BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Berbagai penemuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi saat ini
memungkinkan setiap orang untuk menggunakan interconnection network, selanjutnya disebut internet, melalui komputer pribadi (personal computer atau PC) atau media elektronik lainnya dimanapun dan kapanpun. Kemajuan-kemajuan teknologi tersebut telah banyak memberikan berbagai kemudahan dan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan bagi umat manusia. Teknologi informasi dan komunikasi saat ini dimanfaatkan oleh pribadi (individu), korporasi, pemerintah, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk berbagai aktivitas, seperti pendidikan, kesehatan, bisnis, pemerintahan, komunikasi, hiburan, dan begitupun bentuk kejahatan lain-lain.1 Khususnya bertransaksi menggunakan kartu kredit dan/atau uang plastik. Fenomena yang bernama teknologi ini sering dianggap sebagai “dewa” bagi sebagian orang, khususnya oleh para pelaku usaha. Teknologi komputer menjadi terpadu dalam bertransaksi di era global yang terintegrasi dan/atau terkoneksi melalui jaringan internet untuk melakukan transaksi keuangan dan teknologi, terbukti ketika dengan mudahnya mampu merevolusi sistem pembayaran
1
Sigid Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, PT. Refika Aditama, Bandung, 2012,
halaman 1.
Universitas Sumatera Utara
konvensional secara tunai (cash) yang telah berjalan berabad-abad menjadi sistem elektronik (non-cash).2 Manusia yang hidup di masa era globalisasi yang terintergrasi secara cepat tanpa batas waktu, tidak terlepas dari kemajuan suatu teknologi yang berkembang begitu sangat pesatnya, yang mendukung setiap pengguna teknologi (user of technology) dalam memberikan kemudahan bertransaksi menggunakan teknologi untuk keuangan dan khususnya penggunaan kartu kredit antar lintas daerah dan lintas negara (cross border). Bentuk transaksi dengan teknologi yang menggunakan kartu kredit (credit card) dapat dilihat dalam wujud transaksi elektronik (electronic transaction) melalui
mesin
Anjungan
Tunai
Mandiri
(Automated
Teller
Machine),
menggunakan telepon genggam (phone banking), jaringan internet perbankan (internet banking), dan lain sebagainya sebagai bentuk baru delivery channel memodernisasi setiap transaksi. Secara umum, saat ini setidaknya terdapat tiga basis instrumen pembayaran, yakni:3 1. 2. 3.
Paper-based: cek, bilyet giro, dan nota debet; Card-based: kartu kredit, kartu debet, dan kartu ATM; Electronic-based: e-money, internet banking, mobile banking, dan electronic mall.
Perkembangan dalam transaksi keuangan tidak lagi menggunakan uang tunai (cash less society) ini merupakan trend yang tidak dapat dihindari. Peningkatan perputaran ekonomi jelas menuntut dukungan sistem pembayaran yang cepat, aman, efisien, dan handal. Lancarnya sistem pembayaran akan 2 Resa Raditio, Aspek Hukum Transaksi Elektronik: Perikatan, Pembuktian, dan Penyelesaian Sengketa, PT. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, halaman 1-2. 3 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
memberikan kepastian kepada masyarakat dalam bertransaksi, maka secara otomatis juga akan mempercepat peredaran uang (velocity of money) dan mengurangi floating fund atau dana yang mengambang. Perputaran uang yang semakin cepat dalam masyarakat akan menstimulasi kegairahan dan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari money multiplier yang diciptakannya. Konsumen juga cenderung menggunakan instrumen (non-cash payment), seperti card-based dan electronic-based, karena saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan agar transaksi dapat dilakukan dengan praktis, cepat, dan nyaman. Bagi masyarakat, penggunaan pembayaran non tunai dengan menggunakan kartu mempermudah transaksi seperti penarikan tunai, transfer dana, dan pembayaran ke berbagai tagihan rutin lainnya. Dari sisi operasional, penggunaan non-cash instrument akan mempercepat dan mempermudah penyelesaian transaksi dan berbagai kebutuhan nasabah atau customer dalam satu waktu, serta dengan biaya transaksi yang relatif lebih rendah.4 Terkait dengan penjelasan tersebut, maka internet merupakan Integrated Services Digital Network (ISDN). 5 Dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris (biasa disebut hard reality), dimensi kedua adalah kenyataan kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (dipadankan dengan sebutan soft reality), dan dimensi ketiga dikenal dengan kenyataan maya (virtual reality) yang melahirkan suatu format masyarakat lainnya.6
4
Ibid., halaman 2-3. Ibid. 6 Ashadi Siregar, Negara, Masyarakat, dan Teknologi Informasi, makalah pada Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Demokrasi, Yogyakarta, 19 September 2001. 5
Universitas Sumatera Utara
Indonesia juga tidak terlepas dari kegiatan telekomunikasi nasional yang mengalami perkembangan begitu pesat. Selain pertimbangan teknologi, ekonomi, dan budaya, aspek regulasi pun menjadi unsur yang harus disikapi dengan berhatihati.7 Dampak positif di sisi lain timbul pikiran dengan tidak beritikad baik untuk mencari keuntungan dengan cara melawan hukum, yang berarti melakukan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini adalah kejahatan yang dilakukan menggunakan dan/atau melalui internet, 8 misalnya ancaman serangan terhadap sarana dan/atau prasarana teknologi informasi dan komunikasi yang terkoneksi secara global, yang dapat membahayakan tidak hanya materi, tetapi juga nyawa manusia. Teknologi digunakan untuk menciptakan dan/atau menjadi sarana untuk melakukan tindak pidana. Dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi adalah munculnya tindak pidana baru (new crimes) di bidang teknologi informasi dan komunikasi, baik berupa tindak pidana terhadap confidentiality, integrity, dan availability data atau sistem komputer, seperti hacking, cracking, phreaking, viruses, dan lain-lain, maupun tindak pidana yang dilakukan dengan menggunakan media teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat, seperti cyberfraud, credit card fraud, cyberpornography, cyberstalking, cyberterrorism, dan lain-lain.9 Penggunaan jaringan internet (network) merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi yang menjanjikan menembus batas-batas antar negara 7
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi: Regulasi dan Konvergensi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2013, halaman 13. 8 Niniek Suparni, Cyberspace: Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 1. 9 Sigid Suseno, Op.cit., halaman 2.
