BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bank menduduki posisi yang sangat vital dalam perekonomian, seperti yang kita tahu sistem perekonomian negara-negara didunia tidak lepas dari peran serta bank sehingga sistem ekonomi dapat dikatakan tidak akan maju tanpa peran serta bank. Kegiatan bisnis perbankan berbasis bunga yang digunakan negara-negara barat (Eropa) dapat mencapai kemajuan. Tetapi sampai saat ini sistem perbankan yang seperti demikian belum dapat mengangkat perekonomian rakyat secara adil. Begitu vitalnya dunia perbankan sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan “nyawa” untuk menggerakkan roda perekonomian suatu negara, seperti dalam hal penciptaan uang, mengedarkan uang, menyediakan uang untuk menunjang kegiatan usaha, tempat mengamankan uang, tempat melakukan investasi dan jasa keuangan lainnya.1 Sampai saat ini belum ada lembaga perekonomian yang dapat menggantikan peran fungsi bank. Tetapi dengan munculnya bisnis perbankan yang berprinsip syariah, setidaknya dapat menjadi solusi alternatif guna mewujudkan sistem perbankan (dan perekonomian) bebas bunga.2 Perkembangan dunia perbankan di Indonesia ingin mewujudkan perekonomian yang berkeadilan sesuai dengan prinsip syariah maka munculah 1
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Ctk. Keempat, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 2. Muhamad Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Islamics, Theory and Practice), M.Nastangin (Penerjemah), PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997, hlm. 125. 2
1
Bank Muamalat Indonesia sebagai satu-satunya perbankan yang pertama kali menerapkan sistem syariah. Akta pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia ditanda tangani pada tanggal 1 November 1991.3 Munculnya Bank Muamalat Indonesia ini menjadi pelopor berdirinya bank-bank yang lain membuka jendela syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya, hal ini karena Bank Muamalat Indonesia memiliki prestasi yang bagus di masa krisis. Meski sempat mengalami kerugian, Bank Muamalat Indonesia masih tergolong kelompok bank yang sehat, sebab memiliki CAR diatas 4 % yakni 6,7%. Hadirnya Perbankan Syariah di Indonesia, hendaknya umat Islam menjadi pelopor dalam menggunakan Bank Syariah. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Keadaan ini merupakan peluang yang prospektif bagi bisnis perbankan syariah. Perkembangan bisnis perbankan saat ini menunjukkan posisi persaingan yang amat ketat. Kemenangan dari persaingan itu membutuhkan keunggulan daya masing-masing bank baik dari segi sumber daya manusia (SDM) maupun manajemen bank itu sendiri agar mampu bersaing dalam menjalankan bisnisnya, untuk menjalankan fungsi bank sebagai intermediary financial baik di bidang funding maupun lending, selain itu dalam perkembangannya bank juga menjalankan bisnis dalam bidang jasa (fee basedincome product). Secara umum operasional bank syariah dapat dikategorikan pada empat bagian, yaitu Deposit Nasabah, Pembiayaan, Pembiayaan Perdagangan, dan Pelayanan lain. Keempat jenis operasi ini dilaksanakan mengikuti prinsip
3
Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Ctk. Keempat, Gema Insani Press , Jakarta 2002, hlm. 25.
