BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sistem keuangan berperan dalam pembangunan perekonomian negara, melalui fungsinya mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus finansial kepada pihak yang mengalami defisit finansial. Pengalokasian dana tidak berjalan dengan baik, mengakibatkan tidak stabilnya sistem keuangan dan tidak berfungsi secara efisien. Dampaknya pertumbuhan ekonomi terhambat sehingga mengakibatkan terjadinya krisis. Upaya penyelamatannya memerlukan biaya yang sangat tinggi1. Fungsi pokok sistem keuangan yaitu fungsi tabungan (saving function), fungsi kekayaan (wealth function), fungsi likuiditas (liquidity function), fungsi kredit (credit function), fungsi pembayaran (payment function), fungsi risiko (risk function), serta fungsi kebijakan (policy function). Ciri utama sistem keuangan diantaranya adalah kepercayaan, memiliki kemampuan intermediasi dan efisiensi. Dengan demikian produk keuangan dalam sistem keuangan harus mampu memberikan rasa aman, efisien dan menguntungkan termasuk kondisi industri keuangan stabil.
1
Anwar Nasution, “ Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda Kedepan, 2003, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, diakses dari (tulisan Zaidatul Amina, Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia Melihat Dari Pengalaman Di Negara Lain)
1
Peter S Rose mendefinisikan sistem keuangan2: “ Merupakan tatanan dalam struktur perekonomian suatu negara yang berupa fasilitas jasa keuangan (financial services), kumpulan institusi (lembaga-lembaga keuangan perbankan/non bank, pasar uang dan pasar modal), ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, dan teknik-teknik dimana surat-surat
berharga
diperdagangkan,
tingkat
bunga
ditetapkan, dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh bagian dunia”. Bank Indonesia mendefinisikan sistem keuangan3 : “Suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga, yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan perekonomian”. Stabilnya sistem keuangan dipengaruhi lingkungan ekonomi makro yang stabil, lembaga keuangan yang dikelola dengan baik, pengawasan institusi keuangan yang efektif serta sistem pembayaran yang aman dan handal4. Otoritas yang berperan dalam pencapaian
stabilitas
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sistem keuangan adalah Bank
dan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Ketiga otoritas tersebut harus mampu menjadi otoritas yang kredibel, mandiri, transparan dan akuntabel. Perbankan merupakan salah satu sub sektor sistem keuangan yang pertumbuhan serta perkembangannya sangat pesat. Pangsa pasar industri 2
Peter S Rose, Money and Capital Markets, Mc Graw Hill, 9th edition 2006 Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 Tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial 4 Booklet Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan : Stabilitas Sistem Keuangan Apa, Mengapa, dan Bagaimana? 3
2
perbankan dalam sistem keuangan meningkat dari 77,9% pada semester I tahun 2013 menjadi 78,5% pada semester II tahun 2013. Perkembangan perbankan nasional tidak lepas dari kebijakan perekonomian yang ditempuh beberapa dekade sebelumnya. Liberalisasi sektor perbankan ditandai pemberian peran yang luas pada kekuatan pasar. Pembebasan penetapan pagu suku bunga kredit (Paket Kebijakan 1 Juni 1983 dan kebijakan progresif kemudahan pendirian bank (Paket Kebijakan 27 Oktober 1988), mendorong pertumbuhan jumlah perbankan nasional meningkat tajam. Namun demikian, liberalisasi sektor perbankan tidak didukung aturan yang ketat dan tegas termasuk sumber daya berkompeten5, sehingga rentan terhadap gejolak ekonomi global. Beragamnya produk keuangan, perilaku ambil risiko sebagai akibat waktu yang sesingkat-singkatnya dan sistem keuangan global yang semakin terintegrasi menunjukkan bahwa pengelolaan sistem keuangan tidak berdiri sendiri dan terintegrasi antar sektor keuangan. Permasalahan pada satu sektor berdampak sistemik pada sektor lainnya dan berpengaruh pada perekonomian banyak negara. Dalam banyak peristiwa krisis ekonomi, dampak terbesar pada sektor perbankan karena merupakan pangsa terbesar dalam sistem keuangan. Krisis ekonomi di Indonesia pada akhir tahun 90-an, akibat rentannya sistem keuangan nasional terhadap gejolak yang terjadi di kawasan asia (Thailand). Ditandai gejolak nilai tukar berikut situasi politik dalam negeri atas pergantian kepemimpinan nasional. Aksi spekulasi di pasar uang (valas) dan 5
BI dan BLBI Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonomi, Keuangan dan Hukum, Hal.9
3
ketidak hati-hatian sektor perbankan,
perekonomian nasional nyaris ambruk.
