ALTERNATIF SOLUSI KEMACETAN LALU LINTAS DI KOTA MEDAN Filiyanti T.A. Bangun
Dosen Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik USU Medan Abstract: Urban sprawl development for Medan City unites the business and trade centres and the government centre in the CBD area of Medan. Tentative concept of Urban Spatial Arrangement causes the City Government of Medan has no power and authority on deciding locations for the businesses of investors in accordance with the RTRW Master Plan and so far the spatial arrangement and the urban transportation systems follow the desires of the investors. Consequently, this causes severe traffic jam that could spread to whole the city area and spread to whole time because the distribution of the traffic is focused on the CBD area and as well causes air and noise pollution, low health quality and decreases morality of inhabitants which further increases the criminality level of the city. The concept of satellite cities is offered to be applied in Medan. In addition the revitalization of public transport systems, which is also the core problem of traffic in Medan, is also offered in this paper. 1.
PENDAHULUAN Dampak yang meresahkan dari perkembangan kota yang tidak terarah dan tidak terkontrol adalah kemacetan sistem lalu lintas yang dapat menyebar ke seluruh wilayah kota, waktu tempuh ke tempat kerja semakin panjang dan biaya perjalanan juga semakin tinggi akibat bertambahnya penggunaan BBM yang selanjutnya menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja karena stres dalam kemacetan. Sisi lain yang tak kalah penting adalah minimnya akses untuk jalur hijau atau open space seperti taman yang merupakan paru-paru kota, tingginya kebutuhan akan pengadaan infrastruktur baru, tingginya polusi udara, polusi air dan suara, rendahnya mutu kesehatan hingga menurunnya tingkat moralitas penduduk yang mengakibatkan tingginya tingkat kriminalitas perkotaan. Belum adanya konsep tata ruang yang jelas dan tegas untuk Kota Medan secara menyeluruh terintegrasi dengan rencana jaringan transportasi untuk jangka panjang dan bukan hanya untuk 5-10 tahun mendatang saja mengakibatkan perkembangan Kota Medan tidak terarah dan mementingkan keuntungan sesaat saja, maksudnya tidak mengutamakan perkembangan kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Misalnya belum memperhatikan nilai estetika atau keindahan kota dan tidak adanya jalur hijau atau taman kota di wilayah inti kota khususnya. Konsep tata ruang yang tidak jelas dan tegas juga mengakibatkan nilai jual Kota Medan bagi investor sangat rendah karena tidak adanya kepastian (sewaktu-waktu segala sesuatu dapat berubah bergantung situasi atau political will Pemko Medan). Sekalipun mungkin setiap tahun RTRW Kota Medan direvisi namun karena Pemko Medan tidak berdaya mengatasi kekuatan pasar maka selama ini yang terjadi adalah penataan ruang dan sistem transportasi perkotaanlah yang mengikuti selera pasar yang mana semestinya Pemko Medanlah yang menentukan bagi pasar/investor lokasi-lokasi untuk daerah bisnis dan perdagangan, perumahan ataupun perkantoran.
54
Pembangunan Kota Medan yang bersifat setempat saja yakni hanya di wilayah inti kota (CBD) sama sekali tidak dapat dibenarkan sekalipun dengan alasan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). Adanya pertumbuhan pusat bisnis dan perbelanjaan di lokasi yang sama dengan pusat pemerintahan Kota Medan yakni di wilayah inti kota mengakibatkan distribusi lalu lintas hanya terkonsentrasi pada satu wilayah atau zona saja. Hal ini mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang parah di inti kota yang menyebar ke seluruh wilayah Kota Medan khususnya pada peak-hours. Selain itu terjadi ketimpangan yang mencolok antara warga yang tinggal di wilayah inti kota dengan warga yang tinggal di wilayah pinggiran Kota Medan. Barangkali alternatif solusi yang