1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam Bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam dialek. Istilah dialek merupakan sebuah bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu (lih. Sumarsono, 2010:21). Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang memiliki persebaran paling luas selain bahasa Sunda. Di dalam bahasa Jawa terdapat berbagai macam dialek. Bahasa Jawa yang digunakan di suatu wilayah tidaklah sama dengan bahasa Jawa yang digunakan di wilayah lain. Perbedaan wilayah ini menyebabkan munculnya kekhasan pada bahasa Jawa yang ada di setiap daerah. Perbedaan ini memunculkan sebuah dialek sebagai bentuk kekhasan akibat dari interaksi masyarakat penutur bahasa di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu, terdapat adanya perbedaan dialek bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa yang terdapat di utara wilayah Kabupaten Tangerang. Banten merupakan provinsi yang memiliki beberapa kabupaten di dalamnya. Kabupaten tersebut antara lain Tangerang, Serang, Lebak, Pandeglang, Kota Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan. Secara geografis, Kabupaten Tangerang merupakan
1
2
kabupaten yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, Serang, dan Bogor. Multamia (1990:8) dalam disertasinya menjelaskan, di bagian timur, Tangerang berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta yang berbahasa Melayu, di bagian selatan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Bogor yang berbahasa Sunda, di bagian barat berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Serang yang berbahasa Jawa dan Sunda, sedangkan di bagian utara berbatasan langsung dengan laut jawa. Berdasarkan fakta geografis tersebut, persoalan mengenai sentuh bahasa di daerah Kabupaten Tangerang merupakan hal yang sulit dihindari. Diduga Kabupaten Tangerang merupakan daerah yang multilingual sehingga memungkinkan adanya variasi-variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor kuantitas penutur dengan latar belakang budaya yang beragam. Selain itu, apabila dibandingkan dengan bahasa Jawa Standar, bahasa Jawa dialek Kabupaten Tangerang memiliki persamaan dan perbedaan dalam bentuk variasi fonologi, morfologi, maupun leksikal. Bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang memiliki persamaan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta, antara lain menggunakan vokal [o] pada posisi akhir. Kata [roro] „dua‟ dalam bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang menggunakan vokal [o] pada posisi akhir, sama halnya dengan posisi [o] pada kata [loro] „dua‟ dalam bahasa Jawa Dialek Yogyakarta. Selain mempunyai persamaan, kedua dialek tersebut juga memiliki perbedaan. Hal ini disebabkan oleh bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang yang mendapat pengaruh dari bahasa Sunda, yang secara lokatif berdekatan.
3
Perbedaan tersebut antara lain menggunakan vokal [a] pada posisi akhir, sebagai contoh kata [sira] dan [dawa], bentuk lain diikuti dengan bunyi glotal [Ɂ], yaitu [ambaɁ] dan [tekaɁ]. Selain itu, vokal [i] dan [u] pada suku kedua terakhir tertutup diucapkan tetap sesuai vokal [i] dan [u]. Situasi kebahasaan seperti ini menarik untuk diteliti melalui pendekatan geografi dialek. Faktor penyebab variasi bahasa seperti kuantitas penutur dengan latar belakang budaya yang beragam menjadi hal yang dapat dimungkinkan membentuk variasi dalam bahasa Jawa yang terdapat di wilayah Tangerang. 1.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kajian dialektologi. Dialektologi adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995:11). Dialektologi memiliki dua cabang disiplin ilmu, yaitu geografi dialek dan sosiodialek. Geografi dialek ialah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragamragam tersebut (Ayatrohaedi, 1983:28). Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada geografi dialek. Adapun daerah penelitian yang dipilih yakni Kabupaten Tangerang, khususnya beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Serang. Beberapa wilayah tersebut dipilih karena bahasa Jawa yang digunakan di
4
daerah ini memiliki ciri khas yang nampak sebagai perpaduan antara dua bahasa, yakni bahasa Jawa dan bahasa Sunda. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut. 1. Sistem fonologi, morfologi, dan leksikal apa yang digunakan bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang? 2. Bentuk variasi apa saja yang terdapat pada bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang di empat titik pengamatan? 3. Bagaimanakah hubungan kekerabatan yang terjalin di empat titik pengamatan? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat dijabarkan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. menguraikan sistem fonologi, morfologi, dan leksikal bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang; 2. mengklasifikasikan variasi fonologi, morfologi, dan leksikal bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang; 3. memaparkan hubungan kekerabatan yang terjalin di antara titik pengamatan.