Pengelolaan di sektor perbankan terutama penyaluran kredit kepada pihak-pihak terkait dan melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), membuat industri perbankan terjadi “banks runs”, dan “credit crunch”6, sehingga secara internal
likuiditas bank terbatas, mengakibatkan bank membatasi dalam
penyaluran kredit. Sisi eksternal dipengaruhi lemahnya aktifitas investasi. Indikator keuangan berubah sangat cepat ke arah memburuk7. Sementara krisis ekonomi dan keuangan global di tahun 2008, juga diawali krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) akibat ketidakseimbangan di sektor keuangan terutama akibat skema subprime mortgage. Skema ini memiliki daya tarik bagi penjamin kredit karena adanya bunga tinggi, sehingga sektor keuangan di AS berlomba-lomba memberikan fasilitas KPR termasuk produkproduk derivatifnya. Akibat ketidak hati-hatian, muncul kredit macet dan rumah disita, pengembang tidak mampu menjual unit-unit perumahan dan lembaga keuangan yang membiayainya alami kerugian. Krisis subprime mortagage mengakibatkan penurunan tingkat konsumsi masyarakat AS dan mengeringnya likuiditas pasar, berimbas pada pelemahan perekonomian global. Krisis keuangan di AS, digambarkan Frederic Mishkin :
6
7
Banks Runs: suatu kondisi dimana nasabah-nasabah yang menyimpan dananya di bank mulai tidak yakin dengan kemampuan bank dalam membayar kewajiban secara penuh sehingga mereka menarik uangnya. Credit Crunch : Suatu situasi dimana terjadi penurunan suplai kredit perbankan secara tajam sebagai akibat menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit pada dunia usaha, Berdasarkan catatan beberapa indikator utama perekonomian Indonesia tahun 1996-1999: Pertumbuhan ekonomi sebesar 8,0% (1996), 4,6% (1997), negatif 13,6% (1998) dan 5,76% (1999). Inflasi sebesar 6,5% (1996), 11,6% (1997), 77,6% (1998) dan 8,25% (1999). NPL (% kredit) menunjukkan sebesar 8,8% (1996), 14,0% (1997), 63,3% (1998) dan 63,8 (Juni 1999). Terjadi penutupan 16 bank pada tanggal 1 Nopember 1997 dan 3 Bank Take Over (BTO) pada bulan Agustus 1998. Di Pasar Uang pada tanggal 22 Januari 1998 nilai tukar Rupiah terhadap per USD.1 mencapai Rp16.000,-.
4
Gangguan pada pasar uang dapat melebar ke perekonomian yang lebih luas dan menimbulkan dampak buruk terhadap keluaran dan lapangan kerja. Selain itu, menurunnya perekonomian
cenderung
menyebabkan
meningkatkan
ketidakpastian tentang nilai aset yang dapat menjadi lingkaran setan dimana krisis finansial menghambat aktivitas perekonomian.
Situasi
semacam
ini
dapat
semakin
meningkatkan ketidakpastian serta memperparah krisis keuangan
sehingga
memperparah
kerusakan
aktivitas
perekonomian secara makro dan seterusnya8. Krisis ekonomi pada tahun 1998 memberi dampak pada Bank Indonesia yang saat itu berkedudukan sebagai otoritas moneter sekaligus sektor perbankan. Belum optimalnya Bank Indonesia menjalankan fungsi dan perannya sebagai pembina dan pengawas perbankan terutama pengelolaan dan penanganan krisis menjadi salah satu penilaian masyarakat pada Bank Indonesia. Belum optimalnya Bank Indonesia mengawasi bank yang overbank, terbatasnya sarana dan sumber daya pengawasan yang dimiliki, tingginya beban kerja Bank Indonesia sekaligus conflict of interest dalam menjalankan kedua fungsi pengaturan dan pengawasan. Saat amandemen Undang-Undang perbankan, independensi lembaga pengawasan menjadi pilihan.