paling ampuh untuk mengatasi kesemrawutan perkembangan Kota Medan serta juga menjadi solusi untuk mengurangi kemacetan lalu lintas ini adalah dengan mengadakan pembangunan kota-kota baru ataupun kota-kota satelit di wilayah batas kota (wilayah pinggiran) seperti yang banyak dilakukan oleh negara-negara lain, yang berhasil misalnya Turki, Jepang dan RRC. Pembangunan kota satelit dapat dilakukan dengan membangun dan mengembangkan lapangan pekerjaan dan aktivitas komersial ke suatu lokasi baru yang jauh dari wilayah inti kota namun tetap dihubungkan oleh sistem jaringan transportasi yang memadai dengan pusat kota. Konsep kota satelit yang menginginkan penduduknya bekerja dan beraktivitas di dalam kota satelit tersebut dapat meningkatkan efisiensi penggunaan angkutan umum, misalnya rute menjadi lebih pendek. Juga dapat mengurangi penggunaan kenderaan pribadi serta meningkatkan pengunaan sepeda dan fungsi pejalan kaki/pedestrian. Hal ini juga dapat mengurangi penggunaan kenderaan pribadi, sehingga kemacetan lalu lintas, polusi udara dan suara yang mengakibatkan rendahnya mutu kesehatan penduduk terutama anak-anak dapat
Alternatif Solusi Kemacetan Lalu Lintas di Kota Medan Filiyanti T.A. Bangun
berkurang. Keuntungan lain dari adanya kota satelit yakni dapat mengoptimalkan kelangsungan usaha daripada fasilitas-fasilitas kota seperti toko, sekolah, klinik dan praktik dokter sampai halte yang terletak dekat dengan rumah-rumah penduduk. Namun ternyata pengadaan kota-kota satelit seperti Bintaro dan BSD (Bumi Serpong Damai) yang terdapat di Jakarta ternyata tidak dapat mencapai tujuan daripada pengadaan kota satelit tersebut. Hal ini disebabkan bahwa penduduk yang berdiam di kota satelit tersebut belum tentu bekerja, bersekolah atau berbisnis di dalam kota satelit tersebut. Selain itu fasilitas kota satelit tersebut juga belum tentu sesuai dengan keinginan penduduknya sehingga sebaran kemacetan lalu lintas tetap saja terjadi. Bagaimana dengan Kota Medan? Konsep kota satelit yang bagaimana sebaiknya dilaksanakan untuk Kota Medan sehingga dapat mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di Kota Medan khususnya di wilayah inti kota? Sebaiknya daerah mana yang dapat menjadi lokasi-lokasi baru bagi kota-kota satelit tersebut? Apakah konsep kota satelit dapat menyelesaikan masalah sistem angkutan umum (angum) di Kota Medan yang tak kalah peliknya? Adakah alternatif solusi percepatan pemberdayaan sistem angum di Kota Medan ? KONSEP KOTA SATELIT BAGI KOTA MEDAN Jadi sebenarnya setiap kota yang notabene punya masalah kota dan masalah lalu lintas tersendiri yang khusus dan berbeda di tiap-tiap kota mestinya punya konsep kota satelit tersendiri. Semestinya masalahmasalah khusus kota tersebut diselesaikan terlebih dahulu agar pengembangan kota satelit dapat maksimal fungsinya. Keberadaan pusat pemerintahan dan pusat bisnis dan perbelanjaan di dalam satu wilayah/zona yang sama yakni di inti kota adalah masalah yang mendasar dan utama bagi Kota Medan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Karena sekalipun dibangun kota-kota satelit misalnya di wilayah-wilayah lingkar luar, maka kemacetan tetap saja akan terjadi di inti kota yang menyebar ke seluruh penjuru Kota Medan. Jadi aktivitas-aktivitas apa saja yang semestinya disatelitkan terlebih dahulu di Kota Medan ?
2.
3.
2.
1.
Pusat Pemerintahan: Sudah saatnya Pemko Medan memikirkan lokasi baru bagi pusat pemerintahan Kota Medan, maksudnya seperti Kantor Walikota, Kantor Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Dinas Tarukim, TKTB, Kantor DPRD/DPR Provsu, Kantor Imigrasi dan semua instansi-instansi pemerintah berada pada satu lokasi yang sama. Dengan demikian masyarakat yang ingin mengurus keperluannya terkait dengan instansi pemerintah, hanya perlu travel ke satu tempat saja. Selanjutnya dikembangkan juga perumahan-perumahan,
4.
5.