Universitas Sumatera Utara
dan mempercepat penyebaran dan pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan ilmuwan dan cendikiawan di seluruh dunia. Internet membawa kepada ruang atau dunia baru yang tercipta yang dinamakan cyberspace.10 Cyberspace adalah merupakan dunia virtual yang terbentuk dari hasil penyatuan antara manusia dan teknologi, yaitu dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology – ICT). Teknologi informasi dan komunikasi merupakan gabungan dari teknologi komputer, telekomunikasi, serta jaringan komputer, seperti yang digambarkan oleh Koops:11 “technologies that store, transmit, and/or process information and communication … the term is generally used to indicate “modern” or “high” technology, in particular electronic data-processing technologies. Thus, ICT focuses on computers, telecommunications, and computer and telecommunication networks. The term is sometimes used as a virtual synonym for the Internet”. Cyberspace menampilkan suatu fakta, tetapi bukan realitas yang nyata sebagaimana bisa dilihat dan dirasakan layaknya benda berwujud, melainkan realitas virtual (virtual reality), bagaikan dunia maya atau dunia tanpa batas, sehingga inilah sebenarnya yang dimaksud dengan borderless world, karena memang dalam cyberspace tidak mengenal batas negara, hilangnya batas dimensi
10
Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman 4. 11 Bert-Jaap Koops, Should ICT Regulation be Technology-Neutral? Dalam Bert-Jaap Koops, Miriam Lips, Corien Prins & Maurice Scellekens (eds), Starting Points for ICT Regulation. Deconstructing Prevalent Policy One-Liners, IT & Law Series Vol. 9, The Hague: T.M.C. Asser Press 2006.
Universitas Sumatera Utara
ruang, waktu, dan tempat.12 Semua tindak pidana yang dilakukan di cyberspace tersebut termasuk tindak pidana siber13 (cybercrime). Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi harus disertai dengan upaya untuk mengantisipasi, mencegah, dan memberantas tindak pidana siber tersebut. Pencapaian hasil pembangunan akan terhambat jika langkah-langkah tersebut tidak dilaksanakan secara konstruktif.14 Dengan bergesernya nilai peradaban manusia yang menimbulkan gerakan mengembangkan hukum, peraturan, dan norma tidak tertulis dan upaya-upaya untuk memelihara harmoni sosial, karena hukum itu hidup di tengah-tengah masyarakat (living law).15 Jika suatu kejahatan terjadi, masyarakat akan bereaksi, bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang melanggar hukum, dan perlu dicegah. Pencegahan melalui pengaturan oleh peraturan perundang-undangan dapat terbatas pada lokasi tertentu, misalnya kota, negara, bahkan secara global, seperti kejahatan komputer atau kejahatan siber (cybercrime) yang telah berkembang di Indonesia, maka diperlukan pengaturan, agar dapat mencegah dampak yang negatif dan mendorong dampak yang positif, sehingga terjadi kondisi sosial yang harmonis.16 Secara hukum, cybercrime bukanlah kejahatan yang sederhana karena tidak menggunakan sarana konvensional, melainkan dengan menggunakan 12
Onno W. Purbo, Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia. Kompas, 28 Juni 2000, halaman 50. Penggunaan istilah borderless world dalam konteks ini berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Kenichi Ohmae, karena dalam konteks ini istilah borderless world menunjuk kepada pergerakan dunia informasi melalui internet (yang di dalamnya dapat saja terdapat unsur ekonomi). 13 Terminologi tindak pidana siber adalah padanan kata dalam Bahasa Indonesia yang digunakan untuk terminologi cybercrime. 14 Sigid Suseno, Op.cit., halaman 2. 15 Sigid Suseno, Op.cit., halaman 3-5. 16 Niniek Suparni, Op.cit., halaman 2.
Universitas Sumatera Utara
komputer dan internet. Cybercrime juga bukanlah sekedar kejahatan di suatu negara saja, akan tetapi juga menyangkut kejahatan antar kawasan dan antar negara. Cybercrime merupakan salah satu bentuk kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes) atau paling kompleks untuk saat ini. Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah “hukum siber” diartikan sebagai padanan kata dari cyber law, saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah hukum siber yang digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber, jika diidentikkan dengan “dunia maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, yaitu sesuatu yang tidak terlihat dan semu.17 Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya dan dapat dikatakan hukum yang hidup di masyarakat (living law) serta berkembang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk menjaga ketertiban, karena hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum, ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian, tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini, yang berkaitan dengan kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya 17
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, halaman 2.
