BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Istilah pencucian uang telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu, kejahatan ini dilakukan oleh organisasi kejahatan “mafia” melalui pembelian perusahaan-perusahaan pencucian uang (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat pemutihan uang yang dihasilkan dari bisnis ilegal seperti perjudian, pelacuran dan perdagangan minuman keras.5 Al Capone saat itu sukses menyamarkan uang hasil bisnis perjudian, prostitusi, pemerasan, senjata api gelap, dan penjualan ilegal minuman keras. Caranya, uang hasil kejahatan di investasikan pada perusahaan pencucian pakaian yang kala itu menjadi bisnis paling menguntungkan di Amerika. Sejak saat itulah masyarakat dunia membuka mata pada praktik pencucian uang atau money laundering sebagai bentuk kejahatan kerah putih.6 Dikatakan demikian, karena berkaitan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram atau kotor. Pada kejahatan ini, sejumlah uang kotor dikelola dengan aktivitas-aktivitas tertentu dengan membentuk usaha, mentransfer atau mengkonversikannya ke bank atau valuta 5
Yunus Husein, 2007, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Books Terrace & Library, Bandung, hlm. 4. 6 Abraham Samad,“Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang”, http://acch.kpk.go.id/memberantas tindak-pidana-pencucian-uang, diakses pada Selasa, tanggal 24 Maret 2015.
asing, sebagai langkah untuk menghilangkan latar belakang dana kotor tersebut. Di Indonesia, fenomena tindak pidana pencucian uang (TPPU) seperti itu pun, sudah berkembang sejak lama. Bahkan, beberapa tahun sebelumnya, Indonesia dicap sebagai surga pencucian uang oleh negaranegara penggiat pemberantasan pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang ini sering dikenal sebagai kejahatan kerah putih (White Collar Crime). Penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk membedakan dengan kejahatan Street Crime atau Blue Collar Crime , yaitu kejahatan yang sering dilakukan oleh buruh atau karyawan rendahan.7 Dalam hal ini pelaku tindak pidana pencucian uang biasanya memiliki kedudukan politik, pendidikan dan ekonomi yang terhormat. Menurut Komisi Hukum Nasional (KHN), pada tahun 2006 menyebutkan implikasi negatif dari aktifitas pencucian uang yaitu:8 1. Membangun fondasi usaha ilegal dan membiarkan mereka menikmati hasil aktivitasnya. 2. Turut berperan membangun etos persaingan usaha yang tidak jujur, yang pada gilirannya dapat menurunkan moral bisnis dan wibawa hukum secara drastis, secara menguatkan orientasi materialistik. 3. Akan melemahkan kekuatan financial masyarakat pada umumnya. Angka-angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro menjadi turun tingkat efektivitasnya karena semakin banyaknya uang yang berjalan diluar kendali sistem perekonomian pada umumnya. 7
Edwin Sutherland, dalam Mahrus Ali, 2008, Kejahatan Korporasi (Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, hlm. 2 8 Naskah Akademik RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, 2006, Jakarta, hlm. 14.
Pada tahun 2001, FATF (Financial Action Task Force) 9 memasukkan Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang (Non Cooperatives Countries and Territories/NCCT’s), dengan alasan antara lain, pada saat itu Indonesia belum memiliki undang-undang anti pencucian uang. Sebagai upaya menyikapi kecaman FATF, pada tahun 2002 Indonesia
telah
menetapkan
kriminalisasi
pencucian
uang
dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Keberadaan undang-undang ini dirasa memiliki banyak kelemahan, sehingga oleh dunia Internasional Indonesia dinyatakan terdaftar dalam negara Non Cooperative Counteries or Territories (NCCTC’s). Oleh karena itu, pemerintah melakukan perbaikan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002dengan melakukan perubahan dan penambahan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 10 Setelah 7 tahun berlaku, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 mengalami pergantian dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
9
FATF didirikan tahun 1989 yang memiliki tugas menciptakan standar kebijakan dalam rangka pencegahan kegiatan money laundering, saat ini anggota dari FATF sebanyak 29 Negara baik dari Eropa, Amerika dan Asia, lihat dalam Yunus Husein, Op.Cit, hlm. 17. 10 Paulina, “Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2011, hlm. 9.