Permasalahan yang muncul kemudian bahwa
stabilitas moneter seringkali tidak dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan. Adanya kehendak pembentukan lembaga pengawasan independen yang terintegrasi atas seluruh sektor keuangan, terutama lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) 8
Frederic Mishkin,”Monetary Policy Strategy, Cambridge, The MIT Press,2009, hlm.2.
5
dan memiliki kompleksitas transaksi produk keuangan dan interaksi antarlembaga jasa keuangan. Tujuan menciptakan sistem keuangan yang sehat, kuat dan dipercaya, sebagaimana diamanatkan Pasal 34 “Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan (LPJK) yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang paling lambat 30 Desember 2010.
Perwujudan lembaga pengawasan sektor
keuangan tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana UndangUndang Republik Indonesia No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pembentukan OJK menunjukan dinamika/kebutuhan masyarakat sekaligus interaksi, interrelasi dan interdependensi antara hukum dan perubahan sosial. Perubahan sosial menurut Aguste Comte, berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
yang
dimiliki
masyarakat9,
setidaknya
tercermin
pesatnya
perubahan fungsi dari subsistem dalam masyarakat seperti perubahan atau terbentuknya spesialisasi tertentu10. Sejalan Comte, penjelasan umum Undang-Undang OJK menunjukkan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. 9 10
Munir Fuady,”Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta:Kencana,2009), hal.53. Ibid hal.60
6
Dalam hal konsep negara kesejahteraan (welfare state), secara yuridis pembentukan OJK dapat dipahami sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memperluas tanggung jawabnya pada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat.11 Soerjono Soekanto menyampaikan bahwa ciri-ciri pokok dari negara kesejahteraan: “Peranan negara tidak terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban saja, akan tetapi Negara secara aktif berperan dalam penyelenggara kepentingan rakyat di bidang-bidang sosial, ekonomi dan budaya…”. Peran negara dalam mendorong kesejahteraan rakyatnya tercermin pada keteraturan berbagai aspek kehidupan. Dr. Zulfi Diane Zaini12: “Pembentukan Undang-Undang (diantaranya UU OJK) mencerminkan kehendak pembaharuan masyarakat (sistem keuangan)
melalui
jalur
hukum,
berarti
dilakukan
pembaharuan hukum terutama melalui perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses
pembentukan Undang-Undang
harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah sistem keuangan yang hendak diatur dengan Undang-Undang tersebut, apabila perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif”. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum tersebut dalam 11 12
Soejono Soekanto,”Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembaunan di Indonesia, Yayasan Penerbit UI, Jakarta, 1975, hal 54 Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia, Zulfi Diane Zaini, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3 September – Desember 2012.
7
kenyataan. Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembaharuan atau pembangunan merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu, dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Untuk itu salah satu upaya penting dalam sistem perbankan nasional di Indonesia diperlukan konsep pengembangan dan pembaharuan Hukum Perbankan Nasional melalui perbaikan dan perubahan Undang-Undang
Perbankan
dengan
memperhatikan
perangkat hukum yang berlandaskan pada perumusan aturan hukum yang tidak saja melihat hukum sebagai suatu perangkat aturan akan tetapi juga didasarkan pada hukum sebagai sarana yang dapat mengikuti perubahan dan perkembangan kondisi masyarakat baik dalam kegiatan sosial politik, maupun ekonomi dan kegaiatan perbankan”. Pembaharuan hukum dalam sistem keuangan sangat dibutuhkan untuk mengatur,
melindungi,
sekaligus
menggerakan
potensi-potensi
dalam
perekonomian nasional. Pembaharuan hukum tidak menghambat peran dan fungsi sistem keuangan. Kedudukan otoritas bukan membatasi, namun harus mampu mendorong pelaku industri keuangan masyarakat untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat menggerakkan kegiatan perekonomian suatu negara sehingga dapat diarahkan pada mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan efisien.