khususnya bagi para pegawai pemerintahan tersebut beserta dengan segala fasilitasnya seperti toko,-toko, rumah sakit, sekolah dan fasilitas rekreasi. Sarana infrastruktur yang menghubungkan pusat pemerintahan ini ke inti kota dan juga ke bagian-bagian Kota Medan lainnya juga hendaknya direncanakan dengan maksimal. Proses pengembangan kota satelit ini akan berjalan secara alamiah, dan perlahan-lahan akan dapat menjadi suatu Kota Mandiri. Hal yang signifikan yang langsung terjadi dengan adanya re-alokasi pusat pemerintahan ini adalah terdistribusinya sistem lalu lintas Kota Medan sehingga tidak hanya menuju inti kota saja. Pusat Bisnis dan Perbelanjaan: tetap dikembangkan di wilayah inti kota yang dengan sendirinya akan berkembang memenuhi segala kebutuhan akan fasilitas-fasilitasnya yang sesuai seperti hotel, kondominium, apartemen, rumah sakit ataupun exhibition center. Pusat Pendidikan Tinggi Swasta: banyaknya pertumbuhan perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) di wilayah inti kota., misalnya: Microskill di Jl. Thamrin, STIE di Jl. Sungai Deli atau LP3I di Jl. Gajah Mada dan kursus-kursus keahlian jangka pendek seperti kursus komputer, akutansi serta bahasa yang menyebar di seluruh wilayah inti kota. Pelajar-pelajar PTS ini pada umumnya menggunakan kenderaan pribadi sehingga dapat dibayangkan pada saat masuk dan keluar kegiatan perkuliahan selalu membuat macet daerah sekitar lokasi kegiatan. Bila semua PTS ini dapat diarahkan terkonsentrasi dalam satu lokasi yang sama (ruislag) sehingga berkembang pula rumah-rumah kost, flat/apartemen bagi pelajar baik swasta maupun milik Pemda sendiri yang dapat menambah pemasukan bagi Pemda, cafe serta fasilitas hiburan dan rekreasi. Bila PTS–PTS ini tidak segera dialokasikan pada satu wilayah yang sama yang secara alamiah akan berusaha mengembangkan kebutuhannya akan penggunaan gedung, maka dapat dipastikan 5-10 tahun mendatang pertumbuhan dan perkembangan PTS ini akan semakin tidak terkontrol yang akan sangat berdampak pada kemacetan lalu lintas. Pusat Industri: tetap dikembangkan di kawasan utara Kota Medan, termasuk rencana pengembangan Pelabuhan Belawan menjadi Hub-Port Internasional, Pabrik Finishing Industrial di wilayah sekitar Belawan, pengembangan KIM (Kawasan Industri Medan), Pengembangan Airport Internasional Kuala Namu serta rencana sistem infrastruktur yang menghubungkan ketiga kegiatan urat nadi kota satu dengan lainnya dan terhadap wilayah inti kota dan pusat pemerintahan. Pusat Automobile (Showroom), Penjualan Spareparts dan Perbengkelan: tingginya pertumbuhan mobil-mobil pribadi maupun
55
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006
sepeda motor dengan berbagai jenis merek dengan kelebihan dan kekurangan dari masingmasing merk mobil tersebut, menjadikan kebutuhan akan spareparts, showrooms dan perbengkelan yang signifikan bagi masyarakat Kota Medan. Bila semua kegiatan yang berhubungan dengan automobile ini ditempatkan dalam satu wilayah yang sama, maka selain signifikan mengurangi kemacetan lalu lintas, juga akan lebih menguntungkan pengusaha automobile tersebut karena terkonsentrasi dalam satu wilayah. Selanjutnya juga akan berkembang di kawasan ini fasilitas perumahan bagi pengusaha maupun pegawai, cafe, resto, dan fasilitas hiburan/rekreasi lainnya. Jadi untuk Kota Medan realokasi pusat pemerintahan, pusat industri, pusat pendidikan tinggi swasta dan pusat automobile dalam masing-masing wilayah yang terkonsentrasi merupakan masalah mendasar bagi Kota Medan. Bila hal ini tidak dilakukan pada tahap awal maka rencana pembangunan kota-kota satelit atau kota-kota mandiri lainnya, seperti pengembangan kawasan eks Bandara Polonia dan kawasan outer ring-road Kota Medan tidak akan maksimal tercapai tujuannya dan kemacetan lalu lintas terutama di inti kota sebaliknya akan semakin parah. Dan bila hal ini tidak segera ditangani, maka dalam tempo 10–15 tahun mendatang, Kota Medan dapat mengalami grid-lock atau macet total dan perkembangan Kota Medan akan semakin tidak terkontrol atau terarah. Dan yang saat ini nyata terjadi bahwa semakin bertambahnya mall atau plaza-plaza yang menjadi sepi pengunjung dan tidak menguntungkan. Namun bila realokasi kelima pusat kegiatan tersebut di atas dilaksanakan maka secara alamiah investor juga akan mulai menanamkan modalnya untuk pengembangan kawasan-kawasan tersebut sehingga dapat meratakan pembangunan dan meningkatkan kehidupan masyarakat secara menyeluruh dan bukan hanya di wilayah inti kota saja seperti yang terjadi pada saat ini. Itulah sebabnya, bila Medan memiliki suatu konsep Tata Ruang yang jelas dan tegas, akan semakin menambah nilai jual kota terhadap investor. Hal lain yang juga penting untuk dipertimbangkan bagi Pemko Medan dalam membangun dan mengembangkan pusat-pusat kegiatan tersebut hendaknya juga memperhatikan nilai seni yang dapat mengundang pariwisata yang akan dapat meningkatkan PAD. Misalnya bagaimana masyarakat dapat menikmati gaya arsitektur bangunan-bangunan dan bagaimana masyarakat tetap dapat berekreasi mendapatkan hiburan sekalipun berada di lokasi perkantoran ataupun pendidikan, seperti contoh kota satelit Putra Jaya yang memiliki bangunan-bangunan perkantoran dengan berbagai style yang berbeda dengan fasilitas rekreasi danau buatan. Dengan demikian, kelangsungan hidup daripada pusat-pusat kegiatan tersebut dengan segala fasilitasnya akan lebih terjaga.
