BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial pasti akan melakukan komunikasi. Komunikasi itu sendiri tentunya merupakan bagian dari kehidupan yang tidak dapat terpisahkan. Komunikasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses sistematis di mana manusia berinteraksi dengan melalui simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna (Wood, 2007:3). Sayangnya, tidak semua orang dapat melakukan komunikasi dengan baik, contohnya adalah individu yang menyandang autisme. Penyandang autisme seringkali fokus pada dirinya sendiri dan terlihat berada pada dunianya sehingga mereka tidak dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik1. Hal ini terjadi karena orang dengan autisme memiliki masalah pada perilaku dan sosial sehingga akhirnya memengaruhi cara berkomunikasi mereka dengan orang lain (Veague, 2010:2). Setidaknya ada empat masalah komunikasi yang disandang oleh individu dengan autisme. Pertama, penggunaan bahasa yang repetitif atau kaku, dalam artian, anak penyandang autisme yang dapat berbicara seringkali akan 1
National Institute on Deafness and Other Communication Disorder. Communication Problems in Children with Autism Spectrum Disorder. Dalam https://www.nidcd.nih.gov/ health/voice/Pages/Communication-Problems-in-Children-with-Autism-SpectrumDisorder.aspx#4. Diakses 10 Februari 2014 pukul 21:29.
1
mengatakan sesuatu yang tidak memiliki makna atau di luar topik pembicaraan dengan orang lain. Kedua, ketertarikan yang sempit. Maksudnya, anak penyandang autisme dapat menyampaikan monolog yang mendalam mengenai topik yang mereka sukai, tetapi mereka tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan orang lain walau membicarakan topik yang serupa. Ketiga, perkembangan bahasa yang tidak seimbang. Banyak anak dengan autisme menunjukkan perkembangan pada kemampuan bicara dan bahasanya, tetapi perkembangan itu sendiri tidak seimbang dan mengakibatkan umumnya orang salah paham pada mereka dengan menganggap mereka memiliki gangguan pendengaran. Terakhir, masalah komunikasi pada anak penyandang autisme adalah kemampuan nonverbal yang buruk. Mereka umumnya tidak dapat melakukan gerak tubuh untuk memberi makna pada kata-kata mereka. Dengan tidak adanya gerak tubuh yang bermakna atau bahasa untuk berkomunikasi ini, anak penyandang autisme seringkali frustasi dalam upaya mereka mengungkapkan perasaan dan kebutuhannya2. Autisme itu sendiri merupakan gangguan atau kelainan yang bisa mulai dideteksi sejak anak berumur dua sampai tiga tahun dan bersifat biologis (Yatim, 2007:11). Individu penyandang autisme sendiri memiliki kelainan yang bersifat heterogen, artinya bagaimana cara memandang dan berperilaku
2
National Institute on Deafness and Other Communication Disorder. Communication Problems in Children with Autism Spectrum Disorder. Dalam https://www.nidcd.nih.gov/ health/voice/Pages/Communication-Problems-in-Children-with-Autism-SpectrumDisorder.aspx#4. Diakses 10 Februari 2014 pukul 21:29.
2
berperilaku antara penyandang autisme yang satu dengan penyandang autisme yang lain dapat berbeda (Veague, 2010:3). Akibatnya, mereka memiliki kemampuan sosial yang berbeda, walaupun pola komunikasinya umumnya sama. Cara berkomunikasi antara individu normal dan penyandang autisme tentunya sangat berbeda. Digambarkan oleh Bogdashina (2005:135), manusia normal umumnya berbagi pesan dengan menggunakan bahasa atau kata-kata. Akan tetapi, individu autisme mempelajari bahasa mereka melalui interaksi dengan objek atau orang pada tingkat sensorik. Artinya, kata-kata yang biasa kita gunakan untuk menggambarkan suatu objek tidak berarti bagi mereka. Mereka merekam sensasi yang diciptakan oleh objek saat berinteraksi dan menamainya sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu, umumnya orangorang dengan autisme mengonstruksikan pikirannya dalam sebuah gambar. Akan tetapi, ada pula yang menggunakan auditori, kinestetik, dan sentuhan. Menurut Veague (2010:19-20), perbedaan komunikasi antara orang penyandang autisme dengan orang normal adalah orang penyandang autisme tidak dapat membaca pikiran orang lain. Ketika berkomunikasi, manusia pada umumnya dapat membaca pikiran orang lain dengan menginterpretasikan pikiran dan perasaan melalui ‘petunjuk’ yang diberikan, seperti ekspresi, tingkah laku, dan lain-lain. Namun, orang dengan autisme umumnya tidak dapat melakukan hal ini. Disamping itu, mereka juga memiliki kesulitan dalam melakukan decoding pesan.
3
Walaupun anak penyandang autisme mungkin memiliki perbedaan dalam hal komunikasi verbal, namun mereka secara umum masih memiliki kesamaan dalam hal komunikasi nonverbal dan juga komunikasi berdasarkan sensorik. Mereka juga menggunakan komunikasi melalui visual, sentuhan, kinestetik, pendengaran, penciuman, dan perasa (Veague, 2010:136). Meskipun memiliki keterbatasan dalam hal sosial, akan tetapi bagaimanapun juga mereka nantinya akan terjun ke masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Gardner (2011:269), faktanya adalah setiap individu itu unik, tidak terkecuali penyandang autisme itu sendiri. Akan tetapi, mereka tetap harus hidup dalam konteks sosial yang merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dari kondisi manusia dan telah mengakar secara kuat pada keanggotaan spesies kita. Oleh karena itu, dibutuhkanlah suatu kemampuan untuk membangun hubungan dengan orang lain atau kemampuan untuk berinteraksi sehingga nantinya individu tersebut mampu beradaptasi dan berkembang dalam lingkungannya. Kemampuan tersebut juga dapat digolongkan dalam kecerdasan interpersonal yang diutarakan oleh Gardner. Kecerdasan
interpersonal
itu
sendiri
menyangkut
relasi
sosial.
