya”. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris pada hakekatnya sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk memasukkan ke dalam akta mengenai apa saja yang dikehendak para pihak dan selanjutnya menuangkan pernyataan atau keterangan para pihak tersebut ke dalam akta Notaris. Sedangkan tulisan di bawah tangan atau biasa disebut dengan akta dibawah tangan dibuat tidak dibuat dihadapan Notaris dan dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang serta tanpa adanya perantara berdasarkan ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 10
R. Subekti, 2007, Hukum Pembuktian, cet. XVI, Jakarta, Pradya Paramita, , hal. 25.
8
Menurut Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN menentukan bahwa“akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta otentik yang dimaksud adalah akta otentik sesuai dengan rumusan Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) yaitu : “Suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.” Berdasarkan pasal tersebut Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik. Terdapat dua golongan akta otentik yang dibuat oleh Notaris yaitu akta otentik yang dibuat oleh Notaris dimana merupakan suatu akta yang dibuat oleh Notaris mengenai suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang disaksikan oleh Notaris dan akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris yaitu akta yang dibuat dihadapan Notaris yang memuat uraian mengenai hal-hal yang diterangkan oleh pihak yang menghadap kepada Notaris. Dengan adanya UUJN dan UU perubahan atas UUJN kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik dalam penerapannyan akta tersebut mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait. Akta otentik merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempurna. Akta otentik memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahanya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan kepastian bahwa
9
sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar oleh Notaris dan diterangkan oleh para pihak yang menghadap. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) yang merupakan kepastian tentang materi atau isi suatu akta. Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) berwenang membuat akta otentik, sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau dilakukan secara melawan hukum. Pertanggungjawaban merupakan suatu sikap atau tindakan untuk menanggung segala akibat dari perbuatan yang dilakukan atau sikap untuk menanggung segala resiko ataupun kosekuensinya yang ditimbulkan dari suatu perbuatan. Apabila dikaitkan dengan akta yang dibuat “oleh”atau “dihadapan” Notaris, maka sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJNP, maka Notaris berkewajiban: “melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta”. Pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Jabatan Notaris diatur tentang pengertian Minuta
Akta.“Minuta
Akta
adalah asli akta
yang
mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris”. Berdasarkan pengertian diatas tersebut terkandung kehendak UndangUndang Jabatan Notaris bahwa dalam Minuta Akta yang dicantumkan adalah tanda tangan para penghadap bukan sidik jari penghadap, yang selama ini
10
dianggap sebagai pengganti tanda tangan.Undang-Undang Jabatan Notaris tidak mengatur tentang kemungkinan adanya suatu Minuta Akta tanpa tanda tangan penghadap, berhubung satu-satunya penghadap atau seluruh penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangan, baik karena sakit maupun cacat fisik. Pada bagian penutup akta Notaris, dalam Pasal 38 ayat (4) huruf b Undang-Undang Jabatan Notaris, dijelaskan bahwa akhir akta memuat: “uraian penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada”.Di dalam pasal diatas tidak menyinggung sama sekali tentang pencantuman sidik jari. Kewajiban membubuhkan sidik jari pada minuta akta sebagaimana telah dimaksud dalam ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c tersebut tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 dan Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyatakan tentang apa saja yang harus dicantumkan dalam minuta akta, tetapi tidak menyebut sidik jari diantaranya. Seiring perubahan zaman yang semakin modern, yang mengikuti perkembangan
masyarakat
dan
kemajuan
ilmu
pengetahuan,
sehingga
menimbulkan perubahan norma-norma hukum yang telah dituangkan di dalam Undang-Undang, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai hukum serta tidak lagi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. UUJNP terdapat perubahan yang mengatur kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan seseorang Notaris, salah satunya dengan penambahan kewajiban notaris yang terdapat di dalam
11
UUJN yang berisi penambahan kewajiban notaris untuk melekatkan sidik jari penghadap kedalam minuta akta notaris. Berdasarkan tradisi, pembubuhan cap jempol hanya dilakukan untuk aktaakta yang tidak dapat ditandatangani oleh penghadapnya, mungkin karena kondisi fisik maupun lantaran penghadap tak dapat menyatakan tandatangannya. Apabila memang pembubuhan sidik jari untuk membuktikan bahwa penghadap benarbenar menghadap notaris dan menyetujui isi akta, maka pertanyaan selanjutnya adalah mengapa harus dilembar tersendiri? Bukankah lebih otentik kalau pada lembar akta itu sendiri? Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJNP tentang kewajiban Notaris melekatkan sidik jari penghadap pada Minuta Akta, jika dikaitkan dengan teori hukum positivisme harus dilaksanakan, karena menurut teori ini “hukum adalah perintah undang-undang”. Oleh karena kewajiban melekatkan sidik jari penghadap tersebut merupakan perintah Undang-Undang Jabatan Notaris, seharusnya tidak ada perbedaan pendapat diantara sesama Notaris. Berdasarkan uraian di
atas, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan yang masih belum terjawab mengenai kewajiban melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta, dengan suatu bentuk penelitian dengan judul “Implikasi Hukum Bagi Notaris Yang Tidak Melekatkan Sidik Jari Penghadap Pada Minuta Akta”
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah yang menjadi latar belakang kewajiban para penghadap melekatkan sidik jari pada minuta akta sesuai ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c ? 2. Apakah tanpa adanya sidik jari, kekuatan pembuktian akta notaris menjadi batal dan atau menurunkan derajad ( degradasi) menjadi akta di bawah tangan? 3. Bagaimana implikasi hukum bagi Notaris yang tidak melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta ? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kewajiban melekatkan sidik jari penghadap pada minuta telah beberapa kali
dilakukan sebelumnya, dengan judul penelitian
sebagai berikut : 1.