56
Selain masalah keberadaan tata ruang, Medan juga mempunyai masalah mendasar lainnya yang juga menjadi penyebab utama kemacetan lalu lintas, yakni masalah angkutan umum (angum). Apakah dengan adanya realokasi kelima pusat-pusat kegiatan tersebut akan menjamin solusi bagi kemacetan lalu lintas di Kota Medan khususnya masalah sistem angum di Kota Medan yang tak kalah peliknya? Adakah alternatif solusi percepatan pemberdayaan sistem angum di Kota Medan? Hal ini selanjutnya akan dibahas pada sesi berikut ini. 3.
SOLUSI PERCEPATAN PEMBERDAYAAN SISTEM ANGKUTAN UMUM DI KOTA MEDAN
3.1 Hambatan dalam Pembenahan Sistem Angkutan Umum di Kota Medan Di Kota Medan, angkutan umum penumpang terdiri dari berbagai jenis moda angkutan darat, seperti: becak (dayung dan bermotor), taksi, mobil penumpang umum (MPU) dan bus damri. Data dari Dinas Perhubungan Kota Medan didapat bahwa sampai tahun 2003, jumlah armada angkutan umum (angum) yang beroperasi sudah sekitar 7.583 unit (plafon 15.272 unit) dengan 248 trayek, jumlah armada taksi yang beroperasi 1187 unit (plafon 2545 unit), becak (dayung dan bermotor) sekitar 18.800 unit. Selama tahun 2004-2005 jumlah armada angkutan umum penumpang yang beroperasi jelas semakin meningkat, ditambah lagi dengan bertambahnya angkutan becak mesin baru (jenis honda win) dan angkutan kancil. Untuk kondisi Kota Medan, pemilik-pemilik angkot pada umumnya adalah perorangan sehingga terdapat begitu banyak stakeholders angum di Kota Medan. Hal ini mengakibatkan sulitnya untuk mengontrol, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pelayanan angum tersebut apalagi menjaga mutu pelayanannya. Izin operasional diberikan untuk kenderaan dan bukan untuk trayek. Jadi setiap pemilik angkutan mengurus izin trayek untuk kenderaannya dan hal ini sering sekali dijadikan sebagai “uang masuk” bagi oknum pemerintah terkait baik itu untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan dinasnya. Juga izin dikeluarkan selalu berdasarkan jumlah plafon maksimal tanpa memperhitungkan demand penumpang dan evaluasi hasil operasi di lapangan yang seharusnya mempertimbangkan jumlah plafon minimal armada trayek. Kondisi ini mengakibatkan perusahaan (dealer) kenderaan angum yang mungkin saja bekerjasama dengan oknum pemerintah dari dinas terkait dapat mengambil keuntungan dari penjualan kenderaan angum serta pengurusan izin trayek sehingga modal dasar operator menjadi sangat tinggi yang mengakibatkan tingginya setoran yang diwajibkan operator terhadap pengemudi angum ditambah dengan Biaya Operasional Kenderaan (BOK) dan biaya-biaya informal rutin. Kelemahan
Alternatif Solusi Kemacetan Lalu Lintas di Kota Medan Filiyanti T.A. Bangun
daripada sistem setoran ini adalah baik pemilik maupun pengemudi tidak mempunyai kewajiban untuk menjaga kualitas pelayanan dan setiap pemilik kendaraan mengawasi dengan caranya sendiri, tidak sesuai dengan kemauan pengguna ataupun belum ada batasan mutu minimal pelayanan yang diterapkan. Pemerintah memberlakukan tarif tetap untuk angum yang disesuaikan dengan willingness atau daya beli masyarakat, namun tidak memperhitungkan modal dasar operator yang tinggi serta BOK seperti harga BBM, biaya pengurusan STNK dan biaya pemeliharaan kenderaan. Sampai saat ini belum ada subsidi dalam bentuk apapun dari Pemda/Pemnas untuk angkutan umum. Setoran yang tinggi ditambah dengan pungutan informal (iuran di terminal asal dan tujuan serta iuran rutin per hari), tidak ada subsidi dari pemerintah, besarnya modal dasar kenderaan, jumlah armada angum yang besar dengan jumlah trayek yang begitu banyak (rute yang tumpang tindih yang tidak sebanding dengan demand penumpang), persaingan antar tipe angum (angkot, becak mesin, taxi, kancil) yang mengakibatkan persaingan antar eksternal dan internal koperasi angum yang tidak sehat dan mengakibatkan mutu pelayanan angum sangat rendah. Kasat mata memang terlihat bahwa pengoperasian angum dengan berbagai jenis tipe dan ukuran tidak disiplin dalam berlalu lintas di jalan, bagaikan raja jalanan, seperti: berhenti di sembarang tempat di badan jalan, sering melanggar aturan lampu persimpangan (merah bisa jalan, hijau bisa berhenti bila perlu), menyalip (overtaking) kenderaan lain tanpa mempertimbangkan lalu lintas sekitarnya dengan alasan kejar setoran. Masalah angum