Bab I: Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah Studi ini ingin mengungkap adanya upaya kontrol terhadap eksistensi politik perempuan dalam setting drama politik. Fenomena pengontrolan terhadap politik perempuan berimplikasi pada pergeseran eksistensi dan peran politik perempuan dari masa konflik ke pasca konflik. Tujuan penelitian ini ingin menelusuri strategi dramaturgi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam mempengaruhi eksistensi gerakan politik perempuan di Aceh. Sebuah gerakan yang dapat dianggap sebagai ikon pergerakan perempuan di masa konflik Aceh, menghilang eksistensi mereka dalam praktik politik lokal Aceh pasca Mou Helsinki. Politik di Aceh saat ini dikuasai oleh mayoritas eks-kombatan GAM. Eksistensi gerakan politik perempuan tidak hanya sebatas pada tujuan jangka pendek. Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran bentuk gerakan feminis melibatkan diri dalam politik dengan arti konvensional dan memperluas wilayah aksi politik dengan cara yang signifikan (Elizabeth Frezer 2009: 85). Menurut Flonence Butegawa (dalam Nur Iman Subono 2010; 78), seorang pengacara perempuan dari Uganda mengatakan bahwa “partisipasi perempuan dalam politik bukanlah sebuah kemewahan, tapi sebuah kebutuhan (woman’s participation in politics is not luxury, but a necessity). Kebutuhan bagi perempuan untuk memaknai pendefinisian dirinya dalam masyarakat. Di samping itu
1
juga menjadi penyeimbang bentuk representasi power dalam balancing distribution of power. Pada faktanya semangat tersebut kerap kali terbentur oleh budaya partiarkhi. Budaya partiarkhi dalam konsep feminis bisa dikatakan penindasan terhadap perempuan. Budaya partiarkhi memperbesar dominasi laki-laki terhadap ranah publik. Menurut Ramazonoglu, secara implisit ataupun eksplisit berbagai teori partiarki merupakan teori-teori yang menjelaskan pembentukan dan pemeliharaan dominasi laki-laki dalam aspek sosial, ideologi, seksual, politik dan ekonomi (1989: 33, dalam Hollows 2010: 8). Budaya yang membuat politik dominasi dilakukan berlangsung tanpa disadari. Pada akhirnya melemahkan gerakan politik perempuan dengan budaya partiarki yang lebih kuat. Menghilangnya eksistensi politik perempuan merupakan konstruksi sosial yang terciptakan. Adanya dominasi politik laki-laki terhadap eksistensi perempuan dalam ruang politik terbentuk secara tidak sadar. Dari hasil konstruksi sosial tersebut, perempuan kerap kali hanya dijadikan lakon sandiwara dalam suatu kondisi politik. Secara politis, keberadaan perempuan dalam kondisi politik tertentu memberi keuntungan bagi pihak maskulin. Pihak maskulin dapat mengoperasikan pencapaian tujuan politiknya. Seperti yang dikemukakan oleh Sara Mills, sosok simbolis perempuan Inggris yang murni secara seksual memainkan peran penting dalam konteks kolonial dan tampaknya dituntut untuk berperan dalam membenarkan berbagai tindakan pemerintah imperial (2009: 169). Mereka memainkan peran penting dalam melestarikan pemerintah kolonial.
2
Politik maskulin layaknya budaya yang mengakar dan melembaga. Politik maskulin melakukan dominasi yang telah memposisikan perempuan hanya sebagai alat bagi strategi politik yang dimainkan oleh pihak laki-laki. Strategi politik yang mempergunakan perempuan layaknya alat dalam pementasan drama politik. Posisi perempuan sebagai alat dapat dikontrol dan dipergunakan sebatas fungsinya sebagai instrumen keberlangsungan drama politik. Dominasi politik melegitimasi monopoli kuasa terhadap posisi politik perempuan. Penelitian ini akan melihat strategi dramaturi memainkan peran dalam mengontrol eksistensi dan peran pasukan inong balee. Hal ini didasarkan pada adanua pergeseran peran yang cukup siknifikan atas pasukan inong balee sebagai salah satu bentuk representasi perempuan. Pasukan inong balee telah melibatkan diri dalam berbagai peran dalam konflik seperti mengangkat senjata, sebagai kurir, penyuplai logistik, penyebar informasi, propaganda dan intelijen serta tim medis dalam struktur GAM. Pasukan inong balee merupakan warna baru pergerakan perempuan dalam politik modern. Dengan segala problematikanya, Aceh memperlihatkan fenomena menarik khususnya dalam hal politik perempuan. Pergerakan perempuan biasanya bertujuan bagi kepentingan perempuan. Namun perempuan Aceh dalam kelompok pasukan inong balee memperlihatkan gerakan dalam memobilisasi tujuan politik untuk meraih kemerdekaan. Kemerdekaan dari penindasan atas ketidakadilan yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia. Upaya meraih kemerdekaan membawa kepentingan lakilaki dan perempuan atas nama masyarakat Aceh. Pembuktian eksistensinya juga