5
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangan, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian diharapkan dapat menunjukkan bentuk hubungan antardialek yang terdapat di Kabupaten Tangerang yang dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di wilayah sekitarnya. Hal ini bermanfaat untuk kajian dalam ilmu linguistik, khususnya dalam penerapan teori wellentheorie. Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memahami dan berkomunikasi praktis menggunakan Bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang (BJT), sehingga masyarakat yang mempunyai minat terhadap bahasa
yang
bersangkutan
tidak
menemukan
kendala
dalam
berkomunikasi dengan masyarakat tutur yang tinggal di daerah tersebut. 1.6 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian yang pernah dilakukan di wilayah Kabupaten Tangerang dan sekitarnya. Penelitian tersebut mengenai dialek Sunda dan dialek Jawa. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Suriamiharja (1981) yang berjudul “Geografi Dialek Sunda di Kabupaten Serang”. Penelitian tersebut antara lain mendeskripsikan keadaan umum daerah penelitian yang berhubungan dengan hal-hal keadaan alam dan letak geografi, luas wilayah, penduduk, dan teknologi. Penelitian tersebut juga menguraikan keadaan kebahasaan yang meliputi hal-hal wilayah pemakaian bahasa Sunda, jumlah pemakai
6
bahasa Sunda, ciri-ciri khusus, status bahasa Sunda, hubungan bahasa Sunda dengan bahasa lain, peranan dan kedudukan bahasa Sunda, sikap kebahasaan, dan tradisi sastra. Selain itu, juga mengenai variasi unsurunsur bahasa Sunda yang dipakai oleh penutur bahasa Sunda di Kabupaten Serang yang meliputi unsur-unsur fonetis, morfologis, leksikal, dan sintaksis, terutama unsur-unsur leksikal dan penyebaran unsur-unsur bahasa. Disertasi “Pemetaan dan distribusi bahasa-bahasa di Tangerang” yang dilakukan oleh Multamia Lauder tahun 1990. Penelitian geografi dialek ini dilakukan di desa-desa yang tersebar di kawasan kabupaten Tangerang. Tangerang dipilih karena diharapkan akan menampilkan hubungan
yang
terjadi
antarbahasa
yang
bertetangga.
Dalam
penelitiannya, kabupaten Tangerang mempunyai tiga bahasa yaitu bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Jawa. Bahasa Sunda yang tersebar di desa-desa di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan wilayah Bogor. Bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat yang berada pada wilayah timur yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Selanjutnya bahasa Jawa (Jawa-Sunda) yang berada di barat kabupaten Tangerang berbatasan dengan kabupaten Serang. Adapun tujuan pokok penelitian ini ialah memberikan gambaran secara pasti mengenai batas dan letak wilayah sentuh bahasa yang ada di kabupaten Tangerang. Penelitian ini mengupayakan metode alternatif pemetaan bahasa yang lebih efektif dan akurat. Selain itu, penelitian ini
7
mencoba menciptakan program komputer untuk pemetaan bahasa. Program komputer ini diharapkan dapat mengatasi hambatan-hambatan teknis yang memakan banyak waktu, dan melelahkan demi pengembangan geografi dialek. Pada penelitiannya tersebut, berdasarkan hasil penghimpunan isoglos, penghitungan jarak kosa kata, dan tafsiran daerah pakai dari sudut sejarah disimpulkan bahwa di wilayah Kabupaten Tangerang terdapat tiga daerah pakai kosa kata, yakni daerah pakai kosa kata Sunda, Jawa, dan Melayu. Adapun beberapa daerah pakai kosa kata bahasa Jawa, seperti Rajeg, Kronjo, Kresek, dan Mauk selanjutnya dipilih sebagai titik pengamatan yang representatif dalam penelitian “variasi bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang, kajian geografi dialek”. Kusworo (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Status Kebahasaan Jawa-Sunda Dan Bilingualisme Di Kabupaten Tangerang, Banten. Adapun