perkotaan lainnya yang turut menambah ruwetnya masalah angum di Kota Medan yakni keberadaan pool-pool angkutan antar kota di sisi jalan-jalan utama (arteri primer) yang masih masuk wilayah Kota Medan yang mengambil alih peranan angum perkotaan serta masalah manajemen terminal yang belum tertata serta munculnya terminal bayangan di jalan-jalan utama (seperti di: Sp. Amplas, Sp. Limun, Sp. Kampus USU, Sp. Sumber, Sp. Halat, Sp. Aksara, dsb.) untuk menunggu penumpang (ngetem). Adakah sistem lain yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memperbaiki sistem angkutan umum perkotaan di Kota Medan saat ini? Apakah para decision makers Kota Medan masih terkesan apatis dalam membenahi Kota Medan? Bagaimana dengan krisis kepercayaan masyarakat yang semakin menurun terhadap para decision makers kota? Bila para komponen yang terlibat dalam angum, seperti Pemko (Dinas Perhubungan/DLLAJ, Bappeda), Polisi Lalu lintas (Satlantas), Koperasi Angkutan Umum (KPUM, Rahayu, Morina, Perum Damri, dsb), Organisasi Masyarakat/LSM, Jasa Raharja dan juga para perusahaan (dealer) kendaraan serta para Preman Setempat (PS) di lapangan, tidak melakukan pembenahan baik terhadap internal maupun eksternal komponen tersebut sejak dini, maka permasalahan ini
akan semakin kompleks yang tentu saja akan berakibat pada kerugian-kerugian sosial yang semakin parah sehingga pada satu waktu akan berakhir dengan grid lock (lumpuh total). 3.2 Contoh Kasus Revitalisasi Pelayanan Angkutan Umum di Bogota Satu kasus menarik terjadi di Bogota (ibukota negara Kolumbia) yang dapat dijadikan pelajaran dan teladan bagi masyarakat Kota Medan dalam merevitalisasi sistem angumnya. Bogota mempunyai sistem angum, kondisi internal/eksternal komponen terkait serta kondisi pelayanan angum yang persis sama dengan kondisi sistem angum di Indonesia khususnya dengan Kota Medan seperti yang telah diuraikan di atas yakni kesamaan dalam sistem kejar setoran, sistem izin trayek, sistem tarif dan sistem institusional angumnya. Namun sejak 1998, setiap komponen terkait dan jajarannya sepakat mengubah pola pikir dengan paradigma yang lama secara bertahap sehingga pada Desember 2000 Bogota memulai dengan satu sistem angum BRT yang disebut Transmilenio. Setiap kali armada articulated bus Transmileneo ditambah maka jumlah armada angum yang lama berkurang ataupun dijadikan sebagai pendukung pada sistem feeder service (angkutan pengumpan) pada koridor-koridor pelayanan BRT Transmilenio tersebut. Operator serta pengemudi angum yang lama tetap dilibatkan dalam pengembangan BRT tersebut menurut kebijakan yang ditetapkan. Penerapan sistim angum seperti yang dilakukan Bogota kemudian dilakukan oleh developing countries yang lain dengan sukses seperti di Curitiba, Quito (Equador), Sao Paulo, Goiania (Brazil) dan Santiago (Chile). Teknik/metode perubahan sistem angum yang bagaimana yang dilakukan oleh Bogota? Sesi berikut akan membahas teknik/metode yang sebaiknya diadopsi oleh Kota Medan yang disesuaikan dengan kondisi serta permasalahan angum di Kota Medan sendiri yang dapat dijadikan alternatif solusi untuk percepatan pemberdayaan dan revitalisasi sistem angum perkotaan untuk mendukung sistem transportasi Kota Medan di masa mendatang, khususnya untuk mengantisipasi rencana pembangunan monorel di Kota Medan. 3.3 Rekomendasi Metode Percepatan Pemberdayaan Pelayanan Angkutan Umum Kota Medan Satu alternatif solusi untuk pemberdayaan angum perkotaan di Kota Medan secara maksimal adalah dengan mengadakan manajemen satu payung bagi angum perkotaan. Bila masyarakat sekarang ini sulit untuk mempercayai Pemda/Pemko, maka dibentuklah suatu badan/lembaga yang anggotanya dipercaya oleh baik masyarakat umum maupun Pemko Medan yang dapat menjembatani kedua belah pihak untuk duduk bersama mendiskusikan segala sesuatu perubahan dalam sistem angum perkotaan,
57
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006