3
ditunjukkan secara nyata dalam konflik. Pasukan inong balee menunjukkan kemampuannya bekerja sama dengan laki-laki dalam domain yang dikatakan hanya milik kaum laki-laki. Di ranah politik lokal Aceh, telaah politik perempuan dapat ditinjau lebih dalam secara praktik. Suasana konflik selama puluhan tahun telah menciptakan politik perempuan secara nyata dengan kehadiran gerakan pasukan inong balee. Sebutan pasukan inong balee merupakan sebuah pasukan angkatan laut perempuan yang dikomandoi oleh Laksamana Malahayati untuk melawan Belanda. Berbekal semangat historis tersebut, GAM ingin menyambung kembali historis masa lalu yang terputus. Historis masa kerajaan pasca terputusnya tahta kerajaan Aceh tahun 1873. GAM menghidupkan kembali struktur-struktur politik di masa Kerajaan Aceh. Salah satunya adalah pasukan inong balee. Pasukan inong balee dilahirkan kembali dalam versi modern bergabung dalam struktur GAM. Eksistensi dan peran pasukan inong balee terlihat jelas saat konflik. Eksistensi pasukan inong balee mulai memudar ketika berlangsungnya proses perundingan GAM-RI di Helsinki. Pasukan inong balee sebagai representasi gerakan politik perempuan dalam struktur GAM tidak dilibatkan dalam perundingan tersebut. Padahal proses negosiasi sebagai langkah awal agar mereka berperan dalam politik pasca Mou Helsinki. Padahal proses negosiasi dapat menjadi wadah legitimasi bagi eksistensi pasukan inong balee. Pasca Mou Helsinki disepakati, semua gerilyawan termasuk pasukan inong balee sebagai elemen dari sayap militer GAM tidak terlepas dari struktur Komite
4
Peralihan Aceh (KPA). KPA merupakan sebuah wadah pembinaan bagi mantan kombatan GAM yang aktif dalam perang gerilya. Mantan kombatan (GAM dan pasukan inong balee) bertransformasi mensipilkan diri dalam lembaga KPA. KPA adalah organisasi yang dibentuk dari turunan poin (3) MoU Helsinki tentang Amnesti dan Reintegrasi dalam masyarakat, sebagai berikut: “3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional”. Kekuatan politik GAM berpindah pada KPA pasca konflik. Di sisi lain GAM juga membentuk partai politik lokal sebagai gerakan politik formal, yaitu Partai Aceh. Partai Aceh dibentuk oleh KPA sebagai kendaraan politik untuk maju dalam pemilu.
Keberadaan
pasukan
inong
balee
dalam
struktural
KPA
sangat
menguntungkan partai Aceh. Keberadaan mereka secara otomatis memberi keuntungan bagi Partai Aceh terkait terakomodasi 30% keterwakilan perempuan dengan kehadiran pasukan inong balee. Terlepas dari eksistensi atau tidaknya pasukan inong balee di wilayah publik. Keberadaan pasukan inong balee dalam KPA dapat dianggap sebatas keanggotaan. Tanpa berorientasi pada eksistensi nyata pasukan inong balee dalam politik Aceh. Dominasi laki-laki telah mengembalikan eksistensi pasukan inong balee ke ranah domestik. Pada kenyataannya, ada individu-individu dalam pasukan inong balee yang dapat eksis dalam ranah politik GAM pasca Mou Helsinki. Namun tidak dapat menjadi representasi pasukan inong balee secara keseluruhan. Terdapat
5
perbandingan jumlah yang tidak signifikan. Setelah perjuangan dan pengorbanan yang ditunjukkan, pasukan inong balee berada pada posisi tidak mendapat pengakuan untuk memperjelas posisi politiknya. Terjadi the lost politic of generation terhadap eksistensi pasukan inong balee. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya pemahaman ganda atas pudarnya eksistensi pasukan inong balee. Maksudnya di sini, eksistensi pasukan inong balee menghilang pasca Mou Helsinki bisa saja menjadi pilihan politik pasukan inong balee terkait arah perjuangan yang dianggap telah berbeda. Eksistensi pasukan inong balee yang menghilang tak pelak hanya dinilai sebatas masuk atau tidaknya mereka dalam lembaga KPA. Namun sebuah eksistensi harus dapat dibuktikan lewat publisitas dan kehidupan publik. Publisitas dan kehidupan publik merupakan hal yang bernilai dalam eksistensi politik perempuan (Elizabeth Frezer 2009: 85). Publisitas di sini yaitu berbicara dan bertindak di wilayah publik. Tujuannya agar suara mereka didengar dan tindakan mereka dilihat oleh publik. Publikasi menjadi landasan agenda kelompok feminis bagi kekuasaan politik. Hal publisitas di ranah publik mengidentifikasi hilangnya eksistensi pasukan inong balee dalam ranah politik lokal di Aceh. Budaya partiarki dalam lembaga KPA hanya menampung mereka secara keanggotaan. Hal itu membuat posisi pasukan inong balee “mengambang”. Mengambang di sini, secara keanggotaan struktural mereka ada dalam lembaga KPA. Sebaliknya secara publisitas dan kehidupan politik, eksistensi mereka tidak tercapai.
