BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Berbeda dengan krisis tahun 1997, krisis ekonomi tahun 2010 dan 2012 telah menyebabkan beberapa negara maju termasuk negara-negara yang tergabung dalam masyarakat Uni Eropa seperti Yunani, Italia, Spanyol mempunyai beban utang yang tinggi dan cenderung mengalami gagal bayar (default) sehingga cenderung menuju ketidakstabilan fiskal. Penerapan fiskal yang agresif mengakibatkan ruang fiskal (fiscal space) makin sempit untuk berperan sebagai kebijakan makro yang efektif. Walau bank-bank sentral telah melakukan penurunan tingkat suku bunga hingga mendekati 0 persen, kebijakan moneter gagal meningkatkan output (Blanchard, et al.,2010). Dominasi moneter dengan mengabaikan kebijakan fiskal yang agresif dianggap sebagai penyebab krisis ekonomi. Menurut Bank Dunia, kondisi ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi kembali peran kebijakan fiskal dalam perekonomian yang selama ini dianggap hanya sebagai sumber inflasi (inflationary) dan mendistorsi perekonomian (Tcherneva, 2008). Hubbard et al., (2012:408) menjelaskan terdapat dua masalah fiskal yang akan dihadapi negara-negara di masa mendatang yaitu volume utang yang tidak terkendali dan defisit anggaran yang sulit dicapai. Masalah fiskal ini akan terus meningkat seiring dengan peningkatan harapan hidup dan tingginya pengeluaran pemerintah untuk membiayai program-program kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini menyebabkan efektifitas kebijakan fiskal berkurang karena ruang fiskal (fiscal space) terbatas. Untuk mengurangi beban fiskal tersebut beberapa negara melakukan pengetatan anggaran, misalnya Amerika Serikat pada tahun 2013 mengetatkan anggarannya
1
hingga $85 milyar, Inggris melakukan program pemangkasan defisit anggaran hingga 25 persen disertai dengan menciptakan lapangan kerja baru, dengan harapan kebijakan fiskal dapat menstabilkan kembali perekonomiannya (Kompas, 2012). Efektifitas kebijakan fiskal dalam memperbaiki perekonomian masih diperdebatkan hingga saat ini, namun secara empiris efektivitas kebijakan fiskal telah dibuktikan di China, India dan Eropa Timur. Negara-negara ini telah menerapkan kebijakan fiskal pro-cycle sebagai kebijakan utama dan hasilnya negara-negara ini mampu mengatasi krisis yang terjadi (Blanchard et al., 2010). Telah terjadi perubahan paradigma secara fundamental pada penerapan kebijakan fiskal saat ini, yaitu dari kerangka kerja kebijakan fiskal yang bersifat diskresi menuju kebijakan fiskal kaidah. Menurut Blejer dan Adrienne (1991) kebijakan fiskal diskresi adalah tingkat defisit yang dikontrol pemerintah, sementara Rahutami (2007:33) menjelaskan kebijakan diskresi yaitu kebijakan yang dibuat hanya didasarkan pada penilaian dan pertimbangan tertentu. Depkeu (2012,89) menjelaskan kebijakan dikresi sebagai suatu besaran yang sengaja dibuat untuk mengantisipasi gejolak dalam perekonomian yang terjadi, dan paket-paket stimulus fiskal adalah contoh penerapan diskresi fiskal tersebut. Sebaliknya, kebijakan kaidah fiskal menurut Kopits dan Symansky (1998) adalah, pemerintah membuat batasan atau target tertentu yang permanen dalam bentuk indikator kinerja fiskal, seperti batasan defisit anggaran, batasan jumlah utang pemerintah, batasan pinjaman serta komponen utama fiskal lainnya. Menurut Santoso (2011:50) penerapan kebijakan kaidah adalah menetapkan besaran tertentu dari suatu target kebijakan yang akan dicapai secara independen tanpa mempersoalkan kondisi perekonomian. Besaran tersebut bertujuan untuk memagari pemerintah dalam melakukan agresifitas fiskal sehingga tidak keluar
2
dari prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran. Konsep ini untuk menghindari resiko kegagalan bayar (default) melalui disiplin fiskal. Disiplin fiskal melalui pembatasan defisit anggaran merupakan 1 dari 10 prinsip dalam Washington Consensus yang diinisiasi oleh John Williamson pada tahun 1989. Walaupun memang tidak secara tegas disebutkan batasan defisit anggaran yang harus dipatuhi pemerintah, namun prinsip ini dianggap mampu melindungi inflasi dan ancaman neraca pembayaran. Prinsip untuk menjalankan fiskal secara disiplin juga diterapkan oleh negara-negara di kawasan Uni Eropa dengan menerapkan konsep Maastricht Treaty yang secara tegas menyebutkan batas maksimal rasio utang pemerintah yaitu tidak lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dan menjaga defisit anggaran maksimal 3 persen PDB (Wickens, 2008:97). Konsep ini mulai diperkenalkan tahun 1992 yang kemudian diperluas dengan konsep Stability Growth Pact (SGP) pada tahun 1997. Konsep ini dipergunakan di beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Secara empiris, penerapan batas rasio utang pemerintah dan defisit anggaran ini dibuktikan oleh Alesina and Perotti (1995) yang menemukan konsep ini mampu mendorong konsolidasi fiskal yang sifatnya jangka panjang. Shick (2010) juga mendukung penerapan kaidah fiskal ini karena selain dapat menstabilkan perekonomian, penetapan target fiskal yang tepat dan akurat akan memperbaiki kinerja perekonomian. Blanchard et al., (2010) dan Favero dan Monacelli (2005) menyarankan agar penerapan kaidah fiskal diterapkan dalam perekonomian untuk menjaga stabilitas output. Secara empiris, selama 15 tahun negara-negara yang tergabung dalam the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menggunakan kaidah fiskal
(fiscal rule) untuk menstabilkan perekonomian dengan tujuan meningkatkan
output
dan
menjaga kesinambungan fiskal.