penelitiannya bertujuan untuk mendeskripsikan status hubungan kebahasaan dan bentuk pengaruh tuturan Jawa-Sunda di Desa Ceplak dan Desa Kali Asin, Kecamatan Sukamulya, berdasarkan pengaruhnya dari kedua isolek Jawa dan Sunda. Hasil penelitian tersebut, Kusworo mengungkapkan bahwa status hubungan kebahasaan Jawa-Sunda di Kabupaten Tangerang adalah bahasa dalam satu keluarga bahasa, yaitu kelas bahasa Austronesia barat. Pada Kabupaten Tangerang terdapat masyarakat bilingual yang menguasai bahasa Jawa-Sunda. Adapun keberadaan masyarakat bilingual tersebut ikut dalam mempengaruhi
8
kosakata yang mereka gunakan. Kesimpulan lain yaitu, ditemukan adanya proses akomodasi yang terjadi antara penutur bahasa Jawa dan Sunda di Kecamatan Sukamulya, serta ditemukan adanya pembeda dialek dalam tataran fonologi dan semantik. Selain itu, terdapat beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait gejala sentuh bahasa antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Abdurrachman Oyon, dalam penelitiannya yang berjudul “Bahasa Sunda Dialek Cirebon” melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1985. Penelitian tersebut meliputi distribusi fonem (fonologi), struktur kata (morfologi), struktur dan tipe frase, struktur dan tipe klausa, serta struktur dan tipe kalimat BSC. Hasil penelitian tersebut memperoleh kesimpulan bahwa pada bidang fonologi, fonem vokal dan konsonan yang dimiliki oleh BSC tidak ada perbedaan dengan fonem vokal dan konsonan BSL ( bahasa Sunda Lulugu). Pada bidang morfologi, ditemukan hanya beberapa perbedaan antara BSC dengan BSL, yaitu prefiks
pak-,
yang
merupakan
tiruan
bunyi,
cukup
produktif
pemakaiannya, seperti pakbeledug „berbunyi beledug‟. Sufiks –eun dalam BSC sama dengan sufiks –keun dalam BSL, seperti ngawineun = ngawinkeun
„mengawinkan‟,
kecuali
daerah
Laelea,
Indramayu,
ditemukan sufiks -e, -ne, -a, yang produktif. Kedua, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hendrokumoro (2000) yang berjudul “Bahasa Sunda Di Perbatasan Jawa Barat Dan Jawa Tengah:
9
Studi Komparatif dengan Bahasa Jawa”. Penelitian tersebut mengenai studi komparatif bahasa Jawa dengan bahasa Sunda di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah khususnya di daerah Ciamis. Penelitian tersebut membuktikan bahwa adanya satu hubungan yang saling mempengaruhi antara Bahasa Sunda Perbatasan (BSP) dengan Bahasa Jawa di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah (BJBR). Hubungan kedua bahasa ini ditunjukkan oleh adanya beberapa persamaan fonem dan leksikon. 1.7
Landasan Teori
1.7.1 Dialektologi Istilah dialek yang merupakan padan kata logat lebih umum dipergunakan di dalam pembicaraan ilmu bahasa. Dialek berasal dari kata dialektos dalam bahasa Yunani yang pada mulanya dipergunakan di sana dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya (Ayatrohaedi, 1983:1). Sementara itu, dialektologi adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995:11). Dalam dialektologi, terdapat dua buah cabang disiplin ilmu, yakni geografi dialek dan sosiodialek. 1.7.2 Geografi Dialek Geografi dialek merupakan cabang dialektologi yang mempelajari hubungan-hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut (Ayatrohaedi, 1983:29). Ragam kebahasaan tersebut dalam geografi dialek ditampakkan dalam bentuk peta bahasa. Hal ini dilakukan
10