6
Uraian di atas memperlihatkan sebuah skema dominasi yang memposisikan pasukan inong balee sebagai objek dalam realisasi politik maskulin. Strategi dominasi akan dijelaskan dengan mengibaratkan perpolitikan selayaknya panggung kesan dramaturgi yang dimainkan oleh pihak maskulin untuk memonopoli kuasa terhadap gerakan politik perempuan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditunjukkan untuk menjawab pertanyaan: “Bagaimana strategi dramaturgi memainkan peran untuk mengontrol eksistensi pasukan inong balee dalam dinamika politik Aceh?”. Adapun pertanyaan turunannya adalah: 1. Bagaimana kuasa maskulin bekerja dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam upaya dominasi? 2. Bagaimana strategi dramaturgi bekerja untuk mengontrol eksistensi pasukan inong balee di masa konflik? 3. Bagaimana kontinuitas kuasa atas pasukan inong balee melalui strategi dramaturgi di pasca konflik?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mengemban dua misi utama. Pertama, menjelaskan kuasa politik maskulin merupakan usaha pengontrolan eksistensi perempuan di wilayah publik. Kedua, memahami bahwa keterlibatan perempuan dalam politik kerap
7
dijadikan sebagai alat politik bagi laki-laki. Simbol perempuan punya andil sebagai tujuan politik laki-laki dalam kondisi politik tertentu.
D. Literatur Review: Eksistensi Perempuan dalam Dinamika Politik Perempuan dan Perempuan dalam Politik Lokal Pasca Konflik Dalam mengkaji politik perempuan tidak terlepas dari pengaruh dominasi budaya partiarkhi baik disengaja maupun tidak disengaja. Budaya partiakhi merupakan hasil konstruksi sosial yang menempatkan perempuan cenderung berada pada posisi warga kelas dua. Beavoir dalam buku feminis thought (Tong, 2010) menyebutnya dengan istilah the second sex, khususnya dalam dunia politik. Menurut Elizabeth Frazer (2009: 85), politik adalah praktik dan studi tentang kekuasaan untuk memerintah. Praktik dimaknai mencakup: penggunaan, pengaturan, pengaruh atau tekanan terhadap pemerintah, tentu saja perlawanan terhadap pemerintahan dan kekuasaannya. Selayaknya perempuan dapat memposisikan diri dalam praktik politik. Praktik dominasi politik dilakukan terhadap perempuan punya aplikasi yang berbeda-beda di ranah publik. Baik perempuan telah dapat masuk ke dalam politik lalu termarginalisasi, atau perempuan tidak dibuka kesempatan untuk memasuki arena politik. Wilayah politik dianggap sebagai wilayah yang tidak aman bagi perempuan. Implikasinya terjadi pengembalian bahkan konsistensi perempuan untuk berada di ranah domestik. Konsistensi posisi perempuan menjadi pilihan politik terbaik dalam dominasi maskulin.
8
Perempuan sama dengan laki-laki dalam konteks politik. Perempuan juga memiliki kesadaran politik yang menumbuhkan gagasan-gagasan dalam upaya perubahan kondisi politik di wilayahnya. Seperti di negara Arab, penguasa politik di wilayah tersebut menyadari kesadaran politik perempuan. Penguasa politik sangat peka untuk meminimalisir keterlibatan perempuan. Nawal El Saadawi (2007) menguraikan bagaimana kesadaran politik perempuan Arab tidak memiliki kekuatan politik apapun dalam kancah perseteruan politik. Penguasa mengancam hak-hak perempuan lewat krisis ekonomi dan politik internasional. Upaya menekan kontribusi perempuan dalam politik digunakan lewat kedok agama. Menurut mereka agama hanya melegalkan perempuan tetap berada dalam porsi utama dalam ranah domestik. Terkait dengan keterlibatan perempuan dalam politik, Nikki Craske (1999) mengakui perempuan memiliki hambatan cukup besar dalam politik. Namun ia menyatakan bahwa sudah ada pergeseran penting yang baru dalam hubungan gender dan sifat politik bahkan praktek politik. Penelitiannya di Amerika Latin menyebutkan perempuan telah dilibatkan dalam proses politik dan membuat kontribusi berharga bagi perdebatan politik gender. Seperti keterlibatan perempuan dalam institusi politik, tempat kerja, gerakan sosial, gerakan revolusioner bahkan gerakan feminis sendiri. Peningkatan menguatnya politik perempuan mulai diupayakan melalui kosep pemberdayaan gender. Perempuan terlihat telah diberdayakan dengan institusi (lembaga) mereka sendiri melalui keputusan dan tindakan. Sumberdaya medium lewat lembaga dapat digunakan dalam praktek, sehingga prestasi menjadi dampak dari lembaga (Ismail, Maimunah dkk 2011). Meskipun pemerintah dan lembaga-
9
lembaga politik tampaknya melibatkan perempuan. Namun secara kuantitas keterlibatan ini masih minim dan perempuan tetap menghadapi hambatan besar dalam politik. Gambaran yang dipaparkan oleh Waylen (1996) tentang perempuan di negara-negara ketiga. Perempuan mulai bisa masuk dalam jajaran elit politik dan turut mempengaruhi kebijakan pemerintah. Di pihak lain pemerintah memberikan dukungan bagi isu-isu perempuan dengan mendirikan komite-komite dan dewandewan perempuan. Di saat bersamaan gerakan politik perempuan popular akan menjadi marjinal dalam lingkungan politik. Isu-isu yang dibawa hanya akan terkooptasi dan tersubordinasi dalam kepentingan mayoritas elit laki-laki yang menguasai arena politik. Pengalaman yang terjadi di Asia, kehadiran perempuan di arena politik tidak membawa perubahan terhadap representasi politik perempuan yang cenderung begitu buruk (Nur Iman Subono, 2010). Kemunculan tokoh perempuan sangat berkaitan dengan diri mereka yang merupakan bagian dari keluarga atau dinasti politik. Modal perempuan sebagai bagian dari dinasti orang-orang berpengaruh dalam politik. Modal tersebut malah mendudukkan perempuan sebagai simbol alternatif non-partisan. Maksudnya di sini perempuan muncul sebagai sosok yang terlihat tidak terlibat dalam keburukan politik rezim pada saat itu. Sosok perempuan dianggap dapat dipercaya untuk memimpin rezim selanjutnya. Pengalaman ini mempertegas bahwa keberadaan perempuan dalam arena politik di-setting sebagai alat oleh politik maskulin.