8
Undang-Undang OJK telah menjadi kerangka hukum formal sistem keuangan, yaitu merestrukturisasi hukum ketatanegaraan terutama Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tentang kedudukan Bank Indonesia yang sebelumnya berkedudukan sebagai otoritas di sektor perbankan. Secara tata aturan/tata hukum (legal order), Undang-Undang OJK merupakan satu kesatuan dan memiliki kewenangan menciptakan ketertiban, keteraturan dan kepastian hukum dalam industri keuangan. Namun demikian terdapat beberapa otoritas maka interaksi sekaligus koordinasi menjadi hal mendasar dalam pencapaian tujuan stabilitas sistim keuangan. Lingkup pengawasan OJK meliputi pengawasan terhadap peraturan, pelanggaran, pembatasan, pemeriksaan, tindakan dan pembinaan pada seluruh sektor jasa keuangan (perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance, dan lembaga jasa keuangan lainnya mencakup pegadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, yaitu penyelenggaraan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan). Dengan kewenangan dimiliki, OJK diharapkan mampu mengindentifikasi risiko yang muncul dari masing-masing sektor jasa keuangan terutama kelompokkelompok usaha yang memiliki layanan di berbagai jasa keuangan. Selain itu, OJK harus mampu melindungi para pemangku kepentingan dan menumbuhkan kepercayaan sehingga sistem keuangan dapat tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
9
Beralihnya pengawasan perbankan ke OJK,
maka Bank Indonesia
bertanggung jawab penuh pada pengelolaan sistim moneter dan sistim pembayaran. Kedua kewenangan Bank Indonesia tersebut juga merupakan faktor stabilnya sistem keuangan. Namun Bank Indonesia tetap membutuhkan sektor perbankan sebagai saluran transmisi dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Untuk itulah, Undang-Undang OJK masih memberikan fungsi, tugas dan wewenang kepada Bank Indonesia atas kondisi perbankan nasional : Pasal 39 :
“ Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di
bidang Perbankan antara lain: kewajiban pemenuhan modal minimum bank; sistem informasi perbankan yang terpadu; kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi”. Pasal 40 ayat (1) : “ Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”. Penjelasan Pasal 40 ayat (1) : “Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang
OJK,
melaksanakan
namun fungsi,
dalam tugas,
hal dan
Bank
Indonesia
wewenangnya
10
membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan secara
langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important
bank dan atau/ bank lainnya sesuai dengan
kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial...”. Terdapatnya kewenangan Bank Indonesia pada sektor perbankan, mengisyaratkan Bank Indonesia masih dapat membentuk hukum pada sektor perbankan. Melalui peraturan atau ketentuan, industri perbankan wajib melakukan tindakan tertentu atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam kondisi tertentu13, karena : a. Bank Indonesia merupakan badan administrasi yang dapat melakukan tindakan hukum sepihak berupa keputusan yang ditujukan untuk umum dan keputusan yang bersifat konrit dan individual. b. Bank Indonesia memenuhi kriteria ciri-ciri sistem hukum yaitu memiliki kewenangan mengeluarkan produk hukum; c. Bank Indonesia memiliki kepentingan yang sama dengan OJK sebagai penjaga sistem keuangan melalui fungsi, peran dan tugas masing-masing. d. Bank Indonesia dan OJK turut serta menciptakan sektor perbankan yang kuat dan sehat, transaparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Produk hukum kedua otoritas menjadi hukum wajib, hukum pemaksa dan hukum pelengkap (facultative law) bagi industri perbankan termasuk lembaga keuangan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan bank. Namun demikian, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Bank Indonesia dan Undang13
Hans Kelsen,”Tentang Hukun”, Jakarta,Konpress,hlm.13
11
Undang OJK tidak memberikan definisi tentang pengawasan macroprudential. Terintegrasinya
peraturan
antara
pengawasan
microprudential
dengan
macroprudential menjadi penting dalam mengurangi potensi timbulnya akibatakibat hukum karena adanya kewenangan dari masing-masing otoritas pada industri perbankan. Beberapa pendapat terkait teori kewenangan: 1. Ateng Syafrudin14 menguraikan : Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Didalam kewenangan
terdapat
wewenang-wewenang
(rechtsbe
voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang
dalam
pelaksanaan
tugas,
dan
memberikan
wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundangan-perundangan. 2. Philipus M. Hadjon15, wewenang dideskripsikan: Sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. 3. Ferrazi16: Sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen,
yang
meliputi
pengaturan
(regulasi
dan
standarisasi), pen9gurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu. 14
Salim HS dan Elies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 184 15 Philipus M. Hadjon , YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII, September – Desember , 1997 , hlm.1 16 Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 93
12
4. Roscoe Pound17 tentang law as tool of social engineering, menguraikan teori keseimbangan kepentingan law as tool of social engineering. Kelompok kepentingan dibagi dalam tiga kategori, yaitu kepentingan
umum,
sosial
dan
kepentingan
pribadi.
