BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perairan danau merupakan sumberdaya alam yang dimiliki bersama oleh masyarakat (common property), sehingga dalam pemanfaatannya sering dilakukan secara bebas sesuai kebutuhannya. Sejalan dengan waktu, semakin intensif dan semakin beragam kebutuhan masyarakat, sehingga dalam perkembangannya dan dalam kewenangan pengelolaannya muncul kebijakan dan kepentingan bersifat multisektor (Lukman, 2011a.). Apalagi dengan berkembangnya otonomi daerah kepentingan wilayah adminstrasi akan lebih mewarnai variasi pemanfaatan perairan danau. Fungsi lingkungan perairan Danau Toba secara umum diperuntukkan dan dimanfaatkan sebagai sumber air untuk penyediaan air bersih, air industri, air pengairan pertanian, sebagai sumber daya pariwisata, sumber daya perikanan, sumber daya energi dan prasarana transportasi, tapi sekaligus sebagai penerima berbagai macam limbah. Kualitas perairan Danau Toba pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan
manusia,
terutama
pemukiman
penduduk,
peternakan,
pertanian, kegiatan industri pariwisata, kegiatan perindustrian dan perdagangan termasuk pasar, hotel dan restoran, serta kegiatan transportasi air. Pengaruh terpenting dari seluruh kegiatan tersebut adalah produksi sampah dan limbah yang secara langsung maupun tidak langsung masuk ke dalam perairan Danau Toba.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam Kawasan Ekosistem Danau Toba baik di Daerah Tangkapan Air di Danau Toba, maupun kegiatan di perairan Danau Toba, telah menghasilkan berbagai limbah cair, limbah padat termasuk sampah, serta meningkatnya logam berat dan zat kimia, serta peningkatan zat organik. Kesemuanya ini dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan Kegiatan lain yang telah berkembang di perairan Danau Toba adalah usaha perikanan budidaya sistem keramba jaring apung (KJA), yang pertama kali dicoba pada tahun 1980-an. merupakan
salah
Aktivitas budidaya ikan sistem KJA di perairan danau, satu
usaha
peningkatan
produksi
perikanan
dengan
memanfaatkan potensi perairan yang ada. Usaha KJA ini banyak menuai perhatian masyarakat, terkait kontroversi antara kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan,
serta antara pencapaian produksi dan daya dukung
perairan. Krismono (1998) mengemukakan bahwa perairan danau dan waduk di Indonesia yang mencapai 2,1 juta ha berpotensi untuk budidaya ikan dengan sistem KJA yang dapat mencapai produksi 800 ton ikan/hari. Batas toleransi diperbolehkan mengoperasikan KJA di perairan Danau Toba yakni 443 ha. Danau Toba dengan luas 110.000 ha saat ini sudah beroperasi 1.780 unit KJA milik perusahaan dan 6.800 unit milik masyarakat. Bila satu unit KJA memiliki luas 16 meter, maka luas Danau Toba yang dipergunakan untuk KJA 137,28 ha. Jumlah KJA yang telah beroperasi di Danau Toba semakin meningkat dan direncanakan akan dikembangkan lagi (Arifin, 2004). Diperlukan pertimbangan
Universitas Sumatera Utara
dan kebijakan berbeda dari setiap perairan untuk pengembangan KJA, mengingat perbedaan karakter setiap perairan darat. Usaha budidaya dengan KJA di perairan danau diperkirakan akan terus berkembang sejalan dengan kebutuhan akan protein hewani dan kebijakan pemerintahan setempat yang membutuhkan peningkatan pendapatan asli daerah nya dari sumberdaya alam yang dimilikinya. Semakin banyak jumlah KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba maka semakin banyak pula jumlah pakan yang ditabur ke perairan danau yang merupakan salah satu sumber pencemaran di perairan Danau Toba. Pemeriksaan laboratorium juga menyimpulkan, keruhnya air danau dan tumbuhnya enceng gondok menjadi sebuah ancaman kebersihan dan keindahan danau. Dari berbagai penelitian yang dilakukan memberikan indikasi telah terjadi penurunan kualitas air di lokasi yang terkena dampak kegiatan masyarakat (Barus, 2007). Air Danau Toba telah mengalami penurunan kualitas air, dan diperparah lagi dengan pertumbuhan enceng gondok yang begitu subur menjadi indikator bahwa air kaya akan zat-zat organik (pencemaran organik). Jenis pencemaran tersebut akan menimbulkan gangguan pada kesehatan masyarakat setempat. Panjaitan (2009) menulis bahwa salah satu perusahaan besar milik PMA yang mengelola keramba jaring apung di Danau Toba adalah PT. Aquafarm Nusantara dengan memasukkan pakan sebesar 200 ton setiap hari. Dari hasil penelitiannya, diperoleh bahwa prosentasi nitrogen dari pakan yang menjadi limbah di perairan Danau Toba adalah sebesar 69,00%, sehingga total limbah nitrogen yang dihasilkan di perairan Danau Toba setiap hari sebanyak 13,80 ton
Universitas Sumatera Utara
setiap hari dengan asumsi 5% pakan tidak terkonsumsi oleh ikan. Hasil penelitian ini
juga mencatat bahwa prosentasi nitrogen pakan yang menjadi limbah di