3
Konsep pengelolaan utang melalui penerapan batas maksimal rasio utang pemerintah mengindikasikan bahwa pemerintah dapat terus menambah utang sepanjang rasio utang terhadap PDB tidak melebihi 60 persen dan rasio defisit anggaran terhadap PDB masih lebih rendah dari 3 persen PDB. Permasalahannya adalah, selama PDB meningkat maka utang pemerintah dapat terus meningkat, sementara utang harus dibayar. Tingginya beban utang ini akan mengurangi keleluasaan pemerintah mengalokasikan anggarannya. Jika pemerintah tidak bisa mengendalikan agresifitas fiskal ini, dikhawatirkan akan mengancam kesinambungan fiskal dan mempengaruhi kinerja perekonomian. Secara empiris, Reinhart et al., (2012) menemukan ada hubungan simultan antara beban utang yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, di mana negara-negara dengan rasio utang pemerintah yang melebihi mengalami stagnasi sebaliknya pertumbuhan ekonomi
90 persen PDB cenderung
yang rendah akan mengganggu
pembayaran utang. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah akibat utang, Kumar dan Woo (2010) juga menemukan bahwa setiap peningkatan 10 persen rasio utang pemerintah terhadap PDB, akan menurunkan 0,2 persen pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Secara empiris kelemahan konsep pengelolaan utang seperti ini telah membawa negara-negara Uni Eropa menuju ketidakstabilan fiskal, seperti yang dialami Yunani, Italia, Portugal dan Spanyol. Keynesian mengusulkan kebijakan stabilisasi fiskal yakni peningkatan defisit anggaran ketika perekonomian sedang mengalami pengangguran, sebaliknya ketika pengangguran berkurang defisit anggaran harus dikurangi (Farmer,2002:311). Menurut Farmer, penambahan utang yang akan dilakukan pemerintah harus disesuaikan beberapa faktor yakni dengan kemampuan membayar termasuk pajak yang berhasil dikumpulkan, PDB, ukuran relatif utang dan defisit anggaran. Bahkan untuk menghindari kesalahan hitung, Blanchard (2003:551) menawarkan konsep inflation-adjusted deficit, yaitu satu konsep dasar penghitungan rasio utang pemerintah
4
dengan menggunakan nilai PDB riil sebagai dasar penentuan rasio utang dan penambahan utang dilakukan ketika kondisi perekonomian mengalami resesi, namun setelah perekonomian kembali normal bahkan mengalami masa kejayaan (booming), pemerintah harus melakukan kebijakan surplus anggaran. Pemerintah tidak lagi perlu menambah utang walaupun rasio utang masih di bawah 60 persen PDB atau defisit anggaran belum mencapai 3 persen PDB. Lalu bagaimana di Indonesia, kebijakan fiskal seperti apa yang dapat meningkatkan output dan menciptakan kesinambungan fiskal? Sejak tahun 2003 pemerintah Indonesia telah merubah orientasi fiskalnya dari orientasi stimulus fiskal menuju konsolidasi fiskal dengan prinsip kehati-hatian. Kebijakan ini untuk menstabilkan kembali perekonomian akibat dampak krisis ekonomi tahun 1997 yang telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi terendah mencapai -13,2 persen disertai beban utang pemerintah mencapai 89 persen PDB. Konsolidasi fiskal menurut Dekpeu (2009:89) ditujukan untuk menjaga agar fiskal berkelanjutan,
yaitu suatu kondisi struktur APBN yang secara
dinamis mampu menjalankan fungsinya sebagai katalisator dan stabilisator perekonomian dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan belanja atau kewajibannya secara aman dalam jangka panjang. Salah satu ukuran tercapainya kesinambungan fiskal yaitu defisit anggaran yang terkendali dengan syarat rasio utang terhadap PDB konstan setiap tahunnya bahkan diupayakan makin menurun sepanjang tahun. Dasar pengelolaan utang dan defisit anggaran di Indonesia ini, diatur dalam UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD dan Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Daerah. Peraturan Pemerintah No 23/2003 pasal 5 menetapkan bahwa batas maksimal utang pemerintah yaitu 60 persen PDB dengan target defisit anggaran maksimal 3 persen PDB. Untuk mengoperasionalisasikan peraturan pemerintah
