BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Saat ini keramba jaring apung merupakan mata pencaharian utama pada masyarakat yang hidup di sekitar Danau Toba. Sebelumnya, keramba jaring apung hanya menjadi mata pencaharian tambahan karena sektor pertanian, perdagangan dan pariwisata masih merupakan pemberi kontribusi utama bagi pendapatan masyarakat Danau Toba. Merosotnya sektor pariwisata sekitar tahun 19981 dan sektor pertanian tahun 2002 membuat semakin banyaknya keramba jaring apung di pinggiran Danau Toba.
Keramba jaring apung di kawasan Danau Toba terdapat di lima lokasi yakni: Desa Sebaganding, Desa Sirungkungan, Desa Silima, Desa Simanindo, dan Desa Haranggaol. Dari kelima desa tersebut, hingga saat ini Haranggaol merupakan sentra terbesar keramba jaring apung. Penetapan Haranggaol menjadi sentra keramba jaring apung ini karena di desa tersebut berdiri ribuan keramba jaring apung dengan hasil panen ribuan ton pertahunnya. Hal ini juga 1
Pada tahun 1998 terjadi krisis nasional multidemensi seperti keamanan, politik, sampai pada krisis moneter yang sangat melumpuhkan perekonomian membuat tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba sehingga banyak hotel yang beralih fungsi menjadi rumah dan tempat ibadah, kapal tidak lagi jalan karena tidak ada penumpang, harga bahan pokok terus melejit, belum lagi penggundulan hutan yang dilakukan para pembalakliar yang kemudian menyebabkan penyusutan air danau, dan bukit-bukit yang gundul, jalanan hancur keindahan Danau Toba pun hilang dari pandangan mata. Tahun 2002 menjadi tahun penurunan bagi pertanian sebab telah terjadi serangan hama, ditambah tidak mendukungnya kondisi lahan, serta kesulitan mendapatkan air untuk irigasi membuat masyarakat tidak lagi bertani. (Keramba Apung Danau Toba, http://www.indosiar.com/ragam/keramba-apung-danau-toba_39189.html diakses sabtu, 13 July 2013 9:41:51 PM).
1
Universitas Sumatera Utara
diungkapkan oleh bapak Gerrad Saragih selaku ketua Asosiasi petani ikan keramba jaring apung Haranggaol “setidaknya terdapat 361 kepala keluarga dengan 10.010 petak keramba yang berada di Kelurahan Haranggaol”.
Keramba jaring apung telah memproduksi ikan tawar sebanyak 78.374 ton pertahunnya di kawasan Sumatera Utara. Berikut data yang disampaikan oleh Kepala UPT Budidaya Perikanan Sumatera Utara “produksi ikan di Sumatera Utara tahun 2012 sebanyak 175.721 ton pertahunnya dengan rincian: ikan laut 34.906 ton, udang 4.248 ton dan ikan tawar 136.565 ton. Dari produksi 136.565 ton, produksi ikan air tawar pertahunnya sebanyak 78.347 ton pertahunnya disumbangkan oleh keramba jaring apung dari Desa Haranggaol”2.
Keramba jaring apung telah menjadi solusi bagi masalah ekonomi setelah terjadinya krisis moneter di Desa Haranggaol. Terbukti dari keuntungan keramba yang bisa mencapai lima juta hingga tujuh juta setiap lima bulan sekali per petak keramba jaring apung. Hasil tersebut disampaikan para petani dilapangan dengan perkiraan sebagai berikut: ukuran satu keramba 5 x 5 meter dengan modal delapan juta rupiah saat mendirikan bangunan keramba jaring apung. Untuk satu keramba jaring apung bisa menampung lima ribu ekor ikan nila dengan produksi mencapai satu setengah ton dan harga jual Rp 20.000 – Rp 24.000 per kilogram.
2
(Sumber: berita Simalungun, Http://www.situs resmi pemerintah-simalungun.html (diakses pada
4 November 2013)
2
Universitas Sumatera Utara
Keramba jaring apung memang telah menjadi solusi bagi perekonomian masyarakat Haranggaol. Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan “keramba jaring apung memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan terutama pada kualitas air Danau Toba”. Seperti yang telah disebutkan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara bahwa telah terjadi degradasi kualitas air danau. Penyebabnya adalah pakan ikan yang tidak termakan sekitar 30-40 persennya atau sekitar 49.3 ton perharinya terbuang dan menjadi pencemaran air.3 Fases dan urine yang semua terbuang ke air menyebabkan munculnya gulma dan eceng gondok yang merusak pemandangan, iritasi kulit seperti gatal-gatal bagi pengguna air danau untuk mandi. Bahkan keadaan terburuk yang telah terjadi yakni petaka virus herves koi 2004 yang mengakibatkan ribuan ikan mati mendadak sehingga masyarakat terpaksa mencium aroma busuk selama satu minggu penuh serta kerugian material yang harus ditanggung oleh petani ikan.
Dalam penelitian Bapedalda Kabupaten Simalungun, ditemukan indikasi bahwa keramba jaring apung akan menimbulkan gangguan kesehatan manusia. Gangguan tersebut berupa terancam keracunan dan kemungkinan terburuknya adalah terganggunya fungsi otak. Pernyataan ini disebabkan oleh meningkatnya kadar Nitrogen (NH–N3)4 yang terkandung pada pakan (pelet) ternak ikan peliharaan dalam keramba atau sisa makanan dari restoran yang di buang ke Danau Toba. Plankton–plankton yang sudah tercemar dikonsumsi oleh ikan dan 3
Buletin Danau Toba, Vol IV edisi ke II, Media Simalungun, 2011. Nitrogen yang terkandung dalam protein ikan yang terkandung dalam pellet ikan dan sisa makanan dari restoran, ketika nitrogen terpecah menjadi amoniak dan diikuti perubahan menjadi kalium akan sangat membahayakakn jiwa manusia jika dikonsumsi, sementra terdapat 69% kadar nitrogen dari sisa pakan ikan.
4
3
Universitas Sumatera Utara
dengan sendirinya ikan tersebut akan mengandung bakteri berbahaya. Selanjutnya, manusia mengkonsumsi ikan–ikan yang sudah mengandung bakteri yang dapat membahayakan kesehatan manusia seperti menurunnya stamina ketahanan tubuh secara drastis, lemah otak serta lambat laun rapuh tulang.
