BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Subsidi adalah pembayaran berbalas yang saat ini dilakukan oleh pemerintah untuk perusahaan berdasarkan tingkat aktivitas produksi, kuantitas, nilai dari barang atau jasa yang mereka produksi, jual, ekspor, atau impor, untuk mempengaruhi tingkat produksi, harga output yang dijual, atau penggajian perusahaan (IMF 2001). Subsidi juga didefinisikan sebagai “tindakan pemerintah yang menurunkan biaya produksi, meningkatkan pendapatan produsen, atau menurunkan harga yang dibayarkan oleh konsumen ” (IEA, OECD & World Bank, 2010). Subsidi (juga disebut subvensi) adalah bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi. Sebagian subsidi diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau distributor dalam suatu industri untuk mencegah kejatuhan industri tersebut (misalnya karena operasi merugikan yang terus dijalankan) atau peningkatan harga produknya atau hanya untuk mendorongnya mempekerjakan lebih banyak buruh (seperti dalam subsidi upah). Contohnya adalah subsidi untuk mendorong penjualan ekspor; subsidi di beberapa bahan pangan untuk mempertahankan biaya hidup, khususnya di wilayah perkotaan; dan subsidi untuk mendorong perluasan produksi pertanian dan mencapai swasembada produksi pangan (Todaro & Smith, 2012) Dari penjelasan diatas, subsidi bisa kita kelompokkan menjadi subsidi kepada produsen dan subsidi kepada konsumen. Subsidi produsen adalah
1
pemberian subsidi oleh pemerintah kepada produsen untuk meningkatkan produksi atau agar produsen terbebas dari kebangkrutan dengan cara menutup sebagian biaya produksi mereka. Subsidi konsumen adalah subsidi yang diberikan kepada konsumen dalam bentuk produk konsumsi dengan harga yang lebih murah sehingga memungkinkan mereka untuk mengkonsumsi produk tersebut. Misalnya subsidi makanan dan subsidi susu untuk masyarakat miskin dimana yang disubsidi itu konsumennya bukan produknya. Subsidi merupakan kebalikan dari pajak yang diterapkan pemerintah1. Subsidi dapat menjadi bentuk proteksionisme dengan membuat barang-barang domestik dan layanan secara artifisial (buatan) kompetitif terhadap impor. Selain mengganggu pasar, subsidi bisa memakan biaya ekonomi yang besar.2 Bantuan keuangan dalam bentuk subsidi tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah, hal ini juga bisa diberikan perorangan atau lembaga non-pemerintah misalnya LSM. Pemberlakuan subsidi akan mempengaruhi permintaan dan penawaran barang konsumsi. Jika subsidi adalah s dolar per unit konsumsi barang 1, maka dari sudut pandang konsumen, harga dari barang 1 akan menjadi P1-S (Varian, 2010). Dari gambar 1.1 terlihat bahwa harga penawaran sebelum subsidi pada quantitas Q1 adalah sebesar
P1, sedangkan setelah subsidi harga akan turun
menjadi P2 dengan quantitas barang yang diminta meningkat menjadi Q2.