2
dan kontrak-kontrak syariah Islam. Apabila diperhatikan setiap jenis operasi ini, maka boleh saja melahirkan berbagai produk dan yang paling penting masing-masing jenis pengoperasian dan produknya tidak boleh keluar dari prinsip syariah.4 Pembahasan produk perbankan syariah kita fokuskan pada produk penghimpunan dana (funding), produk penghimpunan dana dalam perbankan syariah berupa giro, tabungan dan deposito. Bank BPD DIY Syariah juga memiliki produk penghimpunan dana antara lain Tabungan Sutera Mudharabah, Tabungan Haji dan Umrah Shafa (yang memakai akad Mudharabah dan Wadiah), Deposito Mudharabah, serta Giro Wadiah. Produk penghimpunan dana (funding) yang akan dibahas kita fokuskan pada tabungan haji. Seperti yang kita ketahui Indonesia sebagian besar masyarakatnya adalah umat muslim, sebagai umat muslim tentunya setiap individu memiliki keinginan untuk melaksanakan ibadah haji sebagai penyempurna ibadahnya. Antara lima pilar rukun Islam, menunaikan ibadah haji merupakan ibadah yang menempati posisi paling sulit dalam tingkat keikhlasan, karena dalam pelaksanaannya tidak sekedar meminta pengorbanan fisik, melainkan juga materi. Oleh karenanya, tidak semua orang Islam sanggup menunaikannya, kecuali bagi mereka yang mampu dan sanggup menunaikannya baik secara materi maupun bekal kemantapan hati sebagaimana tersurat dalam Q.S. Ali Imran 97 yang pada intinya menyatakan
4
Jafril Khalil, Prinsip Syariah dalam Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Edisi Nomor 20 Bulan Agustus September, 2002, hlm. 49.
3
bahwa ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.5 Sebagian besar lembaga perbankan memiliki produk tabungan haji, biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) saat ini harus dibayarkan melalui lembaga perbankan, seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji pada pasal 10 ayat 1 yang pada intinya menyatakan bahwa pembayaran BPIH dapat dilakukan melalui bank-bank pemerintah atau swasta. 6 Adanya ketentuan-ketentuan tentang ibadah haji, baik ketentuan dalam hukum agama maupun ketentuan dalam hukum positif di Indonesia menjadikan lembaga-lembaga perbankan membuka produk bisnis untuk menyimpan dana haji melalui produk tabungan haji. Produk tabungan haji saat ini banyak dimiliki oleh lembaga perbankan baik perbankan syariah maupun konvensional. Adanya produk tabungan haji pada lembaga perbankan merupakan suatu prospek yang bagus ke depannya mengingat di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Produk tabungan haji perbankan syariah dan perbankan konvensional memiliki perbedaan perlakuan terhadap uang yang dialokasikan dalam tabungan haji. Tabungan
haji
memudahkan
nasabah
untuk
menentukan
keberangkatan haji secara terencana dan membantu nasabah dalam pengelolaan dana untuk menunaikan ibadah haji. Tidak terkecuali Bank BPD DIY Syariah memiliki produk tabungan haji yang bernama Tabungan Haji dan
5 6
www.msi-uii.net, diakses pada 12 September 2008, pukul 10:06 wib www.legalitas.org/proses/pusdok.php , diakses pada tanggal 8 September 2008, pukul 20:27 wib
4
Umrah Shafa. Tabungan Haji dan Umrah Shafa pada Bank BPD DIY Syariah menawarkan dua pilihan akad kepada nasabah yang akan membuka tabungan haji, nasabah dapat menggunakan akad wadiah ataupun akad mudharabah dalam penyimpanan dananya hal ini tergantung keinginan nasabah. Produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa memberikan banyak kemudahan bagi nasabah pengguna produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa. Para nasabah dapat melakukan penyetoran awal tabungan hanya dengan uang sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan setoran selanjutnya minimal Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Kemudahan lain yang ditawarkan adalah online dengan sistem komputerisasi haji terpadu (SISKOHAT), online di semua kantor cabang dan kantor kas. Sehingga secara langsung nasabah dapat didaftarkan oleh bank apabila tabungannya telah memenuhi jumlah yang ditentukan yaitu sebesar Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) . Hal ini membuktikan tabungan haji yang disediakan oleh lembaga perbankan memberikan berbagai kemudahan secara keseluruhan mulai dari penyimpanan dana sampai kepada kepengurusan pendaftaran haji. Semua yang berkaitan tentang pelaksanaan administratif ibadah haji menjadi tangung jawab pihak bank untuk mengurusnya. Pembahasan produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa
dari Bank BPD DIY Syariah lebih di fokuskan pada
tabungan haji yang menggunakan akad mudharabah. Produk tabungan dalam perbankan syariah memiliki landasan hukum sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan yaitu:
5
1. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga. 2. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadiah. Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 19 ayat 1 tentang kegiatan Bank Umum Syariah meliputi : a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadiah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan bahwa: a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadiah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Permasalahan-permasalahan
yang
timbul
dalam
tabungan
haji
merupakan benturan antara kedudukan fatwa DSN dengan apa yang telah ada dalam bisnis perbankan. DSN sebagai lembaga yang sampai saat ini telah banyak memberikan konstribusi landasan yang kuat untuk produk-produk perbankan syariah.7 Idealnya bisnis perbankan syariah mengikuti regulasi yang ada. Terkait dengan penyelenggaran haji DSN juga mengeluarkan regulasi dalam bentuk fatwa, yaitu mengenai kewenangan kepengurusan haji oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang dikemukakan oleh DSN melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 29/DSNMUI/VI/2002, tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan 7
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 64.