Untuk menanggulangi pencemaran tersebut, pemerintah dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup sebenarnya telah menetapkan aturan mengenai pengelolaan sumber daya alam perikanan yakni; 1. UUD 1945, dalam pasal 33 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Artinya tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. 2. UU No. 5 Tahun 1960 tentang ketentuan dasar pokok-pokok Agraria (UUPA), mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan segenap sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada pemerintah daerah. 3. UU No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan yang menetapkan ketentuanketentuan mengenai alat penangkapan ikan, syarat-syarat teknis perikanan bagi kapal perikanan dan keselamatan pelayaran, jumlah
4
Universitas Sumatera Utara
yang boleh ditangkap serta daerah penangkapan. Setiap usaha perikanan juga diwajibkan memiliki surat izin usaha perikanan. 4.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa setiap usaha atau kegiatan yang tidak menyusun Analisis mengenai Dampak Lingkungan, wajib menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan UKL dan UPL
5.
PP No. 15 Tahun
1990 tentang
Perizinan Usaha Perikanan,
penangkapan ikan dicantumkan koordinat daerah tangkap, ukuran kapal, serta jenis alat tangkap yang digunakan. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dimana kawasan Danau Toba dan sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan Strategis Nasional, sehingga usaha yang dilakukan di sekitar wilayah Danau Toba agar selalu berwawasan lingkungan,
Aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah sepertinya tidak memberikan hasil secara maksimal bagi penanggulangan pencemaran yang terjadi di sekitar Danau Toba. Dalam penelitian, masyarakat menyatakan bahwa danau adalah hak penuh masyarakat. Hal ini terbukti dari siapapun dapat mendirikan keramba, berapapun yang diinginkan selama memiliki modal. Berbeda dengan yang terjadi di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, masyarakat mengelola keramba jaring apung dengan menggunakan metode yang saling berhubungan antara aturan pemerintah dengan aturan
5
Universitas Sumatera Utara
masyarakat sehingga danau kemudian menjadi lestari. Masyarakat di Danau Tempe memiliki hak untuk mengusahakan danau yang dikenal dengan hak ongko. Hak ongko adalah hak untuk memonopoli penangkapan ikan pada bagian-bagian tertentu dari danau, sungai, dan rawa dengan ketentuan yakni tidak menangkap ikan/mengeksploitasi pada kawasan yang telah disepakati.
Berdasarkan subjeknya hak ongko terbagi atas dua yakni hak ongko arajang5 serta hak ongko milik pribadi. Pemanfaatan ongko adalah 100 meter dari tepi danau, pemberlakuan ini juga sama dengan aturan pemerintah mengenai lokasi perikanan yang wajib berada 100 meter dari tepi danau. Hak ongko arajang diberlakukan ketika air di danau surut dan pagar bambu (belle’) yang sebelumnya dipasang setinggi 1,25 meter6 tampak di permukaan danau. Sehingga, pada saat itu eksploitasi perikanan di Danau Tempe merupakan hak milik bersama, dan sebaliknya ketika belle’ tidak tampak disebabkan air danau pasang maka ekspoitasi danau adalah milik pribadi.
Seluruh kebersihan dan kelestarian danau dijaga oleh pemegang hak ongko pribadi. Apabila terjadi pelanggaran maka akan dikenakan denda sebesar seribu rupiah dan hukum kurungan 3 bulan. Hak ongko pribadi ditentukan melalui sebuah proses pelelangan sumber daya alam oleh
5
Hak ongko arajang adalah hak ongko yang bersifat milik bersama (commen property) pada masyarakat Sulawesi Selatan. 6 Tinggi belle’ berdasarkan ketetapan masyarakat.
6
Universitas Sumatera Utara
mekanisme pasar yang diakui oleh pemerintah setempat. Hasil dari pelelangan ini kemudian meningkatkan pendapatan daerah7.
Pengelolaan danau pada basis kearifan lokal tidak hanya terdapat di Sulawesi, di bagian Sumatera Utara juga terdapat pengelolaan yang hampir mirip dengan ongko-ongko yakni lubuk larangan8. Lubuk larangan terdapat Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Sumtera Utara.
Sistem pengelolaan sungai dengan lubuk larangan hampir sama dengan sasi9 di Maluku. Dalam konteks lubuk larangan di Mandailing Natal, larangan paling utama adalah mengambil ikan di bagian aliran sungai yang sudah ditetapkan sebagai lokasi lubuk larangan selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Dalam perkembangan kemudian, secara teknis pengelolaan lubuk larangan hampir sama dengan memelihara ikan di empang (tobat, Bhs Mandailing), karena itu lubuk larangan sering juga disebut 7
Saad, Sudirman. Puralisme Hukum dan Masalah Lingkungan, kasus Penangkapan Ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan dalam buku Hukum dan kemajemukan budaya, Masinambow K. M Jakarta 2000, Yayasan Obor Indonesia. 8
Tradisi pengelolaan lubuk larangan adalah sebagian aliran sungai yang melintasi wilayah suatu desa yang sudah berlangsung di daerah Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan selama puluhan tahun, bahkan di beberapa tempat sudah berlangsung jauh sebelumnya meskipun polanya relatif berbeda dengan yang berlaku sekarang. Pola pengelolaan lubuk larangan sekarang diadaptasi oleh penduduk setempat dari tradisi pengelolaan lubuk larangan di wilayah tetangga mereka yaitu Kabupaten Pasaman (Sumatera Barat). Sebagian besar komunitas desa pengelola lubuk larangan di Mandailing Natal adalah orang Mandailing (Kotanopan dan Batang Natal) dan sisanya adalah orang Ulu (Kec. Muara Sipongi). (Lubis, Zulkifli, 1999 Rekayasa Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Studi Kasus Pengelolaan Lubuk Larangan di Kecamatan Kotanopan Tapanuli Selatan. Laporan penelitian, tidak diterbitkan)
9
Ratna Indrawasih (2000:66) mengatakan bahwa secara umum sasi merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Padanan kata sasi dalam Bahasa Mandailing adalah rarangan yang secara harfiah berarti larangan.
