BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)1. Dengan mengambil lokus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting dikaji untuk dijadikan sebagai sebuah wacana bagi masyarakat dan organisasi publik baik dari aspek teoritis maupun empiris. Secara teoritis, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, dan pada pasal 11 ayat 1 juga disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, semua anak termasuk ABK mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pelayanan pendidikan tanpa adanya pembedaan dari latar belakang kemampuan atau kondisi fisik seseorang. Pentingnya pendidikan bagi ABK merupakan salah satu cara bagi mereka dalam mengembangkan potensi diri untuk lebih maju dan mandiri. Sebagaimana juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pasal 29 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik 1
ABK adalah anak yang menyimpang dari anak normal (average child) pada karakteristik mental, fisik, atau sosial sehingga memerlukan modifikasi pelaksanaan persekolahan atau layanan sesuai dengan kekhususannya supaya dapat berkembang sesuai dengan kapasitasnya (Kirk, 1972 dalam Purwanta, 2012:53)
1
berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu ketika suatu pelayanan dinyatakan sebagai pelayanan yang dijamin keberadaannya oleh negara, maka negara wajib menyelenggarakannya (Dwiyanto, 2010:180). Semua itu dimaksudkan sebagai upaya dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang adil dan makmur, karena kesempatan mengenyam pendidikan bagi ABK tidaklah mudah diperoleh disebabkan karena kondisinya yang berbeda. Dengan kondisinya yang demikian, pemerintah melalui Peraturan Pendidikan Nomor 70 tahun 2009 melahirkan program pendidikan inklusif2 sebagai salah satu bentuk upaya untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang adil, responsif dan ramah bagi setiap peserta didik dengan tujuan, (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Akan tetapi, adanya program pendidikan inklusif tidak hanya melihat pentingnya pendidikan bagi anak dari semua kalangan, tetapi juga harus mampu menciptakan suasana sekolah yang menghargai multikultural (Smith (1998) dalam
2
Sistem penyelenggaraan pendidikan dengan memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama peserta didik pada umumnya (Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif).
2
Ilahi (2013:43)). Sebab prinsip pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mengembangkan potensinya melalui layanan pendidikan yang tepat,
karena pendidikan itu sendiri juga merupakan
suatu fungsi sosial dengan menetapkan arah perkembangan peserta didik yang belum dewasa menjadi partisipasi dalam hidup kelompok dimana dia berada (Deway (1916) dalam Tilaar dan Nugroho (2012: 110)). Sehingga dengan lahirnya pendidikan inklusif, diharapkan agar semua masyarakat sebagai pengguna pelayanan pendidikan khususnya ABK benar-benar dapat memperoleh haknya, karena pendidikan inklusif merupakan cara yang paling efektif untuk memberantas sikap diskriminatif dengan menciptakan masyarakat ramah dan responsif. Berbagai liputan mengenai penyelenggaraan pendidikan inklusif juga dapat dilihat pada media cetak Republika tanggal 6 juli 2013; Kedaulatan Rakyat tanggal 29 September 2014, 5 Mei 2015, 8 Mei 2015; Tribun Jogja 14 April 2015. Di Indonesia sendiri, penyelenggaraan pendidikan inklusif sejatinya telah dirintis sejak tahun 1986 namun dalam bentuk sistem pendidikan yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut dinamakan pendidikan terpadu dan disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.002/U/1986 tentang
penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada Pendidikan
Terpadu, mereka juga ditempatkan di sekolah umum, namun mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah yang ada. Sejalan dengan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, maka di tahun 2004 Indonesia menyelenggarakan konvensi nasional di Bandung dengan menghasilkan Deklarasi Bandung yang berisi : (1) menjamin setiap anak berkelainan dan anak
3
berkebutuhan khusus lainnya untuk mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal; (2) menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupan baik fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural; (3) menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat. Oleh sebab
itu, dalam memperjuangkan hak-hak mereka untuk memperoleh
pendidikan diadakanlah simposium internasional pada tahun 2005 di Bukittinggi dengan menghasilkan rekomendasi Bukittinggi yang menekankan perlunya program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang layak dan berkualitas. Sehingga dengan demikian,