5
tersebut, pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 95/PMK02/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Defisit APBN, APBD dan Pinjaman. Walaupun dalam UU No.17 tahun 2003 dan peraturan-peraturan yang mengikutinya tidak memberikan informasi tentang hal ini, namun jika mengamati besaran target rasio utang pemerintah dan defisit anggaran pada PP No 23 Tahun 2003 sama dengan besaran yang dipergunakan dalam konsep Maasctricht Treaty yang dipergunakan di negara-negara Uni Eropa. Permasalahan mendasar pada penerapan konsep ini dijelaskan oleh Abdurohman dan Syahrir (2012) bahwa model ini belum cukup memberikan petunjuk lebih lanjut kapan anggaran pemerintah harus defisit, berimbang atau surplus Jika agresifitas fiskal ini tidak segera dikendalikan, kesinambungan fiskal terganggu. Kondisi ini juga dialami Indonesia, dimana saat ini ruang fiskal (fiscal space) menjadi sempit karena beban membayar utang dan subsidi yang sangat tinggi. Pada tahun 2008 total utang pemerintah secara nominal sebesar Rp1636,74 triliun, menjadi Rp2371,39 triliun pada tahun 2013 atau meningkat 55 persen. Walaupun secara ratarata rasio utang pemerintah masih di bawah 30 persen PDB, agar tidak mengalami kondisi yang sama seperti negara-negara yang sedang mengalami ketidaksatbilan fiskal, perlu dilakukan penelitian tentang alternatif lain konsep pengelolaan defisit anggaran dan utang pemerintah yang mampu mewujudkan kesinambungan fiskal
dan menjaga stabilitas perekonomian karena
kesinambungan fiskal akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk memegang obligasi pemerintah (Wickens,2008:96). Kesinambungan fiskal menurut Wickens (2008:96) dapat ditunjukkan dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB yang senantiasa konstan dan terbatas. Jika pemerintah dianggap mampu mewujudkan kesinambungan fiskal ini maka kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri untuk memegang obligasi pemerintah meningkat yang
6
berakibat meningkatnya akumulasi modal, nilai kurs stabil, mendorong pertumbuhan ekonomi termasuk ekspor dan impor. Menurut Kobayashi (2013), pemerintah harus menjaga agar utang tetap stabil sehingga kredibilitas pemerintah dan kepercayaan masyarakat tetap terjaga dan pemerintah tidak kehilangan power dalam menjalankan kebijakannya. Menurut Depkeu (2012:89), kesinambungan fiskal adalah suatu kondisi dimana struktur APBN secara dinamis mampu menjalankan fungsinya sebagai katalisator dan stabilisator perekonomian dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan belanja atau kewajiban secara aman dalam jangka panjang. Secara rata-rata selama periode 2000-2012, rasio utang pemerintah terhadap PDB di Indonesia sebesar 29,47 persen dengan rata-rata rasio defisit anggaran sebesar 1,6 persen PDB (Depkeu, 2012, data diolah). Pola hubungan antara rasio utang pemerintah terhadap PDB dengan kinerja pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih acak dan belum menunjukkan pola searah bahkan sebaliknya yaitu ketika rasio utang meningkat kecenderungan pertumbuhan ekonomi menurun. Rasio utang pemerintah yang tinggi, belum mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bahkan pada beberapa periode menunjukkan ketika rasio utang tertinggi, pertumbuhan ekonomi terendah. Kecenderungan rasio utang pemerintah terhadap PDB di Indonesia mengalami penurunan selama periode 2000.1 sampai 2012.4, sedangkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia cenderung stabil pada kisaran 5 persen hingga 6,5 persen. Pada awal-awal periode pengamatan terjadi pola yang searah, ketika rasio utang pemerintah meningkat di atas 40 persen pertumbuhan ekonomi meningkat sekitar 5,3 persen, namun pada periode selanjutnya, pola tidak searah ditunjukkan
dalam
Gambar 1.1, yaitu ketika rasio utang pemerintah
meningkat 33 persen, pertumbuhan ekonomi turun mendekati 4,5 persen.