6
Syariah pada ketentuan umum pertama angka satu bahwa Pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai fatwa DSN-MUI No. 09/DSNMUI/IV/2000. Realitanya lembaga perbankan syariah, diantaranya Bank BPD DIY Syariah ternyata memunculkan produk simpanan dana haji dengan menggunakan produk penghimpunan dana dalam bentuk tabungan. Karena tabungan haji merupakan bentuk dari simpanan dana yang berasal dari nasabah yang akan menunaikan ibadah haji dan tabungan haji telah mencakup seluruh kepengurusan pendaftaran haji. Simpanan dana pada bisnis perbankan merupakan kegiatan penghimpunan dana (funding). Ketentuan fatwa ini ternyata berbeda dengan produk perbankan yang ada saat ini di mana jika seseorang yang akan menunaikan ibadah haji telah mempercayakan pihak bank untuk menyimpan dana ongkos tabungan haji. Maka kemudian dana yang telah disimpan oleh nasabah nantinya akan digunakan untuk ongkos naik haji. Dana yang telah disimpan oleh nasabah pada bank merupakan perwujudan bentuk produk tabungan dari lembaga perbankan. Hal ini mengindikasikan sampai saat ini terjadi kekosongan hukum dalam pengaturan tentang kegiatan penghimpunan dana haji bagi nasabah yang akan melaksanakan ibadah haji pada perbankan syariah karena, ternyata produk yang ada dalam bisnis perbankan sampai saat ini menggunakan produk pengimpunan dana dalam bentuk tabungan bukan produk pembiayaan haji dengan menggunakan akad sewa-menyewa (ijarah) seperti yang telah difatwakan oleh DSN dan produk yang telah ada dalam bentuk tabungan dapat
7
diterima oleh masyarakat. Pihak perbankan juga sampai saat ini masih mempertahankan
bisnis
produk
penyimpanan
dana
nasabah
untuk
melaksanakan ibadah haji dengan prinsip penghimpunan dana yaitu dengan sistem tabungan (baik wadiah atau mudharabah) dan sampai saat ini sebagian besar lembaga perbankan membuka produk tabungan haji. Realitanya Penggunaan akad mudharabah dalam produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa Bank BPD DIY Syariah akan memberikan nisbah bagi hasil dari pihak bank kepada nasabah. Karena penggunaan akad mudharabah dalam produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa Bank BPD DIY Syariah akan menimbulkan hubungan timbal-balik antara nasabah dengan pihak bank. Akad mudharabah yaitu akad kerjasama antara pemilik dana (Shahibul Maal) dengan pengelola dana (Mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan. Apabila terjadi kerugian, risiko dana akan ditanggung oleh pemilik modal selama bukan karena kelalaian pihak pengelola. Hal ini tentunya akan menyulitkan nasabah pengguna produk tabungan haji. Jika hal tersebut terjadi nasabah dapat kehilangan bagi hasil yang telah diperjanjikan pada awal pembukaan tabungan hajinya atau dapat pula nasabah kehilangan dana yang disimpan. Sehingga idealnya apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian pihak pengelola (bank) dana yang disimpan pada bank, maka pihak bank harus mempertanggung-jawabkan atas kerugian tersebut. Adanya tanggungjawab ini tentunya pihak nasabah akan merasa terlindungi oleh pihak
8
bank. Sehingga nasabah akan memiliki rasa aman terhadap dana yang telah disimpan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konstruksi hukum produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa pada Bank BPD DIY Syariah? 2. Bagaimanakah tanggungjawab Mudharib terhadap Shahibul Maal dalam produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa pada Bank BPD DIY Syariah? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kontruksi hukum produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa pada Bank BPD DIY Syariah. 2. Untuk mengetahui tanggungjawab Mudharib terhadap Shahibul Maal dalam produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa pada Bank BPD DIY Syariah. D. Tinjauan Pustaka Keberadaan lembaga keuangan mempunyai peranan yang penting terhadap perkembangan suatu Negara. Posisi lembaga keuangan sangat strategis dalam menggerakan roda perekonomian, sehingga tidak suatu negarapun yang hidup tanpa mengenal lembaga keuangan. Menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat adalah salah satu kegiatan bank yang sudah pasti dikenal masyarakat
dengan
baik,
yaitu
menabung
dan
pemberian
kredit.