Universitas Sumatera Utara
tidak bisa lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi, baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana kartu kredit (carding atau credit card fraud) melalui pembelanjaan di internet.18 Carding atau credit card fraud adalah suatu bentuk kejahatan yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk dibelanjakan tanpa sepengetahuan pemiliknya.19 Perkembangan kasus carding di Indonesia bergerak sangat cepat. Menurut hasil
riset
yang
dilakukan
oleh
perusahaan
sekuriti
Clearcommerce
(www.clearcommerce.com) yang berbasis di Texas, menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan pertama negara asal pelaku cyberfraud, ditambahkan pula bahwa sekitar 20% (dua puluh persen) total transaksi kartu kredit dari Indonesia melalui internet adalah kegiatan cyberfraud. Riset tersebut juga mensurvei 1.137 merchant, 6 juta transaksi, dan 40 ribu customer, yang dimulai dari pertengahan tahun 2000 hingga akhir tahun 2001.20 Catatan Mabes Polri Divisi Cyber Crime pada tahun 2002 diperoleh data bahwa kasus penipuan menggunakan kartu kredit (carding) menggunakan 18
Pembahasan mengenai e-commerce dan dampaknya terhadap perniagaan global dapat dilihat lebih lanjut pada Abu Bakar Munir, Cyber Law Policies and Challenges, 1999, halaman 205, Klaus W. Grewlich, Governance in “CyberSpace” access and Public Interest in Global Communication, The Netherlands, 1996, halaman 48, ASEAN forum on Net Effect, The Straits Times (Singapore), 3 September 1996, halaman 2, Assafe Endeshaw, Internet and ECommerce Law, 2001, halaman 258. Bandingkan dengan Leonard, Eamonn, Ahmad M. Ramli, Kimberley, Paul, et.al., Government of Indonesia Information Infrastructure Development Project (IIDP): Harmonisation and Enactment Planning for E-Commerce Related Legislation, Jakarta, June, 2004, halaman 170-dst. 19 Ade Ary Syam Indradi, Carding: Modus Operandi, Penyidikan, dan Penindakan, Pensil-234, Jakarta, 2006, halaman 4. 20 Donny BU, Komunitas Internet Indonesia Terkena Embargo, 9 Juli 2002, http://www.free.vlsm.org/v03/com/ictwatc/paper/paper033.htm, diakses pada tanggal 15 Januari 2016, pukul 10.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
jaringan internet menduduki peringkat pertama dari kasus cybercrime yang terjadi di Indonesia selama tahun 2002, yaitu sejumlah 152 kasus.21 Kejahatan carding adalah murni kejahatan lintas-negara (trans-national crime), namun saat penanganannya, justru timbul kesulitan ketika banyak warga negara asing yang menjadi korban kejahatan carding harus datang ke Indonesia untuk memberikan keterangan kejadian yang dialaminya. Kesulitan bagi pelapor warga negara asing ini terjadi karena pelapor harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk terus-menerus ke Indonesia berkaitan dengan penyidikan kasusnya, sehingga hal inilah yang menyebabkan banyaknya dark number pada kasus-kasus carding yang terjadi.22 Indonesia pada tahun 2002, khususnya di provinsi Jawa Barat, menduduki peringkat ke-3 dalam jumlah pelaku carding, yaitu 36 (tiga puluh enam) orang, sedangkan pada tahun 2003 (sampai dengan bulan Agustus 2003) menduduki peringkat pertama di Indonesia dengan sejumlah 10 (sepuluh) orang pelaku carding atau credit card fraud. Polda Jawa Barat melalui Sat Opsnal II Direktorat Reskrim telah beberapa kali menyidik kasus yang berkaitan dengan internet, khususnya kejahatan carding, namun pada pelaksanaannya, dikhawatirkan praktik penegakan hukum terhadap kasus carding oleh satuan ini tidak dapat dilaksanakan sesuai apa yang diharapkan Penyidik pada umumnya, yaitu membuktikan terjadinya tindak pidana.
23
Pembuktian terhadap cybercrime,
khususnya kejahatan carding ini merupakan faktor yang sangat penting, 21 Dit II Eksus-Unit V (TP, Teknologi Informasi) Bareskrim Polri, Data Kasus Cybercrime Tahun 2001-2003. 22 Ade Ary Syam Indradi, Op.cit., halaman 5. 23 Ibid., halaman 6.
Universitas Sumatera Utara
mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya, data yang dimaksud sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik, sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat, bahkan sangat dahsyat dalam melakukan transaksi. Berdasarkan data dari Internet World Stats per tanggal 30 Juni 2010 Negara Indonesia termasuk negara tingkat tindak pidana carding tertinggi kedua di dunia setelah Ukraina.24 Kejahatan carding atau credit card fraud sebagaimana telah dijelaskan adalah suatu bentuk kejahatan yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk dibelanjakan tanpa sepengetahuan pemiliknya, dengan demikian pelaku kejahatan carding yang telah membelanjakan kartu kredit milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya ini telah memenuhi salah satu unsur di dalam tindak pidana pencucian uang sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada Pasal 3, sehingga dengan kata lain, kejahatan carding dengan tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan erat, artinya setelah tindak pidana kejahatan kartu kredit (carding) terlaksana, maka hasil kejahatan carding tersebut disembunyikan, ditempatkan, atau ditransfer dalam proses pencucian uang. Berdasarkan fakta-fakta dan alasan-alasan yang ditimbulkan dari keadaan di atas, maka diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi masukan yang baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu hukum pidana. 24
Roy Suryo, Pemanfaatan IT dan Implikasinya terhadap Cybercrime, Makalah Seminar, Jakarta, 9 Desember 2003.
