BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses tumbuh kembang balita. Balita pendek memiliki dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Sebuah Studi menunjukkan bahwa balita pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Balita pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular (Unicef, 2012). Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada (Chaggan, 2009). Kejadian stunting merupakan gangguan gizi yang bersifat kronis. Stunting yang terjadi pada balita disebabkan oleh beberapa
faktor,
diantaranya
akibat
gangguan
pertumbuhan
dalam
kandungan, kurang asupan gizi mikro, intake energi yang kurang dan infeksi (Bhutta et al, 2008). Proses untuk menjadi balita yang mengalami tubuh pendek (stunting) yang disebut kegagalan pertumbuhan (growth faltering) dimulai dalam rahim hingga usia dua tahun (Unicef, 2012). Faktor pola pengasuhan erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Anak usia 12-59 bulan (balita) adalah masa anakanak yang masih tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Masa dimana anak masih membutuhkan asupan makanan dan gizi yang mencukupi (Santoso, 2009). Pola pemberian makanan dan pemberian ASI 1
eksklusif merupakan pola pengasuhan ibu pada balita. Menurut Depkes (2009) menjelaskan bahwa perbaikan pola asuh meliputi pemberian ASI secara eksklusif, penerapan inisiasi menyusu dini dan praktek pemberian makanan. Pemberian ASI Eksklusif pada 6 bulan pertama dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi badan yang optimal. Durasi pemberian ASI yang tidak cukup menjadi salah satu faktor resiko yang menyebabkan defisiensi makronutrien maupun mikronutrien pada usia dini (Manary dan Solomons, 2009). Pemberian ASI eksklusif yang kurang maksimal, pangan yang terbatas di tingkat rumah tangga serta akses balita sakit terhadap pelayanan kesehatan yang kurang memadai menyebabkan lima juta anak menderita gizi kurang. Standar pelayanan minimal bidang kesehatan telah menetapkan bahwa tahun 2005 minimal 50% ibu menyusui secara eksklusif, yakni hanya memberikan ASI tanpa minuman atau makanan lain sejak lahir sampai umur 6 bulan, selanjutnya memberikan ASI dan ditambah dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sesuai dengan kuantitas dan kualitas hingga umur 2 tahun (Astuti, 2008). Pemberian ASI eksklusif dapat mempengaruhi angka kematian bayi (AKB) karena ASI dapat meningkatkan dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh pada bayi sehingga tidak mudah terserang penyakit infeksi. Menurut data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) pada tahun 2007 bahwa angka kematian bayi mengalami penurunan dari 39,5% pada tahun 2002 menjadi 32,4%. Hal ini disebabkan karena pemberian ASI secara eksklusif yang sudah semakin baik (Kemenkes RI, 2010). Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 memiliki angka kematian bayi yang cukup tinggi
2
sekitar 10,75/1000 kelahiran, sedangkan angka kematian di Kota Surakarta mencapai 5.33/1000 kelahiran hidup (Depkes, 2012). Faktor pola pengasuhan ibu selain pemberian ASI eksklusif meliputi praktek pemberian makanan yang salah satunya adalah pemilihan makanan jajanan. Adair (2005) menjelaskan bahwa makanan jajanan merupakan makanan dan minuman yang dijual dan disediakan oleh pedagang yang berada di jalanan dan di tempat umum lainnya yang secara langsung dibeli, dimakan dan dikonsumsi dengan tidak dilakukannya pengolahan lebih lanjut. Makanan jajanan merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah kebiasaan anak-anak. Konsumsi dan kebiasaan jajan anak-anak turut mempengaruhi kontribusi dan kecukupan asupan energi dan nutrisi yang berujung pada status gizi anak. Berdasarkan penelitian Syafitri dkk (2009) tentang kebiasaan jajan pada anak sekolah menunjukkan bahwa makanan jajanan memberikan kontribusi terhadap kecukupan gizi dalam sehari yaitu sebesar 10-20% energi. Makanan jajanan dapat dijadikan alternatif dalam memenuhi sumber zat gizi yang masih belum memenuhi dari konsumsi hariannya. Pemilhan makanan jajanan pada anak juga dipengaruhi oleh perilaku ibu dalam memilih makanan jajanan. Menurut Sihadi (2004) menjelaskan bahwa perilaku jajan anak dalam memilih makanan yang dibelinya memiliki dampak yang positif dan negatif bagi kesehatannya. Dampaknya dari segi kesehatan perilaku anak dalam memilih makanan jajanan akan positif bila anak memilh makanan jajanan yang cukup nilai gizinya dan akan menjadi negatif bila makanan jajanan dapat menimbulkan kerugian contohnya timbulnya penyakit infeksi. Menurut