Dilakukannya kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang tidak sia-sia belaka bagi bangsa dan negara ini. Pada 24 Februari 2015, Financial Action Task Force (FATF) di Paris, Perancis, memutuskan bahwa Indonesia bebas dari black list atau daftar hitam negara yang rawan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Keputusan FATF menyatakan bahwa Indonesia sudah terbebas dari daftar hitam negara rawan pencucian uang dan pendanaan terorisme. "Terkait hasil sidang FATF tersebut kami menyambut baik bahwa Indonesia tidak lagi masuk public statement blacklist," kata Agus.11 Tindak pidana pencucian uang ialah pemanfaatan terhadap hasil tindak pidana yang berupa harta kekayaan yang diperoleh dari beberapa tindak pidana asal (predicate crime), salah satunya ialah seperti pemanfaatan hasil tindak pidana korupsi. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana asal (predicate crime) termasuk di dalamnya korupsi. Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).12 11
Agus Santoso, “Empat Keuntungan Indonesia Bebas dari Black List FATF”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54f8092769c07/empat-keuntungan-indonesia-bebas-dariblack-list-fatf, diakses pada Rabu, Tanggal 22 April 2015, Pukul 16.00 WIB. 12 Adrian Sutedi, 2008, Tindak Pidana Pencucian Uang, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 182.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terdapat dua jenis tindak pidana utama pencucian uang yang dikriminalisasi, yaitu perbuatan pidana pencucian aktif (yang berkaitan langsung) dan pasif (yang tidak berkaitan langsung). Perbuatan tidana pencucian aktif diatur dalam Pasal 3 dan 4 sebagai berikut : Pasal 3 Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 4 Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sedangkan perbuatan pidana pasif diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu sebagai berikut : Pasal 5 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 3, 4 dan 5 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 memperlihatkan bahwa politik hukum pidana yang dilakukan oleh pemerintah ialah melakukan kriminalisasi terhadap pelaku aktif maupun pasif dalam tindak pidana pencucian uang. Dikriminalisasinya orang yang menerima penempatan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana atau kejahatan yang sering disebut sebagai tindak pidana pencucian uang pasif, memperlihatkan bahwa negara tidak main-main dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dimasukannya kembali tindak pidana pencucian uang pasif sebagai delik pidana dalam tindak pidana pencucian uang yaitu Pasal 5 Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian adalah bagian dari upaya para pembuat undang undang untuk melakukan pembaharuan hukum pidana. Pengaturan mengenai kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi : Pasal 6 1. Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan;
b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; g. penukaran, Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Jika melihat secara seksama bunyi kedua pasal yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang pasif baik dalam undang-undang yang lama maupun undang-undang yang baru terdapat perbedaan rumusan kriminalisasi antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Undang Undang Sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Jo UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Perbedaan ini dapat dilihat secara jelas, terletak di rumusan ketentuan sanksi pemidanaannya. Dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan pencucian uang, seharusnya politik hukum pidana yang dilakukan oleh pembuat undang-undang semakin ketat dan keras terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang, baik aktif maupun pasif, bukan justru sebaliknya semakin kompromis dan toleransi terhadap pelaku tindak pidana pencucian
uang. Namun, pada kenyataannya politik hukum pidana pembuat undangundang dalam merumuskan atau mengkriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif semakin longgar dan jauh dari rasionalitas tujuan pemidanaan yaitu adanya tujuan baik prevensi umum maupun khusus. Hal ini dapat terlihat dari menurunnya ancaman sanksi pidana baik pidana penjara ataupun denda dalam rumusan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberanasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Fenomena yang berkembang saat ini aparatur penegak hukum dalam proses penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi telah menggunakan instrumen undang-undang pencucian uang sebagai upaya untuk menjerat pelaku kejahatan dan melacak harta kekayaan yang diperoleh dari suatu tindak pidana. Saat ini, aparat penegak hukum KPK, Kepolisiandan Kejaksaan tidak ragu-ragu untuk menetapkan seseorang sebagai pelaku pencucian uang, namun demikian aparat penegak hukum beberapa kali masih berhenti dalam menetapkan seseorang sebagai pelaku pencucian uang aktif, belum sampai kepada melacak dan menetapkan seseorang sebagai pelaku pencucian uang pasif. Jika melihat tipologi kejahatan pencucian uang, seharusnya setiap penetapan tersangka pencucian uang aktif, disitu juga berkemungkinan besar terdapat pelaku pencucian uang pasif. Sejauh penelusuran yang penulis lakukan sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 diundangkan dan berlaku, setidaknya terdapat beberapa kasus tindak pidana pencucian uang pasif yang ditindak para penegak hukum.
Pertama, yaitu kasus yang dialami oleh Andika Gumilang yang diduga sebagai pelaku pasif pada kasus yang dialami oleh Melinda Dee. 13 Kedua, kasus yang dialami oleh artis Eddies Adelia yang diduga sebagai pelaku pasif tindak
pidana
pencucian
uang
terkait
kasus
yang
dialami
oleh
suaminya. 14 Ketiga, yaitu kasus yang dialami oleh mantan dosen sebuah Universitas di Bengkulu yaitu Kermin Siin, S.H, yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang pasif terkait kasus narkotika.15 Keempat, kasus yang dialami oleh Agung Adiyaksa yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang pasif dalam kasus narkotika.
16
Kelima, kasus Visca
Lovitasari, adik dari Melindaa Dee yang diputus oleh pengadilan sebagai pelaku pasif dalam tindak pidana pencucian uang. Keenam,kasus Ismail bin Janim, adek ipar Malinda Dee yang diputus sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang pasif yang terbukti menerima uang dari Malinda Dee. 17 Setidaknya saat ini lebih banyak penggunaan pasal pidana pencucian aktif, dibandingkan tindak pidana pencucian pasif. 13
Coenelia Desya, “Andika Gumilang Terseret Kasus Melinda” http://www.tempo.co/read/news/2011/03/31/063324119/Andika-Gumilang-Terseret-Kasus-Melinda, diakses pada Selasa, tanggal 24 Maret 2015. 14 Admin,“ArtisEddiesAdeliaJadiTersangka”http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5310c045413de /artis-eddies-adelia-jadi-tersangka, diakses pada Selasa, tangal 24 Maret 2015. 15 Admin,“Mantan Dosen Divonis 1 Tahun” http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2014/10/22/mantandosen-divonis-1-tahun/, diakses pada Selasa, tanggal 24 Maret 2015. 16 Ari, “ Vonis Adik Ipar AKBP Idha yang Terlibat Narkorika dan Pencucian Uang”, http://www.jejaknews.com/hukum-2/vonis-adik-ipar-akbp-idha-yang-terlibat-narkotika-danpencucian-uang, diakses pada Selasa, tanggal 24 Maret 2015. 17 Admin, “Adik dan ipar Malinda lebih ringan hukumannya dibandingkan Andika Gumilang.”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f18467b3a86d/adik-ipar-dan-suami-malinda-divonis bersalah, diakses pada Selasa, Tanggal 22 April 2015.
Penentuan suatu perbuatan yang dilarang dalam masyarakat pasti berkaitan dengan suatu politik hukum. Ruang lingkup dari kebijakan hukum pidana dapat meliputi kebijakan formulasi aplikasi dan eksekusi. Demikian, kebijakan formulatif hukum pidana merupakan salah satu dari bagian dari politik hukum pidana. Inti dari politik hukum pidana sendiri ialah bagaimana merumuskan hukum pidana yang baik dan memberikan pedoman dalam pembuatan (kebijakan legislasi), aplikasi (kebijakan yudikatif), pelaksanaan (kebijakan eksekutif) dalam hukum pidana.18 Pertimbangan memilih topik kebijakan kriminalisasi ialah berdasarkan 3 alasan. Pertama, ingin melihat latar belakang perumusan dan dasar apa yang menjadi alasan dikriminalisasinya tindak pidana pencucian uang pasif dalam Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang saat ini berlaku. Kedua, bagaimana kebijakan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif saat ini dan ketiga, bagaimana sebaiknya kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang
pasif
tersebut dirumuskan di masa yang akan
mendatang.
18
Arief Amrullah, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 21.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana latar belakang munculnya kebijakan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ? 2. Bagaimana kebijakan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif saat ini (ius constitutum) ? 3. Bagaimana seharusnya pengaturan mengenai kebijakan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif di masa yang akan datang (ius constituendum) ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang munculnya kebijakan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif dan dasar kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai kebijakan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif saat (ius constitutum) 3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai kebijakan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pasif di masa yang akan mendatang (ius constituendum).
D. Manfaat Penelitian Penulis mengharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat diantarannya sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, bahwa hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan bagi akademisi, penegak hukum dan mahasiswa terkait latar belakang munculnya kebijakan formulasi kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang pasif dalam tindak pidana pencucian uang dan pengaturan tentang kebijakan tindak pidana pencucian uang pasif dalam tindak pidana pencucian uang di masa yang akan mendatang. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, bahwa hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai keberadaan tindak pidana pencucian, terutama perbuatan pidana pencucian uang pasif. Sehingga ke depan tidak ada masyarakat yang menjadi korban kriminalisasi dari penegak hukum. Adapun kepentingan praktis lainnya ialah penulisan ini sebagian dari kewajiban dari penulis untuk menyelesaikan studi di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang peneliti lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan penelusuran melalui media elektronik, peneliti belum menemukan penelitian yang sama atau identik dengan judul dan varaiabel penelitian penulis. Adapun terdapat beberapa penulisan yang memiliki kaitan, sebagai berikut: 1. Leny Farika Manurung, 19 Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada, dengan judul “Kriminalisasi Terhadap Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Dalam penelitian ini penulis mengambil 2 rumusan masalah, yaitu : a. Apakah gratifikasi seksual dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? b. Bagaimana formulasi pengaturan gratifikasi seksual dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi di Indonesia yang akan mendatang? Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah gratifikasi seks dapat dipidana karena dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi lainnya dan pemberian. Selain itu, pengaturan mengenai gratifikasi seks sebaiknya diatur dalam pasal tersendiri. 19
Leny Farika Manurung, “Kriminaslisasi Terhadap Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014.
2. Heri Yulianto,20 Program Pascar Sarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Diponegoro, dengan judul tesis “Kebijakan Formulasi Mengenai Gratifikasi dalam Undang-Undang Korupsi dan Penerapannya”. Dalam penelitian ini penulis mengambil 2 Rumusan Masalah, yaitu: a. Kendala apa yang timbul dalam penerapan aturan Gratifikasi dalam Undang-Undang Korupsi? b. Bagaimana kebijakan Formulasi mengenai gratifikasi yang baik dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam proses penegakan hukum? Adapun dalam kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam pengaturan gratifikasi. Kebijakan formulasi mengenai gratifikasi memerlukan untuk dilakukan reformulasi. 3. Ayib Rosidin,21 Program Pasca sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan judul tesis “Kriminalisasi Pecandu Narkotika Prespektif Hukum Pidana”. Dalam penelitian ini, penulis mengambil 2 Rumusan Masalah, yaitu : a. Bagaimanakah parameter kriminalisasi pecandu narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dilihat dari perspektif hukum pidana? 20
Heri Yulianto, “Kebijakan Formulasi Mengenai Gratifikasi dalam Undang-Undang Korupsi dan Penerapan Hukumnya”, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2004. 21 Ayib Rosidin, 2013, Kriminalisasi Pecandu Narkotika Prespektif Hukum Pidana, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
b. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pecandu narkotika? Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah kriminalisasi terhadap pecandu narkotika sudah tepat, karena selain mencantumkan sanksi pidana juga mencantumkan sanksi rehabilitasi. Selain itu, hakim dalam pertimbangan mengalami dispartitas atau perbedaan antara hakim yang satu dengan hakim yang lain. Berdasarkan penelusuran tersebut, penelitian dengan Judul “Kebijakan Kriminalisasi Pelaku Pasif dalam Tindak Pidana Pencucian Uang” yang akan dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan yang cukup spesifik dengan penelitian terdahulu. Perbedaan penelitian ini dengan yang sebelumnya ialah: Pertama, perbedaan dengan penelitian pertama dan kedua
ialah,
penelitian
tersebut
menitikberatkan
pada
kebijakan
kriminalisasi tentang gratifikasi secara umum dan gratifikasi seks secara khusus dalam tindak pidana korupsi, sedangkan penulis berkaitan dengan latar belakang kebijakan kriminalisasi pelaku pasif dalam tindak pidana pencucian uang. Kedua, perbedaan dengan penelitian ketiga ialah penelitian ketiga berkaitan dengan kriminalisasi terhadap pecandu narkotika, sedangkan penulis berkaitan dengan latar belakang kriminalisasi terhadap pelaku pasif dalam tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, baik secara subjek maupun objek penelitian yang akan dilakukan penulis
berbeda dengan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan serta dijamin keasliannya.