Kecerdasan ini adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan berkomunikasi dengan orang lain (Papalia, Olds, dan Feldmen, 2001:343). Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk menyadari dan membuat perbedaan antara individu-individu, khususnya suasana hati, tempramen, motivasi, dan maksud (Gardner, 2011:253). Ketika seseorang kurang mampu memahami perasaan orang lain, maka ia akan berinteraksi 4
dengan tidak tepat terhadap orang lain dan dapat gagal mendapat tempat dalam komunitas yang lebih luas (Gardner, 2011:269). Mengajarkan anak penyandang autisme bagaimana berkomunikasi atau mengembangkan kecerdasan interpersonalnya merupakan sesuatu yang penting untuk memaksimalkan potensi mereka. Untuk menumbuhkan kecerdasan interpersonal atau kemampuan berkomunikasi ini, diperlukan pelatihan khusus atau yang biasa disebut dengan terapi, khususnya terapi wicara. Dalam terapi ini, terapis melatih individu yang memiliki gangguan suara, bicara, dan bahasa. Terapi wicara ini sendiri bertujuan untuk memperbaiki komunikasi verbal mereka dan sering menekankan pada penggunaan fungsional, seperti mempelajari bagaimana bercakap-cakap dengan orang lain, termasuk fokus pada topik dan bergantian dalam berbicara. Selain itu, terapi ini juga bertujuan untuk melatih komunikasi nonverbal, seperti penggunaan bahasa tubuh3. Terapi ini sendiri hanya diikuti seorang terapis dan satu orang terapis dan seorang anak didik dalam setiap sesinya sehingga komunikasi interpersonal berperan sangat penting dalam proses pengajaran yang dilakukan. Oleh karena itu, agar pengajaran yang dilakukan melalui komunikasi interpersonal ini dapat lebih efektif, terapis harus memiliki kemampuan untuk membuat penyesuaian sesuai dengan dimensi kemampuan yang spesifik (DeVito 2009:163). 3
National Institute on Deafness and Other Communication Disorder. Communication Problems in Children with Autism Spectrum Disorder. Dalam https://www.nidcd.nih.gov/ health/voice/Pages/Communication-Problems-in-Children-with-Autism-SpectrumDisorder.aspx#4. Diakses 10 Februari 2014 pukul 21:29.
5
Dimensi kemampuan yang dapat menentukan efektivitas dalam komunikasi itu sendiri bisa disebut dengan keterampilan komunikasi interpersonal yang terbagi ke dalam dua belas kemampuan, yaitu dialog, kesadaran, fleksibilitas, sensitivitas budaya, metakomunikasi, keterbukaan, empati, sikap positif, kedekatan, manajemen interaksi, ekspresivitas, dan orientasi lainnya (DeVito, 2009:163). Melihat betapa menariknya masalah komunikasi yang dimiliki oleh anak penyandang autisme, bagaimana seseorang dapat membantu menumbuhkan kecerdasan interpersonal orang lain, serta adanya perbedaan dalam melakukan komunikasi dengan anak penyadang autisme yang mengakibatkan keterampilan komunikasi interpersonal yang dibutuhkan belum tentu sama dengan orang yang normal, maka peneliti memilih untuk mengangkat topik ini sebagai bahan penelitian. Fokus penelitian ini adalah bagaimana keterampilan komunikasi interpersonal orang normal ketika berkomunikasi dengan anak penyandang autisme itu sendiri dalam rangka menumbuhkan kecerdasan intepersonal anak. Orang normal dalam hal ini adalah terapis dan anak penyandang autisme itu adalah murid dengan autisme. Selain itu, penelitian ini juga akan melihat elemen komunikasi serta pengadaptasian teori akomodasi komunikasi di dalamnya. Oleh karena itu, topik penelitian ini adalah keterampilan komunikasi
interpersonal
terapis
dalam
interpersonal murid penyandang autisme.
6
menumbuhkan
kecerdasan
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka secara umum penelitian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan berikut: Bagaimana keterampilan komunikasi interpersonal terapis dalam menumbuhkan kecerdasan interpersonal murid penyandang autisme?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana keterampilan
komunikasi
interpersonal
terapis
dalam
menumbuhkan
kecerdasan interpersonal murid penyandang autisme.
1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1.
Kegunaan Penelitian Teoritis Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori dalam bidang ilmu komunikasi dan juga dapat memperkuat teori yang telah ada sebelumnya, terutama mengenai komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh orang berkebutuhan khusus atau dalam hal ini menyandang autisme.
1.4.2.
Kegunaan Penelitian Praktis Menjadi panduan ataupun perbandingan bagi penelitian lebih lanjut yang memiliki topik serupa serta memberi masukan kepada sekolah khusus autisme dalam melakukan komunikasi antarpribadi dengan muridnya sehingga komunikasi yang dilakukan dapat lebih efektif. 7