Perkembangan peraturan tentang perbankan semakin kompleks dan mengikuti
9
perkembangan sejarah legalisasi peraturan perundangan mengenai perbankan awal mulanya adalah Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan kemudian seiring berkembangnya dunia perbankan maka ada perkembangan mengenai peraturan perundangan tentang perbankan, munculnya perbankan syariah dalam bisnis perbankan memaksa harus ada pembenahan perundangan tentang perbankan yaitu dengan munculnya Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992. Terbitnya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 memiliki hikmah tersendiri bagi dunia perbankan nasional, di mana pemerintah membuka lebar kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan pada prinsip syrariah, dibandingkan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang baru mengenalkan bank syariah dengan memberikan kegiatan operasional terbatas.8 Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki dengan membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah.9 Berkembangnya dunia perbankan di Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dirasa tidak mampu lagi untuk memberikan aturan-aturan terhadap perbankan syariah dengan munculnya 8
Muhamad Syafi’i Antonio, Bisnis dan Perbankan dalam Perspektif Islam, Makalah Pada Seminar Sosialisasi Perbankan Syariah di Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, 8 maret 1999. 9 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank ... op.cit., hlm. 26.
10
Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga saat ini Undang-Undang No. 21 tahun 2008 adalah merupakan landasan yuridis yang secara terpisah atau tersendiri mengatur tentang perbankan syariah. Hal ini karena bank syariah memiliki kekhususan tersendiri dibanding dengan perbankan konvensional. Pengertian perbankan syariah dalam pasal 1 ayat 1 pada Undang-Undang No. 21 tahun 2008 adalah: Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adanya paparan mengenai bank dalam konteks perbankan syariah telah dipaparkan dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tentunya memberikan keterangan yang jelas tentang perbankan syariah. Aktivitas bank syariah memiliki berbagai produk dan kegiatan usaha juga sesuai dengan peraturan perundangan dulu sebelum adanya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sebelum ada undang-undang tentang perbankan syariah dalam kegiatan usahanya berdasarkan aturan dalam aturan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan dalam menjalankan prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang tentang Perbankan maka dikemukakanlah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat tahun 1999 dilengkapi Bank Umum yang berprinsip syariah, yang terdapat dalam Surat Keputusan Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999, dalam pasal 28 mengatur tentang kegiatan usaha yang dijalankan perbankan yang berdasarkan prinsip syariah.