“Telaah Penggunaan Sidik Jari Penghadap Yang Dilekatkan Pada Minuta Akta Pasca Amandemen Undang-Undang Jabatan Notaris”,11 dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana pelaksanaan melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta Notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris ?
11
Ferina, Nezia Zara, „Telaah Penggunaan Sidik Jari Penghadap Yang Dilekatkan Pada Minuta Akta Pasca Amandemen Undang-Undang Jabatan Notaris’, 2014, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
13
b. Apakah faktor yang menghambat pelaksanaan penggunaan sidik jari penghadap yang dilekatkan pada minuta akta pasca revisi UndangUndang Jabatan Notaris ? Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan kesimpulan sebagai berikut : a. Pelaksanaan melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta tergantung pada penafsiran masing-masing notary. Tujuan dari penggunan sidik jari tersebut untuk menghindarkan penyangkalan-penyangkalan mengenai kehadiran dan tanda tangan penghadap dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian notaris. b. Faktor penghambat pelaksananan Pasal 16 ayat (1) huruf c tentang UUJN Perubahan adalah ketidakjelasan mengenai sidik jari mana yang akan digunakan dan waktu saat para penghadap bisa berkumpul. 2.
“Urgensi Sidik Jari Penghadap Pada Minuta Akta Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”12 dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Apa urgensi adannya kewajiban pelekatan sidik jari penghadap pada minuta akta ? b. Bagaimana implementasi palaksanaan sidik jari pada minuta , apakah salah satu jari atau seluruh jari penghadap ? c. Apa akibat hukum dari satu minuta aktayang tidak melekatkan sidik jari ?
12
Panggabean,Gernalia Nova „Urgensi Sidik Jari Penghadap Pada Minuta Akta Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris’,2014, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan adalah sebagai berikut, : 1. Pelekatan sidik jari penghadap pada minuta akta dianggap penting untuk melindungi notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai pejabat umum. 2. Pada prakteknya sidik jari dibubuhkan oleh setiap penghadap pada lembar tersendiri untuk masing-masing penghadap dan kemudian dilekatkan pada minuta akta. 3. Minuta akta yang tidak dilekati dengan sidik jari tetap merupakan akta autentik yang tidak mempengaruhi keautentikan aktanya. Berdasarkan temuan kedua penelitian diatas ada perbedaaan dalam hal apakah yang menjadi latar belakang dari dirumuskannya Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Jabatan Notaris, dampak yang diakibatkan jika akta yang sudah ditandatangani tidak melekatkan sidik jari, serta bagaimana implikasi hukum jika Notaris tidak menjalankan perintah dari Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 16 ayat (1) huruf c tersebut. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan pernyataan operasional yang merincikan apa yang akan diselesaikan dan dicapai dalam penelitian ini. Secara lebih rinci sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian yang akan dilaksanakan adalah, sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui latar belakang kewajiban melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf c
15
2. Untuk mengetahui akibat hukum ketiadaaan sidik jari penghadap pada minuta akta notaris 3. Untuk mengetahui implikasi hukum bagi notaries yang tidak melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta. E.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi dari 2 (dua)
aspek, yaitu: 1. Secara Teoritis : Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, referensi atau bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa fakultas hukum maupun masyarakat luas untuk mengetahui tentang bagaimana implikasi hukum bagi notaris yang tidak melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta notaries. 2. Secara Aplikatif Diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran serta khasanah penelitian ilmu hukum yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan lembaga yang terkait didalamnya serta masyarakat dan pihak yang terkait dalam mengambil keputusan selanjutnya khususnya dalam bidang kenotariatan.