7
Universitas Sumatera Utara
penduduk sebagai tobat rarangan (kolam di dalam sungai) yang dimiliki bersama oleh suatu komunitas. Status penguasaan terhadap bagian aliran sungai yang ditetapkan menjadi lubuk larangan berubah dari sumberdaya akses bebas (open access) ke sumberdaya milik komunal (communally owned resources).
Lubuk larangan dikelola oleh suatu panitia yang dibentuk melalui musyawarah desa yang bertugas selama setahun sampai lubuk larangan dibuka. Tugas lain panitia adalah mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pengelolaan, lubuk larangan, mulai dari saat penutupan lubuk, mengawasi pencurian ikan dan pelanggaran aturan, melakukan usaha pembiakan ikan, mengkoordinasikan pembuatan aturan main, menegakkan aturan main, menyiapkan festival pembukaan lubuk larangan, membukukan hasil dan menyalurkannya untuk tujuan yang telah ditetapkan, dan lain sebagainya.
Lubuk larangan dikelola dengan mengacu pada seperangkat nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, serta aturan-aturan tertentu yang ditetapkan bersama melalui musyawarah desa. Acuan normatif berupa nilai, norma dan sanksi-sanksi biasanya dirujuk dari khasanah budaya (Mandailing dan Ulu) dan agama (Islam), sedangkan aturan main yang menyangkut teknis dikreasikan sendiri oleh setiap komunitas sesuai dengan kebutuhannya atau melalui imitasi dan penyesuaian dari aturan yang berlaku di komunitas lain. Meskipun keputusan untuk membuat aturan main dilakukan di tingkat komunitas (desa
8
Universitas Sumatera Utara
pengelola), tetapi semua aturan berlaku kepada siapapun yang berinteraksi dengan lubuk larangan.
Aturan main yang ada, baik lisan maupun tertulis, biasanya terkait dengan tindak pencurian, tata tertib pelaksanaan festival pembukaan lubuk larangan, dan aturan pembagian serta pemanfaatan hasil pengelolaan. Proses penegakan aturan main dalam keseluruhan tahap pengelolaan lubuk larangan akan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat, baik panitia, aparatus desa, tokoh masyarakat dan toko agama, aparat pemerintah kecamatan (jika diperlukan), dan berada di bawah kontrol semua warga komunitas. Sanksi terhadap pelanggaran aturan main bisa berupa kewajiban membayar denda, sanksi sosial, dan sanksi hukum (negara).
Sanksi denda inilah yang dijadikan masyarakat Mandailing sebagai dana untuk mengatasi persoalan bersama yang mereka hadapi (persoalan publik) seperti, kesulitan keuangan untuk membangun atau membiayai lembaga pendidikan, kebutuhan membangun rumah ibadah, santunan untuk anak yatim dan fakir miskin, membangun jalan desa, sarana olah raga, organisasi kepemudaan, dsb. Yang terpenting adalah lubuk larangan di daerah ini menjadikan suatu kekuatan desa dalam mencapai kesejahteraan bersama tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan.
Peningkatan pendapatan dan kelestarian lingkungan oleh usaha keramba jaring apung dengan memperhatikan aspek lingkungan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat sekitar Danau Tempe, dan Mandailing Natal namun juga
9
Universitas Sumatera Utara
dirasakan oleh masyarakat di Srilanka tepatnya di 3 wilayah yang tertata yakni: Polonnaruwa, Udawalawe, Nuwara Eliya. Keramba jaring apung dilokasi ini, memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan pemberian pakan berupa pellet yang berada dibawah instruksi ahli teknologi makanan. Sehingga, dampak-dampak yang ditimbulkan oleh keramba jaring apung ini dapat diminimalisir oleh petani ikan. Keramba jaring apung memberikan di lokasi ini memberikan manfaat seperti: 1. Budidaya keramba dapat menaikkan produksi ikan. 2. Efisiensi penggunaan sumberdaya karena penebaran, pemberian makan, dan pemanenan yang telah terorganisir dan dioptimalkan. 3. Budidaya keramba memerlukan modal yang relatif terjangkau karena memanfaatkan keberadaan air tawar. 4. Memberikan kesempatan kerja pada anggota masyarakat. 5. Para konsumen beruntung pula karena terjaminnya penyediaan ikan yang konstan bahkan bertambah serta; 6. Budidaya keramba dapat memberikan pendapatan yang lebih teratur kepada masyarakat.
Manfaat dari keberadaan keramba ini juga dirasakan oleh masyarakat di desa penelitian yakni Haranggaol, namun karena tidak adanya kejelasan pengelolaan oleh masyarakat membuat permasalahan semakin kompleks. Di satu sisi memang pencemaran yang disebabkan oleh keramba jaring apung memang sangat mengkwatirkan seperti degradasi kualitas air, iritasi kulit, gulma, enceng gondok semua menurunkan citra Danau Toba sebagai ikon Sumatera Utara. Di
10
Universitas Sumatera Utara
sisi lain bahwa keramba merupakan mata pencaharian utama yang menopang kehidupan masyarakat sejak berkurangnya pariwista sehingga diperlukan penelitian, untuk membongkar pengetahuan masyarakat mengenai aturan-aturan dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya sehingga dapat dikombinasikan seperti yang terjadi di Danau Tempe antara pengelolaan menurut perspektif negara dan pengelolaan menurut masyarakat setempat. Mengapa? Karena mengingat bahwa Danau Toba adalah ikon Sumatera Utara yang selayaknya harus dijaga dan dilestarikan namun bukan hanya danau yang harus dilestarikan, dijaga dan diselamatkan, seluruh komponen yang terdapat di sekitar Danau Toba harus dilindungi (masyarakat dan penghidupannya). Mengingat ada
361 kepala
keluarga yang menggantungkan kehidupannya pada keramba ikan di Desa Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun, akan menjadi sebuah ironi jika para stakeholders (pemangku kepentingan) hanya memikirkan kelestarian lingkungan tetapi mengabaikan hak-hak masyarakat setempat. Sehingga, penelitian ini akan bertujuan menggambarkan bagaimana aturan-aturan pengeolalaan keramba ikan jaring apung menurut perspektif masyarakat.