Kepentingan umum terdiri dari atas dua kepentingan, yaitu kepentingan
negara
sebagai
badan
hukum
dalam
mempertahankan kepribadian dan hakikatnya serta kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan sosial. Terkait dengan kepentingan
negara,
kedua
otoritas
tersebut
memiliki
kepentingan
sebagai
penjaga
sistim
keuangan
nasional.
Kepentingan tersebut harus di tata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional. Pasal 39 Undang-Undang OJK, menetapkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan. Pasal 40 Undang-Undang OJK menetapkan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Bank Indonesia membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, maka Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank (SIB), dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan membahas mengenai “Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Makroprundensial Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”.
17
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan generasi: Yogyakarta, Genta Publishing, 2010. hal 154.
13
1.2 Permasalahan Masih adanya kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial sebagaimana Penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang OJK, menjadi isu sentral dalam penelitian tesis ini, yaitu kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial. Koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait kebijakan
dalam
penanganan
terhadap
kondisi
perbankan
dan
bidang
makroprudensial termasuk penanganan gejolak krisis ekonomi (krisis moneter maupun krisis sistem keuangan) berpotensi tidak optimalnya kewenangan Bank Indonesia pada sektor perbankan. Selain itu, beralihnya pengawasan perbankan ke OJK, fungsi lender of the last resort Indonesia
bagi sektor perbankan dari Bank
tidak dapat sepenuhnya dilakukan mengingat terbatasnya Bank
Indonesia atas informasi tentang kondisi perbankan secara individual. Sehubungan dengan masalah yang telah dibahas pada latar belakang, maka penulis merumuskan yang menjadi permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana
pelaksanaan
kewenangan
Bank
Indonesia
di
bidang
makroprudensial pada sektor perbankan. 2. Hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial tersebut. 3. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengatasi hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan
kewenangan
di
bidang
makroprudensial.
14
1.3 Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran dilakukan penulis terdapat beberapa penelitian terkait kewenangan Bank Indonesia di bidang pengaturan dan pengawasan Makroprudensial sebagaimana diatur pada Undang-undang No.21 Tahun 2011: a. Bank Indonesia melakukan penelitian mengenai kondisi dan risiko sistem keuangan
serta
faktor-faktor
yang
berpotensi
ketidakstabilan sistem keuangan dari sudut
memicu
terjadinya
pandang makroprudensial.
Penelitian untuk mengkaji siklus keuangan di Indonesia untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi sistem keuangan, baik dalam situasi perekonomian
yang
kondusif
(ekspansi)
maupun
dalam
kondisi
perekonomian yang mengalami perlambatan (kontraksi). Tujuan penelitian untuk mengetahui efektivitas kebijakan makroprudensial yang umumnya ditujukan untuk meredam pembentukan risiko sistemik yang berlebihan pada masa ekspansi, serta memberikan ruang untuk penyerapan risiko di masa kontraksi18. b. Penelitian dilakukan Ayu Swaningrum dan Peggy Hariawan dengan pokok penelitian tentang Evaluasi Efektifitas Instrumen Makroprudensial dalam Mengurangi Risiko Sistemik di Indonesia19. Penelitian untuk mengetahui seberapa efektif instrumen makroprudensial dalam mengurangi resiko sistemik di Indonesia dengan melihat pengaruh kebijakan makroprudensial
18 19
Kajian Sistem Keuangan No. 23, September 2014. BI Ayu Swaningrum dan Peggy Hariawan, Evaluasi Efektifitas Instrumen Makroprudensial dalam Mengurangi Risiko Sistemik di Indonesia: 3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
15
pemberlakuan Loan To Value (LTV) dan Giro Wajib Minimu (GWM), Loan to Deposit Rasio (LDR) terhadap pertumbuhan kredit. Berkaitan dengan penelitian dilakukan,
penulis lebih menitikberatkan
pada aspek hukum terutama pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial setelah beralihnya kewenangan Bank Indonesia pada sektor perbankan kepada OJK. Penelitian pada aspek hukum terkait kewenangan Bank Indonesia sangat mendasar mengingat adanya 2 (dua) lembaga yang memiliki peran dan tugas pada sistim keuangan nasional berpotensi menimbulkan permasalahan hukum sehingga dapat mengakibatkan tumpang tindihnya kewenangan dan peraturan yang justru dapat mengakitkan permasalahan baik di antara kedua otoritas terutama bagi perekonomian nasional secara keseluruhan. 1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dan manfaat yang hendak dicapai melalui penulisan tesis
ini antara lain sebagai berikut: a. Tujuan Subjektif Sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Master Hukum Bisnis pada program Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada. b. Tujuan Objektif - Untuk mengetahui kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial pada kegiatan sektor perbankan.