untuk melihat bentuk-bentuk perbedaan dan persamaan yang terdapat di antara dialek-dialek yang diteliti. Dalam prosesnya, geografi dialek mengenal cara perhitungan statistik untuk melihat seberapa jauh bentuk perbedaan dan persamaan tersebut. Cara perhitungan statistik seperti ini disebut dialektometri. Selain itu, dalam penelitian geografi dialek terdapat adanya beberapa faktor yang harus diperhatikan, yakni pembahan, pemupu, daerah yang diteliti, metode penelitian, dan daftar tanyaan. Hal ini dijadikan penentu dalam sebuah penelitian geografi dialek. 1.7.3 Wellentheorie Pada tahun 1872, J.Schmidt seorang peneliti bahasa Jerman mencetuskan sebuah teori yang dikenal dengan wellentheorie atau teori gelombang. Dalam teori tersebut diungkapkan bahwa bahasa pada suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada wilayah lain di sekitarnya. Hal tersebut didasarkan pada bahasa yang digunakan secara berantai dalam suatu wilayah tertentu dan perubahan yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Perubahan tersebut menyebar ke segala arah, seperti gelombang dalam sebuah kolam. Kolam akan menghasilkan gelombang jika ada benda yang jatuh ke dalam kolam tersebut. Hal tersebut menjelaskan bahwa bahasa yang sudah berpisah masih terdapat kontak satu sama lain.
11
1.8 Data dan Metode 1.8.1 Metode Penyediaan Data Objek penelitian ini adalah bahasa Jawa yang dipakai penutur dan penduduk asli kabupaten Tangerang, khususnya bagian Kabupaten Tangerang bagian utara. Populasi dalam penelitian ini meliputi semua tuturan bahasa Jawa dengan aspek-aspek yang ada di wilayah kabupaten Tangerang. Berkaitan dengan populasi tersebut, sampel yang ditentukan adalah tuturan bahasa Jawa yang telah ditetapkan dalam alat penelitian yang berupa daftar pertanyaan berkaitan dengan pemakaian bahasa Jawa di kabupaten Tangerang dan hasil rekaman tuturan. Adapun data berupa daftar berian 200 kosakata dasar Swadesh yang dikembangkan menjadi 400 kosakata. Daftar kosakata tersebut diurutkan mulai dari kosakata bagian tubuh, kekerabatan, kata ganti orang, kata kerja, kata tanya, kata tunjuk, kata bilangan, kata penghubung, keadaan/sifat, warna, binatang, tanaman, dan keadaan/bagian alam. Urutan klasifikasi tersebut dibuat untuk mempermudah pembahan dalam mendeskripsikan gloss, yaitu mulai dari klasifikasi bagian tubuh yang hubungannya sangat dekat dengan pembahan dalam kehidupan sehari-hari, hingga pada klasifikasi yang tingkat kedekatannya paling jauh. Selain itu, tujuan pengklasifikasian tersebut agar pembahan lebih terarah dan sistematis dalam menjawab pertanyaan peneliti. Tahapan pertama dalam menyediakan data adalah memilih lokasi penelitian dan menemukan titik pengamatan. Kecamatan yang dijadikan
12
sebagai acuan titik pengamatan berada di wilayah utara Kabupaten Tangerang. Setiap titik kecamatan hanya dipilih satu titik pengamatan yaitu desa yang diharapkan mampu mewakili desa yang lainnya. Alasan dipilihnya desa sebagai titik pengamatan adalah dengan pertimbangan bahwa wilayah desa tidak terlalu luas. Penelitian ini dilaksanakan pada periode 14 januari – 28 februari 2014. Ketersediaan tuturan berian tidak terlepas adanya informan yang dipilih berdasarkan kriteria pembahan. Setiap titik pengamatan dipilih setidaknya 3 pembahan yang memenuhi 75% dari syarat pembahan ideal. Adapun syarat pembahan ideal yaitu berusia pertengahan 40 – 50 tahun, memiliki artikulator yang lengkap, tidak buta huruf, merupakan penduduk pribumi sekurang-kurangnya dua generasi di atasnya, menguasai bahasanya secara „murni‟, mobilitas ke luar daerah kecil, tidak pernah ke luar daerahnya dalam waktu yang lama, dan bukan termasuk kelompok „wong cilik‟. Sebelum melakukan penelitian, penelitian diawali dengan terlebih dahulu mengurus perizinan, menyiapkan borang penelitian, dan menyiapkan alat dan bahan. Alat yang digunakan berupa 200 kosakata dasar Swadesh yang dikembangkan menjadi 400 kosakata, alat perekam, kamera digital, dan alat tulis. Alat perekam digunakan untuk merekam suara pembahan saat melakukan penyadapan berian. Alat ini berguna untuk memudahkan peneliti pada saat melakukan transkripsi fonetis. Selanjutnya, peneliti menggunakan kamera digital. Alat ini berfungsi untuk mendokumentasikan pembahan.