misalnya seperti Dewan Transportasi Kota Medan atau Badan Koordinasi Transportasi Kota Medan atau Badan Otorita Angkutan Umum/BOAU Kota Medan (Heru Sutomo, 2005). Perubahan-perubahan apa sajakah yang perlu dilakukan dalam sistem angum di Kota Medan? 3.3.1 Sistem Perizinan: ¾ Izin trayek diberikan pada satu perusahaan dan bukan kepada perorangan untuk mengoperasikan satu trayek secara keseluruhan melalui tender. Prinsip tender per trayek tersebut adalah sebagai berikut: a. Untuk rute gemuk penumpang: yang menjadi pemenang tender adalah perusahaan yang dapat memberi keuntungan terbesar kepada BOAU. Misalnya bila pada umumnya occupancy kenderaan untuk trayek A adalah 80% namun bila dengan adanya pembenahan dalam sistem, pengusaha yakin akan mendapatkan 95% occupancy, maka pengusaha dapat menentukan 5% profit diberikan ke BOAU dan 10% profit merupakan hak pengusaha. Profit/pendapatan ini dapat digunakan BOAU untuk mengembangkan sistem ataupun sebagai subsidi terhadap pengusaha untuk rute kurus penumpang. b. Untuk rute kurus penumpang: yang menjadi pemenang tender adalah perusahaan yang meminta subsidi yang paling minimum dari Pemda. Subsidi ini dapat berasal dari profit yang diberikan oleh pengusaha yang memiliki rute gemuk penumpang (subsidi silang) ataupun dari sumber daya Pemda sendiri. Bila ada investor kecil yang hanya mampu memiliki beberapa kenderaan saja ingin menanamkan modalnya pada rute-rute tersebut, dapat menghubungi pemenang tender untuk bekerjasama, namun penanggung jawab operasional tetaplah perusahaan pemenang tender. Pengusahaan angum oleh pemenang tender mempunyai jangka waktu tertentu dan dievaluasi pelaksanaannya sebagai pedoman dalam penentuan pemenang tender periode berikutnya. Sistem ini memberikan kesempatan pada kekuatan pasar untuk mempengaruhi kualitas pelayanan dan harga tiket/tarif angum. ¾ Izin bentuk dan tipe angkutan ditentukan oleh pemerintah. Misalnya untuk trayek A jenis angkutan adalah tipe bus sedang dengan kapasitas maksimal 40 seats, dan untuk trayek B dengan tipe bus kecil dengan kapasitas penumpang 14 seats. Jadi bagi setiap perusahaan pemenang tender haruslah menyediakan tipe angkutan yang sesuai.
58
3.3.2 Sistem Gaji bagi Supir Angum Apa keuntungan sistem gaji dibandingkan sistem setoran dalam sistem angum? Adanya kepastian pendapatan bagi pengemudi angum akan mengurangi ketidakdisiplinan pengemudi angum di jalanan sehingga umur kendaraan juga akan lebih lama. Schedule kedatangan/keberangkatan angum juga dapat diatur sehingga dengan jadwal yang pasti para penumpang tidak akan memaksakan diri untuk berjejalan di satu kendaraan (overcrowded) karena kendaraan berikut sudah dijadwalkan. Selain itu pengemudi angum juga akan menanggung denda/sanksi tilang bila melanggar peraturan lalu lintas (Iwan Margono, 2004). 3.3.3 Sistem Retribusi Hapuskan istilah pagar makan tanaman bagi pihak Pemda (Heru Sutomo, 2005). Pos-pos pemasukan bagi Pemda sehubungan dengan angum jangan lagi ditargetkan dalam konteks untuk menggemukkan APBD, termasuk sistem target PAD dari instansi-instansi/dinas-dinas terkait maupun dari retribusi-retribusi (retribusi terminal, STNK, dsb.). Jadi retribusi-retribusi tersebut hanya sekedar alat pengaturan dan bukan untuk cari uang. 3.3.4 Sistem Tarif Sistem tarif angum jangan lagi dibatasi, jika memang tarif hasil perhitungan modal pengadaan kenderaan, BOK serta biaya pencapaian mutu minimal 1pelayanan angum dan profit-nya tinggi/mahal, maka tarif angum tersebut hendaknya juga mahal. Namun bila daya beli masyarakat masih rendah maka Pemda harus subsidi. Selain subsidi dari Pemda, subsidi dapat juga berasal dari sistem tender yang ditetapkan pada pasal 2.3.1. Contoh-contoh developing ataupun developed countries yang mempunyai sistem transportasi yang murah, cepat, terpercaya, aman dan nyaman, memiliki tanggung jawab subsidi dan keterlibatan yang tinggi dari masing-masing Pemda maupun pemerintah nasionalnya. 3.3.5 Sistem Internal dan Eksternal Institusional Sistem konvensional dan kediktatoran dari Pemda harus diubah menjadi lebih liberal: ¾ Memberi keleluasaan pada pengusaha pemenang tender trayek untuk menanggapi kebutuhan, sekalipun tetap di bawah pengawasan BOAU Kota Medan; misalnya dalam penambahan /pengurangan jumlah armada, kompensasi pemasukan pendapatan dari pemasangan iklan pada kenderaan angum serta pengadaan usahausaha toko-toko/cafe di terminal. ¾ Pengadaan sanksi/hukuman bagi pelanggar kontrak dalam bentuk sanksi uang dan bukan pencabutan izin trayek. Misalnya dalam bentuk pengurangan subsidi ataupun denda. Sanksi uang ini dapat dijadikan sebagai masukan sumber subsidi BOAU sendiri bagi rute-rute kurus penumpang ataupun untuk pembenahan sistem.