7
2000Q1 2000Q3 2001Q1 2001Q3 2002Q1 2002Q3 2003Q1 2003Q3 2004Q1 2004Q3 2005Q1 2005Q3 2006Q1 2006Q3 2007Q1 2007Q3 2008Q1 2008Q3 2009Q1 2009Q3 2010Q1 2010Q3 2011Q1 2011Q3 2012Q1 2012Q3
%
50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Utang/PDB (%)
Sumber: BI (2013) dan DJPU (2013)
Gambar 1.1.Pertumbuhan Ekonomi, Rasio Utang Pemerintah 2000.1-2012.4 Manfaat penerapan kebijakan kaidah fiskal (fiscal rule) yang bersifat penyetabil utang, menurut Tcherneva (2008) adalah kebijakan ini dapat mengontrol pemerintah dalam melakukan pengelolaan utang. Jika pemerintah mampu menjaga besaran tingkat utangnya pada posisi yang stabil, yaitu mempertahankan tingkat utangnya pada posisi yang moderat serta melaksanakan disiplin anggaran, kaidah fiskal efektif memperbaiki perekonomian. Kemampuan pemerintah menjaga posisi utang ini akan menentukan kesinambungan fiskal, karena dengan menjaga posisi jumlah utang yang tetap stabil, kesenjangan output berkurang, karena permintaan tidak terlalu berlebihan (Blanchard et al.,2010) dan Favero dan Monacelli (2005). Menurut Rahmany (2009), untuk mencapai kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka panjang, pemerintah wajib menjaga posisi rasio utangnya tetap konstan tiap tahunnya. Mitchell et al., (1999) juga menemukan bahwa kesinambungan fiskal bisa tercapai jika rasio utang terhadap PDB lama kelamaan mendekati nol seiring dengan berjalannya waktu. Secara empiris, beberapa negara telah membuktikan bahwa kebijakan fiskal mampu memperbaiki perekonomian jika pemerintah mampu menjaga stabilitas utang dengan disiplin untuk mencapai target defisit 8
anggaran. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang konsep defisit penyetabil utang dan implikasinya terhadap kinerja perekonomian di Indonesia. Efektifitas satu kebijakan tidak terlepas dari kebijakan lainnya oleh karena itu penerapan kebijakan fiskal juga harus memperhatikan kebijakan lain yang berkembang dalam perekonomian. Ketika kebijakan moneter berjalan sendiri dan mengabaikan kebijakan fiskal, krisis ekonomi terjadi, demikian juga sebaliknya. Selain itu juga dibutuhkan model yang dapat mengaitkan antar waktu yaitu jangka pendek dan jangka panjang dengan menerapkan unsur asa masyarakat karena implementasi kebijakan fiskal memerlukan tenggang waktu. Selama proses kejutan berlangsung, pelaku ekonomi akan melakukan antisipasi dengan membangun asa menggunakan berbagai informasi, sehingga ketika kebijakan fiskal tersebut diterapkan, efektifitas kebijakannya sudah berubah. Eksekusi kebijakan fiskal mulai dari tahap memberikan wacana awal kepada masyarakat, sosialisasi hingga eksekusi kebijakan mempunyai tenggang waktu (time lag) yang lebih lama dibandingkan kebijakan moneter. Tenggang waktu ini dikenal dengan aspek kelembagaan fiskal. Lebih lanjut Hubbard et al., (2012:432) menjelaskan bahwa salah satu keterbatasan kebijakan fiskal adalah masalah kesenjangan waktu kebijakan (policy lag). Kesenjangan waktu terjadi karena adanya mekanisme birokrasi yang harus dilewati seperti otoritas fiskal harus menggelar beberapa kali rapat pertemuan dengan pihak DPR
untuk
meminta persetujuan mereka. Kesenjangan waktu kebijakan ini menyebabkan efektifitas kebijakan berkurang. Perekonomian Indonesia dibangun dari sektor permintaan agregat, penawaran agregat, kebijakan moneter dan sektor luar negeri yang bersifat menerawang ke depan (forward looking) dengan pilihan antar waktu dengan pelaku ekonomi yang nalar. Pilihan antar waktu yang nalar karena didukung informasi yang mudah didapatkan masyarakat. Rumah tangga konsumen dan
9
pemerintah menghadapi kendala anggaran pilihan antar waktu antara mengkonsumsi saat ini atau meningkatkan tabungannya atau pemerintah yang akan mengenakan pajak saat ini atau menundanya dengan meningkatkan defisit anggaran. Penggunaan pilihan antar waktu dan asa nalar membuat keputusan individu menjadi lebih tepat. Kesinambungan fiskal berorientasi jangka panjang. Ketika otoritas fiskal menetapkan konsep defisit penyetabil utang berupa rasio utang tahun ini stabil, para pelaku ekonomi akan merespon kebijakan ini dengan membuat keputusan berdasarkan semua informasi yang dimilikinya. Salah satu kerangka pemikiran ekonomi yang berorientasi jangka panjang dan memasukkan unsur optimisasi antar waktu dan asa nalar sebagai dasar pengambilan keputusan para pelaku ekonomi, adalah pemikiran Makroekonomika Konsensus Baru (MKB). Pemikiran ini merupakan pemikiran ekonomi makro terbaru sejak era Sintesa Neo Klasik yang merupakan konvergensi antara pemikiran Keynesian Baru dan Teori Siklus Bisnis Riil (Tcherneva,2008). Pemikiran MKB selain dapat menganalisis interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter yang menerapkan konsep kebijakan kaidah (rule). Otoritas moneter mampu mengendalikan target tingkat harga dengan mempengaruhi suku bunga kebijakan (๐ โ ), merupakan bentuk penerapan kebijakan kaidah moneter yang merupakan cirri dari pemikiran pemikiran MKB. Pemikiran MKB juga mampu menganalisis keseimbangan perekonomian yang dinamis termasuk perekonomian kecil terbuka (open small economy) seperti Indonesia. Asumsi harga yang lengket (sticky) merupakan fenomena yang ditemui pelaku ekonomi saat ini (Goodfriend and King, 1997). Para pelaku ekonomi akan bertindak rasional dalam membuat keputusan antar waktu. Asumsi harga yang lengket (sticky) serta rasionalitas para pelaku ekonomi dalam membuat keputusan merupakan dua unsur utama dalam pemikiran MKB yang diturunkan masing-masing dari pemikiran Keynesian Baru dan Teori Siklus Bisnis Riil.
