BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pers, baik cetak maupun elektronik merupakan instrumen dalam tatanan hidup bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya. Pers juga merupakan refleksi jati diri masyarakat di samping fungsinya sebagai media informasi dan komunikasi, karena apa yang dituangkan di dalam sajian pers hakekatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.1 Pers merupakan institusi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan opini dan media edukasi yang eksistensinya dijamin berdasarkan konstitusi. 2 Sebagai sarana modern, maka melalui pers, kebebasan menyatakan pikiran, opini, dan ekspresi masyarakat dapat tersalurkan secara jujur dan transparan. Hanya melalui pers yang bebas, negara/pemerintah dapat mendengar dan menangkap aspirasi dan suara masyarakat.3 Kebebasan berpendapat adalah kebebasan dasar manusia yang secara yuridis diakui oleh UUD. Terkait dengan kebebasan berpendapat, khususnya kemerdekaan pers terdapat regulasi lain setingkat undang-undang, yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan
1
Samsul Wahidin, 2006, Hukum Pers, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm.1.
2
Ibid., hlm.3.
3
M. Halim et.al, 2009, Menggugat Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik, Jakarta: LBH Pers, hlm. 2.
2
Pendapat di Muka Umum, dan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 1 Undang-undang No. 9 Tahun 1998 menentukan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4 Membicarakan kemerdekaan berekspresi, otomatis akan terkait dengan hak asasi manusia. Sebab, salah satu hak paling asasi yang dimiliki manusia adalah kemerdekaan berekspresi. Muhammad Hasyim Kemali mendefinisikan
kemerdekaan
sebagai
kemampuan
individual
untuk
mengatakan atau melakukan, atau menghindari untuk melakukannya, tanpa melanggar hak-hak orang lain atau batasan yang digariskan oleh hukum.5 Kemerdekaan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh PBB dan instrumen-instrumen regional hak asasi manusia serta peraturan perundang-undangan nasional di banyak negara di seluruh dunia namun kadang kala kemerdekaan berekspresi terutama berekspresi di media massa sangat memungkinkan terjerat hukum pidana. Salah satunya berkenaan dengan pencemaran nama baik. Aturan mengenai kejahatan pencemaran nama baik secara tertulis itu sendiri telah diatur dalam Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran tertulis, yang menentukan:6
4
Ibid., hlm. 21. Ibid,. hlm. 15. 6 Moeljatno, 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara 5
3
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau dipertempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Berdasarkan pasal ini dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencemarkan nama baik yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, dan kemudian orang yang diserang biasanya merasa malu sehingga merasa kehormatan dan nama baiknya rusak. Berdasarkan Pasal 310 KUHP itu pula dapat dilihat bahwa cara atau media yang digunakan bersifat nyata, yaitu berupa tulisan atau gambar yang diperlihatkan kepada umum. Menjadi menarik adalah kebebasan berkumpul, berpendapat, dan menyampaikan pendapat sesungguhnya juga terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pada UUD tersebut, semua warga negara dijamin haknya untuk mengekspresikan pendapatnya itu, bahkan dengan media apapun, seperti dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menentukan : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pencemaran nama baik dalam hukum pidana di Indonesia termasuk dalam bentuk delik kejahatan (rechtsdelicten) dan bukan delik pelanggaran (wetdelicten). Banyak orang yang sudah terjerat dalam pasal pencemaran nama baik ini. Seperti yang dialami Fifi Tanang. Tulisannya di Surat Pembaca media massa cetak Investor Daily edisi 2 dan 3 Desember 2006
4
membuat berang PT Duta Pertiwi selaku pengembang Apartemen Mangga Dua Court, sehingga pihak PT Duta Pertiwi melaporkan Fifi Tanang ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Perkara ini berawal dari kekecewaan terdakwa yang merupakan pemilik kios di ITC Mangga Dua terhadap PT Duta Pertiwi yang merupakan pengelola ITC Mangga Dua. Kekecewaan tersebut terjadi karena terdakwa yang telah membeli kios tersebut dari PT Duta Pertiwi sejak tahun 1999 ternyata bangunan ITC Mangga Dua beralaskan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengolahan Lahan (HPL) milik Pemda, sehingga terdakwa dan seluruh pemilik kios ITC Mangga Dua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperpanjang HGB bangunan tersebut. Mengetahui bahwa ternyata alas hak ITC Mangga Dua merupakan HGB di atas HPL Pemda DKI, sementara dalam sertifikat hanya tertulis HGB. Terdakwa melaporkan pihak PT Duta Pertiwi atas penipuan dan pemalsuan surat ke Polda Metro Jaya. Setelah dilakukan penyidikan, singkat cerita pihak Polda Metro Jaya menghentikan penyidikan tersebut karena dianggap bukan tindak pidana. Kecewa
atas
hasil
penyidikan
tersebut,
terdakwa
kemudian
menuliskan Opini di harian Investor Daily dengan judul “Hati-Hati Modus Operandi Penipuan PT Duta Pertiwi”. Tulisan tersebut pada intinya seolaholah mengatakan bahwa PT Duta Pertiwi telah melakukan penipuan perihal status tanah di ITC Mangga Dua.