akibat tingginya diversitas kebutuhan
masyarakat sebagai bentuk dari keanekaragaman karakteristik sosial budaya, maka daerahpun khususnya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai semangat dan komitmen yang tinggi dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan bagi ABK dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman. Hal itu juga ditandai
dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa
4
Yogyakarta (DIY) Nomor 4 Tahun 2012 yang mengatur tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Didalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa setiap Kabupaten/Kota menyelenggarakan pendidikan bagi disabilitas untuk memperoleh pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Namun, bagi
Pemerintah Kota Yogyakarta keseriusan dalam
memenuhi hak-hak ABK sudah dimulai sejak tahun 2008, yang ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 47 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif. Bagi pemerintah kota Yogyakarta, penyelenggaraan pendidikan inklusif bertujuan agar terpenuhinya hak atas pendidikan yang layak dan memberikan akses seluas-luasnya bagi semua anak termasuk untuk berkebutuhan khusus, serta terwujudnya pemerataan penyelenggaraan sistem pembelajaran yang layak dan berkualitas sesuai dengan kondisi, potensi, dan kebutuhan individu. Hadirnya pendidikan inklusif juga ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah Anak Dengan Kedisabilitasan (ADK)3 yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan bahwa ADK pada tahun 2013 berjumlah sebanyak 3.858 orang, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi 4.116 orang. Akibat adanya jumlah ABK yang terus meningkat setiap tahunnya membuat pemerintah Kota Yogyakarta merespon untuk meningkatkan pelayanan pendidikan sebagai wujud kepeduliannya dengan menambah jumlah sekolah 3
ADK adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani maupun sosialnya secara layak.
5
penyelenggara pendidikan inklusif. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, pada tahun 2009 awalnya hanya terdapat 7 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Sedangkan di tahun 2014 jumlah tersebut meningkat menjadi 59 sekolah inklusif. Untuk lebih jelasnya berikut perkembangan sekolah pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta : Tabel 1.1 Perkembangan sekolah Inklusif di Kota Yogyakarta Jenjang Tahun Pendidikan 2009 2010 2011 2012 2013 2014 PAUD/TK 1 1 3 7 8 SD/MI 6 9 10 14 18 27 SMP/MTsN 3 5 5 8 SMA/MA 3 5 5 11 SMK 1 1 4 4 4 5 Jumlah 7 11 10 31 39 59 Sumber : Diolah dari data Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Meskipun belum semua sekolah yang mampu menyelenggarakan pendidikan inklusif, namun adanya keinginan dan komitmen
yang kuat dari
pemerintah kota Yogyakarta tercermin dari visi pendidikan Kota Yogyakarta yakni ingin mewujudkan pendidikan berkualitas, berkarakter dan inklusif. Namun kenyataannya, meskipun didukung oleh visi pendidikan yang cukup jelas untuk menciptakan pelayanan pendidikan yang ramah masih cenderung belum sesuai pada tujuannya. Sebagaimana terlihat dari 16 (enam belas) SMPN yang ada di Yogyakarta hanya 4 (empat) sekolah yang melaksanakan pelayanan pendidikan inklusif, yakni SMPN 2, SMPN 5, SMPN 13, dan SMPN 15. Penunjukan empat sekolah tersebut sebagai sekolah inklusif oleh pihak Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta diantaranya SMPN 2 dan SMPN 5 yang pada awalnya merupakan
6
sekolah unggulan dimana banyak terdapat peserta didik yang memiliki intelegensi diatas rata-rata. Sehingga dengan kondisi tersebut, membuat pihak Dinas memfasilitasi sekolah dalam membantu mengembangkan potensi diri bagi setiap peserta didik yakni dengan menyediakan kelas akselerasi bagi mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Begitupun pada SMPN 13, dengan banyaknya peserta didik yang memiliki bakat khusus dibidang olahraga membuat SMP 13 ditetapkan oleh Dinas Pendidikan sebagai sekolah inklusif. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 34 tahun 2006 tentang pembinaan prestasi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dimana setiap kabupaten/kota diwajibkan untuk menunjuk satu SMP yang khusus menerima peserta didik yang memiliki bakat istimewa olahraga. Sedangkan SMPN 15 ditunjuk sebagai sekolah inklusif karena awalnya terdapat siswa ABK dengan kondisi cacat fisik yang diterima oleh pihak sekolah sejak tahun 2011 hingga saat ini. Oleh karena itu SMP 15 ditetapkan sebagai sekolah inklusif. Selain dari jumlah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif yang hanya berjumlah 4 sekolah, berbagai macam alasan lain juga menjadi penyebab sulitnya bagi ABK mengakses pelayanan pendidikan tersebut. Mulai dari pelayanan pendidikan inklusif yang cenderung tidak mengakomodir kondisi ABK, mereka juga seringkali mengeluhkan tentang prosedur pelayanan yang kurang bersahabat dengan keterbatasan yang dimiliki, tidak tersedianya fasilitas khusus, serta rendahnya empati dari aparat birokrasi terhadap mereka (Dwiyanto, 2010:142). Hal ini juga sering menjadi kendala bagi pihak orang tua sebagai