1 2
Pajak menambah pendapatan negara sedangkan subsidi mengurangi pendapatan negara. http://www.economist.com/economics-a-to-z/s diakses 15 maret 2015
2
Gambar 1.1 Subsidies Shift the Supply Curve Price
Sumber: Nicholson & Snyder (2010) Sebelum pemberlakuan subsidi keseimbangan pasar untuk permintaan LPG berada pada titik E1, sedangkan titik keseimbangan pasar setelah subsidi adalah pada titik E2. Pengenaan subsidi menyebabkan perluasan permintaan dari LPG dan menggeser kurva penawaran jangka pendek dari S1 ke S2. Kemudian memperluas Kuantitas barang yang diminta dari Q1 ke Q2 dan subsidi dibayar pada kuantitas yang lebih besar ini (Q2). Maka dari itu, total biaya subsidi tidak hanya tergantung pada jumlah LPG per galon, tetapi juga pada tingkat kenaikan kuantitas yang diminta akibat penurunan harga (Nicholson & Snyder, 2010). Subsidi BBM di Indonesia diberlakukan sejak tahun anggaran 1967 (Dillon et al., 2008; Pradiptyo & Sahadewo, 2012a). Tujuan pemberlakuan subsidi ini adalah untuk membantu konsumsi masyarakat berkemampuan finansial lemah dan bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun penerapan subsidi di Indonesia malah dilakukan secara keliru, subsidi tersebut diterapkan kepada produk (bukan kepada orang), sehingga masyarakat dengan kemampuan finansial
3
yang kuat memiliki peluang yang lebih besar untuk mengkonsumsi lebih banyak atas produk bersubsidi tersebut. Idealnya subsidi tersebut didistribusikan kepada rumah tangga yang ditargetkan berdasarkan data nama dan alamat atau by name by address (Pradiptyo & Sahadewo, 2012a), pendistribusian subsidi yang bertarget ini lebih tepat sasaran dan minim penyalahgunaan, sehingga akan benarbenar membantu untuk konsumsi masyarakat ekonomi lemah. Pemerintah Indonesia memiliki beberapa alasan untuk menaikkan harga bahan bakar bersubsidi. Alasan pertama yaitu harga bahan bakar bersubsidi terlalu murah dibanding bahan bakar non-subsidi. Jurang lebar antara harga bahan bakar subsidi dan non-subsidi mendorong konsumen untuk beralih dari bahan bakar non-subsidi “Pertamax” (kadar oktan 92) ke “Premium” (kadar oktan 88). Perbedaan harga antara bahan bakar bersubsidi dan non-subsidi selanjutnya menciptakan peluang untuk penyelundupan dan penyalahgunaan (Widodo et al., 2012). BPH Migas melaporkan bahwa antara 10 dan 15 persen dari BBM bersubsidi yang didistribusikan oleh pemerintah secara ilegal dijual ke industri, khususnya di SPBU dekat dengan industri dan daerah pertambangan (GSI, 2012). Alasan kedua, subsidi yang diberikan tersebut menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian. Pada gambar 1.2 merupakan kasus subsidi yang yang diberikan kepada konsumen. Dalam kasus ini harga keekonomian BBM adalah sebesar Pb, harga tersebut bisa jadi oleh pemerintah dianggap terlalu tinggi, kemudian
pemerintah
memberikan
subsidi
kepada
konsumen.
Dengan
disubsidinya barang seharga Pb tersebut konsumen dengan kemampuan daya beli Pc bisa menjangkau barang tersebut. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus
4
menanggung beban subsidi sebesar area (1+2+3). Dari subsidi yang diberikan tersebut surplus konsumen sebesar area (1+2), produsen tidak menerima manfaat dari subsidi. Subsidi yang hilang dan tidak dinikmati oleh produsen maupun konsumen sebesar area (3), hal tersebut dikenal dengan DWL (dead-weight welfare loss). Dengan demikian subsidi yang diberikan tersebut menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian. Gambar 1.2 Subsidi konsumen untuk barang tradable3