perairan Danau Toba didukung oleh hasil penelitian sebelumnya (Beveridge, 1996 dalam Panjaitan, 2009) yang menunjukkan bahwa 70,00% nitrogen yang dikonsumsi oleh ikan akan terbuang di perairan. Lebih lanjut total limbah fosfor yang dihasilkan di periran Danau Toba setiap hari adalah sebanyak 2,27 ton, dengan asumsi 5% pakan tidak terkonsumsi oleh ikan. Berdasarkan survei awal penulis yang dilakukan di Kabupaten Toba Samosir menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk menggunakan air danau sebagai sumber air minum dan keperluan rumah tangga. Dengan begitu maraknya pertumbuhan aktivitas KJA akan berpotensi mencemari lingkungan perairan Danau Toba jika tidak dikendalikan dengan baik. Menurut Payne (1986), konsentrasi zat-zat yang terdapat di danau merupakan hasil dari zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk, ini terjadi karena pada umumnya perairan danau menerima masukan air dari daerah tangkapan air di sekitar danau, sehingga perairan danau cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air masuk. Jadi kualitas perairan danau sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada diatasnya. Pencemaran yang terjadi di perairan danau merupakan masalah penting yang perlu memperoleh perhatian dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan beragamnya sumber bahan pencemar yang masuk dan terakumulasi di danau. Sumber-sumber bahan pencemar tersebut antara lain berasal dari kegiatan
Universitas Sumatera Utara
produktif dan non produktif di up land (lahan atas), dari pemukiman dan dari kegiatan yang berlangsung di badan perairan danau itu sendiri, dan sebagainya. Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan danau terdiri dari beberapa macam, antara lain limbah organik dan anorganik, residu pestisida, sedimen dan bahan-bahan lainnya. Keberadaan bahan pencemar tersebut
dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas perairan danau, sehingga tidak sesuai lagi dengan jenis peruntukkannya sebagai sumber air baku air minum, perikanan, pariwisata dan sebagainya. Selain itu pencemaran juga dapat menyebabkan hilangnya keaneka ragaman hayati, khususnya spesies endemik (asli) danau tersebut (Khosla et al., 1995., Kumurur, 2002). Dampak negatif lain dari pencemaran perairan danau tidak hanya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis dan ekologis berupa penurunan produktivitas hayati perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian manusia yang memanfaatkan perairan danau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Fakhrudin et al., 2002). Nilai penting lainnya dari keberadaan Danau Toba adalah adanya jenis ikan endemik, yakni ikan Batak yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Keberadaan ikan tersebut sudah semakin terancam akibat semakin meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke badan air danau, sehingga menyebabkan kualitas perairan danau semakin menurun. Meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke perairan danau juga disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang berdomisili di sekitar danau seperti membuang limbah domestik, baik limbah cair maupun padatnya yang dapat
Universitas Sumatera Utara
memberikan tekanan terhadap ekosistem perairan danau (Haryani, 2004). Berbagai aktivitas penduduk yang ada di sempadan danau, seperti permukiman, perhotelan, pertanian dan peternakan merupakan sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan danau. Kegiatan di badan perairan danau, berupa pembudidayaan ikan dengan teknik keramba jaring apung (KJA) juga merupakan sumber limbah yang potensial mencemari perairan danau. Menurut hasil pusat penelitian limnologi LIPI, Lukman (2011b) bahwa produksi ikan perairan Danau Toba pada saat ini telah melebihi daya dukung danau dan sebagai penyebab utama penurunan kualitas air Danau Toba adalah akibat dari kegiatan KJA yang sudah melampaui daya dukung perairan Danau Toba. Kualitas perairan Danau Toba cenderung terus menurun dari waktu ke waktu, yang diakibatkan oleh semakin tingginya tingkat pencemaran dari buangan limbah domestik dan pertanian. Saat ini kepedulian terhadap ekosistem Danau Toba semakin kurang diperhatikan oleh hampir seluruh pengguna ekosistem perairan danau tersebut. Prinsip-prinsip ekologis bahwa perairan danau memiliki daya dukung dan daya asimilasi terhadap limbah yang terbatas tidak dipahami oleh sebagian besar masyarakat pengguna danau. Sebagai contoh : pemanfaatan danau untuk kegiatan KJA yang meningkat setiap tahunnya (10%) yang akan memberikan tekanan terhadap perairan danau semakin meningkat. Keberadaan keramba jaring apung diperairan Danau Toba menambah beban pencemaran akibat adanya limbah berupa sisa pakan ikan.