10
Keberadaan perempuan dalam politik sudah mulai dipertanyakan. Ada indikasi keberadaan perempuan dalam politik hanya sebagai aksesoris politik, tanpa memiliki motivasi dan kompetensi cukup memadai untuk terjun ke dalam dunia politik (Asfar, hal 399, 2004). Capaian jenjang posisi perempuan di politik sekedar mempergunakan modal dinasti politik untuk menempatkan posisi politik. Posisi tersebut tidak mampu membawa perubahan bagi kondisi perempuan. Padahal keberadaan perempuan setidaknya dapat membawa perubahan cara pandang khalayak ramai bahwa keberadaan perempuan dalam politik benar-benar dibutuhkan. Dimana dapat membawa perubahan bagi kondisi masyarakat secara luas. Indonesia mengalami kemunduran dalam berdemokrasi, terlihat dari penerapan hak asasi perempuan. Subversifitas perempuan dalam ranah publik khususnya politik ditenggelamkan lewat penjualan isu agama. Isu agama tidak hanya ampuh untuk melemahkan politik perempuan Arab, tetapi berlaku juga di Indonesia. Penghancuran gerakan perempuan melalui stigmatisasi negatif yang menyentuh kepekaan
religion
sehingga
ikut
menyerang
pergerakan
tersebut.
Seperti
penghancuran Gerwani pasca kejatuhan PKI (Wieringa 2010). Penghancuran Gerwani sebagai gerakan perempuan pada waktu itu meletakkan pola subordinasi kaum perempuan. Sebuah rezim berupaya memanipulasi simbol-simbol seksual secara gamblang lewat dalih pengukuhan ideologi sebuah rezim (Wieringa 2010). Isu politik seksual turut memancing kemarahan kelompok konservatif terutama kelompok berbasis agama. Kelompok tersebut ikut menyerang dan mematikan gerakan politik perempuan (baca: Gerwani). Politik stigmatisasi terhadap perempuan
11
menyimpulkan bahwa bangsa ini pernah mengalami suatu massa dimana perempuan dipaksa tidak memasuki wilayah politik (Ratna Mustika Sari 2007). Penghambatan perempuan menggunakan kedok agama atau perempuan hanya dijadikan simbol nonpartisipan menunjukkan Indonesia mengalami kemampanan demokrasi yang masih minim. Ketidakmampuan berdemokrasi dalam membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk masuk ke arena politik. Dari uraian panjang tentang politik perempuan, kita dapat menemukan beberapa pemahaman. Pertama, fakta yang ditemukan bahwa kajian tentang politik perempuan tidak selalu fokus pada politik formal, baik itu membicarakan jumlah perempuan di parlemen, birokrasi dan lain-lain. Politik perempuan juga mengaitkan eksistensi perempuan dalam ranah politik secara pergerakan nyata. Keterlibatan perempuan bukan hanya keterlibatan secara keanggotaan di lembaga atau institusi. Namun wujud eksistensi nyata atas keberadaan mereka dalam lembaga dan institusi. Keterlibatan perempuan dalam politik masih memiliki hambatan dari segi eksistensi dan peran secara nyata. Praktek politik nyata yang dapat mempengaruhi dan melakukan penekanan terhadap kebijakan dalam lembaga. Dalam kasus pasukan inong balee terlihat adanya tekanan terhadap eksistensi mereka. Pasukan inong balee menunjukkan eksistensi dan peran nyata saat konflik, namun mengalami pengkaburan pasca konflik. Keterlibatan pasukan inong balee dalam politik gerilyawan bukan berdasarkan modal dinasti politik. Akan tetapi mereka dapat menunjukkan gerakan ekstrim dalam memperjuangkan hak atas daerahnya yang telah dimonopoli oleh pusat. Mereka menentang aksi kekerasan yang
12
leluasa dilakukan semasa pemberlakukan daerah operasi militer di Aceh. Pasca konflik kondisi berubah bagi pasukan inong balee. Keterlibatan mereka tidak mendapat pengakuan dan dibatasi untuk berperan aktif dalam membentuk masa depan wilayah mereka (baca: Aceh) (Elsa Clave-Çelik, 2008). Kedua, selama ini studi tentang politik perempuan lebih mengulas peran agama menghambat perjalanan politik perempuan. Aceh sebagai daerah dengan penerapan syariat Islam tidak menutup peluang bagi perempuan untuk terlibat dalam ruang publik. Argumen Siapno (2002) tentang Aceh, melihat bahwa Islam di Aceh tidak fokus membatasi peran perempuan di publik dan merekonstruksi praktik indigenous dalam cara mendomestikkan dan mensubordinasikan perempuan. Dia menambahkan kelangsungan kehidupan masyarakat Aceh mengikuti sistem kepercayaan dan praktek indigenous. Praktek yang menimbulkan sebuah level tinggi dari kekuatan female. Keberadaan perempuan dalam hubungan paralel dengan makna tradisi Muslim (Siapno, 2002, hal: 199). Ketiga, sebuah penelitian terdahulu tentang pasukan inong balee berjudul Female Ex-Combatants Reitegration into Post-Conflict Aceh: Women at the Periphery yang ditulis oleh Dara Meutia Uning (2008: 43) membuktikan program reintegrasi berbasis ekonomi tidak membawa perubahan siknifikan terhadap ekskombatan perempuan. Namun sebaliknya telah mengasingkan mereka dari masyarakat dan sebagai gantinya Aceh terjebak ke lingkaran ketergantungan. Ia juga menambahkan bahwa pasca Mou Helsinki perempuan eks-kombatan (baca: pasukan inong balee) semakin terpinggirkan dalam mengakses manfaat ekonomi serta posisi