11
Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga mengatur tentang kegiatan usaha yang di jalankan perbankan syariah, diatur dalam pasal 19 ayat 1 dan 2 meliputi : Pasal 19 ayat 1 tentang kegiatan Bank Umum Syariah meliputi : a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Wadiah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; c. Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad Mudharabah, akad Musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; d. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah, Akad Salam, Akad Istishna, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; e. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad Qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; f. Menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad Ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; g. Melakukan pengambil alihan utang berdasarkan Akad Hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; h. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; i. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara lain, seperti Akad Ijarah, Musyarakah, Mudharabah, Murabahah, Kafalah, atau Hawalah; j. Membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah; l. Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu akad yang berdasarkan prinsip syariah; m. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah; n. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan prinsip syariah;
12
o. Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad Wakalah; p. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah; dan q. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 19 ayat 2 tentang kegiatan Unit Usaha syariah meliputi : a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Wadiah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; c. Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad Mudharabah, Akad Musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; d. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah, Akad Salam, Akad Istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; e. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad Qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; f. Menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad Ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; g. Melakukan pengambil alihan utang berdasarkan Akad Hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; h. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; i. Membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara lain, seperti Akad Ijarah, Musyarakah, Mudharabah, Murabahah, Kafalah, atau Hawalah; j. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah; l. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah; m. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan prinsip syariah; n. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah; dan.
13
o. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan bisnis perbankan syariah dalam produk-produknya selalu menggunakan akad untuk landasan kegiatan usahanya, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 pada pasal 1 ayat 13 menyatakan bahwa: Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tentang tabungan pada pasal 1 ayat 21: Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad Wadiah atau investasi dana berdasarkan Akad Mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Akad tabungan dalam perbankan syariah disyaratkan dengan menggunakan dua akad yaitu dengan akad wadiah dan akad mudharabah. Wadiah adalah prinsip titipan atau simpanan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.10 Sedangkan akad mudharabah dalam kegiatan penghimpunan dana adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pertama (Shahibul
10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Fiqussunah) Jilid 13, Kamaludin Marzuki (Penj), PT Al-Ma’arif, 1997, hlm.
3.
14
Maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainya menjadi pengelola dana (Mudharib) dalam suatu kegiatan produktif.11 Dewan Syariah Nasional mengisyaratkan bahwa dalam kepengurusan haji menggunakan akad ijarah yang merupakan bentuk pembiayaan, akad ijarah (operational lease) adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership) atas barang itu sendiri.12 Tetapi sampai saat ini Bank BPD DIY Syariah belum melakukan pembiayaan dalam pengurusan haji, yang ada dan bertahan sampai saat ini dalam penyimpanan dana haji perbankan syariah menggunakan prinsip penghimpunan dana dalam bentuk tabungan haji. Tabungan haji adalah salah satu produk yang sekarang banyak ditawarkan kepada masyarakat atau nasabah, baik bank konvensional maupun bank syariah kebanyakan memiliki produk tabungan haji yang merupakan simpanan uang yang nantinya akan digunakan untuk ongkos naik haji. Produk tabungan haji tentunya sudah tidak asing lagi. Nasabah tabungan haji adalah orang-orang muslim yang memiliki keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Simpanan dana haji para nasabah pengguna produk tabungan haji dikenal dengan istilah BPIH menurut pasal 1 ayat 9 Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan pentelenggaraan Haji No. D/163 tahun 2004 tentang sistem pendaftaran haji adalah:
11 12
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, 2007, hlm. 87. Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 183.