Universitas Sumatera Utara
Uang hasil kejahatan kartu kredit (dirty money) tersebut ditempatkan, ditransfer, dan disembunyikan dan/atau dibelanjakan melalui kegiatan pencucian uang dan/atau money laundering agar tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan/atau aparat Kepolisian Negara RI, maka Pemerintah Republik Indonesia atas dorongan negara-negara maju untuk segara menerbitkan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang pertama, yaitu Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2002 telah dirubah menjadi Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan dasar hukum untuk menindak para pelaku tindak pidana pencucian uang di Indonesia, dengan demikian, hal-hal tersebut di ataslah yang mendorong Penulis mengadakan penelitian untuk skripsi yang berjudul “Analisis Hukum terhadap Kejahatan Carding dalam Perspektif Cyber Law di Indonesia”. B.
Perumusan Masalah a.
Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang kejahatan carding dan kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang di Indonesia?
b.
Apa faktor penyebab terjadinya kejahatan carding dalam hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang?
c.
Bagaimana kebijakan hukum pidana dan upaya pencegahannya terhadap penerapan kejahatan carding dalam kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang?
Universitas Sumatera Utara
C.
Tujuan Penelitian a.
Untuk mengetahui pengaturan hukum yang mengatur tentang kejahatan carding dan kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang di Indonesia;
b.
Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kejahatan carding dalam hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang;
c.
Untuk
mengetahui
kebijakan
hukum
pidana
dan
upaya
pencegahannya terhadap penerapan kejahatan carding dalam kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang. D.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut: a.
Manfaat Teoritis: i. Untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam
tentang
kejahatan,
khususnya
mengenai
kejahatan carding; ii. Untuk mengetahui korelasi atau keterkaitan antara kejahatan carding dengan tindak pidana pencucian uang; iii. Untuk mengkaji penerapan dan efektivitas Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai dasar hukum yang dapat
Universitas Sumatera Utara
digunakan
untuk
mengantisipasi
dan
menanggulangi
kejahatan carding. b.
Manfaat Praktis: i. Untuk dijadikan sebagai pedoman dalam rangka menambah pengetahuan masyarakat tentang kejahatan carding seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini; ii. Untuk memberikan masukan bagi masyarakat dan kalangan praktisi hukum demi menambah wawasan tentang kejahatan carding sebagai salah satu cara untuk melakukan tindak pidana pencucian uang; iii. Untuk menumbuhkan kesadaran hukum di kalangan masyarakat, khususnya bagi para pelaku kejahatan carding agar dapat meminimalisir terjadinya kejahatan carding di Indonesia.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan di
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tidak ditemukan judul yang sama dengan skripsi-skripsi yang ada di dalam arsip perpustakaan tersebut. Skripsi yang ditulis oleh Penulis adalah merupakan hasil dari buah pemikiran Penulis dan ditambah dengan beberapa literatur, baik itu berupa buku-buku milik Penulis sendiri, buku-buku yang ada di perpustakaan, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Penulisan skripsi ini sepenuhnya murni dikerjakan oleh Penulis sendiri dengan topik atau pembahasan yang Penulis kaji dan belum pernah dikaji oleh
Universitas Sumatera Utara
orang lain yang dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada di Sekretaris Departemen Hukum Pidana. Jika ternyata terdapat judul yang sama sebelum skripsi ini dibuat, maka Penulis bertanggung jawab sepenuhnya akan hal itu. F.
Kerangka Teori dan Konsepsi Penulis menggunakan pisau analisis berikut dalam kerangka teori dan
konsepsi, antara lain: a.
Grand Theory Adapun yang menjadi Grand Theory atau Teori Besar yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Teori Legal System dari Lawrence Friedman, bahwa hukum terdiri dari sistem hukum (legal system) memiliki cakupan yang luas dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering hanya mengacu pada aturan dan peraturan, padahal menurut Lawrence Friedman, sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan, struktur serta lembaga dan proses yang ada dalam sistem itu. Bekerjanya hukum dalam suatu sistem ditentukan oleh 3 (tiga) unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).25 Struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka berpikir yang memberikan pengertian dan bentuk bagi bekerjanya sistem yang ada dengan batasan yang telah ditentukan. Jadi, struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan 25 Lawrence Friedman, American Law in an Intorduction, W.W. Norton & Company, New York, halaman 4, dikutip dari buku Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, halaman 14.
