BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi DIY bekerja sama dengan PT Jogja Tugu Trans menghadirkan satu moda transportasi umum berupa bus untuk mengakomodasikan kebutuhan mobilitas masyarakatnya. Transportasi ini dikenal dengan nama Transjogja. Perencanaan Transjogja adalah sebagai solusi atas sistem transportasi di Yogyakarta yang dinilai sudah tidak efisien lagi1. Pada saat pertama kali dioperasikan pada Tahun 2008, Transjogja telah menarik perhatian masyarakat Yogyakarta dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sebagai alternatif transportasi umum. Kebijakan pemerintah membangun Transjogja juga merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan peran pemerintah Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan penduduk difabel dalam bidang layanan transportasi umum. Difabel adalah orang-orang dengan kekurangan atau perbedaan fisik maupun mental. Penggunaan istilah difabel merupakan perubahan dari penggunaan istilah cacat; penyandang cacat yang dinilai berkonotasi negatif karena terkesan memarginalkan dari kalangan masyarakat normal. Istilah difabel adalah terjemahan dari kata bahasa inggris yaitu diffable yang berasal dari istilah people with different abilities (orang dengan perbedaan kemampuan). Istilah ini mengasumsikan bahwa perbedaan fisik atau mental yang dimiliki individu 1
Pangeran. 2012. “Trans Jogja: Alternatif Angkutan Kota Yogyakarta”. NewYorkyakarta http://www.newyorkyakarta.net diakses tanggal 15 Desember 2012.
hanyalah sebuah varian dari perbedaan-perbedaan yang menjadi sifat natural manusia. Sehingga istilah difabel dimaksudkan untuk menegaskan perbedaan kemampuan, dan bukan ketidakmampuan yang dimiliki individu. Jumlah difabel di Indonesia cenderung bertambah setiap tahunnya. Dimana hal tersebut dipicu oleh karena faktor kecelakaan maupun kehidupan yang tidak sehat dan bencana alam. Adapun jumlah difabel di Indonesia pada tahun 2011 tampak dalam tabel 1.1 dibawah ini.
Tabel 1.1 Jumlah Difabel Indonesia Tahun 2011 Provinsi
Jumlah Difabel (Ribu Orang)
Provinsi
Jumlah Difabel (Ribu Orang)
Bengkulu
0.131
Sulteng
19.533
Kep. Riau
0.908
Kalbar
19.571
Kalteng
2.486
Kalsel
19.621
Jambi
4.654
Banten
20.712
Kep. Babel
5.67
NTT
24.636
Papua Barat
5.911
Sulbar
6.615
NAD
30.062
Papua
6.708
DIY
30.887
Maluku Utara
6.872
Sumsel
31.991
DKI Jakarta
8.495
Sumbar
37.379
Sulut
9.211
Sumut
62.046
Gorontalo
9.792
Sulsel
82.17
Kaltim
10.179
Jabar
130.324
Maluku
10.457
NTB
161.147
Riau
16.064
Jatim
179.344
Lampung
16.147
Jateng
236.304
Bali
18.861
Sulawesi Tenggara
Total
25.892
1250.7
Sumber: Database Kementrian Sosial RI 2013 Jumlah difabel pada tabel 1.1 merupakan gabungan antara difabel yang memiliki kekurangan secara fisik dan mental serta merupakan gabungan antara difabel laki-laki dan perempuan.
Di Provinsi DIY peningkatan populasi difabel terjadi secara signifikan khususnya pasca bencana gempa bumi pada bulan Mei 2006. Warga yang menjadi korban gempa banyak yang menjadi penyandang disabilitas. Peningkatan populasi yang paling nyata terjadi di Kabupaten Bantul. Tercacat jumlah difabel pada tahun 2004 sebanyak 17.272 orang atau 0,5% dari jumlah penduduk keseluruhan. Setelah terjadi peristiwa gempa bumi meningkat menjadi 24.225 orang atau 0,7% dari jumlah penduduk keseluruhan (Dinas Sosial DIY). Adapun jumlah difabel di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2008 hingga tahun 2011 adalah sebagai berikut. Tabel 1.2 Jumlah Difabel DIY Tahun 2008-2011 Tahun Jumlah Difabel
2008
2009
2010
2011
41.219
36.281
36.863
35.264
Sumber: Dinas Sosial DIY 2013
Pada saat dilakukan sensus penduduk tahun 2010, keseluruhan jumlah penduduk DIY adalah sebesar 3.457.4912 orang. Apabila dibandingkan dari keseluruhan jumlah penduduk DIY tersebut, jumlah penduduk difabel sebesar 35.264 orang memang sedikit jumlahnya. Namun demikian semangat pelayanan publik tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah penduduk. Upaya pelayanan publik seharusnya dilakukan pada semua sektor dan diperuntukkan untuk seluruh lapisan masyarakat, termasuk diantaranya masyarakat yang memerlukan
2
Data Sensus Penduduk 2010, BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
pelayanan khusus seperti para difabel, masyarakat yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak-anak3. Perbedaan
fisik
penduduk
difabel
membuat
mereka
memiliki
keterbatasan kemampuan sehingga pelayanan yang dibutuhkan juga berbeda dengan pelayanan yang dibutuhkan oleh kelompok penduduk lainnya. Jika diteropong lebih jauh sebenarnya bentuk pelayanan yang berbeda telah diamanatkan di dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3). Dalam pasal tersebut disebutkan: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Layak disini seharusnya dipahami bahwa siapapun warga negara di republik ini bisa mengakses berbagai fasilitas publik. Khusus mengenai perlindungan dan kesejahteraan bagi penduduk difabel, secara normatif pemerintah juga sudah memberikan ruang gerak dalam memenuhi hak asasi mereka. Hal ini dapat dilihat dari produk-produk hukum yang telah dibuat oleh pemerintah, diantaranya adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal (28) ayat 2, Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UndangUndang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal (242), Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bagunan Gedung, Peraturan Pemerintah RI No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keputusan Menteri Perhubungan No. 71 tahun 1999 dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan.