Sumber : Sadoulet & Janvry (1995) Inefisiensi lainnya dari segi prioritas anggaran dalam kebijakan fiskal dan keuangan negara. Penerapan subsidi mendorong konsumsi minyak bumi secara berlebihan dan dapat menggeser (crowd out) belanja publik prioritas tinggi, termasuk
pengeluaran
untuk
infrastruktur
fisik,
pendidikan,
kesehatan,
perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan ( Agustina et al., 2008; Anand et al., 2013; Coady et al., 2010; GSI, 2012). Pengurangan subsidi energi akan 3
Adalah barang yang telah biasa diperdagangkan di pasar luar negeri atau telah biasa di ekspor dan di impor termasuk BBM
5
memungkinkan pemerintah menggunakan dana yang awalnya diperuntukkan bagi subsidi untuk program-program yang menargetkan masyarakat miskin secara langsung dan program-program yang memiliki multiplier efek lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteran masyarakat. Alasan ketiga, sejak tahun 2004 Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor bahan bakar. Dengan demikian, kenaikan harga minyak mentah internasional (ICP) akan menciptakan defisit perdagangan minyak (Widodo et al., 2012). Seperti pada gambar di bawah, di tahun 2013 konsumsi minyak bumi Indonesia 1.660.000 barel per hari sedangkan produksi minyak bumi hanya 827.830 barel per hari. Dengan demikian lebih dari separo kebutuhan konsumsi nasional Indonesia merupakan impor dari negara penghasil BBM. Gambar 1.3 Produksi dan Konsumsi Minyak Bumi Indonesia Tahun 1980-2014
Source: Index Mundi4 4
Diakses 17 September 2015 dari
6
Sebagai pengimpor bahan bakar, Indonesia harus membeli sebagian besar dari bahan bakarnya sesuai harga pasar internasional. Kemudian menjual kembali bahan bakar tersebut kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah. Hal ini mengakibatkan kerugian besar bagi Pertamina yang akhirnya mengakibatkan beban keuangan bagi perekonomian nasional secara keseluruhan karena biaya subsidi yang besar tersebut ditanggung oleh pemerintah. Subsidi yang besar pada minyak impor membuat posisi fiskal Indonesia menjadi rentan terhadap perubahan harga energi global. Ketika harga minyak internasional naik secara drastis, sebagaimana pada 2008, pemerintah terpaksa menaikkan harga bahan bakar minyak yang sulit secara politis dan mengakibatkan kenaikan inflasi. Namun, jika pemerintah memilih untuk mempertahankan subsidi pada saat harga minyak sedang tinggi, pemerintah harus mencari tambahan hutang atau memotong pengeluaran untuk program lain. Memangkas pengeluaran di bidang infrastruktur, kesehatan atau pendidikan juga akan mengakibatkan dampak negatif jangka panjang terhadap pembangunan dan daya saing ekonomi (GSI, 2012). Alasan keempat, sesuai dengan UU 30/2007 tentang energi, disebutkan bahwa subsidi disediakan untuk kelompok kurang mampu. Dalam realisasinya di lapangan, 40% dari keluarga berpenghasilan tinggi mendapatkan keuntungan 70% dari subsidi, sementara 40% dari keluarga berpenghasilan rendah mendapatkan keuntungan hanya 15% dari subsidi. Oleh karena itu, subsidi tidak tepat sasaran dan menguntungkan orang kaya ketimbang orang miskin (IEA, 2008).
http://www.indexmundi.com/energy.aspx?country=id&product=oil&graph=production+consumpti on
7