Universitas Sumatera Utara
segala proses yang ada di dalamnya. Struktur hukum (legal structure) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang menjalankan proses peradilan pidana adalah Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan.26 Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang berada di dalam sistem hukum dan substansi hukum (legal substance) berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa keputusan yang telah dikeluarkan maupun aturan-aturan baru yang telah dan/atau akan disusun. Substansi hukum (legal substance) tidak hanya terdapat pada hukum yang tertulis (law in the book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup di masyarakat (living law).27 Budaya hukum (legal culture) merupakan sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Sikap ini meliputi kepercayaan, nilai-nilai, ideide, serta harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum juga merupakan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum disalahgunakan. Budaya hukum (legal culture) mempunyai peranan yang besar dalam sistem hukum. Tanpa budaya hukum (legal culture), maka sistem hukum (legal system) akan kehilangan kekuatannya, seperti ikan mati yang terdampar di keranjangnya, bukan ikan hidup yang
26 27
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
berenang di lautan (without legal culture, the legal system is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).28 Menurut Masaki Hamano dalam tulisannya yang berjudul Comparative Study in the Approach to Jurisdiction in Cyberspace (Studi Banding dalam Pendekatan Yurisdiksi di Mayantara), mengemukakan terlebih dahulu adanya yurisdiksi yang didasarkan pada prinsip-prinsip tradisional, menurutnya ada 3 (tiga) kategori yurisdiksi tradisional, yaitu yurisdiksi legislatif (legislative jurisdiction atau jurisdiction to prescribe), yurisdiksi yudisial (judicial jurisdiction atau jurisdiction to adjudicate), dan yurisdiksi eksekutif (jurisdiction atau jurisdiction to enforce).29 Penulis mengamati bagaimana terjadinya kejahatan carding yang menggunakan sarana dunia maya atau cyberspace untuk mencapai tujuan akhir yaitu mengambil hak orang lain dengan mencuri atau menipu yang melanggar norma-norma hukum. b.
Middle Theory Adapun yang menjadi Middle Theory atau Teori Tengah yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Penulis menggunakan Teori Pertanggungjawaban Pidana (Responsiblity Crimes), yaitu teori yang terdiri dari
2 (dua) istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban
dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Sebagaimana liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau 28
Ibid. Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, halaman 28. 29
Universitas Sumatera Utara
yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau kondisi yang
menciptakan
tugas
untuk
melaksanakan
undang-undang.
Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undangundang yang dilaksanakan. Menurut pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung jawab akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan
istilah
responsibility
cenderung
merujuk
pada
pertanggungjawaban politik.30 c.
Applied Theory Adapun yang menjadi Applied Theory atau Teori Terapan yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Teori Kebijakan Hukum Pidana. Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris, yaitu policy atau dalam bahasa Belanda, politiek, yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam arti luas termasuk aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, masyarakat
menyelesaikan atau
urusan-urusan
publik,
masalah-masalah
bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-
undangan, dan pengaplikasian hukum atau peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau 30
Ridwan H. R., Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, halaman 335-337.
Universitas Sumatera Utara
kemakmuran masyarakat (warga negara). 31 Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat juga disebut dengan istilah politik hukum pidana, dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy, atau staftrechtspolitiek.32 Sebagai tujuan akhir dari penulisan skripsi ini, maka yang merupakan final goal atau tujuan akhirnya adalah bahwa kejahatan carding atau kejahatan kartu kredit merupakan kejahatan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis, maka sangat diperlukan suatu kebijakan hukum pidana berkaitan dengan kejahatan kartu kredit tersebut untuk melakukan pencegahan agar tidak terjadi tindak kriminal yang merugikan orang lain atas perbuatan tindak pidana dan penalisasi, yaitu sanksi apa yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana, khususnya kejahatan kartu kredit (carding).
Perbuatan kriminal dan/atau penal
dan/atau sanksi hukum menjadi masalah sentral dalam penanganannya diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi (criminalisation) mencakup lingkup perbuatan melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea), sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment), maupun tindakan (treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip 31 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, halaman 23-24. 32 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999, halaman 10.
Universitas Sumatera Utara
ultimum remedium atau ultima ratio principle dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan (over criminalisation), yang justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. 33 Pada tahap selanjutnya, hukum yang telah dipilih sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara, maka perlu ditindaklanjuti usaha pelaksanaan hukum sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Tahap ini termasuk ke dalam bidang penegakan hukum, dalam hal ini perlu diperhatikan komponenkomponen yang terdapat dalam sistem hukum, yaitu struktur, substansi, dan kultur.34 d.
Pengertian Kejahatan Kejahatan adalah suatu perbuatan-perbuatan tertentu sebagai
perbuatan jahat, dengan demikian si pelaku disebut penjahat. Pengertian mengenai penjahat sangatlah relatif karena pengertian tersebut bersumber dari alam, yaitu sangat bergantung pada manusia yang memberikan penilaian. Secara empiris, pengertian kejahatan dapat dilihat dari dua perspektif, pertama adalah kejahatan dalam perspektif yuridis, kejahatan 33 Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal 22 Agustus 2003, halaman 1-2. 34 Hakristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistis untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan, Jurnal Keadilan Vol. 3 No. 6, tahun 2003/2004.