Universitas Sumatera Utara
Di satu sisi pengembangan usaha budidaya ikan dalam KJA akan memberikan dampak positip berupa penciptaan lapangan pekerjaan baru dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat, namun disisi lain usaha ini juga akan membawa dampak negatif tehadap ekosistem perairan danau. Dalam hal ini, kegiatan dengan budidaya ikan dengan KJA secara langsung akan mempengaruhi (menurunkan) kualitas perairan danau (Barus, 2007). Pengaruh tersebut disebabkan oleh limbah pakan dan zat pemberantas hama perikanan. Bila konsentrasinya melebihi ambang batas, dapat mencemari dan meracuni biota di perairan danau tersebut. Kematian masal ikan dalam KJA sebanyak kurang lebih 700 ton yang terjadi pada tahun 2005 yang menelan miliyaran rupiah, mengindikasikan telah terjadi penurunan kualitas perairan di Danau Toba. Masuknya limbah pakan ke perairan danau dalam jumlah yang berlebih dapat menyebabkan perairan menjadi kelewat subur, sehingga akan menstimulir ledakan populasi fitoplankton dan mikroba air yang bersifat patogen. Limbah zat hara dan organik baik dalam bentuk terlarut maupun partikel, berasal dari pakan yang tidak dimakan dan ekresi ikan, yang umumnya dikarakterisasi oleh peningkatan total padatan tersuspensi (TSS), Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan kandungan C, N dan P. Secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya zat hara dan bahan organik
tersebut
dapat
meningkatkan
sedimentasi,
siltasi,
hipoksia,
hipernutrifikasi dan perubahan produktivitas serta struktur komunitas bentik (Barg, 1992). Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan Danau Toba semakin mengkhawatirkan karena dapat mengan-
Universitas Sumatera Utara
cam kelestarian fungsi danau. Hal ini merupakan masalah yang perlu segera ditangani secara serius agar tidak meluas dan semakin parah di kemudian hari. Oleh sebab itu penting sekali dilakukan pengkajian nilai-nilai sosial dan ekonomi dari perairan danau,
tidak semata-mata dari pendekatan presepektif
biofisik. Klessig (2001) mengemukakan bahwa danau hanya dapat memberikan keuntungan sosial yang optimal jika kebijakan pengelolaannya mengakui settingsepenuhnya dari
kontribusi potensial danau yang dapat dibuat untuk
masyarakat serta kebijakan pengelolaan tersebut terintegrasi untuk memberikan perhatian yang seimbang pada seluruh nilai-nilai yang dapat danau berikan Ekosistem danau merupakan suatu sistem, terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Fenomena tentang penurunan kualitas perairan (pencemaran) yang terjadi di perairan Danau Toba, menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keanekaragaman dan selalu mencari suatu keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara menyeluruh dan utuh, merupakan suatu alternatif pendekatan yang baru dalam memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupa-kan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menhasilkan sejumlah operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2002). Oleh karena itu, kajian tentang pengelolaan KJA berkelanjutan di perairan Danau Toba dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam membangun model pengelolaan KJA berkelanjutan di perairan Danau Toba dalam upaya mewujudkan perairan danau yang bersih dan lestari, sehingga pemanfaatan fungsi danau dapat berkesinambungan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam literatur terdapat beberapa publikasi yang mengetengahkan model kualitas air danau. Dahl et al. (2006) mengajukan model persamaan differensial untuk memodelkan kualitas air danau yang tercemar oleh adanya partikel padat dan posfor. Penelitian mereka ini terutama terpakai untuk danau-danau yang kurang dalam (kedalaman maksimum 27 m). Model kualitas air yang dinamis dipergunakan oleh McKellar et al. (2008) dalam penelitian mereka tentang kualitas danau Greenwood di South Carolina, Amerika Serikat. Namun mereka ini hanya mempergunakan perangkat lunak CE-QUAL-W2. Kemudian Rippey dan McSorley (2009) menyajikan model kualitas air danau yang terkontaminasi oleh logam berat sehingga kadar oksigen air danau menurun. Penelitian mereka ini terutama untuk sendimentasi pada danau. Penelitian yang