3
penelitian Suiraoka (2011) menyatakan bahwa kaitannya infeksi terhadap penyakit dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang kurang dapat
mempermudah
terkena
penyakit
infeksi
yang
mengakibatkan
penurunan nafsu makan, penyerapan pada saluran pencernaan terganggu atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit sehingga kebutuhan zat gizinya tidak terpenuhi dan mengakibatkan malnutrisi. Salah satu faktor yang berpotensi mempengaruhi prevalensi malnutrisi pada bayi yang tinggi adalah pemberian makanan tambahan dan pemberian ASI yang salah. Menurut penelitian Sartika dkk, (2006) bahwa prevalensi malnutrisi lebih rendah pada anak balita yang mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif terutama pada kelompok umur 12-36 bulan. Hal yang sama juga ditunjukkan untuk kelompok umur <12 bulan bahwa prevalensi malnutrisi lebih rendah pada anak balita yang mendapatkan ASI yaitu 23,1% daripada anak yang tidak mendapatkan ASI ekslusi yaitu 33,3%. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 angka prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 sebesar 35,6% dan 2007 sebesar 36,8%. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2010 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah memiliki prevalensi stunting sebesar 33,9% yang terdiri dari 16,9% sangat pendek dan 17% pendek (Depkes RI 2013). Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Gilingan Surakarta, angka prevalensi stunting pada tahun 2013 adalah 16,6% dan pada tahun 2014 angka prevalensi stunting sebesar 15,8%. Pada kasus pemberian ASI eksklusif dari jumlah bayi sebanyak 114 bayi, hanya 10.5%
4
bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. Persentase yang rendah pada pemberian ASI eksklusif dan prevalensi stunting yang cukup tinggi menyebabkan penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut. B. Perumusan Masalah Apakah ada hubungan lama pemberian ASI eksklusif dan pemilihan makanan jajanan dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gilingan Surakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
hubungan
lama
pemberian ASI eksklusif dan pemilihan makanan jajanan dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gilingan Surakarta. 2. Tujuan Khusus a) Mendeskripsikan balita stunting di Puskesmas Gilingan Surakarta. b) Mendeskripsikan lama pemberian ASI eksklusif
pada balita di
Puskesmas Gilingan Surakarta. c) Mendeskripsikan pemilihan makanan jajanan meliputi perilaku ibu dalam memilih makanan jajanan pada balita di Puskesmas Gilingan Surakarta. d) Menganalisis hubungan lama pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gilingan Surakarta
5
e) Menganalisis pemilihan makanan jajanan dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gilingan Surakarta. f)
Menganalisis internalisasi nilai-nilai Islam dalam pemberian ASI eksklusif, pemilihan makanan jajanan dan kejadian stunting
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk peneliti Manfaat untuk peneliti sebagai bahan dasar bagi penelitian khususnya mengenai kejadian stunting pada balita. 2. Manfaat untuk responden Manfaat untuk responden dapat memberikan informasi yang baik mengenai kejadian stunting sehingga dapat memberikan pandangan mengenai makanan jajanan yang sehat dan dapat menerapkan lama pemberian ASI eksklusif sesuai dengan anjuran. Selain itu dapat memberikan informasi yang baik tentang pemilihan makanan jajanan yang sehat. 3. Manfaat untuk puskesmas Manfaat untuk puskesmas dapat dijadikan informasi mengenai ASI eksklusif,
perilaku
ibu
dalam
pemilihan
makanan
jajanan
dan
hubungannya dengan kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.
6