10
Dalam jangka panjang variabel-variabel yang diamati dalam kondisi keseimbangan, sedangkan dalam jangka pendek memerlukan waktu penyesuaian dari satu keseimbangan ke keseimbangan lainnya. Salah satu model yang mampu mengestimasi model antar waktu yang dinamis dan terkointegrasi yang diturunkan dari teori ekonomi adalah model Vector Error Correction Model (VECM). Menurut Boschi dan Girardi (2005) model VECM dapat digunakan untuk menganalisis baik hubungan jangka panjang maupun jangka pendek yang dinamis diantara variabel yang saling independen. Model VECM mensyaratkan data stasioner pada I(1) dan terkointegrasi yang didukung oleh dasar teori ekonomi yang kuat. VECM merupakan pengembangan dari model Structural Vector Auotoreggresive (SVAR) dan Vector Autoregressive (VAR) yang dibangun berdasarkan a-theory. Dengan mengamati nilai error correction term (ect) dapat diamati proses menuju keseimbangan dan kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan tersebut jika terjadi kejutan dalam perekonomian. Untuk mengestimasi model VECM dalam penelitian ini akan digunakan metode Two Stage Least Square (TSLS). Sama seperti model OLS biasa, model TSLS mengasumsikan error pada variabel terikat tidak berkorelasi dengan variabel bebasnya, hubungan variabel bebas dan terikat adalah linier. TSLS ini dipergunakan untuk mengatasi masalah adirnya variabel endogen sebagai variabel independen dan untuk mengestimasi regresi yang mengandung variabel instrument (Bollen, 2001) . 1.2. Permasalahan. Target utama kebijakan ekonomi makro jangka panjang yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesinambungan fiskal. Kesinambungan fiskal adalah ketika rasio pengeluaran pemerintah terhadap
PDB
stasioner dan konsisten dengan seluruh permintaan agregat
(Edwards,2003). Menurut Wickens (2008:96) dan Reinhart et al., (2012), ketika pemerintah
11
mampu mewujudkan kesinambungan fiskal melalui upaya menjaga rasio utang pemerintah yang stabil dan terbatas, maka kepercayaan masyarakat untuk memegang obligasi pemerintah meningkat. Menurut Parliamentary
Budget Officer (PBO)
kesinambungan fiskal
(fiscal
sustainability) terjadi jika aliran penerimaan dan pengeluaran negara lancar sehingga rasio utang terhadap PDB kembali ke posisi semula. Menjaga utang tetap stabil merupakan syarat mencapai kesinambungan fiskal (Rahmany, 2009). Salah satu jenis kebijakan fiskal yang dapat menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka panjang dan stabilitas perekonomian adalah penerapan kaidah fiskal berupa defisit penyetabil utang (Blanchard et al., (2010), Favero dan Monacelli (2005), Mitchell et al., (1999)). Penerapan kebijakan batas maksimal rasio utang pemerintah dan rasio defisit anggaran masing-masing sebesar 60 persen PDB dan 3 persen PDB seperti yang diatur dalam PP No 23 Tahun 2003 pasal 5 dianggap masih belum cukup memberi petunjuk kapan anggaran pemerintah harus melakukan kebijakan defisit, berimbang atau surplus anggaran. Kebijakan penentuan defisit anggaran di Indonesia cenderung masih didasarkan pada pendekatan akuntansi dan mengabaikan nalaritas ekonomi dalam perumusannya (Abdurohman dan Syahrir, 2012). Dalam konsep pengelolaan utang seperti ini mengindikasikan bahwa pemerintah dapat terus menambah utang sepanjang jumlah utang belum melebihi 60 persen PDB dan defisit anggaran belum melebihi 3 persen PDB. Jika pemerintah tidak bisa mengendalikan agresifitas fiskal ini akan mengancam kesinambungan fiskal. Sebagian besar anggaran hanya dipergunakan untuk beban membayar utang dan tidak ada akumulasi modal sehingga akan mempengaruhi kinerja perekonomian. Beban utang ini tidak saja membebani perekonomian pada periode itu saja tetapi juga dalam jangka panjang. Blanchard (2003:562) menjelaskan bahwa beban utang yang
12
tinggi mempunyai dua konsekuensi biaya yang harus ditanggung perekonomian, yaitu rendahnya akumulasi modal dan meningkatnya beban pajak yang akan mendistorsi perekonomian. Mencermati permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang alternatif konsep defisit anggaran dan pengelolaan utang di Indonesia yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menjaga utang tetap stabil untuk mewujudkan kesinambungan fiskal. Salah satu konsep defisit anggaran dan pengelolaan utang menurut Blanchard (2003:566) dan Farmer (2002:315) yang diperoleh dari kendala anggaran pemerintah adalah nilai penambahan utang saat ini (๐๐ก ) tidak hanya didasarkan pada PDB, namun harus didasarkan atas pertimbangan kondisi defisit primer anggaran tahun ini (๐๐กโ ), ditambah dengan rasio antara beban bunga membayar utang (๐๐ก ) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi riil (๐๐ก ). Jika pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pada bunga membayar utang (๐๐ก > ๐๐ก ), maka rasio utang pemerintah dapat ditingkatkan, sebaliknya jika tingkat pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari pada bunga membayar utang (๐๐ก < ๐๐ก ), dengan