15
BPIH merupakan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang ditetapkan Pemerintah Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan tentang pengertian nasabah. Berbeda dengan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang ini memuat pengertian nasabah sama, tidak ada perbedaan karakteristik tiap nasabah sedangkan dalam undang-undang perbankan syariah pengertian nasabah dibedakan menjadi beberapa macam hal ini termuat dalam pasal 1 ayat 16, 17, 18 dan 19: Pasal 1 ayat 16 Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS. Pasal 1 ayat 17 Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan. Pasal 1 ayat 18 Nasabah Investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara Bank Syariah atau UUS dan nasabah yang bersangkutan. Pasal 1 ayat 19 Nasabah penerima fasilitas adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah. Banyaknya antusias Warga Negara Indonesia khususnya umat muslim yang ingin menunaikan ibadah haji sebagai penyempurna rukun Islam, merupakan hal yang sangat dinantikan dan dicita-citakan, biaya haji yang tinggi tidak menjadikan masalah yang berat bagi para calon jamaah haji
16
karena dengan adanya kemudahan pembayaran melalui produk tabungan haji maka para calon jamaah haji dapat merencanakan keberangkatan haji lebih tepatnya dana yang disimpan sebagai dana haji dapat dikelola dengan baik. Adanya peraturan tentang pembayaran dana haji harus dibayarkan melalui lembaga-lembaga perbankan baik pemerintah maupun swasta ternyata juga memiliki dampak positif yaitu para umat muslim yang telah memiliki niat untuk melaksanakan ibadah haji dapat menyimpan dana yang akan dialokasikan sebagai biaya haji dengan terencana. Serta dengan menyimpan dana untuk menunaikan ibadah haji bila telah memenuhi syarat pendaftaran haji, maka pihak bank akan mendaftarkan secara langsung dengan SISKOHAT. SISKOHAT menurut Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji No. D/163 tahun 2004 tentang sistem pendaftaran haji disebutkan tentang pengertian SISKOHAT pada pasal 1 ayat 8 yaitu: SISKOHAT adalah Sistem Komputerisasi Haji Terpadu berupa jaringan komputer yang tersambung secara on line dan real time antara Ditjen BIPH dengan BPS BPIH dan Kanwil Departemen Agama Provinsi. E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Bagaimanakah tanggung jawab Mudharib terhadap Shahibul Maal dalam produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa pada Bank BPD DIY Syariah. 2. Subjek Penelitian 1) Kepala Cabang Bank BPD DIY Syariah. 2) Bagian penghimpunan dana (funding) Bank BPD DIY Syariah.
17
3) Nasabah produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa Bank BPD DIY Syariah. 3. Sumber Data a. Sumber Data Primer: ialah berupa data yang diperoleh melalui penelitian lapangan ( field research ). b. Sumber Data Sekunder: ialah berupa data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri atas: 1) Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan. 2) Bahan hukum sekunder, berupa literatur, karya ilmiah, jurnal dan hasil penelitian terdahulu. 3) Bahan hukum tersier, berupa kamus dan ensiklopedia. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer Dilakukan dengan cara: Wawancara, berupa wawancara bebas maupun terpimpin. b. Data Sekunder Dilakukan dengan cara: 1) Studi Kepustakaan, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan perundangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 2) Studi Dokumentasi, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
18
5. Metode Pendekatan Metode pendekatan penelitian adalah yuridis normatif, yaitu metode yang digunakan untuk melihat permasalahan berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis. 6. Analisis data Analisis data penelitian adalah deskriptif kualitatif yaitu, menjelaskan dan memaparkan mengenai masalah yang diteliti, antara lain; a. Data
penelitian
diklasifikasikan
sesuai
dengan
permasalahan
penelitian; b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan; c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan. F. Sistematika Pembahasan Skripsi ini akan dibahas secara sistimatis dan mendalam mengenai Konstruksi Hukum Produk Tabungan Haji dan Tanggungjawab Mudharib terhadap Shahibul Maal dalam produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa pada Bank BPD DIY Syariah. Maka sistimatika pembahasannya disusun sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
19
BAB II Tinjauan Umum tentang Bank Syariah dan Konstruksi Hukum Tabungan Haji, terdiri dari Tinjauan Umum Bank Syariah meliputi: Pengertian Bank Syariah, Kebijakan dan Dasar Hukum Beroperasinya Bank Syariah di Indonesia, Prinsip-Prinsip Dasar Operasional Bank Islam, Tinjauan Umum Konstruksi Hukum Tabungan Haji meliputi: Pengertian Tabungan Haji, Pengertian Konstruksi Hukum, Hubungan Hukum Para Pihak, Akibat Hukum Para Pihak, dan Fatwa DSN MUI tentang Bisnis LKS Dalam Bentuk Pembiyaan Haji. BAB III Konstruksi Hukum Produk Tabungan Haji pada Bank BPD DIY Syariah, terdiri dari: Konstruksi Hukum Produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa Pada Bank BPD DIY Syariah, dan Tanggungjawab Mudharib terhadap Shahibul Maal dalam Produk Tabungan Haji dan Umrah Shafa pada Bank BPD DIY Syariah. BAB IV Penutup, terdiri dari: Kesimpulan dan Saran-Saran.
20