juga terkait dengan sendimen danau dikemukakan oleh Rippey (2010). Namun dia hanya meneliti tentang konsentrasi Pb dan biphenyl terklorinasi. Terlihat bahwa model-model yang telah diajukan oleh beberapa peneliti tadi belum ada yang menyinggung tentang pemodelan kualitas air danau yang di sekitar danau terdapat kerambah apung. Dalam literatur terdapat beberapa publikasi yang mengetengahkan model kualitas air danau. Dahl et al. (2006) mengajukan model persamaan differensial untuk memodelkan kualitas air danau yang tercemar oleh adanya partikel padat dan posfor. Penelitian mereka ini terutama terpakai untuk danau-danau yang kurang dalam (kedalaman maksimum 27 m). Model kualitas air yang dinamis dipergunakan oleh McKellar et al. (2008) dalam penelitian mereka tentang kualitas danau Greenwood di South Carolina, Amerika Serikat. Namun mereka ini hanya mempergunakan perangkat lunak CE-QUAL-W2. Kemudian Rippey dan McSorley (2009) menyajikan model kualitas air danau yang terkontaminasi oleh
Universitas Sumatera Utara
logam berat sehingga kadar oksigen air danau menurun. Penelitian mereka ini terutama untuk sedimentasi pada danau. Penelitian yang juga terkait dengan sedimentasi danau dikemukakan oleh Rippey (2010). Namun dia hanya meneliti tentang konsentrasi Pb dan biphenyl terklorinasi. Terlihat bahwa model-model yang telah diajukan oleh beberapa peneliti tadi belum ada yang menyinggung tentang pemodelan kualitas air danau yang disekitar danau terdapat kerambah jaring apung. 1.2 Perumusan Masalah Pada saat ini telah berlangsung berbagai kegiatan usaha di perairan dan berkembang dengan pesat, di antaranya adalah kegiatan KJA. Di perairan Danau Toba ini tempo dulu masih dijumpai ikan asli yaitu ikan batak dan pora-pora. Tetapi saat ini sudah jarang bahkan mungkin sudah hilang dan tidak jelas apa penyebabnya. Pada tahun 1996 usaha perikanan di perairan Danau Toba mulai berkembang dalam bentuk KJA dan hingga saat ini mencapai luas lebih kurang 443 ha. Menurut laporan LP USU tahun 1999, luas perairan yang digarap baru mencapai 0,4% dari ambang luas yang diizinkan sebesar 1% dari luas perairan Danau Toba. Yang menjadi masalah adalah penyebaran lokasi KJA tersebut berada dalam kawasan daerah wisata. Contoh: turis yang datang ke Tomok ratarata enggan berenang di danau karena airnya kotor. Demikian juga di Haranggaol, sepanjang pantainya penuh dengan KJA sehingga mengganggu sekaligus sebagai kota tujuan wisata potensial di Kabupaten Simalungun dan banyak lagi kota lain di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir. Dengan demikian sudah terjadi konflik penggunaan/pemanfaatan perairan Danau Toba antara para petani KJA dengan
Universitas Sumatera Utara
pariwisata. Demikian juga dengan transportasi perairan danau
(perhubungan)
dapat terganggu apabila penempatan KJA yang sembarangan (Tumiar, 2004). Menurut Southwick (1976), terjadinya pencemaran di perairan danau dapat ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan. Sama dengan Saeni (1989) menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan dapat ditentukan oleh tiga jenis, yaitu (1) pencemaran kimiawi berupa zat-zat beracun, bahan-bahan organik, mineral, dan radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap panas, dan (3) pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuhtumbuhan pengganggu air, kontaminasi organismo mikro yang berbahaya atau dapat berupa kombinasi dari ketiga pencemaran tersebut. Pencemaran yang terjadi di Danau Toba diduga berasal dari aliran (masukan) beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berlangsung di indogenous (badan air danau) dan di exogenous (luar danau). Limbah yang berasal dari kegiatan yang berlangsung di badan air bersumber dari kegiatan KJA masyarakat maupun industri. Porpraset (1989) mengatakan, limbah organik merupakan sisa atau buangan dari aktivitas manusia, yang biasanya tersusun dari karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya. Sutamihardja (1992) menyatakan bahwa bahan pencemaran yang menurunkan kualitas air dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan (health hazard), sanitari (sanitary hazard) dan kerugian-kerugian secara ekonomi dan sosial.