1.2 Tinjauan Pustaka
Berbicara mengenai aturan tidak terlepas dari hukum. Menurut para ahli hukum, hukum adalah aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas. Aturan adalah seperangkat ketetapan yang diperlukan agar ada efisiensi dalam usaha mengejar tujuan. Ahli hukum beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang terumus dalam hukum dengan institusi-institusi dan perilaku orang dalam 11
Universitas Sumatera Utara
menyikapi aturan-aturan dan norma-norma tersebut (Ihromi 1998:1). Padahal keberhasilan hukum ditentukan oleh beroperasinya10 hukum dalam kehidupan sehari-hari.
Sally Falk Moore (1993: 149-150) menyebutkan bahwa hukum dan konteks sosialnya haruslah diteliti secara bersamaan dengan menggunakan metode semi otonom11. Misalnya dalam kasus penelitian ini, aturan pengelolaan keramba jaring apung secara normatif
belum tentu dijalankan oleh masyarakat
Haranggaol. Hal ini bisa saja karena masyarakat telah menghasilkan aturan-aturan dan adat kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam pengelolaan keramba jaring apungnya. Namun, di lain sisi aturan dan kebiasaan yang mereka lakukan rentan terhadap pihak luar yang mengelilinginya.
Pihak lain yang dapat merentankan posisi pengelolaan oleh masyarakat adalah hukum normatif pemerintah. Yang secara normatif kebijakan pemerintah untuk pengelolaan sumber daya alam telah diterbitkan melalui undang-undang. Bisa saja undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tidak cukup efektif untuk memitigasi persoalan sehingga masyarakat kembali menggunakan aturan-aturan yang mereka hasilkan sendiri atau sebaliknya mengikuti aturan normatif.
Bidang semi otonom Sally Falk Moore menjadi penting untuk mempelajari hukum, Hoebel juga menyebutkan bahwa untuk dapat menempatkan hukum 10
Berlangsungnya/berjalannya hukum dalam kehidupan sehari-hari, pemberlakuan hukum dalam dunia empiris. 11 Semi otonom merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat-kebiasaan serta symbol-simbol yang berasal dri dalam, tetapi dilain pihak bidang tersebut rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya.
12
Universitas Sumatera Utara
dalam struktur sosial, maka lihatlah dahulu masyarakat dan kebudayaannya sebagai suatu keseluruhan. Namun, seringkali terjadi di Indonesia adalah ketidaksinergian aturan hukum normatif dengan apa yang diinginkan oleh penduduk lokal sehingga menyebabkan kegagalan program. Hal ini di ungkapkan oleh Robins 2004 dalam ekologi politik bahwa “seringkali persoalan lingkungan terjadi disebabkan oleh ketidaksinergian kebijakan pemerintah dengan peranan masyarakat dalam kepemilikan sumber daya alam yang ada”. Kegagalan ini adalah kurangnya peran aktif masyarakat dalam proses pembuatan hukum. Misalnya dalam UUD 1945 telah ditetapkan bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola, tiga hal yang menjadi fokus utama dalam undang-undang yakni: 1.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan,
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi mayarakat dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta 3. Negara memiliki hak menguasai atas segenap sumber daya alam demi mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun penerapan undang-undang ini belum tampak nyata dirasakan oleh masyarakat.
Pada
masyarakat sekitar pesisir khususnya masyarakat nelayan yang
hingga kini masih tergolong miskin dengan pendidikan yang sangat rendah, didominasi oleh tamatan SD sekitar 45%, dan 15% dari mereka paling tinggi lulusan SMP, selebihnya tidak bersekolah12.
Artinya
pengelolaan yang
ditetapkan oleh pemerintah masih bersifat sentralistik dan tidak memberikan 12
Berita resmi Statistik No.45/07/th, XII, 1 juli 2010. (http://www.bapemas.jatimprov.go.id// ) Diakses pada 3 maret 2014 pukul 2:51 PM.
13
Universitas Sumatera Utara
peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan format kebijaksanaan mengelola sumber daya alamnya.
Format kebijakan mengelola sumber daya alam menurut masyarakat sebenarnya perlu diimplementasikan. Pengimplementasian tersebut sebagai wujud dari pengakuan masyarakat lokal dalam UU No 22/1999 tentang otonomi daerah bahwa masyarakat lokal memiliki kekuasaan dan berhak memilih programprogram yang sesuai untuk kelangsungan hidup masyarakat. Hal ini dikarenakan mereka lebih mengerti keadaan lingkungannya, jika demikian maka keberhasilan konservasi dan pengelolaan sumber daya alam secara normatif pun akan berlangsung dengan lancar.
Ketika terjadi interaksi hukum negara dengan hukum masyarakat dalam satu lapangan kajian yang sama disebutlah sebagai pluralism hukum (BendaBeckmann dalam Masinambow 1990:2). Aturan masyarakat inilah yang dikaji dalam antropologi hukum. Menurut Benda Beckmann (1979, 1986) antropologi hukum mempelajari proses-proses sosial dimana pengaturan mengenai hak dan keawajiban warga diciptakan, diubah, dimanipulasi, diinterpretasikan dan diimplementasikan oleh masyarakat tersebut sehingga antropologi hukum merupakan sebagai perilaku sosial. Menurut Bohannan, antropologi hukum hendak memahami cara-cara masyarakat mempertahankan nilai-nilai yang di anutnya dan bagaimana terjadi perubahan nilai dalam masyarakat itu.
14
Universitas Sumatera Utara
Naomi
Quinn
(1981:413-437)
menyebutkan
antropologi
hukum
menganalisis bagaimana aturan hukum beroperasi didalam kehidupan sosial atau bagaimana hukum lokal berinteraksi dengan hukum negara. Contoh keberhasilan interaksi hukum negara dan hukum lokal mengakibatkan kelestarian lingkungan dan kesinambungan kehidupan masyarakat adalah kasus penangkapan ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan (Sudirman Saad dalam Hukum dan kemajemukan budaya). Pengakuan atas hak ongko oleh pemerintah menghasilkan suatu tatanan hukum baru yang terbukti menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Kasus ini merupakan indikasi bahwa partisipasi rakyat dalam penentuan format kebijaksanaan relatif tinggi, meningkatkan pendapatan asli daerah dan peningkatan produksi ikan serta memperlihatkan bagaimana koeksistensi13 hukum negara dan hukum lokal saling menguntungkan semua pihak.