13
keuntungan di pemerintah daerah. Berbeda halnya dibandingkan dengan mantan kombatan laki-laki. Implikasinya mereka tidak mampu meningkatkan status sosial mereka seperti halnya mantan kombatan laki-laki. Padahal pada masa konflik, pengorbanan yang dilakukan eks-kombatan baik itu perempuan dan laki-laki tidak berbeda. Studi ini berangkat dari literatur-literatur tentang politik perempuan. Politik perempuan secara tersirat mengindikasikan bahwa perempuan sulit eksis secara nyata dalam ranah politik. Keterlibatan perempuan dalam politik sering kali dijadikan sebatas simbol. Simbol yang dipergunakan sebagai alat politik bagi laki-laki. Dalam kasus ini, asumsi penggunaan simbol perempuan semakin menguat dengan melihat hasil kajian Siapno (2002). Menurutnya Aceh tidak mengalami partiarki Islam dalam peran perempuan di arena publik. Apabila faktanya demikian, bagaimana eksistensi dari sebuah pergerakan perempuan yang telah nyata dapat menghilang dalam dinamika politik Aceh? Selanjutnya apabila thesis Uning (2008) tentang pasukan inong balee lebih memfokuskan pada dampak program reintegrasi berbasis ekonomi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi yang menyebabkan ketergantungan. Namun studi ini lebih menekankan bagaimana cara bekerjanya kuasa maskulin mengontrol gerakan politik perempuan.
E. Kerangka Teori Studi ini dalam upaya mengungkap logika dan cara kerja strategi pengontrolan terhadap perempuan. Strategi pengontrolan oleh politik maskulin
14
mempergunakan simbol perempuan sebagai alat politik mereka. Akibatnya posisi politik perempuan (baca: pasukan inong balee) yang hanya sebatas simbolik sehingga dengan mudah berlangsung proses penyetiran eksistensi pasukan inong balee pada masa konflik dan hilangnya eksistensi pasukan inong balee pasca konflik Aceh. Ada beberapa hal yang perlu dijadikan kerangka teori. Pertama, studi ini ingin menjelaskan
strategi
dalam
mempengaruhi
eksistensi
perempuan
dengan
menggunakan konsep Goffman tentang strategi dramaturgi. Dimana menggunakan analisis dramaturgis (permainan panggung) yang mengibaratkan perpolitikan pasukan inong balee sebagai drama sehingga tidak terlepas dari proses institusionalisasi dan labeling, manajemen kesan, jarak peran dan stigma serta analisis kerangka (dalam Ritzer, 2012). Proses-proses tersebut telah di-setting oleh sebuah tim di back stage, dimana menjelaskan ada upaya pengontrolan oleh tim di back stage terhadap objek (pelaku drama) yang berada di front state (baca: pasukan inong balee). Kedua, studi ini ingin menelaah politik dalam analisis mikro dengan pendekatan aktor untuk mengungkap makna kuasa dalam interaksi yang menempel pada struktur atau lembaga. Dimana dapat mengkaji perubahan eksistensi politik perempuan dalam tubuh gerilyawan perempuan (baca: pasukan inong balee) sangat terlihat saat konflik dalam struktur GAM, lalu kemudian eksistensinya menghilang pasca Mou Helsinki walaupun secara keanggotaan mereka tergabung dalam struktur KPA (Komite Peralihan Aceh). Konsep Goffman sangat berkontribusi menjelaskan bekerjanya strategi permainan panggung (dramaturgi) yang menggambarkan proses
15
pergeseran gerakan politik perempuan sebagai simbol di masa konflik hingga tergeser eksistensinya pasca konflik. 1. Politik Dominasi Diri dan Dramaturgi: melalui Proses Institusionalisasi dan Labeling Dalam sebuah kehidupan sosial, manusia tidak terhindar dari interaksi sosial. Interaksi sosial yang melukiskan sebuah permainan panggung. Permainan panggung yang tidak hanya menggambarkan interaksi sosial antara pemeran dan audiens, namun juga interaksi pemain dengan tim yang menyusun skenario. Menurut Goffman, manusia cenderung terlibat dalam pelaksanaan permainan panggung, berfokus pada dramaturgi. Pandangan mengenai kehidupan sosial sebagai serangkaian sandiwara dramatik mirip dengan yang ditampilkan di panggung. Goffman
menyimpulkan
mengenai
diri
yang
dibentuk
oleh
pendekatan
dramaturgisnya (Alieva 2008; dalam Ritzer, 2012: 637). Kehidupan sosial sebagai suatu panggung yang di atasnya manusia memerankan diri mereka. Mereka menjelaskan dukungan sosial yang ditekan menjadi kehadiran untuk melayani orang lain (PIP JONES 2010:144). Permainan panggung menjadi pola interaksionisme simbolik dalam menggunakan
simbol-simbol
seperti
yang
dikonsepkan
oleh
Goffman.