Alternatif Solusi Kemacetan Lalu Lintas di Kota Medan Filiyanti T.A. Bangun
¾ Bila BP (Badan Pengelola) atau UPT/UPTD dari Dishub tidak lagi sesuai dalam pelaksanaan ataupun pengawasan pelaksanaan operasional sistem angum maupun penerapan peraturan secara konsisten ini maka dapat menunjuk suatu BUMN atau Perusahaan Daerah untuk melakukannya sesuai dengan proses tender (dengan prinsip, pemenang tender adalah yang dapat memberikan kontribusi terbesar kepada Pemda) karena diharapkan pengelolaan, pelaksaaan dan pengawasan yang lebih transparan karena melibatkan uang rakyat. Hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan sumber daya bagi Pemda guna penerapan peraturan secara konsisten yang mengakibatkan pelaksanaan peraturan dapat “dinegosiasi” di lapangan. 3.3.6
Darimana Pemasukan bagi Pemda untuk Subsidi Angum? ¾ Karena subsidi angum tidak umum dari APBD maka kembali rakyat diminta kesadarannya untuk membayar pajak yang sebenarnya dengan jujur, karena pada umumnya masyarakat kelas bawah juga yang lebih terkena dampak negatifnya bila masyarakat tidak membayar pajak yang sebenarnya dengan jujur. Ini juga membutuhkan kesadaran yang tinggi terhadap petugas dan pejabat terkait dari instansi perpajakan. ¾ Bila ada subsidi BBM mengapa tidak diciptakan subsidi angum? Sudah saatnya Pemda maupun Pemerintah Nasional terlibat penuh dalam pengembangan angum seperti yang dilakukan oleh negara-negara sedang berkembang maupun negara-negara maju lainnya. Sudah saatnya sistem angum di Indonesia ataupun khususnya di Kota Medan menjadi perintis untuk mengubah sistem angum yang overprivatised, dan lebih melibatkan pemerintah dalam pengelolaan/ operasional maupun pengawasannya. 3.3.7 Darimana Harus Dimulai? Penentuan prioritas tindakan. BOAU Kota Medan bersama dengan seluruh instansi terkait serta elemen-elemen dalam masyarakat dalam suatu rapat khusus menetapkan urut-urutan prioritas langkah yang akan dilakukan. Operator yang masih perorangan, pihak swasta yang masih belum tertarik, pengaturan sistem bus pengumpan (feeder service sebagai sistem pendukung yang tidak masuk ke main line) dan seterusnya satu persatu dibahas, ditentukan urutan prioritasnya, dilaksanakan dan dievaluasi, lalu
dijadikan sebagai pilot project (sebagai contoh/pedoman langkah berikutnya). Bogota mulai membicarakan revitalisasi sistem angumnya di tahun 1998, lalu mengadakan perubahan-perubahan demi terlaksananya program BRT Transmilenio, sehingga pada 18 Desember 2000, Transmilenio beroperasi setelah perbaikan-perbaikan bertahap sukses dilaksanakan dalam sistem angumnya yang kondisi sistem angumnya persis sama dengan Kota Medan ataupun kota-kota di Indonesia pada umumnya. Berikut ini dipaparkan secara garis besarnya apa yang dilakukan oleh Bogota sehingga implementasi BRT Transmilenio sukses dan menguntungkan yang dapat dijadikan pelajaran bagi Kota Medan dalam rencana implementasi monorel di Kota Medan. Sejak rencana awal program BRT Transmilenio, pemerintah telah melibatkan pengusaha angum tradisional dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Pengalaman mereka sebagai operator dari sistem angum tradisional yang dijadikan sebagai bagian daripada sistem BRT yang baru bernilai sebagai aspek kunci dari kesuksesan sistem BRT dan mencegah adanya protes serta kemungkinan aksi demonstrasi atas pelayanan sistem BRT tersebut. Setiap kali terjadi penambahan bus Transmilenio baru maka beberapa angum lama harus dieliminasi dari sistem. Bus-bus baru tersebut digunakan sebagai bus pengumpan (feeder) untuk mengangkut penumpang dari daerah-daerah sekitar dan yang jauh yang akan menggunakan system Transmilenio. Pengadaan 470 unit articulated bus untuk Transmilenio diserahkan kepada 4 perusahaan swasta yang melibatkan 96% operator angum lama/tradisional. Demikian juga kontrak pengadaan