1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perawat sebagai petugas kesehatan memiliki peran penting dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Peran perawat tidak hanya memberikan perawatan kepada pasien tetapi juga memberikan konseling dan edukasi kepada pasien, terutama pasien yang akan menjalani tindakan medis. Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan seseorang, didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual. Sedangkan edukator merujuk kepada aktifitas dimana seseorang guru membantu murid untuk belajar. Belajar adalah sebuah proses interaktif antara guru dengan satu atau banyak pelajar dimana pembelajaran obyek khusus atau keinginan untuk merubah perilaku adalah tujuannya (Anderson, 2007). Peran perawat sebagai konselor dan educator dapat diwujudkan dengan memberikan komunikasi terapeutik pada pasien yang akan diberikan tindakan medis. Komunikasi terapeutik menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Keliat (2006), merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik yang diperlukan untuk pertukaran informasi, perasaan dan pikiran untuk membentuk keintiman yang terapeutik. Komunikasi terapeutik sangat bermanfaat dalam pelayanan keperawatan. Adapun manfaat komunikasi
1
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Retno Hery Purwaningsih, Fak. Ilmu Kesehatan UMP, 2013
2
terapeutik menurut Purwanto (2004) yaitu: 1) Mendorong dan menganjurkan kerjasama antara perawat dengan klien melalui hubungan perawat dengan klien. 2) Mengidentifikasi, mengungkap perasaan, dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan. Proses komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku klien mengatasi masalah yang dihadapi dalam tahap perawatan. Sedangkan pada tahap preventif, kegunaannya adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri klien. Komunikasi terapeutik penting untuk dilakukan kepada setiap pasien sebelum dilakukan tindakan medis, termasuk pada pasien yang akan dilakukan tindakan endoskopi. Tindakan endoskopi adalah untuk mengamati struktur anatomi dan fisiologi saluran pencernaan (traktus digestivus) secara langsung dengan bantuan alat endoskopi beserta asesorisnya. Pengamatan endoskopi pada SCBA (Saluran Cerna Bagian Atas) dikenal dengan istilah esofagogastro-duodenoskopi (EGD), sedangkan endoskopi pada SCBB (Saluran Cerna Bagian bawah) dikenal dengan nama kolonskopi. Tindakan endoskopi biasanya dilakukan terhadap beberapa penyakit seperti dispepsia, disfagia, perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), muntah terus-menerus yang tidak berkurang dengan pemberian obat muntah, sendawa
berulang
adanya
gejala
refluks
esophagus,
konfirmasi
abnormalitas/kelainan yang ditemukan pada saat pemeriksaan radiologi, dan penapisan keganasan saluran cerna bagian atas (Webmaster, 2012). Diantara beberapa penyakit di atas, dispepsia merupakan penyakit yang paling banyak
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Retno Hery Purwaningsih, Fak. Ilmu Kesehatan UMP, 2013
3
dilakukan tindakan endoskopi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lumbantobing, et. all (2008) yang melakukan penelitian dengan judul “The Profile of Upper Gastrointestinal Endoscopy in Deli Serdang Hospital”. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa indikasi endoskopi SCBA tersering yaitu dispepsia 75,94%, diikuti hematemesis/melena 15,01%, dan indikasi lainnya 6,84%. Hasil studi pendahuluan di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tahun 2011 diperoleh data pasien yang dilakukan tindakan endoskopi pada tahun 2011 sebanyak 362 pasien. Jumlah pasien yang dilakukan tindakan endoskopi pada setiap bulannya tampak pada grafik berikut: 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
45 39
37
34
32 25
27
25
27 23
27 21
Pasie n Endoskopi
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Gambar.1.1: Grafik Jumlah Pasien Endoskopi di di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2011 Berdasarkan grafik di atas jumlah pasien yang dilakukan tindakan endoskopi naik turun pada setiap bulannya dengan jumlah terendah pada bulan Januari dan April sebanyak 25 pasien, sedangkan jumlah tertinggi pada bulan Nopember sebanyak 45 pasien. Keluhan pasien yang dilakukan tindakan endiskopi diantaranya adalah mual dan berkeringat yang dapat dijadikan
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Retno Hery Purwaningsih, Fak. Ilmu Kesehatan UMP, 2013
4
indikasi pasien mengalami kecemasan. Perawat memiliki peran penting dalam melakukan asuhan keperawatan yang diantaranya meminimalkan kecemasan yang dialami pasien yang akan diberikan tindakan endoskopi. Hasil wawancara dengan 10 pasien yang akan dilakukan tindakan endoskopi sebanyak 7 orang (70%) menyatakan merasa sulit tidur jika mengingat mau dilakukan tindakan endoskopi dan 3 orang (30%) dapat tidur dengan baik karena yakin dengan keberhasilan tindakan endoskopi yang akan dilakukan. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang akan dilakukan tindakan endoskopi mengalami kecemasan dengan gejala susah tidur. Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang “Hubungan Komunikasi Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Pasien yang Dilakukan Tindakan Endoskopi di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2012”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut “Apakah ada hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan endoskopi di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2012?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan endoskopi di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2012.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Retno Hery Purwaningsih, Fak. Ilmu Kesehatan UMP, 2013