13
Selain itu, digunakan juga alat tulis yang berfungsi untuk mencatat berian pada saat melakukan penyadapan dan pada saat analisis. Selanjutnya pengumpulan data, pada tahap ini data yang diberikan oleh pembahan dikumpulkan dengan menggunakan metode pupuan lapangan. Metode pupuan lapangan ini mengenal dua cara, yaitu teknik pencatatan langsung dan perekaman (Ayatrohaedi, 1983:33-34). Adapun teknik catat merupakan teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data, sedangkan teknik rekam adalah teknik penjaringan data dengan merekam penggunaan bahasa (Kesuma, 2007:45). Pada teknik ini, peneliti mencatat langsung berian yang diperoleh dari pembahan berdasarkan daftar tanyaan yang telah tersedia. Selain itu, dalam metode penyediaan data juga menggunakan metode simak dengan teknik dasar sadap dan teknik lanjutan simak bebas libat cakap, catat, dan rekam. Kemudian peneliti mencatat hasil dalam bentuk transkripsi fonetis. 1.8.2 Metode Analisis Data Setelah data ditranskripsikan secara fonetis, tahap selanjutnya adalah membandingkan data TP
yang satu dengan TP yang lainnya. Hal ini
dilakukan untuk menemukan bentuk-bentuk perbedaan-perbedaan yang ada. Perbedaan-perbedaan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam peta dasar dan ditunjukkan dengan menggunakan lambang-lambang tertentu pada peta bahasa. Lambang yang sama diberikan pada berian yang sama, sedangkan untuk berian yang berbeda diberikan lambang yang berbeda pula. Tahap selanjutnya adalah membuat polygon de thiessen dengan menggunakan
14
metode padan referensial. Menurut Kesuma (2007:48), metode padan referensial adalah metode yang alat penentunya berupa refren bahasa. Dalam menganalisis data digunakan teknik dialektometri dan teknik berkas isoglos. Dialektometri ialah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempattempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut (Ayatrohaedi, 1983:32). Anasir bahasa yang dibandingkan antartempat dalam dialektometri antara lain anasir fonologi, morfologi, kosakata, sintaksis, morfosintaksis, dan morfonologi. Dalam dialektometri, agar perhitungan lebih mudah dilakukan, setiap anasir disiapkan 100 buah peta. Kemudian jumlah beda dihitung dengan cara mengalikan dengan 100 lalu dibagi jumlah nyata peta yang dibandingkan, dengan rumus maka akan diperoleh persentase jarak antara dialek tersebut.