Universitas Sumatera Utara
dirumuskan sebagai perbuatan oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. 35 Kejahatan dalam arti yuridis dapat dilihat, misalnya di dalam sistem KUHPidana di Indonesia. KUHPidana membedakan antara perbuatan yang digolongkan “pelanggaran” dan perbuatan yang digolongkan “kejahatan”. 36 Kedua, kejahatan dalam arti (perspektif) sosiologis (kriminologis) merupakan suatu perbuatan yang dari sisi sosiologis merupakan kejahatan, sedangkan dari segi yuridis (hukum positif) bukan merupakan suatu kejahatan. 37 Artinya, perbuatan tersebut oleh negara tidak dijatuhi pidana. Perbuatan ini dalam ilmu hukum pidana disebut dengan strafwaardig, artinya perbuatan tersebut patut atau pantas dipidana, dikarenakan penjatuhan pidana merupakan upaya untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan (kejahatan) tersebut.38 Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosialpsikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup
35
B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1981, halaman 70. 36 Gerson W. Bawengan, Op.cit., halaman 9. 37 B. Simanjuntak, Op.cit., halaman 70. 38 Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Op.cit., halaman 38.
Universitas Sumatera Utara
dalam undang-undang, maupun yang belum tercakup dalam undangundang pidana).39 e.
Pengertian Kejahatan Carding Carding atau credit card fraud, suatu kejahatan kartu kredit,
merupakan salah satu bentuk dari pencurian (theft) dan kecurangan (fraud) di dunia internet yang dilakukan oleh pelakunya dengan menggunakan kartu kredit (credit card) curian atau kartu kredit palsu yang dibuat sendiri dengan tujuan untuk membeli barang secara tidak sah atas beban rekening dari pemilik kartu kredit yang sebenarnya (yang asli) atau untuk menarik dana secara tidak sah dari suatu rekening bank milik orang lain.40 Sudut
pandang
dalam
mengkaji
permasalahan
dengan
mengasumsikan adanya berbagai perubahan akibat dunia yang semakin global dan tanpa batas (globalized and borderless world) berarti tidak terpaut adanya jarak, ruang, dan waktu, maka dapat dianggap pula semakin tidak terbatasnya kemungkinan perubahan dalam bidang teknologi, politik, ekonomi, dan informasi-informasi lain.41 Perkembangan teknologi dengan berbagai bentuk kecanggihan informasi, komunikasi, dan transportasi menjadi salah satu faktor yang
39
Kartini Kartono, Patologi Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,
halaman 126. 40 Wikipedia, Credit Card Fraud, http://en.wikipedia.org/wiki/credit_card_fraud, diakses pada tanggal 21 Januari 2016, pukul 13.00 WIB. 41 Johannes Ibrahim, Kartu Kredit: Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, halaman 83.
Universitas Sumatera Utara
membuat modus kejahatan semakin marak dilakukan oleh pelaku-pelaku kejahatan, diantaranya dengan menggunakan kartu kredit.42 Modus dalam kejahatan kartu kredit merupakan salah satu bentuk kejahatan bisnis. Memahami makna dari kejahatan bisnis, perlu kiranya untuk mencermati perkembangan yang terjadi dalam praktik bisnis dengan berbagai modus, diantaranya adalah dalam bidang kompetisi yang dikenal dengan unfair competion, yaitu berupa tindakan tying contract, exclusive dealing, price discrimination, price fixing, penggabungan perusahaan, false advertising (penipuan iklan), dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime).43 Selanjutnya dipertegas bahwa kejahatan bisnis:44 “Meliputi serangkaian perbuatan salah atau jahat yang lebih luas yang walau bagaimanapun juga merugikan dan selain itu tidak diinginkan karena berakibat paksaan, kurang kompeten, kelalaian, kecerobohan, kurangnya latihan, kurang jelasnya peraturan, peluang, pelanggaran teknis, atau pikiran jahat belaka, bukannya penipuan yang dikalkulasi saja dan bermotivasi kerakusan atau ketamakan”. Sebelum memahami kejahatan bisnis dengan lebih lanjut, perlu diketahui mengenai pengertian dari kejahatan bisnis, pertama, yaitu kelakuan tidak senonoh atau perbuatan jahat yang terjadi dalam lingkungan bisnis dan kejahatan bisnis ini terjadi dalam kegiatan bisnis yang legal. Permasalahan yang terutama dalam kejahatan bisnis adalah sejauh mana konteks bisnis ini menyusun peluang-peluang bagi perbuatan jahat dan bagaimana cara menangani perbuatan jahat dan tidak senonoh 42
Ibid. Ibid. 44 Ibid. 43
Universitas Sumatera Utara
ini, kedua, adalah disediakannya kesempatan legal untuk eksploitasi dan konsekuensi kunci pokok mengenai ini adalah dapat dipertandingkannya delik tersebut. Dua hal yang dapat disimpulkan untuk menarik pengertian tentang kejahatan bisnis adalah, pertama, perbuatan tidak senonoh atau jahat yang terjadi dalam lingkungan yang sah dan yang kedua adalah lingkungan itu menyediakan kejahatan bisnis dan ciri yang dapat dipertandingkan.45 f.
Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda, yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upaya memberikan arti dari strafbaar feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut:46 a.
Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2002 dengan perubahannya, yaitu Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Undang-undang RI Nomor 6 45
Ibid., halaman 95. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 67-68. 46
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan
lainnya.
Ahli
hukum
yang
menggunakan istilah ini, misalnya pendapat Wirjono Prodjodikoro dan Andi Hamzah; b.
Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: R. Tresna dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana”, H. J. van Schravendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”, A. Zainal Abidin, dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk Undang-undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS RI 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)];
c.