Setiap daerah memiliki aturan-aturan tersendiri menurut budayanya karena mempunyai pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda terhadap sumber daya alamnya begitu juga dengan Danau Toba. Bagaimana masyarakat menanggapi persoalan yang ada di Danau Toba? Aturan seperti apa yang diberlakukan untuk keberlangsungan keramba? Adakah koeksistensi hukum seperti hak ongko yang terdapat di Sulawesi atau lubuk larangan Mandailing Natal? Dengan menggunakan analisis antropologi hukum diharapkan penelitian ini dapat mengungkapkan hal-hal terkait dengan aturan
13
Berdampingan dalam satu kajian yang sama. Dalam hal ini artinya hukum Negara dengan hukum Masyarakat, koeksistensi menimbulkan dua hasil yakni keharmonisan dan konflik.
15
Universitas Sumatera Utara
hukum dalam pengelolaan keramba sebagai mata pencaharian hidup di Haranggaol.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah adalah berbagai aturan hukum dalam pengeolalaan keramba jaring apung di Desa Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horison, Kabupaten Simalungun. Bagaimana aturan hukum negara secara normatif dapat berkoeksistensi menghasilkan suatu kesinambungan bagi pengelolaan keramba jaring apung. Permasalahan dijabarkan kedalam beberapa pertanyaan penelitian yakni: 1. Bagaimana aturan-aturan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam perikanan? 2. Bagaimana aturan-aturan hukum dalam pengelolaan keramba jaring apung menurut masyarakat? 3. Aturan yang bagaimana semestinya dilakukan untuk keramba jaring apung? 1.4 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Haranggaol Kelurahan Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun. Pemilihan Lokasi ini berdasarkan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa desa ini merupakan sentra terbesar pembudidayaan ikan dalam keramba jaring apung, terdapat 361 kepala keluarga yang memiliki keramba dengan jumlah sekitar 10.010 petak.
16
Universitas Sumatera Utara
Lokasi ini dapat ditempuh sekitar 4-5 jam dari kota Medan dengan angkutan
umum
maupun
kendaraan
pribadi
melalui
Medan-Berastagi-
Saribudolok-Haranggaol maupun melalui jalur Medan-Pematang Siantar dan kemudian Haranggaol dengan biaya Rp 50.000. Sarana jalan raya ketempat ini memang tidak begitu mulus, terdapat sejumlah titik jalanan yang berlubang. Berikut ini peta lokasi penelitian, Haranggaol ditandai dengan garis berwarna merah pada peta tersebut.
Sumber: Dokumen Kabupaten Simalungun
1.5 Tujuan dan Manfaat
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ialah untuk menggambarkan atau mengungkapkan berbagai aturan-aturan keramba ikan jaring apung dalam pengelolaannya di Desa Haranggaol dan bagaimana koeksistensi hukum normatif dengan hukum masyarakat sehingga menghasilkan suatu keselarasan atau kesinambungan dalam pengaturan keramba jaring apung.
17
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan referensi bagi masyarakat dikalangan akademisi, mahasiswa, aktivis dan lain sebagainya, khususnya bagi mereka yang berlatarbelakang disiplin ilmu antropologi yang ingin mengkaji lebih dalam tentang Danau Toba terutama masalah keberadaan keramba dan pengelolaannya. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini diharapkan menjadi sebuah sarana pengembangan diri untuk lebih paham akan ruang lingkup kajian antropologi.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara-cara dan prosedur yang dilakukan untuk mengumpulkan data secara bertanggungjawab sesuai dengan masalah yang diteliti dan displin ilmu pengetahuan yang bersangkutan sehingga dalam ilmu Antropologi penelitian ini akan diarahkan menjadi penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data akan menjelaskan atau menggambarkan makna serta prosesproses suatu fenomena atau gejala sosial suatu masyarakat yang diteliti (Koentjaraningrat, 1981 : 30) dengan tujuan akhir dari penelitian ini adalah etnografi.
Untuk mendeskripsikan secara rinci maka peneliti melakukan penelitian lapangan (field research) selama dua bulan. Selama dua bulan tersebut peneliti mencoba memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli mengenai pengelolaan keramba jaring apung. Jika kemudian ada data yang belum lengkap maka peneliti akan datang kembali guna melengkapi data tesebut. Penduduk asli tersebutlah yang menjadi kategori informan bagi peneliti, adapun
18
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah penduduk sekitar Haranggaol dengan mata pencaharian keramba jaring apung. Petani keramba ini dibagi lagi menjadi dua kategori yakni; 1. Petani dengan jumlah keramba 20-100 lobang. Informan ini dianggap penting karena melalui mereka dapat diketahui bagaimana memperoleh izin mendirikan keramba sampai pada permodalan. 2. Anggota, yang dimaksud dengan anggota adalah mereka yang mengelola ikan, bekerja profesional untuk pemilik keramba.
Jumlah dari informan sendiri tidak dibatasi selama orang/informan tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. 1.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data
primer yakni observasi partisipasi, wawancara, dan pengembangan raport terhadap informan.
Peneliti
juga
melakukan
pengumpulan
data
sekunder
yakni
pengumpulan data dari beberapa buku, jurnal, majalah, koran dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah pengelolaan keramba, pembudidayaan ikan tawar dalam keramba jaring apung guna menambah pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian ini. Maka dengan demikian peneliti melakukan 2 teknik pengumpulan data; primer dan skunder. Adapun data primer yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut:
19
Universitas Sumatera Utara
a. Observasi dan Observasi Partisipasi
Dalam metode observasi atau pengamatan, peneliti berada di tengahtengah masyarakat (petani keramba) untuk melihat atau mengamati serta menuliskan hasil pengamatan yang diperoleh dalam sebuah catatan lapangan (fieldnote). Peneliti juga melakukan observasi partisipasi yakni ikut serta dalam proses-proses yang dilakukan masyarakat pada keramba seperti pemberian pakan ikan dan proses pemanenan ataupun pemeliharaan ikan dalam keramba. b. Wawancara
Wawancara merupakan metode yang efektif untuk mengumpulkan data atau keterangan tentang kejadian yang tidak dapat diamati. Adapun yang akan ditanyakan kepada para informan adalah jenis dan bahan pangan, sistem pengelolaannya, jumlah pakan yang diberikan, proses pembuatan keramba, aturan-aturan yang berlaku yang harus ditaati untuk keberlangsungan keramba yang bersifat tertulis ataupun lisan (kearifan lokal). Teknik ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai pendirian-pendirian masyarakat yang diteliti tentang rumusan masalah yang dikaji oleh peneliti (Singarimbun dan Effendi, 1984 : 145). Wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara mendalam (depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara serta instrument wawancara, untuk merekam dan mencatat hasil wawancara digunakan alat seperti tape recorder, buku tulis, pena dan alat tulis lainnya.