asumsi pemerintah tidak dapat menciptakan
surplus
anggaran, maka rasio utang pemerintah harus dikurangi. Favero dan Monacelli (2005) dalam menjelaskan stabilitas fiskal menggunakan konsep defisit penyetabil utang atau debt stabilizing deficit, yaitu tingkat defisit anggaran yang dijaga pemerintah agar rasio utang pemerintah senantiasa stabil. Penerapan defisit penyetabil utang ini menurut Favero dan Monacelli (2005) serta Wickens (2008:97) dapat
meningkatkan
kepercayaan masyarakat untuk memegang
obligasi pemerintah meningkat karena masyarakat meyakini kemungkinan pemerintah mengalami gagal bayar (default), kecil, sedangkan kelemahannya terutama ketika terjadi krisis pemerintah terkunci dan tidak mampu mengatasinya karena terikat pada target utang dan defisit anggaran ,sementara kondisi perekonomian membutuhkan peningkatan utang tersebut.
13
Beberapa penelitian yang terkait dengan pengaruh kebijakan defisit anggaran dan utang pemerintah terhadap kinerja perekonomian antara lain ditemukan oleh beberapa peneliti sebagai berikut. Balassone et al., (2000) menemukan bahwa ketika pemerintah melakukan ekspansi fiskal yang menyebabkan defisit anggaran, kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan permintaan agregat, sebaliknya ketika dilakukan kebijakan pengetatan anggaran, kondisi ini akan menekan permintaan agregat. Sementara kebijakan defisit anggaran berpengaruh terhadap suku bunga diteliti oleh Cebula (1997) dan menemukan bahwa penerapan defisit anggaran tidak berdampak pada suku bunga jangka pendek, namun berdampak pada suku bunga jangka panjang. Kenaikan defisit anggaran sebesar 1 persen menyebabkan suku bunga jangka panjang naik 25-30 basis point ditemukan oleh Laubach (2009). Reinhart et al., (2012) menyatakan bahwa tidak masalah dengan ketergantungan utang yang tinggi, sepanjang pasar dapat menyerap kondisi tersebut pada tingkat bunga yang rendah. Hubungan defisit anggaran dengan harga ditemukan oleh Sargent and Wallace (1981) dan berkesimpulan bahwa kenaikan defisit anggaran menyebabkan kenaikan inflasi dalam jangka panjang, namun tidak dalam jangka pendek.
Seberapa kuat defisit anggaran mempengaruhi inflasi, tergantung pada
kredibilitas lembaga keuangan di suatu negara dan seberapa akurat dan disiplin bank sentral menjaga ingkat inflasi. Metin (1998) meneliti di Turki menemukan bahwa defisit anggaran secara signifikan meningkatkan inflasi dan menurunkan pendapatan nasional. Demikian juga Boschi dan Girardi (2005) menemukan di negara-negara yang memiliki tingkat inflasi yang tinggi akan menampilkan hubungan positif antara defisit anggaran dengan inflasinya. Nilai tukar merepresentasikan harga-harga dalam perekonomian karena perubahan nilai tukar mempengaruhi
neraca perdagangan dan neraca pembayaran, struktur dan jumlah
produksi, alokasi sumber daya (Beare,1978:346). Pengaruh defisit anggaran terhadap nilai tukar
14
dapat melalui jalur tingkat harga, pendapatan dan suku bunga. Menurut Beare (1978:347), kedalaman pengaruh nilai tukar tergantung juga pada faktor spesifik suatu negara misalnya keterbukaan perekonomiannya, efektifitas kebijakan fiskal dan moneter. Menurut Beare (1978:347) ekspansi fiskal melalui penjualan obligasi akan meningkatkan suku bunga domestik dan atau meningkatkan arus modal asing masuk. Kondisi ini akan membuat nilai tukar domestik menguat dan cenderung mendorong penurunan harga-harga barang impor dan meningkatkan harga barang-barang domestik. Kondisi ini menyebabkan nilai ekspor bersih menurun dan berakibat neraca transaksi berjalan menurun. Di dalam pasar barang, pengaruh meningkatnya pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat, yang akhirnya cenderung meningkatkan harga-harga barang domestik dan barang-barang dari luar negeri. Kenaikan harga barang ini akan meningkatkan nilai tukar mata uang luar negeri.