16
- Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia tersebut. - Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan di bidang makroprudensial pada sektor perbankan. 1.5
Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah: a. Teoritis Dalam penelitian ini diharapkan ada manfaat teoritis antara lain : - Dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan - Dapat memberikan kontribusi pemikiran yang berkaitan dengan peran dan tugas Bank Indonesia terkait dengan pengawasan di bidang makroprudensial dalam turut serta mendorong kinerja sektor perbankan maupun sistem keuangan. b. Praktis Dalam penelitian ini diharapakan ada manfaat praktis yaitu memberikan masukan kepada otoritas sistem keuangan baik itu Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan serta untuk merancang produk hokum dan peraturan pelaksanaannya.
17
1.6
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik untuk kepentingan akademis maupun kepentingan praktis sebagai berikut : 1. Manfaat akademis : Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan atau
ilmu hukum khususnya
hukum perbankan, yaitu 2 (dua) otoritas yang memiliki kewenangan dalam pengawasan pada sektor perbankan walaupun dalam perpektif yang berbeda sehingga dalam pelaksanaan kewenangan dan peran kedua lembaga tersebut mampu menciptakan kestabilan sistem keuangan secara keseluruhan. 2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti dipergunakan sebagai salah satu pemenuhan syarat penyelesaian pendidikan jenjang Program Pasca Sarjana pada Program Magister Hukum Universitas Gajah Mada. b. Dapat dipergunakan sebagai masukan serta gambaran bagi praktisi hukum dan masyarakat tentang wewenang dan peran Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam pengawasan sektor perbankan. 1.7 Sistimatika Penulisan Secara garis besar, penyusunan penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab, yang keseluruhan bab itu nantinya diharapkan akan memberikan jawaban
18
atas rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian. Berikut ini adalah uraian singkat mengenai inti pembahasan dari masing-masing bab yang akan dibahas nantinya. BAB I
: Pendahuluan Merupakan pengantar pembahasan kepada bab-bab selanjutnya karena dalam bab 1 akan dijelaskan secara garis besar mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan manfaat penelitian, serta penguraian sistematika penulisan pada penelitian ini.
BAB I I : Tinjauan Pustaka Pada bab ini difokuskan pada tinjauan secara umum mengenai makroprudensial. Pembahasan dimulai dari struktur sistem keuangan, pengertian stabilitas sistem keuangan, fungsi dan peran Bank Indonesia serta Otoritas Jasa keuangan. Kemudian dijelaskan mengenai definisi makroprudensial dan ruang lingkup pengawasan bidang makroprudensial oleh Bank Indonesia dalam menghadapi permasalahan dan gejolak yang muncul dalam sistim keuangan. BAB III : Metode Penelitian Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu sifat penelitian, jenis penelitian dan sumber data yang didapat dalam penelitian ini.
19
BAB IV : Hasil penelitian Dan Pembahasan Pada bab ini berisi tentang Landasan Hukum Pengawasan di bidang Makroprudensial, pembahasan mengenai permasalahan terkait dengan pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial, hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut serta upaya-upaya yang baik dilakukan Bank
Indonesia
maupun
langkah-langkah
lainnya
dalam
mengatasi hambatan tersebut. Dalam Bab ini menguraikan latar belakang pembentukan OJK; independensi Bank Indonesia dan OJK; landasan hukum pengawasan dan pengaturan di bidang makroprudensial; menguraikan beberapa pendapat dari para ahli tentang makroprudensial; menguraikan beberapa pendapat para ahli hukum perbankan tentang pengawasan pada sektor perbankan; pendapat berkaitan kewenangan dalam pembentukan dan pelaksanaan Undang-Undang dan peraturannya;
upaya-
upaya yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pengawasan di bidang makroprudensial. BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang didapat oleh penulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.
20