Interaksionisme simbolik melihat bagaimana kehidupan sosial secara harfiah adalah “interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol” (Goffman dalam PIP JONES 2010:142). Interaksionisme simbolik menelusuri cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa yang mereka maksud dan berkomunikasi satu sama lain.
16
Interpretasi atas simbol-simbol tercipta terhadap kelakuan pihak-pihak yang terlibat selama interaksi sosial. Dampak yang terlihat dari interpretasi ditimbulkan oleh interaksionisme simbolik bagi teori tindakan sosial adalah elaborasi dan menjelaskan berbagai interpretasi terhadap orang lain. Interpretasi terhadap identitas sosial individu yang menjadi objek dari hasil interpretasi. Dalam hal ini Goffman (Goffman dalam PIP JONES 2010:146) menggambarkan permainan panggung dengan menunjukkan penggunaan simbolsimbol sebagai wujud simbolisasi dalam interaksi. Wujud simbolisasi tidak terlepas dari dampaknya yang melahirkan teori labeling. Teori labeling sebagai wujud penggunaan simbol-simbol yang lahir dari interaksionisme simbolik. Di sini ia menjelaskan bahwa manusia kadang-kadang menjadi korban interpretasi atau label orang lain. Selama identitas sosial mereka dapat dipengaruhi atau bahkan menentang kehendak mereka dalam sebuah permainan panggung. Teori labeling memperlihatkan dalam proses labeling tidak dapat melawan dampak yang diberikan terhadap dirinya. Ketepatan dan kebenaran suatu label tidak menjadi berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kekuasaan dari dampaknya. Dapat dikatakan, bahwa teori labeling memainkan relasi kuasa sebagai dampak dari hasil intepretasi. Hasil intepretasi dari objek yang dilabel biasanya mengalami proses institusionalisasi yang kemudian menggambarkan aktor di panggung depan. Goffman menganalogikan pertunjukkan dramaturgi sebagai sebuah analogi teatrikal, yang mana berbicara tentang adanya panggung belakang (back stage) dan panggung depan (front stage).
17
Proses institusioalisasi berlangsung di panggung belakang. Panggung belakang (back stage) didiskusikan oleh Goffman ialah tempat fakta-fakta yang ditindas di panggung bagian depan atau berbagai jenis tindakan-tindakan informal bisa kelihatan. Panggung belakang dijaga sedemikian rupa agar audiens tidak dapat memasukinya. Di panggung belakang (back stage) merupakan ruang dimana berjalannya skenario pertunjukan oleh “tim”. Suatu tim adalah setiap sekumpulan individu bekerja sama dalam mementaskan rutinitas tunggal (Goffman dalam Ritzer, 2012: 614). Tim ini mengatur pementasan masing-masing aktor, dimana aktor-aktor memerankan perannya masing-masing sesuai dengan skenario yang ditetapkan. Tim berupa sejenis agen serikat rahasia yang tidak terlihat secara langsung oleh audiens. Ia sebagai agen yang melakukan dominasi diri sehingga setiap peran telah terstruktur baku sesuai kesepakatan skenario. Dramaturgi hanya dapat berlaku di institusi total. Institusi total dimaksud ialah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasaan (hegemoni) dan hierarki yang jelas. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Goffman juga menambahkan, objek yang dilabelisasi akan benar-benar “dikoloni” atau “diinstusionalisasi”. Pada proses institusionalisasi terdapat realisasi
18
kuasa yang tidak seimbang, membuat objek tidak mampu menolak dominasi yang terjadi pada dirinya. Pelaksanaan kekuasaan dalam interaksi tersebut bekerja melalui normalisasi “kebencian” dan “ketakutan” menjadi sebuah kebenaran ( Goffman dalam Gardner 1989). Pembenaran atas wacana tersebut merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan (Goffman dalam West 1996). Pada akhirnya pembenaran akan mempermudah proses labeling terhadap perempuan. Proses institusionalisasi memainkan pola politik dominasi diri terhadap orang yang diinterpretasikan dengan labeling. Goffman (1968, dalam PIP JONES 2010:150) mendefinisikan institusi total sebagai tempat-tempat tinggal dan bekerja dimana sejumlah orang yang dikondisikan sama dipisahkan dari masyarakat yang lebih luas untuk waktu yang cukup lama. Mereka bersama-sama menjalani kehidupan yang diatur secara formal berdasarkan jadwal-jadwal yang