Secara empiris Burney (1992) meneliti di Pakistan dan
menemukan bahwa defisit anggaran mempengaruhi secara langsung nilai tukar riil melalui tingkat harga, sedangkan pengaruh tidak langsungnya melalui suku bunga dan pertumbuhan uang beredar. Pengaruh defisit anggaran dengan neraca transaksi berjalan juga diteliti oleh Bernheim (1988) yang menemukan terjadi defisit kembar (twin deficit) di Amerika Serikat yaitu makin defisit anggaran makin defisit neraca transaksi berjalan. Di Amerika Serikat, ketika terjadi peningkatan defisit anggaran sebesar $1 menyebabkan penurunan surplus neraca transaksi berjalan sebesar $0,3 sedangkan di Mexico, akibat peningkatan defisit anggaran $1 menyebabkan penurunan surplus neraca transaksi berjalan sebesar $0,85, sementara di Jepang defisit anggaran tidak mempengaruhi neraca transaksi berjalan.
15
Salah satu pemikiran yang dinamis yang berorientasi pada waktu sehingga pelaku ekonomi mampu membuat keputusan yang rasional, adalah pemikiran MKB. Dalam mengaplikasikan pemikiran ini, diperlukan model yang dapat menganalisis hubungan dinamis antar waktu yaitu perilaku variabel ekonomi dalam
jangka pendek, jangka panjang dan
hubungan jangka pendek dan jangka panjang, dan model ini ada pada VECM. Model ini mensyaratkan data stasioner pada I(1) dan dapat mengamati kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan setelah menghadapi kejutan dengan memperhatikan nilai koefisien error correction term (ect). Menurut Thomas (1997:384), syarat nilai koefisien ect (-1) adalah antara 0 dan 1 dan harus bertanda negatif dan signifikan. Jika persyaratan tersebut terpenuhi maka ect tersebut dapat mengindikasikan kecepatan penyesuaian (speed of adjustment). Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melihat implikasi pengaruh penerapan defisit penyetabil utang terhadap kinerja perekonomian di Indonesia yang diwakili oleh kesenjangan output, tingkat harga, suku bunga, nilai tukar, neraca transaksi berjalan dan defisit primer di Indonesia berdasarkan pemikiran MKB. Untuk melakukan verifikasi empiris sebagai salah satu prinsip pemikiran MKB, dilakukan simulasi berupa penerapan besaran defisit penyetabil utang yang berbeda untuk melihat pola kejutan yang dihasilkan.
1.3. Keaslian Penelitian Perbedaan utama
penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, adalah
menginvestigasi peran kebijakan fiskal untuk mewujudkan kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan kebijakan fiskal bersifat kaidah yang dianalisis dalam kerangka pemikiran Makroekonomika Konsensus Baru (MKB), dan pendekatan ini masih
16
belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian sebelumnya mengaitkan pengaruh penerapan kebijakan fiksal namun masih bersifat diskresi dan dalam kerangka dominasi kebijakan moneter, seperti dilakukan Santoso (2011), Arestis (2009), Tcherneva (2008), Rahutami (2007), Maryatmo (2004). Studi ini menerapkan kaidah fiskal berupa defisit penyetabil utang dalam perekonomian yang dalam beberapa literatur penerapan kaidah ini diyakini mampu menciptakan kesinambungan
fiskal
dan
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi.
Penelitian-penelitian
sebelumnya menjelaskan peran kebijakan fiskal dalam perekonomian yang dilandasi pemikiran Keynesian Baru namun dalam studi ini menggunakan pemikiran Makroekonomi Konsensus Baru yang merupakan konvergensi antara pemikiran Keynesian Baru dan Teori Siklus Bisnis Riil. Suhartoko (2013) telah menggunakan pemikiran MKB ini menggunakan model Giese and Wagner (2007) dalam perekonomian tertutup, sementara dalam studi ini menggunakan model Arestis (2009) dengan 6 persamaan reduced form dalam perekonomian terbuka. Metodologi yang digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dalam mengestimasi model menggunakan persamaan simultan, seperti yang dilakukan Tcherneva (2008), Giese and Wagner (2007), Rahutami (2007), Maryatmo (2004), sedangkan dalam studi ini model yang dibangun adalah model dalam sistim persamaan yang diestimasi menggunakan metode VECM untuk menganalisis perilaku variabel-variabel ekonomi dalam jangka pendek dalam alur jangka panjang. Di bawah ini disajikan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan studi ini.