5
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik pasien yang dilakukan tindakan endoskopi di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2012 berdasarkan umur, pendidikan, dan pekerjaan. b. Mengetahui pelaksaan komunikasi terapeutik oleh perawat terhadap pasien yang dilakukan tindakan endoskopi di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2012. c. Mengetahui tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan endoskopi di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2012. d. Menganalisis hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan endoskopi di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2012.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Dengan adanya penelitian ini peneliti dapat memperoleh pengetahuan tentang efektivitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pada pasien. 2. Bagi Perawat Menambah informasi dan pengetahuan perawat tentang pemberian komunikasi terapeutik untuk menurunkan tingkat kecemasan pada pasien.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Retno Hery Purwaningsih, Fak. Ilmu Kesehatan UMP, 2013
6
3. Bagi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Sebagai acuan untuk melakukan evaluasi terhadap tindakan perawat dalam memberikan komunikasi terapeutik pada pasien yang akan dilakukan tindakan medis.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang komunikasi terapeutik sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu sebagai berikut: 1. Penelitian oleh Yusriati (2008) yang berjudul “Hubungan antara komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat dengan tingkat kecemasan pada klien dengan pre operasi mastektomi di Ruang Bedah II RSUD Dr.H. Slamet Martodirdjo Pamekasan”. Desain penelitian ini Cross Sectional dengan pendekatan korelasional. Populasi semua pasien pre operasi mastektomi. Sampel terdiri 10 responden, yang direkrut menggunakan purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan spearman rank. Studi ini menemukan 60% dari operasi klien pra mastektomi memiliki persepsi negatif terhadap komunikasi terapeutik perawat dan 50% memiliki kecemasan yang parah. uji statistic spearman rank menunjukkan adanya korelasi antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan dengan operasi klien pra mastektomi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti adalah sama-sama meneliti hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pasien. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti terletak pada sampel penelitian yang diteliti, dimana dalam penelitian ini sampelnya adalah pasien Pre Operasi
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Retno Hery Purwaningsih, Fak. Ilmu Kesehatan UMP, 2013
7
Mastektomi, sedangkan sampel penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pasien yang dilakukan tindakan endoskopi. 2. Penelitian Setiawan (2005) dengan judul “Efek komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan”. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen. Jumlah sampel 13 orang dengan teknik pemilihan sampel dengan cara convenience sampling. Data dikumpulkan dari klien dengan menggunakan kuesioner tingkat kecemasan yang diadopsi dari Costello Comrey Depression and Anxiety Scale (CCDAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 84,6%% responden mengalami kecemasan ringan dan 15,4% mengalami kecemasan sedang dan tidak ada pasien dengan tingkat kecemasan berat maupun panik sebelum pelaksanaan treatment (komunikasi terapeutik). Setelah pelaksanaan komunikasi terapeutik 92,3% pasien preoperasi tingkat kecemasannya menjadi ringan dan hanya 7,7% tingkat kecemasannya menjadi sedang. Penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kecemasan klien (p = 0,001; α = 0,05). Rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah ditujukan pada perawat ruangan agar dapat menerapkan komunikasi terapeutik yang efektif dalam menurunkan kecemasan klien preoperasi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti sama-sama meneliti hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pasien. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti terletak pada desain penelitian yang digunakan dan sampel yang diteliti, dimana dalam penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen dan sampelnya adalah pasien Pre Operasi, sedangkan desain penelitian yang
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Retno Hery Purwaningsih, Fak. Ilmu Kesehatan UMP, 2013
8
dilakukan oleh peneliti adalah cross sectional dan sampelnya adalah pasien yang dilakukan tindakan endoskopi. 3. Penelitian oleh Mulyani (2008) yang berjudul “Komunikasi dan hubungan terapeutik perawat-klien terhadap kecemasan pra bedah Mayor”. Rancangan penelitian kuasi ekspenmen dengan menggunakan rancangan pretest and postest with control group design. Analisis data menggunakan independent t-test dan paired sample t-test. Kesimpulan penelitian yaitu kecemasan klien pada kelompok perlakuan menurun pada hari operasi (postest) dibandingkan dengan saat klien baru masuk ruang rawat inap (pretest). Tindakan komunikasi dan hubungan terapeutik perawat-klien mampu menurunkan kecemasan prabedah mayor pacia aspek fisiologi dan emosional, sementara untuk aspek kognitif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada variabel terikat yang diteliti, yaitu kecemasan pasien. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada rancangan penelitian yang digunakan dan sampel yang diteliti, dimana dalam penelitian ini menggunakan rancangan pretest and postest with control group design dan sampel yang diteliti adalah pasien Pra Bedah Mayor.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Retno Hery Purwaningsih, Fak. Ilmu Kesehatan UMP, 2013