ketat. Pengaturan kehidupan benar-benar dirancang untuk mengganti citra-diri yang ada dengan yang baru. Citra diri yang lebih dapat diterima oleh institusi. Prosedur yang digunakan dalam proses institusionalisasi dirancang dengan membuang semua simbol kasat mata orang yang dilabel. Menggantikannya dengan indikasi-indikasi seseorang yang baru sesuai kehendak institusi, seperti pakaian, gaya rambut, dan lain-lain. Setelah itu objek akan lebih menyukai kehidupan di dalam institusi dari pada di luar institusi. Orang-orang tersebut akan “benar-benar berubah” citra diri mereka. Bukan hanya mematuhi tetapi juga meniru model peran petugas. Institusionalisasi menampakkan adanya kuasa. Penggunaan label-label menunjukkan tentang penggunaan kekuasaan. Penggunaan kekuasaan ini biasanya
19
diletakkan pada orang-orang yang paling tidak berdaya dan paling tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yakni orang-orang yang paling tidak mampu melawan proses itu (Goffman dalam PIP JONES 2010:152). Dengan demikian, teori labeling memandang hubungan antara orang yang membuat label dan yang dilabel di daerah kehidupan sosial ini secara esensial adalah kekuasaan. Setelah proses institusionalisasi di panggung belakang, maka panggung depan menjadi panggung yang dapat terlihat jelas oleh para audiens. Panggung bagian depan adalah bagian dari sandiwara yang secara umum berfungsi dengan caracara yang agak baku. Pada umumnya untuk mendefinisikan situasi bagi orang-orang yang mengamati sandiwara agar dapat menikmati sandiwara dengan jelas. Di panggung depan terdapat bagian depan-latar (setting front) dan bagian depan-pribadi (front personal). Depan-pribadi (front personal) menampilkan penampilan dan gaya. Penampilan menunjukkan barang yang mengenalkan status aktor, sedangkan gaya menunjukkan peran yang dimainkan oleh aktor. Aktor terlihat menggunakan identitas baru yang lebih sesuai untuk memenuhi kebutuhan institusi. Objek yang institusionalisasi akan menghindari kekacauan dengan memainkan peran apapun yang diinginkan oleh institusi. Dampak labeling oleh organisasi terhadap konstruksi kepribadian sosial dan khususnya terhadap terciptanya citra diri yang baru. Bekerjanya tim di belakang pementasan dramaturgis dengan proses institusionalisasi dan labeling yang mengarah pada berlangsungnya pengontrolan gerakan perempuan sebagai aktor. Gerakan dimana aktor akan memerankan diri dalam permainan panggung. Diri atau pribadi
20
sebagai alat politik. Pengontrolan terhadap diri mengarah pada wujud monopoli terhadap aktor. Mengatur dan mengontrol diri (baca: perempuan) secara sistemik (West 1996). Dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan terjadi hubungan penganiayaan sistemik atas perempuan dalam politik dan penyalahgunaan sistemik perempuan di ranah publik (West 1996).
2. Manajemen Kesan: Konsistensi Dominasi Diri Manajemen kesan menjadi sesi khusus yang dilancarkan oleh tim dramaturgi agar kesan tertentu yang ditangkap oleh audiens terhadap para aktor tidak berubah. Para aktor berharap bahwa pengertian diri yang mereka sajikan kepada audiens. Akan cukup kuat bagi audiens untuk mendefinisikan para aktor seperti yang diinginkan aktor itu (Ritzer 2010 642). Aktor-aktor telah di-setting oleh timnya terkait teknikteknik yang digunakan para aktor. Tujuannya untuk memelihara kesan-kesan tertentu dalam menghadapi masalah-masalah yang mungkin mereka jumpai. Serta metodemetode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Secara umum, manajemen kesan (P.Manning, 2005c, dalam Ritzer 2012: 642) diorientasikan untuk menjaga serangkaian tindakan yang tidak diharapkan. Seperti halnya gerak isyarat yang tidak diinginkan, gangguan yang tidak menguntungkan, kecerobohan, dan juga tindakan-tindakan yang tidak diinginkan seperti membuat onar. Ganguan-gangguan itu diperkirakan akan mengganggu peran yang sedang dimainkan para aktor dan terganggunya keberlangsungan jalannya panggung sandiwara tersebut.
21
Goffman memaparkan berbagai metode menangani masalah-masalah itu (dalam Ritzer 2010, 642). Pertama, metode yang digunakan ialah dengan tindakantindakan
yang
bertujuan
menghasilkan
kesetiaan
dramaturgis.