Universitas Sumatera Utara
Beban limbah organik yang bersumber dari KJA berupa sisa pakan dan feses ikan dapat menurunkan kualitas perairan danau. Selain itu penurunan kualitas perairan danau juga disebabkan oleh limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah domestik, limbah dari kegiatan pertanian, dan peternakan yang berada di sekitar perairan Danau Toba. Penumpukan unsur hara hasil dekomposisi bahan organik yang berlebihan di perairan danau, akan menimbulkan permasalahan karena, unsur hara yang berlebihan akan menyebabkan perairan mengalami pengkayaan unsur hara (eutrofikasi). Gejala eutrofikasi yang disebabkan oleh penumpukan zat hara ini dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi biomassa di bgian epilimnion danau dan tingginya laju pengendapan alga ke bagian kolom air, sehingga menyebabkan kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion (Gather dan Imboden, 1985). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Agustiyani (2004), meningkatnya unsur hara pada perairan danau akan mengakibatkan meningkatnya biomassa organismo primer tetapi akan menurunkan jenis konsumer yang selanjutnya mengakibatkan melimpahnya salah satu jenis saja dan mengurangi varietas dan kualitas. Setianna (1996) menyatakan bahwa proses masuknya unsur hara ke badan perairan dapat melalui dua cara, yaitu: 1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan 2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah halus masuk ke sistem drainase. Proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, namun dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk disekitar perairan danau. Dekomposisi bahan organik yang berlebihan juga akan menyebabkan perairan mengalami kekurangan oksigen (anoxia). Proses dekomposisi tanpa
Universitas Sumatera Utara
adanya oksigen akan menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa toksik (beracun) sehingga berdampak buruk terhadap organisme akuatik dan manusia yang memanfaatkan perairan danau tersebut. Pendangkalan yang terjadi di danau diduga berasal dari erosi yang berasal dari tangkapan air danau (DTA) dan sempadan danau. Erosi yang tinggi pada daerah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap sebagai sedimen di dasar danau. Akumulasi dari erosi yang terjadi terus-menerus akan mengarah pada terjadinya pendangkalan danau, penurunan kuantitas dan kualitas air serta dapat merusak habitat di badan perairan danau. Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya pengendalian sumber pencemaran yang masuk ke perairan danau melalui pendekatan kesisteman dan kebijakan yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Menurut Manetsch dan Park (1997), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik apabila kondisi-kondisi berikut terpenuhi: 1) Tujuan sistem didefenisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riiladalah tersentralisasi atauj cukup jelas batasannya, dan 3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Sedangkan menurut Ford (1999), mendefinisikan sistem sebagai suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait dan memiliki ketergantungan antar komponen. Menurut Jorgensen (1989) dalam Marganof (2007) penggunaan model sangat cocok untuk memecahkan permasalahan lingkungan yang kompleks. Penggunaan model dalam masalah ekologi adalah keharusan jika ingin memahami
Universitas Sumatera Utara
tentang fungsi sistem yang kompleks seperti dalam ekosistem. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut terlihat bahwa ada keterkaitan fungsi danau dengan dampak dari pencemaran yang terjadi di perairan danau. Oleh sebab itu, maka dalam konteks pengelolaan KJA di Danau Toba diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau Toba? 2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kehadiran keramba jaring apung yang dikelola oleh masyarakat? 3. Bagaimana Model Pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat yang berkelanjutan di perairan Danau Toba? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model pengelolaan KJA masyarakat berkelanjutan di perairan Danau Toba. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan kegiatan-kegiatan : 1. Menganalisis kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan Danau Toba. 2. Menganalisis persepsi masyarakat terhadap kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA) di sekitar Danau Toba. 3. Membangun model yang pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat berkelanjutan di perairan Danau Toba.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, terutama: 1. Bagi pemerintah daerah, informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam memformulasi kebijakan dalam pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat di perairan Danau Toba. 2. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya di perairan Danau Toba. 3. Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat, khususnya di Danau Toba. 1.5 Novelty Model hasil penelitian ini sebagai acuan pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat yang berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara