BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tesis ini menganalisis tentang kebijakan pembatasan lalu lintas untuk mengatasi permasalahan kemacetan lalu lintas di Kota Yogyakarta. Mengingat penggunaan kendaraan pribadi semakin tinggi dan seringnya permasalahan kemacetan lalu lintas terjadi, maka diperlukan kebijakan untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Prosesnya dimulai dengan perumusan masalah sampai dengan pemilihan alternatif terbaik oleh instansi/SKPD terkait yang didasarkan atas kriteria-kriteria yang ditentukan. Sebagai penemuan dua terbesar setelah alphabet (tulisan), transportasi mempunyai peran vital yang tidak diragukan lagi. Peranan tersebut sebagai turunan kebutuhan(derived demand) untuk menunjang berbagai aktivitas masyarakat untuk tujuan sekolah, untuk distribusi barang, untuk berfungsinya dengan baik suatu kota, untuk menunjang terwujudnya negara kesatuan, dan sebagainya (Nasution, 2008). Menurut Kusbiantoro dalam Soegijoko (2011), produktivitas masyarakat sangat tergantung pada mobilitas faktor-faktor produksi dan mobilitas hasil olahannya. Kemacetan lalu lintas menyebabkan banyak kerugian seperti keterlambatan, pemborosan bahan bakar, polusi udara dan lain sebagainya sehingga mobilitas faktor produksi maupun hasilnya menjadi tidak efisien. Permasalahan yang timbul pada saat ini khususnya di wilayah perkotaan adalah pertumbuhan penduduk yang tidak ditunjang sistem transportasi yang baik sehingga menciptakan fenomena kemacetan lalu lintas.
1
Di Indonesia pertumbuhan perkotaan yang cepat diperlihatkan oleh data sensus penduduk tahun 2010. Dari sensus ini diperoleh data penduduk Indonesia mencapai 237,5 juta jiwa sedangkan jumlah penduduk perkotaan paling sedikit 118 juta jiwa.
Hasil sensus 2000 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk
perkotaan mencapai 85 juta jiwa , yang merupakan 42% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa selama satu dasawarsa terakhir jumlah penduduk perkotaan telah meningkat dengan angka 33 juta jiwa. Kenaikan penduduk perkotaan di Indonesia dalam dasawarsa 2000-2010 ini besarnya melampaui jumah total penduduk Malaysia atau Australia pada tahun 2010 yang masing-masing mencapai 28,9 juta dan 22,4 juta jiwa. Bahkan, kalau dibandingkan dengan jumlah total penduduk Singapura yaitu 5,1 juta jiwa pada tahun 2010, maka kenaikan penduduk perkotaan di Indonesia tersebut hampir mencapai 7 kali penduduk negara tersebut (Firman dalam Soegijoko, 2011). Mengingat kota adalah tempat berkumpulnya penduduk dengan berbagai kepentingan, maka kota di banyak negara sangat membutuhkan transportasi yang efektif dan efisien. Kota dan atau perkotaan merupakan daerah atau wilayah tempat berkumpulnya komunitas yang aktivitas penduduknya dominan di sektor non pertanian, dapat berupa sektor jasa, pusat ekonomi dan perdagangan dan menjadi pusat pemerintahan. Kota atau perkotaan juga tempat bersinergi dan sekaligus tempat berkompetisinya antar berbagai kepentingan, termasuk di dalamnya adalah kepentingan masyarakat dari pedesaan yang ingin bekerja dan mendapat penghidupan yang layak. Sumber-sumber penghidupan sosial ekonomi cenderung terkonsentrasi di perkotaan, akibatnya kondisi ini merangsang dan
2
berpotensi menimbulkan urbanisasi (Idris, 2012). Dengan luas wilayah perkotaan yang tetap dan segala fasilitas yang ada serta fungsinya yang semakin terbatas, sedangkan populasi penduduk semakin bertambah mengakibatkan daya dukung kota menurun, khususnya dalam hal transportasi. Ada negara-negara yang mampu mengelola tranportasinya dengan baik sehingga masyarakatnya sangat terbantu dengan transportasi yang lancar tanpa kemacetan. Negara-negara yang berhasil mengelola sistem tranportasinya lebih fokus untuk mengembangkan angkutan umum sekaligus membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Angkutan umum ini dipandang lebih menghemat biaya maupun kebutuhan ruang kendaraan yaitu jalan. Dengan sistem transportasi yang baik, masyarakat di negara semacam ini cenderung memilih penggunaan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Negara-negara yang telah mampu mengelola sistem transportasi di antaranya Korea, Singapura, Jerman, dll. Namun demikian tidak sedikit pula negara-negara yang belum dapat mengelola sistem transportasinya sehingga proses urbanisasi ke kota besar justru menyebabkan permasalahan kemacetan. Persoalan kemacetan ini merupakan siklus yang sulit diputus oleh sebagian besar negara berkembang oleh karena arus urbanisasi yang besar tidak diimbangi oleh sistem transportasi yang baik. Penyebab rendahnya kualitas sistem transportasi khususnya angkutan umum di antaranya faktor kepemilikan oleh swasta atau pengusaha angkutan. Orientasi mengejar
keuntungan
seringkali
membuat
kenyamanan
dan
keamanan
dikesampingkan, hal ini terlihat dari kondisi bus-bus yang tidak terawat, ngetem sembarangan dan juga pengemudi yang ugal-ugalan. Angkutan umum di negara-
3
negara berkembang yang sebagian besar disediakan oleh perusahaan swasta, banyak di antaranya yang tidak diatur dalam undang-undang dan hadir secara informal. Sebagai contoh di India 71,3% dari total jumlah bus di negara tersebut disediakan oleh swasta dengan hanya 28,7% disediakan oleh sektor publik (Kulkarni, S, 1997 dalam GIZ, 2011). Meskipun layanan ini dapat dilihat sebagai kompensasi dari kurangnya pelayanan publik, namun ada beberapa masalah di antaranya: 1. Layanan angkutan umum bus dalam kota tidak terkoordinasi dengan baik, karena penyebarannya kurang baik dan bekerja sendiri-sendiri. 2. Keselamatan penumpang kurang diperhatikan karena operator swasta harus mencari pendapatan dengan perilaku agresif kompetitif di jalan dan seringkali menggunakan kendaraan yang tidak bermutu dan tidak terpelihara. 3. Karena
sistemnya
tidak
formal,
pengusaha
swasta
hanya
mau
mengeluarkan modal pribadi untuk membeli aset yang fleksibel yang dapat segera memenuhi permintaan pasar. Oleh karena itu, keadaan ini menyebabkan keengganan dari pihak produsen kendaraan untuk menyewakan kendaraan serta keengganan dari pihak bank untuk meminjamkan uang untuk penyediaan pelayanan transportasi dengan kendaraan besar. 4. Kebanyakan operator informal tidak memiliki pendidikan maupun kredibilitas financial, sehingga digolongkan dalam resiko tinggi oleh pihak produsen dan bank.
4
5. Penghasilan operator informal tidak tercatat sehingga sulit untuk mengestimasi jumlah pajak atau retribusi setempat yang perlu dikenakan. Menurut Parikesit (2007), dampak pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat dan permintaan akan mobilitas perkotaan yang tidak mampu diatasi dengan tingkat investasi pemerintah dan swasta yang memadai di bidang pelayanan angkutan umum. Akibatnya bagi sebagian besar masyarakat, memiliki kendaraan pribadi merupakan pilihan solusi yang sangat rasional dari permasalahan mobilitas. Bahkan, ketiadaan alternatif seolah memberi justifikasi bagi orang tua untuk mengijinkan anak-anak mereka mengendarai sepeda motor tanpa memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau memiliki SIM tanpa prosedur yang benar. Kenaikan volume kendaraan pribadi sebagai akibat menurunnya kualitas angkutan umum menyebabkan berbagai persoalan terutama persoalan kemacetan. Jika dihitung dengan seksama, dampak kemacetan seperti di kota Jakarta ternyata sangat besar. Menurut Srihadi (2010), akibat kemacetan sektor usaha dirugikan sekitar 12,8 triliun per tahun. Sedangkan kerugian lingkungan mencapai 28,1 triliun per tahun yang terdiri atas BBM terbuang sebanyak 10,7 triliun, waktu produktif senilai 9,7 triliun dan kerugian pemilik angkutan 1,9 triliun. Sedangkan kerugian kesehatan karena polusi sebanyak 5,8 triliun sebagai akibat pembakaran bahan bakar kendaraan dalam kecepatan yang rendah dan biaya operasional kendaraan. Dengan kecepatan rata-rata lalu lintas sebesar 20,21 km/jam maka dalam sebuah perjalanan 60% adalah waktu hambatan sedangkan 40% sisanya adalah waktu bergerak.
5
Salah satu kerugian lingkungan dari kemacetan lalu lintas adalah pencemaran udara. Menurut Yulianti (2002), penggunaan kendaraan pribadi merupakan penyumbang terbesar dalam pencemaran udara. Dengan kapasitas angkut yang lebih rendah dibanding angkutan umum menyebabkan jumlah kendaraan pribadi yang berlalu lalang di jalan raya lebih banyak. Pada dekade terakhir ini data menunjukkan terjadi kenaikan jumlah kendaraan yang cukup besar. Pencemaran udara yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor berdampak terhadap lingkungan yang dapat menimpa siapa saja baik pengguna jalan raya maupun non pengguna. Selain
pencemaran
udara,
kendaraan
pribadi
terus
meningkat
menyebabkan kebutuhan akan ruang untuk parkir juga meningkat sementara ketersediaannya terbatas, sehingga bermunculan parkir di badan jalan (on street parking). Beberapa keuntungan yang dirasakan dari pengguna kendaraan yang parkir di badan jalan adalah waktu yang lebih singkat untuk mencapai suatu lokasi tujuan karena jarak yang lebih dekat. Dengan jarak yang dekat ini, seseorang tidak harus berjalan dalam waktu yang lebih lama di tempat yang memang kurang nyaman karena tempat pejalan kaki biasanya sudah dipergunakan oleh para pedagang. Dampak yang tidak terhindarkan dari sitasi ini adalah jalan yang sudah sempit untuk menampung bertambahnya jumlah kedaraan, semakin berkurang kapasitasnya. Tentu hal ini berdampak langsung terhadap kenyamanan pejalan kaki dan kemacetan yang disebabkan penurunan kecepatan kendaraan yang melintas dan meningkatnya penundaan perjalanan.
6
Peningkatan kemacetan, polusi, ketidaknyamanan pejalan kaki merupakan dampak-dampak
negatif
yang
dialami
masyarakat.
Seandainya
kondisi
transportasi umum di kota besar dikelola dengan baik, dampak yang lebih baik yaitu efektivitas dan efisiensi pasti dapat terjadi. Untuk itu negara-negara berkembang seperti di Indonesia perlu untuk memikirkan cara agar kepadatan kendaraan di jalan raya dapat terus dikurangi, yaitu dengan memperbaiki sistem transportasinya. Upaya ini dimulai dari perbaikan angkutan umum dan penerapan pembatasan
kendaraan
pribadi
sehingga
mengarah
kepada
perwujudan
transportasi yang berkelanjutan. Transportasi berkelanjutan merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan transportasi generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mobilitasnya. Konsep transportasi berkelanjutan tidak hanya menyediakan transportasi ramah lingkungan, tetapi juga menciptakan keseimbangan antara lingkungan, ekonomi, dan sosial masyarakat. Keseimbangan lingkungan, ekonomi, sosial masyarakat menjadi tantangan bagi wilayah atau negara berpenduduk besar. Dirjen Perhubungan Darat (1991) sudah memperkirakan kota-kota yang memiliki populasi lebih dari 2 juta jiwa akan mengalami problem kemacetan. Bukan hanya kota besar di Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, kota-kota lain seperti Malang, Bandar Lampung dan Yogyakarta juga akan mengalami.
Pada saat ini mungkin sudah tidak
terhitung lagi berapa jumlah persis mahasiswa yang ada di Yogyakarta. Sebagai gambaran pada tahun 2013 UGM menerima 9000 mahasiswa baru, UNY menerima 7000 mahasiswa baru, UIN Sunan Kalijaga menerima 4000 mahasiswa
7
baru, dan masih ditambah perguruan tinggi swasta yang lain. Setiap tahun penerimaan ini terus berjalan dan tidak diimbangi oleh jumlah lulusannya, sehingga kepadatan penduduk di Yogyakarta terus mengalami peningkatan dan berdampak pada tingkat keamanan, tingkat perekonomian dan tentunya pada kelancaran di dalam berlalu lintas. Di Yogyakarta, transportasi berbasis jalan yang dipresentasikan oleh arus lalu lintas dengan kendaraan bermotor, masih menjadi andalan dalam pergerakan orang (termasuk para mahasiswa) dan barang. Ketika jumlah kendaraan terus meningkat sedangkan penambahan ruas jalan hampir tidak ada, berakibat pada menurunnya daya tampung kendaraan. Hal ini mengakibatkan di ruas jalan tertentu mengalami kemacetan yang ditandai antrian panjang kendaraan sehingga berdampak pada mahalnya biaya transportasi dan berbagai dampak turunan lainnya. Penambahan ruas jalan merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan pemerintah, hanya saja untuk kota Yogyakarta yang sudah sedemikian padat penduduknya, hal ini akan sangat sulit. Apalagi penambahan ruas jalan yang baru justru akan memacu peningkatan jumlah kendaraan pribadi. Di hari libur khususnya saat hari raya Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru ketika DIY diserbu oleh pemudik, kemacetan terjadi hampir di semua ruas jalan terutama jalan menuju obyek-obyek wisata. Selain oleh kendaraan yang sudah ada di DIY, kemacetan juga disebabkan kendaraan dari luar kota terutama dari Jakarta (Darmaningtyas, 2014). Jika kemacetan tidak teratasi lambat laun orang tidak akan merasa nyaman tinggal di Yogyakarta, dan tentu saja dari sisi pendidikan maupun pariwisata hal ini sangat merugikan.
8
Kondisi
menurunnya
tingkat
kenyamanan,
menunjukkan
bahwa
penggunaan kendaraan pribadi di Yogyakarta sebaiknya mulai dibatasi. Upaya pembatasan kendaraan pribadi (sepeda motor dan mobil) tidak akan berhasil tanpa tersedianya transportasi publik dengan tingkat layanan yang kira-kira setara sebagai pra kondisi. Menurut Kusbiantoro (2011) dengan adanya layanan transportasi publik yang setara, langkah pembatasan akan mampu mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik karena pra kondisinya telah terpenuhi. Untuk itu, Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah menerapkan angkutan umum dengan sistem buy the service atau yang dikenal dengan Trans Jogja. Pemerintah Daerah DIY berharap dengan adanya kebijakan ini masyarakat yang semakin banyak menggunakan kendaraan pribadi berpindah ke moda angkutan umum, sehingga kemacetan yang
disebabkan banyaknya
kendaraan pribadi dapat dihindari. Namun karena berbagai kendala, program yang dimulai sejak tahun 2008 ini belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengurai kemacetan di Yogyakarta. Meskipun demikian kebijakan Trans Jogja ini harus tetap dijalankan dengan berbagai alasan di antaranya: keterbatasan penyedia angkutan umum yang aman dan nyaman, Trans Jogja merupakan sub sistem perbaikan manajemen angkutan umum, Trans Jogja dilakukan secara kemitraan antara pemerintah dan pengusaha angkutan, dan ada peningkatan pendapatan yang diperoleh (Nandasari, 2013). Rencana pembenahan trayek dan penambahan armada juga terus dikerjakan, namun hal ini memerlukan proses yang tidak singkat sementara laju penambahan kendaraan pribadi terus berlangsung. Dengan
9
demikian tanpa adanya dukungan kebijakan yang lain, kondisi kemacetan akan menjadi masalah yang mengancam dan berlarut-larut. B. Perumusan Masalah Kebijakan Kondisi kemacetan di Yogyakarta diindikasikan dengan rendahnya kecepatan rata-rata kendaraan yang berakibat pada meningkatnya waktu penundaan dan bertambah panjangnya antrian di persimpangan (Gambar 1). Antrian panjang ini bukan hanya terjadi di jalan utama tetapi telah merambah ke kawasan pinggiran. Wilayah Kota Yogyakarta sendiri tidak terlalu luas yaitu sekitar 32,5 km2. Sedangkan wilayah perkotaan lebih luas karena ditambah wilayah beberapa kecamatan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Gambar 1. Kondisi Kepadatan Kendaraan di Kawasan Malioboro Yogyakarta Sumber: inijogja.com
Gambaran peningkatan kemacetan disampaikan oleh akademisi dari MSTT Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof.Dr.Ir. Siti Malkamah,M.Sc yang berpendapat bahwa perkembangan wilayah di Yogyakarta menyebabkan
10
kebutuhan perjalanan semakin tinggi. Misalnya saja Kampus UGM yang luasnya tetap, pada saat ini sudah semakin padat karena jumlah mahasiswa pada saat ini mencapai 4 sampai 5 kali dari jumlah mahasiswa ketika beliau mulai mengajar. Dahulu kampus UGM hanya diisi mahasiswa S1 yang setiap angkatan hanya 1 kelas yang jumlahnya kurang labih 100 mahasiswa. Tetapi pada saat ini rata-rata mahasiswa S1 adalah 3 kelas dan masih ditambah lagi dengan mahasiswa S2 dan S3. Demikian halnya dengan kawasan Malioboro yang selalu menjadi magnet pengunjung dan keberadaan hotel dan kegiatan lainnya di kawasan sekitarnya menyebabkan meningkatnya kebutuhan perjalanan ke wilayah tersebut. Berbagai faktor ini menyebabkan kebutuhan perjalanan di Yogyakarta terus meningkat sehingga kendaraan yang beroperasi di jalan juga meningkat pesat, sementara itu luas wilayah tindak bertambah demikian pula infrastruktur pendukungnya tidak bertambah secara signifikan. Peningkatan kepadatan penduduk juga menjadi perhatian bagi Pemerintah Kota Yogyakarta. Predikat yang disandang Yogyakarta ibarat dua sisi sebuah mata uang, di satu sisi predikat Yogyakarta memberikan keuntungan tetapi di sisi lain juga menimbulkan kerugian. “…Predikat Yogyakarta dengan predikat kota wisata dan kota pendidikan itu di satu sisi memang membantu kita karena memang itu banyak PAD yang terserap ke sini, karena di situ ada pertumbuhan kampus di luar sana, ada aktivitas ekonomi di sana. Tapi di sisi lain ketika itu di kondisi hari-hari tertentu Kota Jogja sebagai kota wisata justru banyak kendaraan-kendaraan wisatawan datang ke sini itu juga memberikan sumbangan terhadap kemacetan di Kota Jogjakarta. Mungkin masnya bisa lihat mungkin ketika ada libur yang panjang seperti besok Natalan empat hari,kemudian lebaran,libur sekolah . Itu pasti di titik-titik 11
menuju ke arah obyek wisata itu macet karena banyak kendaraan dari luar Jogja entah itu bis, rombongan study tour, atau wisatawan-wisatawan lokal yang datang ke sini untuk berwisata. Itu juga menyumbang banyak kemacetan di Kota Yogyakarta. Saya sendiri saja kalau hari libur pilih tidak kemana-mana “. (Kutipan wawancara Sekda Kota Yogyakarta melalui Dewi Utami P,SIP,MSi di Biro Tata Pemerintahan).
Dalam wawancara dengan Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta melalui Biro Tata Pemerintahan Pemerintah, Dewi Utami P,SIP,MSi juga menyampaikan pendapatnya terkait kondisi kemacetan di Kota Yogyakarta. “…kondisi peningkatan pertambahan jumlah penduduk dan juga berimplikasi pada penambahan jumlah kendaraan tidak diimbangi juga dengan kapasitas atau daya dukung dari jalan yang sudah ada. Panjang dan lebar jalan di Kota Yogyakarta ini sempit. Sedangkan untuk dilakukan pelebaran dan atau penambahan panjang jalan itu walaupun bisa tetapi sulit karena lahan di sini sangat terbatas dan kebanyakan adalah sudah mempunyai alas hak. Sehingga kalau kita memang akan melebarkan dsb kalau itu hak milik kan harus juga dengan implikasi ganti rugi dan itupun kalau disepakati oleh masyarakat.Kemudian banyak juga tanah-tanah di sini yang statusnya adalah tanah milik Kraton sehingga tanah yang milik Pemkot sendiri kan sebetulnya sangat terbatas ”. (Kutipan wawancara Sekda Kota Yogyakarta melalui Dewi Utami P,SIP,MSi di Biro Tata Pemerintahan)
Sebagai akibat tidak adanya penambahan infrastruktur jalan raya yaitu jalan raya semakin penuh bahkan melampaui kapasitasnya karena jumlah kebutuhan perjalanan meningkat. Di sisi lain aktivitas ekonomi pedagang dan parkir di tepi jalan juga menambah hambatan perjalanan dan mengurangi kapasitas jalan sehingga waktu tunda perjalanan juga meningkat.
12
1. Situasi Problematik Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam bidang transportasi di Kota Yogyakarta, terdapat situasi problematik yang menyebabkan kemacetan lalu lintas di antaranya yaitu: a. Peningkatan Jumlah Kendaraan Pribadi
1,749,738 1,618,457 1,488,033 1,374,202 1,276,309 1,065,571 982,348 888,161 789,668
Gambar 2. Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar di D.I. Yogyakarta; Sumber: DIY Dalam Angka 2013
BPS DIY juga mencatat pada tahun 2012 jumlah kendaraan bermotor di DIY adalah 1.749.738 unit, atau naik 17,59 % dibandingkan tahun 2011. Jumlah kendaraan bermotor didominasi oleh sepeda motor yaitu 87,87% sedangkan yang terendah justru bus yaitu 0, 63%, sedangkan sisanya adalah mobil penumpang sebanyak 8,70% dan mobil barang 2,77%. Dari tabel 1 jumlah kendaraan di Yogyakarta pada tahun 2012 berkontribusi sekitar 15% dari total kendaraan di DIY, sedangkan pada 13
tahun 2013 diperkirakan berkontribusi hampir 19%. Seperti halnya dengan kondisi di Jakarta, kondisi aglomerasi telah melewati batas-batas administrasi yang menyebabkan sistem kegiatan di perkotaan menyatu khususnya dengan wilayah yang berbatasan langsung yaitu Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo juga tetap memberikan kontribusi jumlah kendaraan pribadi yang beroperasi di Yogyakarta demikian halnya beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Magelang, Klaten,dll. Mengingat Yogyakarta sebagai kota pelajar, penambahan kendaraan bermotor di Yogyakarta juga disebabkan oleh mahasiswa yang membawa kendaraan dari daerahnya masing-masing (Basuki, 2008). Tabel 1. Jenis Kendaraan di Kota Yogyakarta
Jenis Kendaraan
2010
2011
1. Sedan
10.254
10.348
9.446
10.115
3.607
3.754
3.508
4.104
970
968
988
1.059
22.831
25.058
26.089
33.458
7.519
7.626
7.621
8.667
198.667
204.972
209.579
243.041
243.848
252.726
257.231
300.444
2. Jeep 3. Bus/ Microbus 4. Minibus 5. Pick Up/ Truk 6. Sepeda Motor Kota Yogyakarta
2012
2013
Sumber: Yogyakarta dalam Angka 2013 & 2014 /
Ada banyak alasan yang mendorong seseorang untuk memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi di Kota Yogyakarta, sehingga dengan penggunaannya
yang
berlebihan
menjadi
penyebab
peningkatan
kemacetan. Dengan kondisi demikian ini kemacetan pada jam puncak pagi
14
dan sore dan di akhir pekan atau hari libur seringkali tidak bisa dihindari. Menurut Kasie Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Windarto, kendaraan pribadi khususnya sepeda motor dianggap yang paling efisien sehingga penggunaannya sangat besar dan menimbulkan persoalan kemacetan. Kemacetan yang meningkat ini juga akan berdampak memunculkan persoalan turunan, misalnya pemborosan energi. Inilah kondisi yang menunjukkan perlunya lalu lintas kendaraan di Yogyakarta untuk diatur sehingga tetap terasa nyaman bagi siapapun yang akan berkunjung ke Yogyakarta.
Gambar 3. Kepadatan kendaraan di Jalan Kleringan Sumber: Kedaulatan rakyat
Di negara Singapura, aturan ketat terkait kepemilikan kendaraan sudah diterapkan. Dengan pembatasan jumlah pertambahan kendaraan dan umur kendaraan, Singapura mampu menerapkan transportasi yang efisien. Tentu hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia yang aturannya lebih longgar. Dengan uang muka yang kecil, sepeda motor dapat dibeli secara kredit dengan berbagai pilihan jangka waktu pelunasan yang tentunya dibantu
15
oleh perusahaan pembiayaan. Maka pada tahun 2012 dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 43/ PMK 010/ 2012 yang membatasi besaran minimal uang muka pembelian kendaraan bermotor yaitu 20% dari harga jual (Meryana, 2012). Kendaraan bermotor terus dipoduksi dan diimpor, sementara itu kendaraan berusia lama masih dibiarkan beroperasi sehingga juga menimbulkan kemacetan dan polusi. Dengan kondisi dekatnya jarak perjalanan terjauh di kota Yogyakarta ( utara-selatan sekitar 7,5 km dan barat-timur sekitar 5,6 km) ditunjang kurangnya kebiasaan berjalan kaki dan naik angkutan umum, masyarakat akan cenderung menggunakan kendaraan bermotor untuk menunjang aktivitasnya. Fenomena kecenderungan masyarakat menggunakan kendaraan bermotor pribadi mendapat perhatian dari Prof Siti Malkamah yang berpendapat bahwa masyarakat pada umumnya hanya memperhitungkan cost kendaraan dari faktor waktu yang efisien dan biaya operasional (bahan bakar,dll) atau dari tiket. Sesungguhnya ada biayabiaya lain yang perlu diperhitungkan yaitu kecelakaan, polusi udara, kemacetan dan energi. Dengan demikian selain tingginya pertambahan kendaraan pribadi dari waktu ke waktu, penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan telah menjadi faktor penyebab kemacetan di Yogyakarta.
b. Penurunan Fungsi Jalan Raya Menurut Wohl et all (1984) dalam Biro Administrasi Pembangunan DIY (2014), terjadinya kemacetan lalu lintas disebabkan kapasitas jalan yang
16
tetap tetapi penggunanya terus bertambah sehingga waktu tempuh semakin lama. Penambahan ruas jalan di Kota Yogyakarta sulit dilakukan karena wilayahnya yang sebenarnya tidak terlalu luas yaitu sekitar 32,5 kilometer persegi dan persoalan tata lahan yang menyebabkan sulitnya membangun ruas jalan yang baru. Keterbatasan inilah yang menjadi penyebab sulitnya pembangunan infrastruktur jalan raya sehingga ruas jalan hampir tidak bertambah yaitu sekitar 248 km. Kondisi ini masih diperparah dengan adanya hambatan samping seperti parkir tepi jalan umum dan pedagang kakilima yang melanggar ketentuan usaha misalnya dengan berjualan di trotoar. Akibatnya kapasitas jalan yang sudah terbatas ini masih berkurang lagi karena hambatan samping di beberapa ruas jalan. Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Yogyakarta secara khusus melalui Dinas Perhubungan yaitu melaksanakan manajemen lalu lintas. Dalam melaksanakannya, Dinas Perhubungan telah melakukan upaya manajemen lalu lintas terutama rekayasa lalu lintas dengan melakukan perubahan arus di beberapa ruas yang semula dua arah menjadi satu arah. Kadinas Perhubungan Kota Yogyakarta menyampaikan bahwa meskipun tidak termasuk 10 kota termacet, upaya-paya untuk mengatasi kemacetan dengan mengurai satu demi satu terus dikerjakan meskipun hal ini menimbulkan dampak yang berat dari sisi sosial. Misalnya pada titik yang padat dijadikan searah seperti Jalan C Simanjuntak, Jalan Prof Yohanes dan berikutnya masih ada lagi titik-titik yang masih dikaji untuk menunggu eksekusi. Dengan harapan ketika sebagian besar jalan-jalan di
17
Kota Yogyakarta sudah satu arah, maka hal tersebut akan mempermudah penempatan angkutan masal bentuk apapun dari sepertiga lebar jalan. “Kalau upaya mengatasi kemacetan yang fokus sudah dilaksanakan di Kota Yogyakarta ini adalah penataan atau manajemen traffic. Artinya kalau untuk upaya menejemen traffic itu memang secara jangka pendek itu dampaknya bisa dilihat. Contohnya yang sudah diterapkan manajemen traffic itu jalan satu arah yang kemarin sudah diuji coba antara lain di jalan Prof Yohanes dan jalan Simanjuntak. Itu sudah cukup membantu untuk mengurangi kemacetan di sana. Dan mungkin beberapa waktu yang lalu, juga pernah sudah lama itu di Jalan Suryotomo yang waktu itu kondisinya cukup padat tetapi kemudian di sana ditata kemudian di sana bebas parkir itu juga cukup membantu. Karena memang ketika kalau lebar jalan itu sempit kemudian di situ ada mobil parkir jalannya dua arah, contohnya di Kotagede itu jelas kemacetan lalu lintas sangat padat di sana.Sehingga ke depan rencananya Kotagede juga akan ditata menjadi satu arah.” (Kutipan wawancara dengan Kadinas Perhubungan Kota Yogyakarta)
Sampai dengan saat ini, upaya rekayasan lalu lintas jalan searah dipandang efektif dalam mengurangi kemacetan di beberapa ruas jalan. Dengan upaya ini pula beban jalan di suatu ruas yang sangat padat dapat didistribusikan ke ruas jalan yang lain.
Hanya perlu disadari bahwa
langkah ini tidak dapat menurunkan jumlah kendaraan yang melintasi wilayah kota Yogyakarta tetapi dapat membuat lancar untuk sementara waktu. Dengan demikian upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta pada saat ini melalui Manajemen Lalu Lintas tidak akan cukup jika laju pertambahan kendaraan tetap tinggi, seperti yang disampaikan Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta.
18
“Ketika sudah ditata sedemikian rupa tetapi pertumbuhan tetap tidak terhindari tetap saja yang satu arah itu akan macet. Seperti kita lihat di Jakarta. Jakarta sudah kurang apa? Hampir setiap jalan itu satu arah, tetap saja macet di sana, karena memang tidak sebanding antara jalan dengan kendaraan”. (Kutipan wawancara dengan Kadinas Perhubungan Kota Yogyakarta) Tidak hanya saat liburan panjang, kemacetan di Yogyakarta sudah terjadi di beberapa ruas jalan setiap hari pada jam sibuk. Terbatasnya lahan di wilayah perkotaan Yogyakarta menyebabkan sulitnya pembangunan infrastruktur jalan raya, sehingga di kota Yogyakarta dalam beberapa tahun ini hampir tidak ada penambahan panjang ruas jalan. Di sisi lain kegiatan masyarakat terus meningkat sehingga kebutuhan perjalanan pun mengalami peningkatan sehingga VC rasio juga meningkat. Kondisi terbatasnya ruas jalan raya ini masih ditambah sebuah persoalan lagi yaitu terbatasnya ruang parkir kendaraan sehingga muncul parkir di badan jalan. Parkir di badan jalan ini tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ekonomi masyarakat sehingga berakibat pada penurunan kapasitas dan fungsi jalan raya. c. Kondisi Angkutan Umum Belum Ideal. Pengembangan angkutan massal atau umum sedang dilakukan, namun kondisinya belum begitu memuaskan. Meski saat ini Trans Jogja masih dianggap sebagai angkutan umum yang aman dan nyaman dibandingkan angkutan perkotaan yang lain di Yogyakarta, beberapa rekomendasi untuk perbaikan pelayanan seperti jalur khusus/ bus line, bus priority, peremajaan, penambahan rute dan jumlah bus belum bisa dilaksanakan.
19
Padahal jika rekomendasi ini mampu dilaksanakan, maka beberapa permasalahan seperti keterlambatan dan peningkatan kapasitas untuk menampung perpindahan dari pengguna kendaraan pribadi dapat diatasi. Beberapa kondisi yang menyebabkan angkutan umum perkotaan belum ideal dan kurang diminati, antara lain: i.
Dalam skala yang luas, jaringan trayek belum mampu melayani kebutuhan pergerakan;
ii.
Banyak halte yang penempatannya kurang strategis karena kendala lahan ;
iii.
Angkutan umum yang ada tidak terintegrasi, sehingga penumpang yang menggunakan bus AKDP harus berganti kendaraan untuk menuju pusat kota, padahal proses transfer ini belum menjadi rangkaian sistem;
iv.
Jarak perjalanan yang relatif pendek, menyebabkan tarifnya tidak kompetitif dibandingkan menggunakan sepeda motor ;
v.
Tidak bisa tepat waktu sehingga menyulitkan bagi pelajar, mahasiswa dan karyawan yang kegiatannya dibatasi waktu ;
vi.
Jumlah bus yang kurang sehingga berimplikasi pada lamanya waktu tunggu.
Dengan kondisi saat ini, masyarakat masih memilih untuk moda kendaraan pribadi khususnya sepeda motor karena dianggap sebagai moda yang paling efisien. Mobilitas penduduk di perkotaan merupakan konsekuensi
20
logis karena berbagai kesenjangan yang terjadi di perkotaan dengan sekitarnya atau di pedesaan. Oleh sebab itu upaya perbaikan angkutan umum perkotaan sangat diperlukan dalam rangka menekan migrasi kendaraan pribadi akibat migrasi penduduk. Seperti disampaikan Kadinas Perhubungan Kota Yogyakarta yang menyatakan bahwa selain program rekayasa lalu lintas, mereka siap mengawal segala program untuk angkutan masal seperti bus priority. Tujuannya pada saat kendaraan pribadi mengalami macet, jangan sampai angkutan masal juga mengalami macet sehingga masyarakat mau beralih ke angkutan masal. Terhadap situasi ini Prof Siti Malkamah menyoroti bahwa dari jumlah perjalanan per hari yang mencapai dua juta perjalanan, angkutan umum baru bisa memenuhi pada jumlah yang sangat kecil. Kemacetan di RS Sardjito menjadi bukti bahwa angkutan umum kapasitasnya kurang, sehingga yang terjadi sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi. Seharusnya pada tahun 2012 atau 2013, angkutan umum ditargetkan sudah mencapai kapasitas yang dibutuhkan, dengan jumlah bus yang banyak dan trayek yang bertambah sehingga kemacetan di RS Sardjito tidak seperti saat ini karena mayoritas masyarakat yang datang menggunakan angkutan umum. Meningkatnya kunjungan wisata seharusnya bisa diantisipasi dengan kualitas dan kuantitas angkutan umum yang baik. Tetapi yang terjadi dengan ketiadaan angkutan umum yang memadai ini, bertambahnya mall (pusat perbelanjaan), hotel dan berbagai penunjang wisata justru menambah persoalan kemacetan karena penggunaan kendaraan pribadi
21
yang meningkat. Untuk peningkatan kapasitas dan kualitas Trans Joga, sangat diperlukan kebijakan dalam hal organisasi kaitannya dengan pengelolaan dan juga kebijakan penganggaran. Meskipun angkutan perkotaan Trans Jogja sudah dioperasikan untuk mengatasi persoalan kemacetan, hasilnya belum begitu memuaskan karena secara kuantitas jumlahnya masih sangat kurang. Selain itu aksesibilitas dan mobilitas yang terbatas dari Trans Jogja menyebabkan load faktor ke semua jurusan ada di angka 47%. Demikian juga angkutan umum lain yang tidak kompetitif dari berbagai indikator kinerja pelayanan, rata-rata load faktor ke semua jurusan hanya sekitar 32% (Idris, 2012). Hal ini tentunya berakibat kembali terhadap meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi. Kewenangan pengelolaan angkutan umum ada di Pemerintah Daerah DIY, sehingga untuk melakukan percepatan perbaikan kondisi angkutan umum tidak bisa dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta secara langsung. Karena Yogyakarta adalah wilayah perkotaan dengan berbagai predikat yang disandang, maka selalu berpotensi menjadi magnet bagi setiap penduduk untuk datang dengan kendaraan pribadinya.
Prof. Siti Malkamah, M.Sc
berpendapat bahwa kebutuhan jumlah perjalanan di wilayah perkotaan Yogyakarta pada saat ini sudah mencapai 1.000.000/ hari, jika dihitung PP sudah mencapai 2.000.000/ hari, sedangkan Kota Yogyakarta mencapai sekitar 300.000 sampai dengan 400.000 perjalanan per hari. Penggunaan kendaraan pribadi karena kebutuhan perjalanan, dan potensi Kota Yogyakarta sebagai 22
pusat kegiatan menyebabkan besarnya pergerakan kendaraan pribadi dan berimplikasi terhadap kemacetan di kota maupun perkotaan Yogyakarta.
Peningkatan Jumlah Kendaraan Pribadi
Penurunan Fungsi
YOGYAKARTA
Jalan Raya
MACET
Kondisi Angkutan Umum Perkotaan Belum Ideal
Gambar 4. Permasalahan Kemacetan di Kota Yogyakarta dari Aspek Transportasi
Ketiadaan angkutan umum/publik yang nyaman, ditambah ruas jalan yang tidak bertambah dan menurun fungsinya, serta jumlah kendaraan pribadi yang terus meningkat menyebabkan kondisi kemacetan di Kota Yogyakarta akan meningkat. Upaya manajemen lalu lintas melalui sosialisasi ke masyarakat dan juga perubahan arus di simpang yang padat menjadi searah, sudah dilakukan. Tetapi langkah-langkah ini hanya akan efektif untuk sementara waktu mengatasi kemacetan akibat dari penggunaan kendaraan pribadi yang berlebih. Untuk itu Pemerintah Kota Yogyakarta perlu melakukan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi sehingga kondisi kemacetan dapat terkendali.
23
2. Meta Masalah a. Kemacetan Kemacetan adalah kondisi dimana arus lalu lintas yang lewat pada ruas jalan yang ditinjau melebihi kapasitas rencana jalan tersebut yang mengakibatkan kecepatan bebas ruas jalan tersebut mendekati 0 km/jam atau bahkan menjadi 0 km/jam sehingga mengakibatkan terjadinya antrian. Terjadinya kemacetan dapat dilihat dari nilai derajat kejenuhan yang terjadi pada ruas jalan yang ditinjau, dimana kemacetan terjadi jika nilai derajat kejenuhan tercapai lebih dari 0,8 (MKJI 1997 dalam Basuki 2008). Penyebab kemacetan adalah: disiplin pelaku lalu lintas (pengguna jalan) atau jalan rusak.. Kemacetan yang terjadi pada kondisi V/C < 1 disebabkan oleh kondisi jalan yang rusak, sedangkan dalam kondisi kemacetan murni (V/C > 1) semua pihak turut andil menjadi penyebab kemacetan. Persoalan kemacetan lalu lintas bisa terjadi akibat kesalahan perencanaan perangkutan dalam menentukan kebijakan pilihan moda (modal split) dan atau pembebanan jaringan (traffic assignment). Dalam upaya agar V/C < 1 maka perlu dilakukan rekayasa lalu lintas seperti menerapkan kebijakan lalu lintas satu arah, membangun median jalan, memasang lampu lalu lintas, dan marka jalan. Upaya rekayasa lalu lintas ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas ruas jalan tertentu guna melancarkan arus lalu lintas, sehingga pemborosan biaya akibat kemacetan dapat ditekan sampai titik minimal. Biaya operasional kendaraan yang nilainya berbanding terbalik dengan kecepatan adalah biaya
24
yang berkaitan dengan pengoperasian sistem transportasi tersebut antara lain biaya pemakaian bahan bakar, oli, ban dan biaya pemeliharaan.
Peningkatan Pendapatan
Kendaraan Pribadi Semakin Menarik
Peningkatan Pemilikan Kendaraan Pembatasan Kendaraan
Penurunan Frekuensi Bus
Penurunan Permintaan/Penu mpang Bus
Peningkatan Kemacetan & Keterlambatan Bus Priority
Subsidi
Penurunan Jarak Tempuh Bus
Peningkatan Tarif Penumpang Peningkatan Biaya Operasional Bus
Gambar 5. Lingkaran Setan Kemacetan Lalu Lintas ; Sumber: Ortuzar dan Willumsen 2001 dalam Lee 2006
Peningkatan kemacetan di jalan raya didorong oleh oleh berbagai aspek. Pertumbuhan ekonomi, penduduk dan peningkatan pendapatan telah mendorong peningkatan kepemilikan kendaraan pribadi dan meningkatnya jumlah perjalanan untuk berbagai aktivitas. Dampak dari meningkatnya kepemilikan kendaraan pribadi juga menyebabkan semakin banyaknya perpindahan penumpang dari moda transportasi umum ke kendaraan pribadi. Hal ini menyebabkan menurunnya jumlah penumpang transportasi umum dan menyebabkan
operator
(biasanya
swasta)
menaikkan
biaya/ongkos,
menurunkan frekuensi perjalanan dan kualitas pelayanan. Oleh sebab itu, perjalanan dengan kendaraan pribadi semakin menarik dibandingkan 25
transportasi umum dan semakin banyak orang yang ingin memiliki kendaraan pribadi. Dan kondisi berikutnya menjadi lebih sulit yaitu pengemudi kendaraan pribadi menghadapi peningkatan kemacetan, demikian pula dengan transportasi umum sehingga perjalanan menjadi lebih mahal dan berdampak pada penurunan frekuensi pelayanan. Inilah gambaran dari ‘lingkaran setan’ sebuah fenomena kemacetan yang dgambarkan oleh Ortuzar dan Willumsen 2001 dalam Lee 2006, seperti pada gambar 5 . Kondisi seperti inilah yang memicu kemacetan terutama di kota-kota besar sehingga perlu dilakukan upaya-upaya seperti skema ‘Bus Priority’, Subsidi dan Pembatasan agar transportasi tetap berlangsung secara efisien.
Waktu Perjalanan
B
A Arus Kendaraan
Gambar 6. Hubungan Arus Lalu Lintas dan Waktu Perjalanan Sumber:Dirjen Perhubungan Darat
Setiap penambahan jumlah kendaraan dalam arus lalu lintas akan menambah jumlah waktu tempuh dan biaya operasional dalam arus lalu lintas tersebut seperti terlihat pada gambar 6. Dari gambar grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan kendaraan pada tingkat arus lalu lintas tinggi (A) akan membangkitkan kelambatan pada setiap pemakai yang lebih besar 26
dibandingkan dengan penambahan kendaraan pada tingkat arus lalu lintas rendah. Kemacetan lalu lintas yang terjadi di Kota Yogyakarta disebabkan oleh berbagai aspek antara lain: i.
Politik Kondisi kemacetan kota Yogyakarta terkait erat dengan predikat yang disandang Yogyakarta sebagai kota pendidikan, budaya dan wisata. Sebagai kota pendidikan, masyarakat beranggapan Yogyakarta memiliki sekolah-sekolah favorit atau unggulan di pusat kota dan tentunya memiliki harapan agar bisa bersekolah di Kota Yogyakarta. Sebagai kota budaya dan wisata, posisi Kraton Yogyakarta selalu menjadi daya tarik budaya dan wisata. Demikian halnya dengan kawasan Malioboro yang selalu menjadi daya tarik wisatawan untuk selalu mengunjungi tempat ini ketika di
Yogyakarta.
Selain
itu,
penggunaan
lahan
untuk
berbagai
kepentingan/kegiatan pendukung seperti hunian, rumah makan, pusat perbelanjaan,dll dengan meninggalkan wilayah lain berdampak pada pengumpulan kegiatan di suatu kawasan saja. Oleh sebab itu kondisi tata ruang di Kota Yogyakarta ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan tata ruang dan prosedur perijinan khususnya bangunan yang ada yang berakibat pada meningkatnya tarikan dan kemacetan di wilayah ini. Dalam hal peningkatan jumlah kendaraan pribadi dari tahun ke tahun, Pemerintah Kota Yogyakarta merasa tidak bisa berbuat banyak. Menurut Pemerintah Kota Yogyakarta secara khusus di Dinas Perhubungan dan
27
Sekretariat
Daerah,
pembatasan
jumlah
dari
kendaraan
pribadi
memerlukan kebijakan di tingkat hulu atau pemerintah pusat. Selama tidak ada upaya dari pemerintah pusat untuk membatasi pertambahan kendaraan pribadi, maka pertambahan kendaraan pribadi akan terus terjadi dan kemacetan tidak dapat dihindari. “Selama kebijaksanaan hulu tidak dipotong atau terjadi kebebasan yang luar biasa,kendaraan yang masuk ataupun produksi sendiri, itu jalan… berapa lebarpun jalan kemudian berapapun apa.. tempat parkir disediakan tidak akan cukup. Karena itu berbanding lurus (mas),.. pendapatan semakin maju semakin kendaraan akan semakin banyak selama tidak ada kendaraan masal yang…. Karena mereka sudah merasa sangat nyaman dengan kendaraan yang sifatnya pribadi. “(Kutipan wawancara dengan Kadinas Perhubungan Kota Yogyakarta)
Terkait pertambahan kendaraan pribadi, Sekda Kota Yogyakarta melalui Biro tata Pemerintahan juga berpendapat senada. “……kalau dari sisi Sekretariat Daerah sendiri, mungkin hampir sama dengan yang disampaikan SKPD yang lain. Memang kompleksitas permasalahan kemacetan itu merupakan hal yang sulit ya …diatasi, mengingat dari sisi aturan sendiri Pemkot itu tidak berwenang untuk menghentikan yang namanya misalnya pembelian kendaraan dsb, selama memang dari pusat tidak ada pembatasan semacam itu. Karena semua aturan yang terkait dengan perijinan kendaraan dsb dari pusat”. (Kutipan wawancara Sekda Kota Yogyakarta melalui Dewi Utami P,SIP,MSi di Biro Tata Pemerintahan)
28
Penggunaan kendaraan pribadi yang sangat besar, sedangkan penggunaan kendaraan umum sangat kecil menyebabkan kondisi kemacetan di Yogyakarta pada saat ini dari tahun ke tahun meningkat, yang ditandai dengan meningkatnya waktu tundaan. Persoalan kemacetan atau transportasi pada saat ini tidak bisa dibatasi secara administratif. Dengan kata lain persoalan kemacetan sangat terkait dengan kondisi urban (perkotaan) bukan lagi hanya city (kota). Untuk itu bukan hanya Pemerintah Kota yang harus mengatasinya, tetapi lintas kabupaten atau dalam hal ini oleh Pemerintah Daerah/provinsi.
ii.
Ekonomi Dari sisi ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat menjadi pendorong masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi. Ketika dukungan hukum lemah (pajak kendaraan, persyaratan SIM, parkir, dll), maka kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi ini cenderung tidak terkendali. Tentu kondisi ini akan sangat berbeda dengan negara lain seperti di Singapura yang menerapkan aturan yang sangat ketat (pajak yang tinggi, pembatasan usia kendaraan, biaya parkir yang tinggi, dll) sehingga kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi bisa terbatasi.
iii.
Sosial Budaya
29
Pergerakan masyarakat di Yogyakarta khususnya dengan kendaraan pribadi, tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat. Kepemilikan kendaraan pribadi dapat meningkatkan status sosial seseorang, sehingga ketika bepergian masyarakat lebih terbiasa dengan kendaraan pribadi daripada angkutan umum. Kebiasaan masyarakat untuk berjalan kaki juga kurang, sehingga ketika bepergian lebih sering menggunakan kendaraan bermotor daripada berjalan kaki meskipun pada jarak yang dekat. Selain itu budaya untuk hadir secara fisik masih sangat kuat, sehingga kemajuan teknologi yang sebenarnya menolong seseorang untuk tidak selalu hadir secara fisik, belum dimanfaatkan atau dimaksimalkan. Berikutnya, kondisi waktu sekolah dan waktu ke kantor yang hampir sama saat berangkat maupun pulang juga ikut menyebabkan kemacetan. Menurut Lee (2006), dampak dari meningkatnya kendaraan pribadi adalah menurunnya jumlah penumpang angkutan umum karena berpindah ke kendaraan pribadi. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap kinerja angkutan umum (khususnya swasta) untuk menaikkan biaya/ongkos, menurunkan frekuensi perjalanan sehingga secara umum kualitas pelayanan angkutan umum menurun. Penurunan kualitas pelayanan menyebabkan kendaraan pribadi menjadi semakin menarik untuk menjadi pilihan, maka kendaraan umum semakin ditinggalkan dan semakin banyak yang beralih ke kendaraan pribadi. Situasi ini semakin sulit ketika jumlah kendaraan pribadi sudah sangat banyak dan memenuhi jalan raya sehingga menyebabkan terjadi kemacetan.
30
Situasi yang tidak jauh berbeda juga sedang terjadi di Kota Yogyakarta. Kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya telah menciptakan situasi kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan. Penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat mengakibatkan menurunnya kualitas pelayanan angkutan umum swasta. Selain itu, angkutan umum juga mengalami kualitas pelayanan seperti keterlambatan jadwal karena kondisi lalu lintas yang bercampur dengan kendaraan lain (mix traffic). Dengan demikian aspek politik dalam hal ini kewenangan pemerintah menjadi penting dan menentukan dalam pengendalian kemacetan di Kota Yogyakarta. b. Pembatasan Lalu Lintas Manajemen
Kebutuhan
Lalu
lintas
atau
Transportation Demand
Management (TDM) digagas pada awal 1970an dengan tujuan untuk medapatkan kualitas lingkungan khususnya udara yang lebih baik di berbagai kota besar. Program-program TDM
antara lain control terhadap emisi
kendaraan, yang secara tidak langsung juga sebagai program penghematan energi. TDM dikelompokkan dalam 3 kategori: mendorong penggunaan kendaraan alternatif, mendorong sistem transportasi yang efisien, dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Berbagai manfaat atau tujuan
dari Transport Demand Management yaitu: i.
Efisiensi yaitu kelancaran lalu lintas yang menyebabkan penghematan waktu tempuh dan biaya perjalanan.
31
ii.
Kualitas Lingkungan yang meningkat karena polusi udara, bunyi dan getaran dapat dikurangi
iii.
Dapat merevitalisasi fasilitas perkotaan sesuai fungsinya sehingga inkonsistensi dari sistem tata guna lahan yang disebabkan kesalahan perencanaan transportasi dapat dikurangi.
iv.
Keuntungan Ekonomi:adanya tambahan dana yang dapat digunakan perbaikan kualitas angkutan umum.
v.
Menjamin persamaan hak dari pengguna jalan.
Pembatasan lalu lintas atau kendaraan dalam UU no 22 tahun 2009 merupakan bagian dari Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas yang tertuang dalam pasal 133 sebagai berikut: Bagian Ketujuh Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas Pasal 133 (1) Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu Lintas
dan
mengendalikan
diselenggarakanmanajemen
pergerakan
kebutuhan
Lalu
Lalu
Lintas
Lintas,
berdasarkan
criteria: a.
Perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dengan kapasitas jalan
b.
Ketersediaan jaringan dan pelayananan angkutan umum; dan
c.
Kualitas lingkungan
(2) Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a.
Pembatasan lalu lintas kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu
b.
Pembatasan lalu lintas kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu
32
c.
Pembatasan lalu lintas sepeda motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu
d.
Pembatasan lalu lintas kendaraan bermotor umum sesuai dengan klasifikasi fungsi jalan
e.
Pembatasan ruang parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang parkir maksimal; dan/atau
f.
Pembatasan lalu lintas kendaraan tidak bermotor umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu
(3) Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b dapat dikenakan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Manajemen kebutuhan Lalu Lintas ditetapkan dan dievaluasi secara berkala oleh Menteri yang bertanggung jawab pada bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi terkait. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen kebutuhan Lalu Lintas diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembatasan lalu lintas yang bertujuan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
dilakukan
pada
lokasi
dan
waktu
yang
tertentu
dengan
memperhitungkan kondisi lalu lintas, ketersediaan angkutan umum, dan kualitas lingkungan. Dengan diberlakukannya pembatasan lalu lintas diharapkan terjadi efisiensi, peningkatan kualitas lingkungan, penataan sistem tata guna lahan, meningkatkan ekonomi, dan menjamin persamaan hak bagi pengguna jalan. Secara operasional pembatasan lalu lintas harus memenuhi beberapa kriteria antara lain mengurangi kemacetan, bersifat fleksibel sesuai keperluan dan karakteristik masalah, seminimal mungkin berdampak merugikan bagi pengguna jalan yang kurang berkontribusi bagi kemacetan,
33
mudah diimplementasikan.Pemberian pembatasan ini tentunya disertai dengan pilihan-pilihan lain kepada pengguna jalan sehingga dapat memilih yang terbaik di antaranya: berpindah moda transportasi, mengubah lokasi tempat beraktivitas, mengubah waktu perjalanan, ataupun mengubah rute perjalanan. Jenis-jenis pembatasan yang diterapkan antara lain: i.
Ownership control: yaitu membatasi kepemilikan kendaraan untuk setiapindividu atau keluarga misalnya dengan menerapkan pajak progresif atau penerapan kuota.
ii.
Tarif Parkir pada lokasi tertentu :yaitu pada lokasi-lokasi tertentu diterapkan tarif parkir yang tinggi sehingga jumlah kendaraan yang melintas/ memasuki suatu lokasi bisa berkurang
iii.
Physical Control: yaitu memberikan hambatan-hambatan fisik pada suatu jaringan sehingga mobilitas kendaraan berkurang karena menggunakan alternatif yang lain.
iv.
Delay Based Control yaitu memberikan hambatan tambahan sehingga meningkatkan waktu tempuh pada rute tertentu misalnya dengan penambahan waktu lampu merah pada persimpangan yang menuju ruas tertentu.
v.
Regulatory Control: yaitu menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat TDM seperti kawasan 3 in 1,dll
vi.
Fiscal Control yaitu menarik bayaran bagi pengguna jalan sebagai kompensasi dari sumbangan terhadap kemacetan misalnya dengan congestion charging/ ERP.
34
3. Masalah Substantif Dari meta masalah diperoleh gambaran bahwa persoalan kemacetan disebabkan oleh aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Peningkatan ekonomi dan kondisi sosial budaya telah mendorong masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor pribadi dan meninggalkan angkutan umum. Oleh sebab itu, sangat diperlukan peran pemerintah sehingga secara politik situasi ini dapat diatasi melalui berbagai regulasi. Secara politik, Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai kewenangan yang terbatas dalam mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas. Dalam hal ini, Pemerintah Kota Yogyakarta dapat menyelesaikan sebagian masalah saja, sedangkan sebagian besar lainnya memerlukan peran dari Pemerintah daerah DIY dan Pemerintah RI. Sebagai contoh adalah permasalahan tentang kenaikan jumlah kendaraan di jalan raya. Tentunya hal ini menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk membatasi pertumbuhan kendaraan melalui kebijakan batas minimal uang muka pembelian kendaraan ataupun terkait kuota masuk kendaraan. Demikian pula untuk angkutan publik perkotaan, tanggung jawab pengelolaannya berada di Pemerintah Daerah DIY. 4. Masalah Formal Oleh karena keterbatasan kemampuan atau kewenangan, maka permasalahan yang dapat diatasi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta adalah permasalahan penurunan fungsi jalan raya di Kota Yogyakarta. Manajemen lalu lintas merupakan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Kota Yogyakarta. Untuk
35
itu, Pemerintah Kota Yogyakarta telah melakukan upaya pengaturan persimpangan jalan, traffic light dan pemberlakuan arus searah agar lalu lintas senantiasa lancar. Dalam jangka pendek, pemberlakuan arus searah dapat mengatasi kemacetan di suatu ruas jalan. Tetapi tidak dapat dipungkiri upaya ini juga memindahkan kemacetan ke ruas jalan yang lain, sehingga jalan-jalan di kota Yogyakarta secara berangsur mengalami penurunan fungsinya. Gejala penurunan fungsi jalan raya ini tidak lain adalah kemacetan yang ditandai oleh panjangnya antrian kandaraan di persimpangan atau traffic light dan meningkatnya waktu tunda yang dialami oleh kendaraan pribadi ataupun angkutan umum. Penyebab dari situasi ini adalah penggunaan kendaraan pribadi yang tidak dibatasi sehingga penggunaannya menjadi berlebihan. Penggunaan kendaraan pribadi yang berlebih tentunya membutuhkan ruang parkir kendaraan, tetapi karena ketersediaan ruang parkir kendaraan tidak dapat mengimbanginya maka badan jalan juga digunakan sebagai tempat parkir.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penurunan fungsi jalan
raya yang terjadi di Kota Yogyakarta adalah penggunaan kendaraan pribadi secara berlebihan dan pemanfaatan badan jalan sebagai tempat parkir kendaraan. 5. Tujuan Kebijakan Dengan adanya kebijakan pembatasan lalu lintas, diharapkan kemacetan yang semakin parah dapat dihindari sehingga Kota Yogyakarta tetap menjadi tempat yang nyaman bagi siapapun yang berkunjung.
36
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian: a. Menemukan alternatif-alternatif kebijakan untuk mengatasi persoalan kemacetan di kota Yogyakarta b. Menghasilkan rekomendasi terhadap pengambil kebijakan di Kota Yogyakarta terkait persoalan kemacetan. 2. Manfaat Penelitian: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat dalam manajemen lalu lintas di Kota Yogyakarta. b. Untuk menambah wawasan pengetahuan penulis baik teoritis maupun praktis.
37