17
Tabel 1.1. Ringkasan Penelitian Sebelumnya yang Terkait Penelitian Peneliti Santoso, (2011)
Hussain et al., (2010.)
Simorangkir, (2010)
Arestis (2009)
Thcerneva (2008)
Rahutami (2007)
Clark, (2005)
Boschi dan Girardi (2005)
Variabel
Metodologi
Hasil
Tingkat bunga, rasio defisit anggaran terhadapProduk Domestik Bruto (PDB) Menganalisis hubungan dinamis penawaran uang, pengeluran pemerintah nilai tukar riil dan output di 4 negara ASEAN Menganalisis pengaruh interaksi stimulus fiskal dan pelonggaran moneter dengan penurunan tingkat bunga terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia saat krisis Pasar Barang yang forward looking, persamaan inflasi, kaidah moneter, cadangan devisi dan nilai tukar
Menggunakan Teori Keynesian Baru dengan membangun model DSGE
Menggunakan persamaan simultan dengan 6 persamaan
Model NCM dalam perekonomian terbuka mampu menggantikan dengan baik model IS-LM yang selama ini dipakai.
Pasar Barang yang forward looking, Keynesian Baru Phillips Curve (NKPC) dan Taylor Rule Menganalisis Interaksi sector moneter dan fiskal di Indonesia , dengan pendekatan ekonomi Simultan, 1980.1 โ 2006.4 Menganalisa dampak variabel ekonomi makro yaitu ekspektas inflasi, defisit anggaran, nilai tukar riil, suku bunga riil terhadap GDP riil Mendiskusikan penggunaan metode SVAR terkointgrasi dan model VECM untuk menganalisis penentu inflasi di kawasan Eropa.
Menggunakan persamaan simultan 3 pasar
Melalui perubahan permintaan agregat dan pasar kerja kebijakan fiskal mempengaruhi tingkat inflasi.
Menggunakan Keynesian Baru mengamati keseimbangan pasar barang , pasar uang, harga,
Iinteraksi kebijakan moneter dan fiskal, .Sasaran inflasi dan benchmark kebijakan moneter kaidah, patut dipertimbangkan
Menggunakan pendekatan VECM untuk mengestimasi model persamaan IS-MPIA di Korea
Ekspetasi inflasi, nilai tukar riil dan suku bunga riil berpengaruh negatif terhadap GDP riil, sebaliknya defiist berpengaruh positif
Estimasi menggunakan model Structural VECM untuk menganalisis determinan jangka panjang dan jangka pendek dinamis dari inflasi di Eropa.
Dalam jangka panjang dan jangka pendek inflasi dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan;peningkatan inflasi secara temporer menghasilkan redistribusi pendapatan untuk kelompok pendapatan rendah
Estimasi didahului dengan uji kointegrasi johansen diikuti dengan SCVAR dan VECM, dengan Granger Causality dan test eksogenitas. Menggunakan Fiscal Computable General Equlibrium
Interaksi menghadapi kejutan inflasi lebih efektif dibandingkan ketika menghadapi kejutan output. Terdapat hubungan jangka panjang yang stabil antara variabel2 makro ekonomi di 4 negara ASEAN.
Multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar ketika ada interaksi kebijakan stimulus dan pelonggaran kebijakan moneter
18
Peneliti Maryatmo (2004)
Variabel Menganalisis dampak kebijakan defisit anggaran terhadap variabel-variabel moneter dalam jangka pendek dan jangka panjang . (1983:12002:4)
Metodologi Menggunakan reduced form persamaan simultan l dan Uji Kausalitas dalam kerangka Keynesian Baru
Lanjutan Tabel 1.1.
Hasil
Defiisit anggaran melalui penerimaan pemerintah mempengaruhi suku bunga. Melalui pengeluaran pemerintah mempengaruhi kurs dan tingkat harga
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut. 1) Mengestimasi pengaruh penerapan defisit penyetabil utang terhadap kesenjangan output, tingkat harga dalam negeri, suku bunga domestik, nilai tukar, neraca transaksi berjalan dan defisit primer anggaran; 2)
Mengestimasi pola respon kesenjangan output, tingkat harga dalam negeri, suku bunga domestik, nilai tukar, neraca transaksi berjalan dan defisit primer anggaran ketika menghadapi kejutan berupa simulasi besaran defisit penyetabil utang.
1.5. Kontribusi Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tiga kontribusi, yaitu sebagai berikut. 1. Pengembangan model empiris yakni penerapan kebijakan fiskal bersifat kaidah dalam kerangka pemikiran Makroekonomi Konsensus Baru; 2. Pengembangan alat analisis yang berupa penggunaan analisis kejutan dalam model VECM; 3. Kontribusi kebijakan khususnya kepada otoritas fiskal berupa alternatif konsep pengelolaan defisit anggaran
dan utang pemerintah yang dapat mewujudkan
kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi.
19