3
LAN RI. 2010. Penerapan Manajemen Pelayanan Inklusif. Diakses dari www.lan.go.id tanggal 7 Mei 2013, 19:05.
Transportasi umum merupakan salah satu bagian dari pelayanan pemerintah yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Transportasi memiliki peran yang sangat signifikan dalam kegiatan sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan, dan kegiatan lainnya. Bagi difabel sendiri, transportasi juga memiliki peran sangat signifikan dalam kehidupannya terutama angkutan umum karena keadaan fisik dirinnya yang tidak memungkinkan untuk mengendarai sendiri alat transportasi. Sama halnya seperti masyarakat normal, menjangkau lokasi lapangan pekerjaan, lokasi pendidikan (sekolah, universitas), lokasi pelayanan kesehatan, kegiatan sosial, kegiatan rekreasi dan lain-lain menjadi faktor pendorong bagi difabel untuk menggunakan transportasi umum. Mengenai
perlindungan dan kesejahteraan
difabel
dalam bidang
transportasi sudah tertuang di dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan. Dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan: “Sarana angkutan jalan harus dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan khusus yang diperlukan dan memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan bagi bagi penumpang difabel dan orang sakit.”
Dan dalam ayat (2) disebutkan: “Fasilitas dan pelayanan khusus sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) meliputi: (a) ruang yang dirancang dan disediakan secara khusus untuk penyandang cacat dan orang
sakit guna memberikan kemudahan untuk bergerak. (b) alat bantu untuk naik-turun dari dan ke sarana pengangkut.”
Sekitar awal tahun 2000, pada masa pemerintahan Kh. Abdurahman Wahid lahir Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) 2000. Gerakan ini merupakan upaya penyediaan sarana yang aksesibel bagi kalangan difabel khususnya pada sarana transportasi umum. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono program tersebut berjalan dengan nama GAUN 2005, dimana presiden menginstruksikan kepada seluruh Gubernur untuk menyediakan fasilitas memadai bagi penduduk difabel. Penyelenggaraan pelayanan yang berbeda atau khusus kepada penduduk difabel seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 71 Tahun 1999 dan GAUN tersebut bukan bermaksud mengistimewakan atau memanjakan tetapi untuk membantu difabel mendapatkan kesempatan yang sama dalam setiap penyelenggaraan pelayanan publik. Penyelenggaraan sistem transportasi umum bagi penduduk difabel sudah seharusnya dan selayaknya dilaksanakan mengingat berbagai produk hukum tentang perlindungan dan kesejahteraan difabel sudah dibuat oleh pemerintah. Selain itu, semangat reformasi dan demokratisasi yang bergulir dan bertumpu pada sendi-sendi dasar hak asasi manusis (HAM) saat ini juga telah menumbuhkan kesadaran masyarakat kolektif untuk lebih peka terhadap isu difabel. Oleh karena itu, tidak boleh lagi ada alasan bagi difabel untuk tidak mendapatkan pelayanan publik khususnya transportasi umum yang berkualitas. Pada kenyataannya, sayang sekali hampir seluruh peraturan tersebut
masih belum diimplementasikan secara utuh atau masih setengah-setengah serta belum terlihat adanya koordinasi dan integrasi antar berbagai bidang. Difabel yang berharap akan memperoleh pelayanan publik yang sama dengan masyarakat normal lainnya hingga saat ini masih dipandang sebelah mata. Kesempatan yang sama dan sejajar dalam mengakses pelayanan publik belum dapat dirasakan oleh penduduk difabel termasuk dalam bidang pelayanan transportasi umum. Manajemen pelayanan publik harus dikembangkan dengan mengikuti prinsip tertentu, diantaranya adalah prinsip bahwa pelayanan publik adalah hak semua warga dan penduduk Indonesia. Karena pelayanan publik menjadi hak semua orang maka negara atau pemerintah harus menjamin akses semua orang terhadap pelayanan publik yang diselenggarakannya, apapun kendala yang dimilikinya (Agus Dwiyanto, 2011). Pemikiran untuk menciptakan akses bagi penduduk difabel melalui pelayanan yang berbeda berkenaan