20
Universitas Sumatera Utara
c. Pengembangan Raport
Peneliti berusaha membangun raport yang baik terhadap informan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian, serta untuk membuat informan menjadi lebih nyaman dan mudah terbuka atas jawaban-jawaban dari pertanyaan penelitian yang ditanyakan. Sebelumnya peneliti telah menjalin raport dengan informan yakni pada saat melakukan pra lapangan pada saat itu penduduk sekitar cukup ramah dan kooperatif saat melakukan wawancara awal, maka peneliti rasa tidak sulit saat melakukan penelitian. 1.6.2 Pengalaman Penelitian
Alasan saya mengambil judul ini karena menurut saya tema ini cukup menarik hati saya. Dimana beberapa literatur dari berbagai media elektronik menyebutkan terjadi mengalami kemunduran pariwisata di Danau Toba. Hal ini disebabkan oleh jenis usaha baru yakni keramba jaring apung. Cukup miris memang ketika berbicara objek pariwisata di Sumatera yang diagungkan adalah Danau Toba namun terus mengalami permasalahan lingkungan. Kemudian ketika mata kuliah ekologi kami belajar bagaimana alam di Sumatera khususnya Danau Toba dan permasalahan yang ada disana. Dari hasil pembelajaran tersebut, saya mendapat pemahaman Danau Toba tidak dikelola dengan baik sehingga diperlukan berbagai kebijakan untuk membenahinya.
Keramba jaring apung itu hanya satu penyebab dari permasalahan lingkungan, masih ada masalah limbah hotel, limbah rumah tangga, MCK sekitar
21
Universitas Sumatera Utara
Danau Toba dan yang paling perlu diketahui bahwa air Danau Toba disuplay oleh 19 sungai. Sungai ini memiliki anak sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi, sepanjang perjalanannya air sungai itu dimanfaatkan untuk hal yang sama. Jadilah permasalahan yang diakibatkan sisa pupuk pada tanaman menjadi lipat ganda.
Jadi jika ingin membenahi Danau Toba jangan melupakan berbagai daerah yang berkaitan dengan ekosistemnya kira-kira begitulah kesimpulan pelajaran hari itu. Tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Danau Toba memang sama sekali tidak mendapat polesan. Keindahan alamnya seakan dianggurkan begitu saja. Pembangunan tidak dikelola secara baik, tidak pula diperhatikan secara konsisten dan tegas. Saya kemudian mencari berbagai literatur, mengapa Danau Toba menyusut peminatnya, beberapa literature menyebutkan keramba menjadi penyebab utamanya. Meskipun hasil pembelajaran saya menyebutkan, keramba hanya segintir permasalahan yang ada. Akan tetapi saya sependapat bahwa keramba menjadikan pemandangan indah Danau Toba terlihat kumuh.
Beberapa lokasi keramba yang dikelola oleh masyarakat, umumnya berada dipinggiran danau tanpa aturan yang jelas. Letaknya sembarangan, meskipun sudah ada aturan pemerintah yang menetapkan pendirian bangunan di sekitar danau, sungai, laut dan waduk adalah 100 meter dari bibir pantai tampaknya tidak terealisasi di
Danau Toba bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Perbedaan
tampak jelas antara keramba milik warga dengan milik sebuah perusahaan asing yang letaknya teratur, rapi dan menjorok ketengah danau di wilayah Lottung, Samosir.
22
Universitas Sumatera Utara
Perusahaan ini berdiri di wilayah Kabupaten Samosir, izin berdirinya sejak tahun 1998. Meskipun sama-sama memiliki limbah dari pembudidayaan ikan akan tetapi milik perusahaan lebih mudah dikontrol dan diawasi. Pengelolaannya juga wajib memiliki analisis dampak lingkungan, hal ini berbeda dengan milik warga yang letaknya tidak teratur dan semraut. Kesemrautan ini sangat terlihat jelas di Haranggaol. Sehingga saya menetapkan, Haranggaol sebagai lokasi penelitian ini. Penetapan lokasi ini sebagai fokus tempat juga didukung oleh dosen pembimbing saya saat itu.
Haranggaol adalah sebuah desa yang masuk kedalam wilayah administratif Kabupaten Simalungun. Sebelumnya, saya tidak pernah dari sini. Saya memanfaatkan bantuan teman saya dari facebook untuk mengumpulkan data awal saya. Ia bernama Saveraldo Saragih. Jadi ketika itu data yang diberikannya cukup membantu saya, sampai akhirnya saya langsung datang dan mengobservasi tempat ini. Masyarakat disini ramah, dan berpikiran terbuka. Bersolidaritas tinggi dan menjunjung nilai persaudaraan. Saveraldo memiliki nama panggil Eppo, Ayahnya cukup baik dan terpandang di desa ini. Beliau seorang pengusaha sebuah toko Muara Jaya. Dari tutur orang Batak, saya memanggil beliau dengan tulang14.
Ketika sampai, ia menyambut saya dengan hangat kemudian bertanya maksud dan tujuan saya. Saya menjelaskan bahwa saya ingin mengumpulkan data skripsi. “tenang ma ham ulang pola stress pakoni, sadarion pe boi do siap ta baen (tenanglah kamu, jangan stress karenanya, satu hari inipun bisanya selesai itu 14
Tulang merupakan sebutan untuk saudara laki‐laki dari ibu, pada orang batak sebutan tulang adalah yang semarga dengan ibu. Ibu saya bermarga Sidabutar yang masuk kedalam klan besar Raja Parna, di Simalungun Saragih adalah Parna. Sehingga Ayah Eppo saya sebut sebagai Tulang.