Delik,
yang
sebenarnya
berasal
dari
bahasa
Latin
“delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku “Hukum Pidana I”). A. Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-delik Percobaan, Delik-delik Penyertaan”, walaupun
Universitas Sumatera Utara
menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana; d.
Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M. H. Tirta Amidjaja yang berjudul “Pokok-pokok Hukum Pidana”;
e.
Perbuatan yang boleh dihukum, istilah tersebut digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana”, begitu juga H. J. van Schravendijk dalam bukunya
“Buku
Pelajaran
tentang
Hukum
Pidana
Indonesia”; f.
Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang di dalam Undang-undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3);
g.
Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku “Asas-asas Hukum Pidana”.
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Perbuatan Pidana (strafbaar feit) di dalam KUHPidana maupun di luar KUHPidana, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini
Universitas Sumatera Utara
dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.47 Barda Nawawi Arief menyebutkan48 bahwa di dalam KUHPidana hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHPidana) yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit), sedangkan yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak dijelaskan, sehingga tidak ada pengertian atau batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana. g.
Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang Tak seorangpun yang benar-benar yakin kapan tepatnya tindak
pidana pencucian uang itu pertama kali dimulai, namun dapat dikatakan bahwa hal tersebut telah berjalan sejak beberapa ribu tahun yang lalu. “Lords of the Rim” Sterling Seagrave telah menjelaskan bagaimana para pedagang di Tiongkok sekitar 2000 tahun sebelum kelahiran Nabi Isa Almasih telah menyembunyikan kekayaan mereka dari pihak penguasa yang akan mengambil harta mereka dan akan menghukum mereka. Mereka menyembunyikan hartanya dengan cara menyimpan harta tersebut di provinsi yang terpencil atau bahkan di luar Tiongkok, cara tersebut telah melahirkan industri lepas pantai dan penghindaran pajak. Prinsip utama
47 Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan, 2015, halaman 78. 48 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Pengembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, halaman 73-74.
Universitas Sumatera Utara
itulah dari pencucian uang, yaitu menyembunyikan, memindahkan, dan menginvestasikan harta kekayaan tersebut kepada pihak lain.49 Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perserorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Para penjahat tersebut bisa saja pengedar narkotika, organisasi kejahatan, teroris, pedagang senjata, blackmailers, pemalsu kartu kredit, dan sebagainya, berusaha menghilangkan asal usul uang kejahatan, sehingga dapat menghindarkan pendeteksian dan risiko tuntutan pidana.50 Harta kekayaan atau uang yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana, pada umumnya tindak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku karena apabila langsung digunakan, akan mudah dilacak oleh penegak hukum tentang sumber diperolehnya uang atau harta kekayaan tersebut. Para pelaku biasanya terlebih dahulu mengupayakan agar uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system) karena dengan cara demikianlah, asal usul uang atau harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum.51 Secara garis besar, yang dipahami dari pendapat para pakar, baik dari dalam maupun luar negeri, dapat disimpulkan bahwa kegiatan 49 H. Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, CV. Malibu, Jakarta, 2004, halaman 1. 50 Ibid., halaman 2. 51 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pencucian uang atau money laundering adalah suatu proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan/atau penyitaan. Hasil akhir dari proses itu adalah hasil tindak pidana yang “menjelma” menjadi uang yang sah.52 Pasal 1 angka 1 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
menyatakan bahwa: “Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”. Unsur-unsur yang dimaksud tersebut dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 3 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu: “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Pasal tersebut dapat dijadikan gambaran bagi masyarakat luas mengenai apa yang dimaksud dengan kegiatan pencucian uang, akan tetapi di lain pihak, pengertian tersebut akan membatasi ruang gerak para penegak hukum dalam menentukan kejahatan pencucian uang yang 52
Ibid., halaman 3.
Universitas Sumatera Utara
notabene akan selalu mencari pola dan mekanisme kerja yang selalu berubah-ubah dalam rangka menghindarkan diri dari pendeteksian, baik dari Otoritas Keuangan maupun aparat penegak hukum.53 h.
Pengertian Cyber Law Hukum Siber atau Cyber Law adalah istilah hukum yang terkait
dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum Teknologi Informasi (Law of Information Techonology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law), dan Hukum Mayantara. 54 Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi, baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual.55 Hukum pada prinsipnya merupakan pengaturan terhadap sikap tindak (perilaku) seseorang dan masyarakat yang terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi oleh negara. Meskipun dunia siber adalah dunia virtual, hukum tetap diperlukan untuk mengatur sikap tindak masyarakat yang setidaknya karena 2 (dua) hal, yaitu pertama, yang berasal dari dunia nyata. Masyarakat memiliki nilai dan kepentingan, baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama yang harus dilindungi. Kedua, walaupun
53
Ibid. Ahmad M. Ramli, Op.cit., halaman 1-2. 55 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 3. 54
Universitas Sumatera Utara
terjadi di dunia virtual, transaksi yang dilakukan oleh masyarakat memiliki pengaruh ke dunia nyata, baik secara ekonomis maupun non ekonomis.56 G.
Metode Penelitian Adapun Metode Penelitian yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut: a.
Spesifikasi Penelitian Metodologi penelitian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui
suatu masalah yang akan diteliti. Suatu penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai perilakunya atau data empiris) dan dari bahan pustaka.57 Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau doktriner, yaitu penelitian hukum yang menggunakan data sekunder sebagai sumber atau bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier58, oleh karena spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, maka penelitiannya ditinjau dari sudut penelitian hukum, yang mencakup:59 a.
Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b.
Penelitian terhadap sistematika hukum;
c.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
56
Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT. Tatanusa, Jakarta, 2012, halaman 38-39. 57 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, halaman 51. 58 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum: Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, PT. Sofmedia, Medan, 2015, halaman 97. 59 Soerjono Soekanto, Op.cit., halaman 51.
Universitas Sumatera Utara
d.
Penelitian sejarah hukum;
e.
Penelitian perbandingan hukum.
Dengan demikian, penelitian hukum yang dilakukan untuk penulisan skripsi ini adalah penelitian terhadap asas hukum karena Penulis berusaha untuk meneliti dan mendalami mengenai asas-asas hukum yang berkenaan dengan kejahatan, khususnya adalah untuk kejahatan carding itu sendiri penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum karena Penulis ingin melihat ketersinambungan antara peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kejahatan carding dengan praktik terhadap kesesuaian dari peraturan-perundang-undangan tersebut. b.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah
metode pendekatan empiris atau yuridis sosiologis yang dalam penelitiannya, Penulis memulai dari berlakunya hukum positif dan pengaruh berlakunya hukum positif terhadap kehidupan masyarakat, serta pengaruh faktor non hukum terhadap terbentuknya, serta belakunya ketentuan hukum positif.60 c.
Lokasi Penelitian, Populasi, dan Sampel Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah di Jakarta Selatan dengan
alasan untuk menunjang fakta-fakta hukum berdasarkan bahan hukum yang diperoleh tersebut karena contoh kasus yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim di terdapat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah 60
Ediwarman, Op.cit., halaman 100.
Universitas Sumatera Utara
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga dapat
dijadikan
acuan
dalam
pengaplikasian
terhadap
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini. Populasi yang digunakan dalam skripsi ini adalah kasus-kasus kejahatan carding yang terdiri dari pelaku dan korbannya. Sampel yang digunakan dalam skripsi ini adalah kasus kejahatan carding yang telah terjadi di DKI Jakarta, khususnya di Jakarta Selatan sesuai
dengan
putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
No.
1193/Pid/2013/PN.Jak.Sel. yang telah berkekuatan hukum tetap. d.
Alat Pengumpul Data Penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan metode pendekatan
sosiologis atau empiris, Penulis sebaliknya didukung juga oleh data sekunder atau studi dokumentasi. Tegasnya, penelitian hukum empiris atau sosiologis juga ditunjang dengan penelitian hukum normatif. Inilah yang seharusnya dilakukan dalam praktiknya agar penelitian hukum ini mendapatkan hasil yang memadai, oleh karena itu pengerjaannya menggunakan data-data sekunder sebagai data utama. 61 Data sekunder adalah data yang tidak didapat secara langsung dari objek penelitian. Data sekunder yang dipergunakan diantaranya adalah sebagai berikut: i. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain:62
61 62
Ibid., halaman 98. Soerjono Soekanto, Op.cit., halaman 52.
Universitas Sumatera Utara
1)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)
Kitab
Undang-undang
Hukum
Pidana
(KUHPidana); 3)
Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP); 4)
Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
5)
Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
6)
Peraturan perundang-undangan lainnya sebagai petunjuk pelaksana dan pelaksana teknis.
ii. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang isinya membahas bahan hukum primer, antara lain:63 1)
Buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi;
2)
Artikel-artikel yang berkaitan dengan judul skripsi, baik melalui media cetak maupun melalui media elektronik (e-book, e-journal, dan e-newspaper);
3)
Laporan-laporan penelitian yang berkaitan dengan judul skripsi;
63
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4)
Berbagai karya tulis ilmiah lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi.
iii. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain:64
e.
1)
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI);
2)
Kamus hukum;
3)
Catatan perkuliahan;
4)
Direktori putusan pengadilan;
5)
Ensiklopedi hukum.
Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Prosedur pengambilan dan pengumpulan data yang digunakan
dalam skripsi ini diperoleh dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapatpendapat, atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.65 f.
Analisis Data Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan selanjutnya
dikumpulkan, disortir, diurutkan, dan diorganisir ke dalam suatu pola kategori dan uraian-uraian yang mendasar. Penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dalam menganalisis data, yaitu lebih memfokuskan pada analisis hukum dan menelaah bahan-bahan hukum, baik yang berasal dari 64 65
Ibid. Ediwarman, Op.cit., halaman 126.
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan maupun buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Pendekatan kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.66 Penelitian kualitatif landasannya menekankan pada pola tingkah laku manusia yang dilihat dari frame of reference si pelaku sendiri, jadi individu sebagai aktor sentral perlu dipahami dan merupakan satuan analisis serta menempatkannya sebagian dari suatu keseluruhan atau holistik.67 Penelitian dilakukan dengan mengikhtisarkan hasil pengumpulan data yang selengkap-lengkapnya dan memilahnya menjadi suatu konsep, kategori, atau tema tertentu sehingga dapat menjawab permasalahanpermasalahan dalam skripsi ini.
66 67
Soerjono Soekanto, Op.cit., halaman 32. Ediwarman, Op.cit., halaman 128.
Universitas Sumatera Utara