Alasan kelima, penerapan subsidi dapat menunda penerapan teknologi hemat energi dan menghambat pengembangan energi alternatif (diversifikasi) yang lebih ekonomis, efisien dan ramah lingkungan. Harga yang lebih rendah akibat pemberlakuan subsidi juga mempengaruhi keputusan penanaman modal dan para pemasok energi untuk berinvestasi serta membangun infrastruktur baru, karena subsidi tersebut mengurangi insentif dan keuntungan finansial bagi mereka (IEA, 2008; GSI, 2012). Dengan demikian perkembangan kebutuhan energi tidak akan diimbangi oleh peningkatan produksi energi. Alasan keenam, kebijakan subsidi kepada barang5 merupakan kebijakan yang keliru dan kurang tepat dibandingkan dengan subsidi yang langsung ditujukan pada rumah tangga. Menurut Pradiptyo & Sahadewo (2012b) subsidi yang diterapkan untuk komoditas atau barang mengakibatkan individu belum tentu menyadari bahwa mereka telah menikmati subsidi ketika mereka membeli bahan bakar. Dalam hal ini individu seolah-olah tidak pernah merasa menikmati subsidi sebesar 300 triliun yang dianggarkan oleh pemerintah . Alasan ketujuh, kebijakan subsidi di Indonesia tidak dapat dilakukan secara terus-menerus karena sangat membebani APBN. Berdasarkan data kementerian keuangan untuk satu dekade terakhir seperti gambar 1.4 di bawah, beban subsidi yang ditanggung APBN setiap tahun cenderung semakin besar. Beban yang semakin besar ini akan menyebabkan tekanan secara terus-menerus pada aspek fiskal yang pada akhirnya akan menghambat prospek pertumbuhan ekonomi (Nayak & Jena, 2014; Pradiptyo & Sahadewo, 2012a). Jika subsidi mesti
5
Seperti subsidi BBM, Pupuk dan listrik yang berlaku di Indonesia
8
diberikan maka harus tepat sasaran, adil, serta dinikmati oleh masyarakat yang pantas, selektif dan diberikan dalam jangka waktu yang terbatas. Gambar 1.4 Besarnya Realisasi Subsidi BBM Tahun Anggaran 2005-2014 dalam Triliun Rupiah 250
246.5 211.9
200 150 100
165.2
139.1 95.6 64.2
210
83.8
82.4
45
50 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014 APBNP
Sumber : Kementerian Keuangan
Dalam rangka mengurangi tekanan anggaran pemerintah akibat semakin membesarnya pengeluaran subsidi BBM dan gas, pemerintah Indonesia memilih memotong biaya subsidi secara bertahap. Kebijakan pengurangan subsidi oleh pemerintah berdampak langsung terhadap kenaikan harga. Kondisi tersebut kemungkinan akan memberatkan masyarakat, terutama keluarga miskin dalam pemenuhan kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Dibutuhkan kompensasi bagi masyarakat miskin yang terdampak oleh kenaikan harga akibat pengurangan subsidi tersebut berupa kebijakan dalam bentuk bantuan langsung melalui program kompensasi pengurangan subsidi. Konsumen BBM di Indonesia sangat terikat dengan subsidi. Setiap kebijakan pengurangan subsidi secara bertahap maupun tidak bertahap, akan mengundang protes dan mendapat kritik dari para demonstran. Kenaikan subsidi
9
BBM sangat berpengaruh kepada inflasi dan stabilitas harga. Penghapusan subsidi dianggap kerugian oleh masyarakat Indonesia. Karena itu kebijakan menaikkan BBM merupakan kebijakan yang sangat tidak populer. Menurut Susilo (2013), dengan melihat kecenderungan perekonomian domestik dan internasional, kebijakan pengurangan subsidi BBM (termasuk NonBBM) harus dilakukan secara rasional serta bertahap. Besaran pengurangan subsidi harus memperhatikan dampak dari kenaikan harga BBM. Besaran kenaikan itu harus masuk akal dan sesuai timing yang tepat. Hal ini agar tidak memberatkan perekonomian masyarakat dan sektor ekonomi. Pada tahun 2007, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap bahar bakar minyak tanah (kerosene ) dalam rangka pengurangan pengeluaran negara untuk mensubsidinya. Hal tersebut dilakukan melalui program konversi minyak tanah bersubsidi ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg. Program pemerintah tersebuh merubah pola konsumsi masyarakat Indonesia terhadap penggunaan bahan bakar yang sudah turun temurun dari generasi ke generasi. Perubahan pola konsumsi ini juga mempengaruhi perilaku, budaya dan pengeluaran anggaran rumah tangga. Pertimbangan dilakukannya program konversi ini adalah agar masyarakat dapat lebih berhemat dengan menggunakan LPG dibandingkan minyak tanah. Penggunaan LPG dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan minyak tanah dan mempunyai gas buang yang lebih bersih serta ramah lingkungan. Diperkirakan