23
Universitas Sumatera Utara
kita buat). Sebenarnya saya kurang mengerti dengan tutur kata beliau, untuk menghargainya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sepertinya adalah cara terbaik. Saat itu bahasa merupakan salah satu kendala bagi saya, meskipun saya orang Batak akan tetapi penggunaan bahasanya agak sedikit berbeda di desa ini. Hal ini disebabkan bahasa Simalungun merupakan bahasa yang digunakan di desa ini.
Esokan harinya tulang menelpon Kepala Desa, sesaat setelah ditelpon bapak Janes Sitanggang selaku Kepala Desa Kelurahan Haranggaol datang. Dan disampaikanlah tujuan dan maksud kehadiran saya. Dengan hangat beliau menyuruh saya langsung datang ke kantor mengambil data dan menyerahkan surat lapangan. Pagi pada 08 April 2014 saya ke kantor Kelurahan Haranggaol yang berbentuk seperti balai kesehatan. Terdapat beberapa ruangan berbentuk persegi. Disebuah ruangan dekat koridor saya dipersilahkan petugas untuk masuk. Namun kepala desa tidak ada, beliau sedang meminum kopi pagi itu. Jadi saya berbincang dengan seorang pegawai bernama ibu Purba yang ternyata adalah Isteri dari kepala desa.
Ibu Purba langsung menyuruh saya untuk melihat sebuah papan statistik wilayah dan peta Haranggaol. Beliau sedang disibukkan mengobrol dengan sesama pegawai. Ada 3 orang yang terdapat di ruangan tersebut. Karena suasana tidak kondusif saya meminta izin, setelah mencatat data kependudukan. Setelahnya saya bertemu dengan bapak Janes disebuah warung kopi sebelah kantor kelurahan. Beliau yang melihat saya langsung mengajak saya kembali kekantor. Dan saat itu kami berbincang mengenai keramba jaring apung. 24
Universitas Sumatera Utara
Beliau sangat membantu saya menemukan data awal seperti sejarah dan perkembangan keramba, kemudian beliau menyarankan saya menemui beberapa orang petani keramba yang sudah lama berkecimpung didunia budidaya perikanan ini. Beliau juga langsung memberikan nomor handphone orang-orang tersebut. Kemudian saya kembali kerumah bang Eppo dan menanyakan orang-orang tersebut. Iapun tertawa dan mengatakan bagaimana masih takut sama orang Haranggaol (sambil tersenyum)?
Awalnya saya takut dengan cerita bahwa orang Haranggaol yang bermayoritas suku Simalungun adalah Pardatu Bolon15. Menurut ceritanya bahwa siapapun orang dengan niat tidak baik akan di busung16 jika ke daerah ini. Hal ini sempat saya tanyakan kepada bang Eppo yang menanggapi saya dengan tertawa sambil berkata “Simalungun abad ke berapa itu nang”. Yah akhirnya pandangan streotipe tentang orang Simalungun terpatahkan setelah penelitian lapangan saya ke desa ini. Setelah pulang dari kantor kepala desa, saya meminta izin berkeliling desa kepada Tulang Eppo. Belian pun kemudian mengizinkan saya bahkan menyuruh Eppo menghantar, saya cukup tahu bahwa Eppo memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan sehingga saya menolak.
Dengan membawa kamera saya berkeliling desa, sambil menikmati teriknya suasana hari itu. Desa Haranggaol memiliki keterikatan marga secara geneologis territorial paling tidak mereka terikat secara garis klan besar 15
Orang yang suka berdukun, dan menyebarkan penyakit melalui ilmu mistik. 16 Diberikan penyakit oleh kekuatan gaib. Orang yang dibusung biasanya perutnya akan membesar dan keras kemudian akan mati. Orang yang dibusung adalah orang yang berkonflik dengan orang yang memberikan busung. Konflik ini seperti kasus pencurian dan pemberitaan yang tidak benar (fitnah) kepada pihak lawan.
25
Universitas Sumatera Utara
Saragih17. Jadi kesolidaritasan di Desa Haranggaol ini terbangun oleh tali persaudaraan. Jika tidak bermarga Saragih, bermarga Purba yang memiliki isteri boru Saragih. Atau ibu dari marga Purba tadi adalah boru Saragih.
Esokan harinya saya dihantarkan bang Eppo ke rumah seorang petani ikan bermarga Saragih, memang hampir 50% masyarakat di Haranggaol bermarga Saragih. Ia bernama Toja Saragih. Sekitar 4 tahun lalu ia mendirikan keramba milik sendiri, sebelumnya ia mengurus keramba ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, beliau kemudian melanjutkan usahanya. Tulang Toja, sangat ramah dan terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan saya.
Pada suatu hari, setelah beberapa minggu mencari data terjadi sebuah kesalah pahaman diantara kami tepatnya dengan isteri tulang Toja. Saat itu isteri tulang Toja yang bekerja sebagai Bidan ikut kekolam dan sedang duduk di sopo. Di depan sopo terdapat sebuah meja dan beberapa kursi, saya meletakan catatan yang berisi outline, daftar wawancara, penulisan yang akan saya lakukan dan beberapa hal lain untuk kelanjutan skripsi ini. Nantulang (sebutan untuk isteri tulang) membacanya dan muncullah sensitifitas terhadap saya. Namun ia tidak langsung menyatakannya kepada saya. Saya sedang asik merekam dan bercerita dengan tulang di kolam, sehingga tidak menghiraukan catatan tersebut.
17
Di simalungun terdapat 4 marga yang disingkat dengan sebutan SiSaDapur (Sinaga, Saragih, Damanik, Purba). marga-marga lain yang ada diwilayah Simalungun adalah marga pendatang. Seperti marga Toba dan Karo.
26
Universitas Sumatera Utara
Keesokan
harinya, tulang Toja secara halus tidak bersedia saya
wawancarai. Saya tidak ambil pusing dan mencari informan lain. Dua hari kemudian keadaan sama, tulang Toja masih tidak ingin saya wawancarai. Sampai akhirnya, saya pergi ke kolam mereka bersama dengan bang Eppo dengan menumpang kapal milik tulang Gerhad Saragih. Sebelum ke kolam tulang Toja kami singgah ke kolam tulang Gerhad dan ikut memberi makan ikan. Setelahnya kami diantar anggota tulang Gerhad ke kolam tulang Toja. Beliau sedikit menunjukan ekspresi terkejut dan tidak suka.