S × 100 =d% n Keterangan : s : Jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n : Jumlah peta yang diperbandingkan d : Jarak kosakata dalam persen Berdasarkan rumus tersebut, perbedaan yang diperoleh melebihi dari 80 persen dikategorikan sebagai bentuk perbedaan bahasa, 51 - 80 persen dikategorikan sebagai bentuk perbedaan dialek, 31 - 50 persen dikategorikan sebagai bentuk perbedaan subdialek, 21 - 30 persen dikategorikan sebagai
15
bentuk perbedaan wicara (parler), sedangkan perbedaan yang kurang dari 20 persen dikategorikan tidak ada. Perhitungan dialektomoteri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) segitiga antardaerah pengamatan dan (2) permutasi antardaerah pengamatan (Mahsun, 1995:119). Perhitungan dengan segitiga antardaerah pengamatan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut. a)
Daerah pengamatan yang diperbandingkan adalah daerah yang letaknya relatif berdekatan. Masing-masing daerah pengamatan diasumsikan mempunyai kemungkinan untuk berkomunikasi satu sama lain,
b)
Setiap
daerah
pengamatan
yang
memiliki
kemungkinan
berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan sebuah garis sehingga diperoleh segitiga-segitiga yang beragam bentuknya, dan c) Garis-garis pada segitiga dialektometri yang dibuat merupakan garis yang tidak berpotongan. Garis yang dibuat merupakan garis yang letaknya lebih dekat satu sama lain. Penerapan dialektometri, baik dengan segitiga antardaerah pengamatan maupun permutasi antardaerah pengamatan dilakukan dengan prinsip-prinsip umum sebagai berikut. a)
Perbedaan dianggap tidak ada jika pada sebuah daerah pengamatan dikenal lebih dari satu bentuk untuk satu makna dan salah satu diantaranya dikenal di daerah pengamatan lain yang diperbandingkan.
16
b) Perbedaan dianggap ada jika di antara daerah pengamatan yang dibandingkan itu salah satu di antaranya tidak memiliki bentuk sebagai suatu makna tertentu. c)
Daerah-daerah pengamatan itu dianggap sama jika daerah-daerah pengamatan yang dibandingkan itu semua tidak memiliki bentuk sebagai realisasi dari satu makna tertentu.
d)
Perbedaan
fonologi
dan
morfologi
yang
muncul
akan
dikesampingkan dalam perhitungan dialektometri pada tataran leksikon. Hasil perhitungan kemudian dipetakan dengan cara sistem konstruksi polygones de thiessen pada segitiga dialektometri. Adapun teknik berkas isoglos merupakan teknik penelitian yang menggabungkan kumpulan dari beberapa isoglos yang membentuk satu berkas (Mahsun, 1995:126). Isoglos sebenarnya berfungsi untuk menunjukkan adanya ketidaksamaan atau perbedaan dalam menggunakan unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan (Mahsun, 1995:125). Selain itu juga digunakan metode komparatif, metode ini bertujuan untuk membandingkan data satu dengan yang lainnya sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan kesamaan dan perbedaan antara data yang satu dengan data yang lainnya (lih. Sudaryanto, 1986:63). 1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Setelah melakukan analisis data, selanjutnya pada tahap penyajian data, data disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal.
17
Adapun perumusan metode formal yakni dengan menggunakan tanda, dan lambang-lambang untuk mempermudah dalam memahami, sedangkan metode informal hasil analisis data disajikan dengan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis. 1.9 Sistematika Penyajian Laporan penelitian ini terdiri atas enam bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, data dan metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua membahas deksripsi wilayah kabupaten Tangerang. Bab ketiga menguraikan deskripsi bahasa Jawa di Kabupaten Tangerang. Bab keempat memetakan hierarki dan peta BJT. Bab kelima berisi analisis tingkat kekerabatan berdasarkan perhitungan dialektometri, segitiga polygon de thiessen, tabel perhitungan dialektometri, dan hasil perhitungan dialektometri. Bab keenam penutup berisi kesimpulan dan saran. Dalam penyajian hasil analisis data digunakan sistem penomoran untuk data kebahasaan dengan angka Arab yang dimulai dengan angka 1 dan seterusnya pada Bab II – V. Dalam keempat bab tersebut dimungkinkan terjadinya pengulangan data BJT. Akantetapi, penomoran pada subbab-subbab berikutnya menggunakan nomor data yang dilakukan secara berulang sesuai dengan tiap bab.