10
dengan menggunakan LPG bersubsidi rumah tangga bisa menghemat pengeluaran Rp. 16.500 – Rp. 29.250 per bulan (Kementerian ESDM, 2007). Elpiji adalah brand Pertamina untuk LPG (Liquefied Petroleum Gas). merupakan gas hidrokarbon produksi dari kilang minyak dan kilang gas dengan komponen utama gas campuran dari propana (C3H8) dan butana (C4H10) yang dicairkan melalui proses pendinginan6. Karena besarnya kebutuhan dari elpiji dan ketidakmampuan produksi Indonesia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, kedua bahan dasar tadi dipenuhi dengan cara mengimpor dari negara pengekspor LPG. Gambar 1.5 Produksi dan Konsumsi LPG Indonesia 1984-2010
Source: Index Mundi7
6
Lihat http://www.pertamina.com/ diakses pada 17 September 2015 Diakses pada 20 Agustus 2015 dari : http://www.indexmundi.com/energy.aspx?country=id&product=lpg&graph=production+consumpt ion 7
11
Berdasarkan gambar 1.6 di bawah dapat dikatakan bahwa program konversi minyak tanah ke LPG yang dilakukan pemerintah Indonesia berhasil. Konsumsi LPG bersubsidi mencapai 70%, hal ini mengindikasikan masyarakat Indonesia sudah mulai bergantung pada bahan bakar cair tersebut. Ketergantungan masyarakat terhadap LPG belum diimbangi dengan lancarnya distribusi bahan bakar cair tersebut. Hal ini bisa kita lihat dengan selisih yang begitu besar antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga perolehan masyarakat. Selain itu konversi ini belum bisa dinikmati secara maksimal oleh beberapa provinsi di Indonesia.
Gambar 1.6 Mengkonsumsi LPG Bersubsidi Satu Bulan Terakhir
30,32%
0% Yes 69,68%
No NA
Sumber : Data Surnas LSI Agustus 2014, diolah
12
Gambar 1.7 Konsumsi LPG Bersubsidi per Provinsi 600
Yes
87 500
No
75 61
400 300 200 100
385
442 339
33 9
21
23
23 8 32
20 107 13 33 60 9 20 27 8 19 30 80 16 5 7 20 10 29 10 10 37 17 41 10 13 32 11 13 5 3
ACEH SUMUT SUMBAR RIAU JAMBI SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL KEPRI DKI JABAR JATENG DIY JATIM BANTEN BALI NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA GORONTALO SULBAR MALUKU MALUT PAPUA PAPUA BARAT KALTARA
16 127 46 11 13 81 4 69 5 1 97 14 59 27 16 5 19 0 34
Sumber : Data Surnas LSI Agustus 2014, diolah
Pada tataran provinsi konsumsi LPG bersubsidi nasional terpusat di Jabar, Jateng dan Jatim. Di beberapa wilayah Indonesia timur, kebanyakan masyarakat tidak mengkonsumsi LPG bersubsidi. Kondisi ini kemungkinan terjadi karena adanya alternatif bahan bakar lain seperti penggunaan kayu bakar. Kemungkinan lainya bisa jadi karena masalah tergangunya pendistribusian atau permainan mafia yang melakukan pengoplosan isi tangki 3 kg ke dalam tangki 12 kg kemudian menjualnya kepada industri. Berdasarkan data LSI dari 60 responden di NTT, 42 orang mengkonsumsi minyak tanah dan 18 orang tidak mengkonsumsi, di Papua dari 29 responden, 24 dari mereka mengkonsumsi minyak tanah sedangkan, di Maluku dari 20 responden, 17 responden adalah konsumen minyak tanah. Jumlah keseluruhan konsumen LPG bersubsidi di Indonesia adalah 2119 responden.
13
Gambar 1.8 Jumlah Konsumsi LPG Bersubsidi per Tabung dalam Satu Bulan 1000
775
800
611
600 277 305
400 200
19
41 22 2 24 3 10 2
7
4
1
2
1
5
1
5
1
1
0 0. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 12. 15. 16. 18. 20. 25. 30. 34. 60. 80. 90.
Sumber : Data Surnas LSI Agustus 2014, diolah
Berdasarkan grafik konsumsi LPG bersubsidi di atas, konsumsi tertinggi LPG yaitu 1 sampai 2 tabung perbulan. Rata-rata konsumsi LPG bersubsidi di Indonesia adalah 2.66 tabung/bulan dengan konsumsi tertinggi yaitu 90 tabung. secara rata-rata penggunaan LPG tidak bermasalah karena kementerian ESDM mengasumsikan penggunaan LPG oleh masyarakat miskin 3 sampai 4 tabung sebulan. Namun pemakaian 5 tabung keatas harus didata ulang oleh pemerintah, bisa jadi konsumen tersebut tidak tepat lagi menggunakan LPG bersubsidi, karena sesuai peraturan menteri ESDM nomor 26 tahun 2009, LPG bersubsidi hanya diperuntukkan untuk rumah tangga miskin dan usaha mikro.
14
Gambar 1.9 Konsumsi LPG Berdasarkan Wilayah Kota atau Desa Rural 450 400 350
402 373 313
300
298
250
205
200 150
Urban
133
144 100
100
32 50 109 9 10120 2 420 1 2 2 8 0 2 0 7 2 2 0 1 1 1 1 0 1 4 0 1 0 5 0 1 0 1 0 0. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 12. 15. 16. 18. 20. 25. 30. 34. 60. 80. 90.
Sumber : Data Surnas LSI Agustus 2014, diolah
Berdasarkan wilayah desa dan kota terdapat perbedaan pola konsumsi masyarakat. Pemakaian di atas 3 tabung per bulan lebih banyak di kota. Sedangkan di desa masyarakat rata-rata hanya menggunakan 1 sampai 2 tabung. Rendahnya konsumsi masyarakat di desa kemungkinan terjadi karena adanya alternatif bahan bakar lain dan kelangkaan pasokan akibat tidak lancarnya distribusi LPG.
15
Gambar 1.10 Harga Perolehan LPG bersubsidi per Tabung Berdasarkan Wilayah Kota dan Desa Urban 102
> 25.000
152
134
20.000 - 24.999
Rural
308
15.000 - 19.999
857
500
10.000 - 14.999
31 19
Not Answer
6 10 0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Sumber : Data Surnas LSI Agustus 2014, diolah Program konversi minyak tanah ke LPG sudah berjalan lebih dari tujuh tahun, namun di dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan yang tidak sesuai harapan. Pemerintah mematok harga LPG Rp 4.250/ kg, dengan demikian harga LPG bersubsidi seharusnya Rp 12.750,- per tabung. Harga yang ditetapkan pemerintah ini berbeda dengan harga di lapangan, harga untuk satu tabung LPG bersubsidi di pasaran berkisar antara Rp 15.000-25.000/tabung seperti pada gambar diatas. Penelitian tentang subsidi BBM di negara-negara yang menerapkan subsidi belum terlalu banyak dilakukan oleh peneliti. Adapun penelitian terdahulu tentang subsidi bahan bakar lebih ditekankan kepada dampak pemberian subsidi terhadap tekanan keuangan fiskal, dampak kesejahteraan dari penerapan subsidi, dampak lingkungan serta manfaat dari reformasi subsidi. Sependek pengetahuan penulis belum ada satupun penelitian tentang LPG untuk unit analisis individu seluruh
16
Indonesia yang melirik riset subsidi dari segi konsumen. Dari segi ini kita bisa melihat karakteristik dari pengguna bahan bakar bersubsidi apakah masyarakat strata sosial ekonomi rendah dan yang berhak atau malah sebaliknya strata sosial menengah-atas. Dari latar belakang di atas peneliti tertarik menganalisis perilaku konsumen terhadap lpg bersubsidi di indonesia 1.2. RUMUSAN MASALAH Penelitian ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keputusan konsumen untuk mengkonsumsi LPG bersubsidi di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pengetahuan konsumen tentang harga eceran resmi LPG bersubsidi di Indonesia? 3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pengetahuan konsumen bahwa LPG 3 Kg disubsidi oleh pemerintah Indonesia ? 1.3. Tujuan penelitian Dengan mengacu kepada pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk mengkonsumsi LPG bersubsidi di Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan konsumen tentang harga eceran resmi LPG bersubsidi di Indonesia. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan konsumen bahwa LPG 3 Kg disubsidi oleh pemerintah Indonesia.
17
1.4. Manfaat penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat berkontribusi sebagai acuan dan referensi tambahan dalam melakukan penelitian-penelitian yang sejenis. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi instansi yang terkait, dalam hal
membuat kebijakan
pemberlakuan subsidi di Indonesia kedepanya. 3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk memperluas wawasan dan pengenalan terhadap subsidi bahan bakar di Indonesia. 1.5. Data dan Metodologi Penelitian 1.5.1 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Survei Sosial Kemasyarakatan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal bulan Agustus 2014. Sampel dari survei tersebut adalah 2.899 responden untuk seluruh wilayah Indonesia yang dibagi sesuai proporsi populasi tiap provinsi. Data tersedia pada level individu yang terdiri dari pendapatan, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, usia, pendidikan, mengkonsumsi LPG bersubsidi dan pengetahuan tentang LPG bersubsidi. 1.5.2 Model Penelitian ini bersifat eksplorasi dengan model yang dikembangkan untuk mengeksplorasi variabel yang terkait dengan variabel penelitian. Sistem persamaan yang digunakan mengacu pada model yang dibentuk dengan mengadopsi teori ekonomi dan sosial dalam penentuan variabel independen. 18
Model penelitian ini merupakan modifikasi minor dari Pradiptyo et al. (2015). Model Pradiptyo et al tersebut bisa dituliskan dalam persamaan berikut :
d_ right_price =
(
)
urban +
+ motor+
Kalimantan +
year_educ + car +
income +
boat +
Nusa Tenggara +
age + male+
Sumatera+
Sulawesi +
Maluku/Papua + year_educ* motor + year_educ* car + year_educ* boat + year_educ* Sumatera + year_educ* Kalimantan + year_educ* Nusa Tenggara + year_educ* Sulawesi + year_educ* d_right_price
Maluku/Papua +
= Jawaban benar tentang harga eceran resmi premium bersubsidi
year_educ
= Lama pendidikan formal responden
income
= Pendapatan responden dalam satu bulan
age
= Umur responden dalam satuan tahun
male
= Jenis kelamin responden
urban
= Wilayah domisili tempat menetap responden
motor
= Responden memiliki kendaraan sepeda motor
car
= Responden memiliki kendaraan mobil
boat
= Responden memiliki kendaraan perahu/ kapal motor
Sumatera
= Responden yang tinggal di Sumatera
Kalimantan
= Responden yang tinggal di Kalimantan
Nusa Tenggara
= Responden yang tinggal di Nusa Tenggara
19
Sulawesi
= Responden yang tinggal di Sulawesi
Maluku/Papua
= Responden yang tinggal di Maluku/Papua
Model tersebut direplikasi dan dimodifikasi untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk mengkonsumsi LPG bersubsidi, faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan konsumen tentang harga eceran resmi dan pengetahuan konsumen bahwa LPG 3 Kg disubsidi oleh pemerintah Indonesia. 1.5.3 Analisis Data Model dalam penelitian ini akan dianalisis dengan mengunakan survei logistik regresi. Data yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan stata 12.
1.6. Sistematika Pembahasan Penelitian Penulisan laporan penelitian ini secara garis besar akan mengikuti format sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN Bab I memuat latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, data dan metodologi penelitian serta sistematika pembahasan penelitian. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Bab II memuat kajian pustaka terkait teori perilaku konsumen, teori pengetahuan konsumen, teori subsidi, Standar Klasifikasi untuk Menganalisis Perilaku Konsumen, penelitian terdahulu dan keaslian penelitian, serta hipotesis penelitian.
20
BAB III. METODOLOGI Bab III membahas alat analisis, jenis dan sumber data, definisi operasional variabel, metode analisis data serta keterbatasan penelitian. BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab IV menjabarkan hasil estimasi data berdasarkan metode yang digunakan dalam penelitian ini. BAB V. PENUTUP Bab V merupakan kesimpulan dalam penelitian ini dan saran dari hasil penelitian.
21