7
pengguna pelayanan untuk memproleh pelayanan publik yang adil dan responsif. Sebagaimana tergambar dari penuturan salah satu orang tua ABK lumpuh layu yang sekolah di salah satu SMPN inklusif berikut ini : “...Awalnya saya daftarkan Arif (nama samaran) ke sana karena saya tahu dari guru SDnya, itu sekolah inklusif. Jadi waktu pertama masuk sekolah karena kondisinya digendong saya antar pakai motor sampai ke kelasnya...eehh langsung di tegur sama pihak sekolah ngantarnya sampai pagar saja..kemudian saya gendong arifnya ke kelas dan kebetulan waktu kelas I kelasnya di atas. mau gimana lagi, bagi saya tidak masalah yang penting anak saya bisa diterima di sana.. Pada saat kelas 8 anak saya ditempatkan di lantai 2 padahal gurunya khan tau kondisi anak saya. Waktu itu saya sempat dipanggil sama Gurunya katanya kalo keberatan gendong Arif ke lantai 2 maka akan dipindahkan lagi di lantai 1 tapi saya bilang gak apa-apa... anak saya diterima sekolah disini saja saya sudah bersyukur.”(Wawancara, 6 Mei 2015). Selain dari sikap pelayanan yang cenderung kurang responsif, alasan kondisi dan hambatan yang mereka miliki menjadi penyebab sulitnya untuk dapat melanjutkan pendidikan pada SMPN inklusif. Sebagaimana yang terlihat dari data yang diperoleh dari observasi awal penelitian, dimana dari empat SMPN penyelenggara inklusif di Yogyakarta hanya terdapat 182 siswa ABK dengan kategori Cerdas Istimewa (CI) sebanyak
88 orang, 91 siswa dengan Bakat
Istimewa (BI), 1 siswa lumpuh layu, 1 siswa tuna daksa, dan 1 siswa tuna rungu. Sedangkan ABK dengan kategori lainnya seperti autis, lambat belajar, atau mereka dengan hambatan intelektual tidak ditemukan di SMPN inklusif. Berangkat dari masalah tersebut, maka menarik bagi penulis untuk mengkaji tentang Pelayanan Pendidikan inklusif Bagi ABK (studi kasus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Inklusif
8
di Kota yogyakarta).
Pentingnya penelitian ini untuk dikaji, terkait dipilihnya Kota Yogyakarta sebagai lokasi dalam penelitian ini Pertama, Kota Yogyakarta merupakan kota yang menjadi barometer dalam pendidikan bagi daerah lainnya di Indonesia hal tersebut ditandai dengan banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Kedua, Kota Yogyakarta diakui oleh pemerintah pusat mempunyai komitmen yang tinggi mengenai pendidikan yang ramah, non diskriminasi, dan menjunjung tinggi etika multi kultural. Hal itu terlihat dengan adanya penghargaan Inclusive Education Award yang diraih Kota Yogyakarta pada tahun 2012 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
2.1 Rumusan Masalah Dengan melihat dari latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut : 1. Bagaimana pelayanan pendidikan inklusif bagi ABK pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Inklusif di Kota Yogyakarta? 2. Apa yang menjadi kendala sekolah dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan inklusif bagi ABK pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Inklusif di Kota Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan dari permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini pada dasarnya bertujuan adalah :
9
1. Untuk mengetahui pelayanan pendidikan inklusif bagi ABK pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Inklusif di Kota Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui kendala atau hambatan pihak sekolah dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan inklusif bagi ABK pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Inklusif di Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi yang berguna untuk mengembangkan konsep yang relevan mengenai pelayanan pendidikan inklusif. 2. Manfaat Praktis, Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kepedulian dan empati aparatur pelayanan untuk dapat menciptakan pelayanan pendidikan yang mengakomodir kebutuhan mereka disebabkan karena kondisinya yang berbeda dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. 3. Manfaat Kebijakan, diharapkan memberikan masukan kepada para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih tepat dalam rangka pemenuhan hak-hak ABK akan pelayanan pendidikan inklusif.
10