BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang belum dapat diselesaikan, khususnya masalah kekurangan gizi. Hal ini sangat merisaukan karena mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan sebagai modal utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan di masa mendatang. Upaya pengembangan kualitas SDM dengan mengoptimalkan potensi tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan secara merata apabila sistem pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan secara efektif dan efisien, serta dapat menjangkau semua sasaran yang membutuhkan layanan (Gultom, 2010). Pada umumnya kekurangan gizi terjadi pada anak balita, karena pada umur tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat dan termasuk kelompok yang rentan gizi, karena pada masa itu merupakan masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa (Adisasmito, 2007). Dalam mengatasi hal tersebut, maka penilaian status gizi balita penting untuk dipantau pada setiap provinsi di Indonesia. Secara nasional, pada tahun 2010 prevalensi anak balita yang mengalami berat badan kurang sebesar 18 %, prevalensi sangat kurus 6 % dan kurus 7,3 %, serta prevalensi kegemukan sebesar 14%. Selain itu, prevalensi status pendek secara nasional tahun 2010 sebesar 35,6 % (Riskesdas, 2010). Secara umum, terjadi penurunan prevalensi balita gizi buruk dan kurang dari tahun 1989 ke tahun 2010. Pada tahun 1989 prevalensi gizi buruk dan kurang sebesar 31% dari yang diharapkan menjadi separuhnya yaitu 15,5 % pada tahun 2015. Pencapaian indikator Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2010 1
2
berdasarkan prevalensi gizi buruk dan kurang adalah 17,9%. Dengan demikian dalam kurun waktu 5 tahun mendatang Indonesia harus menurunkan prevalensi balita gizi buruk dan kurang sebesar 2,4%, yang berarti rata-rata dalam setahun harus turun sebesar 0,5 persen (Riskesdas, 2010). Provinsi Bali juga merupakan provinsi yang masih memiliki masalah pada status gizi balita yang belum dapat diselesaikan. Berdasarkan data hasil Pemantauan Status Gizi (PSG), diketahui di Provinsi Bali terdapat balita gizi buruk sebesar 0,13% dan gizi kurang 3,35% (Mahayuningsih, 2010). Data lain menyatakan bahwa prevalensi status gizi berdasarkan BB/U pada balita di Provinsi Bali adalah 9,2 % gizi kurang dan 1,7 % gizi buruk. Berdasarkan TB/U, status gizi balita di Bali yaitu 14% sangat pendek dan 15,3% pendek. Sementara untuk indikator status gizi BB/TB, balita yang sangat kurus sebesar 5,2% dan kurus 7,9% (Riskesdas, 2010). Banyak faktor yang berhubungan dengan masalah status gizi balita, salah satunya adalah keaktifan keluarga dalam program posyandu. Posyandu merupakan salah satu pelayanan kesehatan di dusun/banjar untuk memudahkan masyarakat dalam mengetahui atau memeriksakan kesehatan terutama untuk ibu hamil dan anak balita. Keaktifan keluarga pada setiap kegiatan posyandu tentu akan berpengaruh pada keadaan status gizi anak balitanya, karena salah satu tujuan posyandu adalah memantau peningkatan status gizi masyarakat terutama anak balita dan ibu hamil (Adisasmito, 2007). Keluarga yang berada dalam kategori aktif yaitu rutin menimbang balitanya ke posyandu setiap bulan. Keluarga yang aktif tersebut memiliki persentase lebih besar memiliki balita dengan status gizi baik. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel keaktifan keluarga dalam kegiatan posyandu dengan status gizi balitanya, dan menurut analogi tafsiran koefisien korelasi hubungan tersebut dapat
3
digolongkan ke dalam kesuaian sedang (cukup erat). Keluarga yang tidak aktif dalam kegiatan posyandu mempunyai risiko 6,857 kali lebih besar terkena Kekurangan Energi Protein (KEP) yang mempengaruhi status gizi balita dibandingkan dengan keluarga yang aktif ke posyandu (Octaviani, et al, 2008). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat keaktifan keluarga dengan status gizi balita (Alhudawi, 2010). Dibandingkan penelitian sebelumnya yang hanya melihat status gizi balita melalui KMS serta menggunakan paramater status gizi sedikit (buruk/KEP dan gizi baik), penelitian ini melakukan penimbangan berat badan agar hasil dapat diketahui secara pasti serta menambahkan parameter status gizi lain yaitu gizi lebih sehingga menjangkau keseluruhan kasus status gizi yang terjadi pada balita. Faktor lainnya yang mempengaruhi status gizi balita adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Hasil penelitian di Bogor tahun 2001 menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI eksklusif tidak ada yang menderita gizi buruk ketika mereka berusia 5 bulan (Depkes RI, 2001). Selain itu, penelitian lain mengenai hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi saat berusia 6 bulan di wilayah UPT Puskesmas I Klungkung menyebutkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi pada saat berusia 6 bulan (Widiana, 2010). Puskesmas II Denpasar Timur merupakan puskesmas yang memiliki kasus gizi kurang tertinggi pada bulan September 2011 diantara puskesmas lainnya yang terdapat di Kota Denpasar (Dinkes Provinsi Bali, 2011). Pada bulan Januari sampai Juni 2011, wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur memiliki balita dengan status gizi kurang yaitu sebesar 1,61% (Laporan SKDN Puskesmas, 2011).
4
Dalam tingkat partisipasi masyarakat (D/S) dalam pemantauan posyandu, Puskesmas II Denpasar Timur masih memenuhi target 70% sesuai yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali. Pencapaian D/S di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur pada bulan Januari sampai Juni 2011 adalah sebanyak 76,70%. Namun, kasus gizi kurang pada anak balita masih terjadi di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur. Berdasarkan hasil pemantauan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur yang dilakukan melalui posyandu, pencapaian ASI eksklusif hanya mencapai 44,29% pada tahun 2011. Hal itu menandakan bahwa pencapaian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur masih rendah, karena target yang ditetapkan oleh Dinkes Provinsi Bali pada tahun 2011 adalah 67%. Pemantauan ASI eksklusif tersebut diadakan setiap sebulan sekali, tetapi sistem pemantauan tersebut berubah sejak bulan Agustus tahun 2011 dengan menggunakan sistem record 1 hari atau pencatatan pada bulan Februari dan Agustus, sesuai dengan yang ditetapkan oleh Dinkes Provinsi Bali. Dari ketiga permasalahan tersebut, hubungan antara keaktifan keluarga dalam program posyandu dan pemberian ASI eksklusif terhadap status gizi balita perlu diteliti lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara keaktifan keluarga dalam program posyandu dan pemberian ASI eksklusif terhadap status gizi balita usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur?
5
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara keaktifan keluarga dalam program posyandu dan pemberian ASI eksklusif terhadap status gizi balita usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur.
1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik balita dan keluarga (ayah dan ibu balita). b. Mengetahui status gizi balita usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur. c. Mengetahui keaktifan keluarga dalam mengikuti program posyandu di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur. d. Mengetahui pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur. e. Menganalisis hubungan antara keaktifan keluarga dalam program posyandu terhadap status gizi balita usia 6-12 bulan. f. Menganalisis hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap status gizi balita usia 6-12 bulan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Penulis Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian sehingga dapat dilakukan upaya dalam peningkatan status gizi balita, keaktifan keluarga dalam program posyandu dan pemberian ASI ekslusif.
6
1.4.2 Bagi Masyarakat Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat, khususnya yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur mengenai pentingnya keaktifan keluarga mengikuti program posyandu dan pemberian ASI eksklusif dalam peningkatan status gizi balita. 1.4.3 Bagi Instansi Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai status gizi balita, tingkat keaktifan keluarga dalam program posyandu, dan pencapaian ASI eksklusif pada pihak-pihak tertentu di Kota Denpasar terutama dalam mengambil kebijakan di bidang kesehatan, khususnya di bidang gizi.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah gizi kesehatan masyarakat yang meliputi keaktifan keluarga dalam program posyandu, pemberian ASI eksklusif, dan status gizi balita.