Secara spontan, nantulang yang saat itu berada di kolam berkata “udahlah dek, sebaiknya kamu jangan melanjutkan skripsimu kalau hanya untuk merusak pendapatan kami”. Saya cukup terkejut mendengarnya dan memberanikan bertanya perihal pernyataan tersebut. Beliaupun menceritakan mengenai catatan yang dibacanya, bang Eppo yang mendengarkan penjelasan tersebut tidak dapat berkata apapun. Namun dengan sigap, ia memberikan saya kesempatan untuk menjelaskan tujuan akhir penulisan ini.
Saya menjelaskan bahwa penulisan ini hanya ingin mengetahui pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan masyarakat. saya sampai memberikan salinan surat izin penelitian dari fakultas (surat ini saya bawa dalam catatan) untuk menyakinkan bahkan saya juga memberikan proposal rancangan penelitian yang telah diseminarkan dan berjanji tidak akan merusak mata pencaharian masyarakat Haranggaol. Beliau yang masih belum percaya kemudian memberikan hak penuh kepada suaminya. Apakah masih ingin diwawancara atau tidak. Tulang yang mengerti rasa takut saya kemudian berkata “ketakutanmu 27
Universitas Sumatera Utara
berlebihan, tidak mungkin panogolan18 ini membuat yang tidak baik untuk masyarakat disini”. Meskipun tulang juga masih ragu, akan tetapi tampaknya ia memberikan saya kesempatan untuk menyelesaikan penulisan ini.
Setelah beliau yakin kepada saya, wawancara kami semakin intens dan beliau sering mengenalkan saya kepada rekan-rekannya sesama pengusaha ikan. Mulai dari pengusaha dengan 5 unit sampai 50 unit. Ada tulang Makdin, tulang Gerhard Saragih, Sihite (merupakan anggota tulang Toja) dan beberapa informan lain yang mereka ingin disebut namanya. Dan saya menghormatinya.
Biasanya kami mengobrol setelah memberikan makan ikan, karena petani di Haranggaol memiliki kebiasaan “ngumpul” seusai memantau ikan. Tempat berkumpulnya tidak jauh dari rumah bang Eppo, tepat disebelah rumahnya. Saya membuat wawancara dengan para petani tidak begitu formal, bahkan tanpa mereka sadari saya seringkali mencari informasi dengan mengobrol ringan (ini disarankan oleh pembimbing sebelum ke lapangan). Saya melakukan semacam focus group discussion (FGD) dengan petani ikan di warung dengan tema kesadaran mereka terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi karena keramba. Mereka sebenarnya sadar, akan tetapi mereka tidak punya pilihan. Sudah cukup lama dan terlanjur mendirikan keramba dengan modal mencapai 30jutaan untuk mendirikan bangunan keramba belum termasuk modal untuk benih ikan. Memang modal tersebut sudah kembali saat ini, akan tetapi jika diberhentikan maka Haranggaol akan kembali lumpuh seperti setelah terjadi hama pertanian. 18
Dalam bahasa Toba Panogolan adalah Bere. Yang artinya adalah anak dari sodara perempuan dari pihak laki-laki.
28
Universitas Sumatera Utara
Usaha keramba jaring apung ini dijadikan masyarakat sebagai suatu mata pencaharian yang mampu melipat gandakan pendapatan. Pasalnya sekali panen petani meraup keuntungan lima juta rupiah perlobang kolam. Jika seorang petani memiliki 10 lobang maka sekali panen ia mendapat keuntungan mencapai 50 juta rupiah. Dan banyak penyebab yang menjadikan mereka sulit di berikan pemahaman, pendapatan membutakan mereka dan ketidak percayaan mereka terhadap pemerintah yang hanya menjanjikan tanpa pembuktian membuat usaha keramba jaring apung terus tumbuh pesat di Haranggaol.
Selain pemerintah yang menurut masyarakat hanya mengumbar janji, mereka juga memiliki kekuatan yang bernama solidaritas. Solidaritas ini dibangun berdasarkan genealogis. Dimana semua penduduk memiliki hubungan darah dan sistem kekerabatan. Sehingga sosialisasi yang bagaimanapun akan sulit ketika menyangkut keramba. Sama seperti pertama kali para informan yang menaruh rasa curiga kepada peneliti.
Janji yang dilontarkan pemerintah menjadi janji manis yang berubah getir dalam kehidupan mereka. Pesan mereka kepada saya saat penelitian ini usai adalah tetaplah menjadi rendah hati, jangan sombong dan jangan lupa ketika sudah menjadi sukses. Pesan yang paling penting dan harapan para informan adalah jangan merusak ketenangan yang sudah tercipta di Desa Haranggaol dengan menuliskan yang tidak baik, tulislah apa adanya dan sebagaimana mestinya.
29
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah yang menginginkan danau milik masyarakat Haranggaol ini kembali seperti semula perlu tindakan ekstra. Diperlukan penelitian yang berkelanjutan, dan tindakan nyata untuk merealisasikan Haranggaol sebagai destinasi wisata. Jadi jika ingin melakukan kesadaran dan pemahaman kepada para petani, belajarlah bagaimana pengelolaan yang mereka lakukan. Pelajari bagaimana kebudayaan mereka. Sehingga usaha untuk melestarikan Danau Toba sebagai ikon Sumatera Utara tercapai. Haranggaol yang memang indah dengan tumpukan keramba banyak mengajarkan saya tentang kekuatan hukum masyarakat bernama unnamed low. Sehingga koeksistensi sangat diperlukan untuk keberlanjutan mata pencaharian keramba jaring apung ini. 1.6.3 Analisi Data
Setelah melakukan semua teknik penelitian dan menemukan data maka peneliti akan melakukan analisis data. Data yang telah ditemukan dari lapangan akan dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yakni sejarah perkembangan keramba, pengelolaan serta aturan-aturan yang dijalankan untuk proses keberlangsungan keramba dan mencari hubungan-hubungan data tersebut. Sehingga, pada saat melakukan penulisan akhir akan mudah menyimpulkan bagaimana seharusnya proses terbaik untuk matapencarian ini.
30
Universitas Sumatera Utara