sistem feeder service dan renovasi bus yang lama diserahkan kepada operator angum tradisional melalui tender dengan sistem subsidi silang. Sementara sistem pengutipan angkos dan tiket serta sistem pengawasan atas implementasi seluruh sistem yang baru tersebut diserahkan kepada suatu badan yang dipercaya oleh pemerintah maupun masyarakat yang tetap dievaluasi kinerjanya secara teratur dan mempunyai durasi kontrak yang tertentu pula (Hidalgo & Senoval, 2001). Adapun keseluruhan daripada pembahasan di atas dituangkan dalam gambar 1 berikut ini mengenai Bagan Manajemen Satu Payung bagi sistem angum di Kota Medan (Heru Sutomo, 2005):
59
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006 Penerimaan Non Operasi Pengeluaran Operasi
MANAJEMEN Jika surplus:
Jika defisit: Penerimaan
Untuk pengembangan sistem
subsidi Pendapatan Operasi Pendapatan Operasi
Pendapatan Operasi
Pembayaran
Produksi: kend - km
Rute 1
menagih Biaya operasi: kend-km x Rp/km
Rute 2
Rute ke - n
Gambar 1. Usulan Manajemen Satu Payung bagi Sistem Angkutan Umum Kota Medan 4. DAFTAR PUSTAKA Bangun, F., dan Alkhairi, P., April 2006, Anugrah Tertib Lalu lintas Kota Medan 2006, Wahana Hijau: Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol. 1, No. 3, pp. 103 – 108, Medan. Bangun, F., dan Alkhairi, P., Januari 2006, Sistem Manajemen Satu Payung Angkutan Umum Menyongsong Program Monorel di Kota Medan-Bagian 1, Suatu Opini, Harian Sinar Indonesia Baru: Medan, p. 13. Bangun, F., dan Alkhairi, P., Februari 2006, Sistem Manajemen Satu Payung Angkutan Umum Menyongsong Program Monorel di Kota Medan-Bagian 2, Suatu Opini, Harian Sinar Indonesia Baru: Medan, p. 13. Bangun, F., dan Napitupulu, R., 21 Maret 2005, Jalan Tol Medan-Tebing Tinggi Lebih Prioritas dari Medan-Binjai, Suatu Opini, Harian Sinar Indonesia Baru: Medan, p. 13. Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1992. Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Jakarta. Dinas Perhubungan Kota Medan, 2003. Data Profil Angkutan Umum Perkotaan, Medan. Leal, M.T. dan Bertini, R.L., 2005. Bus Rapid Transit: An Alternative for Developing Countries, Portland State University, Portland. Menteri Perhubungan RI, 1993, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65 Tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta. Munawar, A., 2004, Manajemen Lalu lintas Perkotaan, Penerbit Beta Offset, Jogjakarta. Napitupulu, R., and Bangun, F., 31 Januari 2005, Medan, Kota Metropolitan Atau Kota Metromarpilitan? Suatu Opini, Harian Waspada: Medan, p. 4. Napitupulu, R., and Bangun, F., 15 January 2005,
60
Prospek Sistem Angkutan Umum di Kota Medan, Suatu Opini, Harian Sinar Indonesia Baru: Medan, p. 13. Napitupulu, R., and Bangun, F., 19 November 2004, Apakah Kemacetan Lalu lintas Perkotaan di Medan Hanya Layak Sebagai Bahan Obrolan Saja? Suatu Opini, Harian Analisis: Medan, p. 18. Napitupulu, R., and Bangun, F., 13 November 2004, Kemacetan Lalu lintas di Kota Medan Serius, Suatu Opini, Harian Waspada: Medan, p. 4. Sorensen, A., 2001, Sub-Centers and Satellite Cities: Tokyo’s 20th Century Experience of Planned Polycentrism, International Planning Studies, Vol. 6, No. 1, pp 9 – 32, Department of Urban Engineering, University of Tokyo, Hasamagaola 3-25-3, Sanda-shi, Hyogo-ken, Japan 669 - 1545. Sutomo, H., 2005, Menggagas Revitalisasi Angkutan Umum: Berubah Sekarang atau Mati?, Powerpoint Transparansi, Forum Keselamatan Masyarakat Transportasi Indonesia, Jogjakarta. ----------, 2006, The Urban Satellite Field Concept, A Case Study of Accra Metropolitan Area, Ghana. ----------, 2006, Satellite Cities, A Case Study of Istambul, Turki. ----------,2005, Percepatan Pemberdayaan Pelayanan Angkutan Umum Metro Bandung, Powerpoint Transparansi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Wilayah dan Infrastruktur– ITB, Bandung.