dengan manajemen pelayanan yang responsif. Untuk mampu melayani penduduk difabel tentu pola pikir dan cara bertindak aparat birokrasi yang cenderung menyeragamkan masalah dan merutinkan tindakan mereka tidak dapat dipertahankan. Birokrasi dan aparatnya harus belajar memahami masalah dan kebutuhan penduduk difabel secara terbuka dan melatih diri untuk dapat bertindak responsif dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi kendala yang dimiliki warga difabel, terutama untuk mengakses pelayanan publik4. Kurang lebih sudah enam tahun Transjogja beroperasi di daerah Yogyakarta sebagai sistem transportasi umum. Pada saat pertama kali 4
Dwiyanto, Agus. 2011. Manajemen Pelyanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
dioperasikan pada bulan Maret 2008, Transjogja telah menarik perhatian masyarakat Yogyakarta dan mendapat sambutan baik dari masyarakat. Transjogja juga terbukti cukup penting bagi masyarakat Yogyakarta. Namun bagaimana penyelenggaraan Transjogja tersebut bagi masyarakat difabel? Sudah seharusnya masyarakat difabel memiliki pilihan transportasi umum dan kebebasan untuk melakukan mobilitas dengan berbagai jenis moda transportasi yang sama dengan masyarakat normal. Salah satu kebijakan perencanaan pemerintah membangun Transjogja adalah sebagai upaya untuk mewujudkan perannya dalam mengatasi kendala yang dimiliki penduduk difabel dan memenuhi kebutuhan mereka dalam bidang trasnportasi umum. Sistem transportasi umum yang sudah ada sebelumnya dinilai tidak mempedulikan hak-hak penduduk difabel walaupun di Yogyakarta, khususnya Pemerintah Kabupaten Sleman telah menerbitkan Perda No. 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas pada Bangunan dan Lingkungan Penyandang Cacat. Sejumlah bus kota seperti Aspada, Kobutri, Kopata, Koperasi Pemuda Sleman, Puskopkar dan lain-lain tidak menyediakan kemudahan bertransportasi yang dibutuhkan masyarakat difabel. Desain bus dirancang hanya berdasarkan ketentuan kebutuhan masyarakat normal. Desain yang tidak ergonomis menyulitkan untuk akses naik dan turun dari bus bagi masyarakat difabel. Terdapat juga kasus dimana pengendara bus kota ini tidak mau berhenti dan mengangkut masyarakat difabel5. Dan juga menurut Helmi Tri Anjar (2008)
5
Hasil penelitian Dinas Sosial Provinsi DIY dan PSLD UIN Sunan Kalijaga dalam Kajian Akademik Raperda Penyandang Disabilitas Provinsi DIY 2011.
dengan sistem organisasi, operasional serta finansial yang tidak efektif dan efisien, angkutan bus kota hanya menghasilkan mutu pelayanan yang rendah. Kehadiran Transjogja merupakan sebuah terobosan baru terkait hak-hak asasi penduduk difabel dalam bidang layanan transportasi umum. Dalam upayanya melayani penumpang difabel, beberapa kebijakan telah diselenggarakan oleh Transjogja. Namun dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, Transjogja masih menuai kritikan dan dituduh sebagai sistem transportasi yang tidak ramah bagi difabel. Bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Apa yang dihadapi dan dialami oleh para difabel saat menggunakan Transjogja? Hal tersebut akan menjadi topik pembahasan dalam penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pada bagian latar belakang maka hal yang ingin dikaji oleh peneliti dalam penelitian ini adalah: Bagaimana aksesibilitas fasilitas dan sikap pelayanan petugas Transjogja berdasarkan pada pengalaman difabel menggunakan Transjogja?
1.3 Tujuan Penelitian a. Mengetahui berbagai fenomena yang dialami oleh para penumpang difabel ketika menggunakan Transjogja. b. Mengetahui aksesibilitas fasilitas dan sikap pelayanan petugas Transjogja dari berbagai pengalaman difabel melakukan kontak dengan aspek Transjogja tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian a. Memberikan gambaran secara mendalam mengenai berbagai fenomena yang dialami oleh difabel ketika menggunakan Transjogja. b. Memberikan rekomendasi dan referensi bagi Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya
Dinas
kesejahteraan difabel.
Perhubungan
dalam
melaksanakan
evaluasi