5
Atas tulisan tersebut pihak PT Duta Pertiwi kemudian melaporkan terdakwa ke kepolisian atas tuduhan penghinaan. Di tingkat pertama PN Jakarta Selatan memutus terdakwa bersalah melakukan penistaan tertulis Pasal 311 ayat (1) KUHP dan menjatuhkan hukuman percobaan selama 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun. Di tingkat Banding, Pengadilan Tinggi DKI memperkuat putusan PN Jakarta Selatan tersebut. Pada tingkat kasasi putusan Judex Facti tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa oleh karena yang menjadi objek pencemaran/penistaan adalah badan hukum, yaitu PT Duta Pertiwi maka mengingat delik tersebut merupakan delik aduan absolut maka yang seharusnya mengajukan pengaduan adalah Direktur Utama PT tersebut yaitu Muchtar Widjaja, sementara dalam kasus ini yang mengajukan adalah kuasa hukum PT Duta Pertiwi yaitu Dormauli Limbong, SH, MH. Kuasa Hukum PT Duta Pertiwi melaporkan pengaduan berdasar pada surat kuasa khusus untuk mendampingi dari Muchtar Widjaja, bukan surat kuasa untuk melapor pengaduan. Atas dasar pertimbangan tersebut maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa pengaduan yang dilakukan oleh Kuasa Hukum PT Duta Pertiwi dianggap tidak pernah ada, oleh karenanya terdakwa dinyatakan dilepaskan dari tuntutan hukum. Pentingnya mengenai delik aduan ini sehingga pembuat undangundang memberikan bab tersendiri dalam KUHP, yaitu Bab VII KUHP Pasal 72 KUHP sampai Pasal 75 KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali
6
pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas Pengaduan, Pasal 72 KUHP menentukan sebagai berikut: 1. Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau orang yang berada di bawah pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata. 2. Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi pengampu pengawas: juga mungkin atas pengaduan istrinya, atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga. Kasus ini sendiri pada dasarnya masuk dalam ranah hukum pers sehingga Undang-Undang tentang Pers tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis sangat tertarik dan bermaksud untuk mengkaji lebih dalam mengenai persoalan-persoalan yang terkait dengan tindak pidana pencemaran nama baik terhadap badan hukum melalui media massa sebagai delik aduan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010. B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik terhadap badan hukum melalui media massa dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.234/Pid/2009/PT.DKI?
7
2. Apa akibat hukumnya apabila tindak pidana pencemaran nama baik melalui media massa tidak diadukan sendiri oleh korban menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik terhadap badan hukum melalui media massa dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.234/Pid/2009/PT.DKI. 2. Untuk mengetahui akibat hukum apabila tindak pidana pencemaran nama baik melalui media massa tidak diadukan sendiri oleh korban menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum terutama ilmu hukum pidana mengenai tindak pidana pencemaran nama baik terhadap badan hukum. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan bagi praktisi hukum dan masyarakat pada umumnya, serta dapat memberikan sumbangsih kepada khazanah ilmu pengetahuan dalam hukum pidana khususnya tentang delik aduan dalam tindak pidana pencemaran nama baik terhadap badan hukum melalui media massa.