Misalnya
menumbuhkembangkan kesetiaan yang tinggi dalam kelompok, mencegah anggota tim mengindentifikasi sang audiens, dan mengubah para audiens secara periodik sehingga mereka tidak dapat terlalu kenal dengan para pemain sandiwara. Kesetiaan terhadap
dramaturgis
menjadi
penting
mengingat
pentingnya
konsistensi
keberlangsungan dramaturgis. Kesetiaan tersebut juga mengukuhkan konsistensi terhadap dominasi diri yang sedang berlangsung pada aktor. Audiens yang tidak terlalu mengenal diri aktor diharapkan bahwa aktor tidak terlalu terkontaminasi dengan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para audiensnya. Kedua, Goffman menyarankan berbagai bentuk disiplin dramaturgis. Seperti memusatkan pikiran untuk menghindari salah ucap, menjaga pengendalian diri, dan mengatur ungkapan raut wajah dan nada verbal sandiwara seseorang. Dalam tubuh gerakan gerilyawan, disiplin dramaturgis menjadi syarat utama untuk menjaga konsistensi gerakan. Setiap anggota telah didoktrin sedemikian rupa agar tetap berpegang teguh dengan peran-peran yang telah dipilihkan oleh tim. Hal itu sangat bermanfaat untuk keberlangsungan permainan panggung yang telah disepakati. Ketiga, dia mengenali berbagai tipe sifat hati-hati dramaturgis. Seperti menentukan
terlebih
dahulu
bagaimana suatu
pementasan
harus
berjalan,
merencanakan keadaan darurat, menyeleksi kawan seregu yang setia, menyeleksi para pendengar yang baik, melibatkan diri di dalam tim-tim kecil yang kurang mungkin
22
dirundung perselisihan, hanya membuat penampilan-penampilan singkat, mencegah audiens mengakses informasi pribadi, dan memutuskan berdasarkan agenda yang komplet untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak teramalkan. Proses institusionalisasi bagi para objek merupakan usaha untuk mengenali sifat hati-hati dramaturgis. Ketiga metode manajemen kesan yang dipaparkan oleh Goffman memperlihatkan bahwa strategi manajemen kesan diperuntukkan agar konsistensi dominasi
diri
bersifat
permanen.
Upaya
menghindari
gangguan
terhadap
berlangsungnya permainan panggung yang sedang berlangsung.
3. Jarak Peran dan Stigma: Strategi Pergeseran Peran dan Eksistensi Konsep yang selanjutnya diperlihatkan oleh Goffman ialah jarak peran dan stigma. Jarak peran membahas derajat ketika para individu memisahkan diri dari peran-peran mereka (Butera 2008, dalam Ritzer 2012: 643). Penarikan peran pada diri individu dikondisikan pada pergantian permainan panggung yang akan dilaksanakan. Hal ini yang kemudian menjadi strategi pengkaburan eksistensi diri terhadap peran yang mereka dilakonkan oleh seorang individu. Salah satu wawasan kunci Goffman ialah bahwa jarak peran adalah suatu fungsi dari status sosial seseorang. Berkaitan dengan stigma, Goffman (1963, dalam Ritzer 2010: 644) tertarik pada jurang antara seperti apa seseorang seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan seperti apa seseorang secara aktual, “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang
23
mempunyai celah di antara dua identitas tersebut distigmatisasi. Stigma berfokus pada interaksi dramaturgis antara orang yang terstigmatisasi dan orang-orang normal. Maksudnya di sini, proses stigmatisasi yang mengarah pada aktor memerankan interaksi dramaturgis mesti dikelola sehingga tidak merusak penilaian audiens terhadap aktor bahkan tidak mengganggu berjalannya proses politik yang sudah di setting oleh tim. Dapat dilihat bahwa seseorang dengan stigma yang didiskredit. Masalah dramaturgis mendasar ialah mengelola ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa orang-orang mengetahui masalah itu. Untuk seseorang dengan stigma yang dapat didiskredit, masalah dramaturgis ialah mengelola informasi sehingga masalah itu tetap tidak diketahui oleh para audiens. Stigma buruk yang tersebar dan diketahui oleh audiens akan menganggu keberlangsungan interaksi dramaturgis. Tindakan kepatuhan itu termasuk sebuah proses untuk menghilangkan stigmatisasi yang melekat pada diri aktor. Dengan demikian, pengelolaan jarak peran dan stigma menjadi strategi mengarah pada pergeseran peran dan eksistensi diri yang disetir oleh subjek.
4. Analisis Kerangka (Frame Analysis) sebagai Kristalisasi Politik Hierarki Analisis kerangka yang dikonsepkan oleh Goffman menyiratkan bahwa tindakan lebih banyak didefinisikan melalui ketaatan mekanis kepada aturan-aturan daripada melalui suatu proses aktif, kreatif, dan dinegosiasikan (dalam Ritzer 2010,
24
645). Goffman menyatakan tujuannya dengan jelas: “berusaha untuk memisahkan beberapa dari kerangka kerja dasar pengertian yang tersedia di masyarakat kita untuk mengerti peristiwa-peristiwa dan menganalisis kerentanan khusus yang melanda kerangka acuan (1974:10, dalam Ritzer 2010: 645). Aturan-aturan sebagai alat legitimasi agar kerangka acuan tetap berada pada kesepakatan awal. Kerangka acuan sebagai sejumlah komponen esensial yang mempunyai susunan yang jelas. Selain itu hubungan-hubungan yang stabil selalu ditemukan bersama sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, kerangka sangat dekat dengan penggambaran akan “struktur-struktur” (Gonos, 1977:860, dalam Ritzer 2010:646). Dalam mencari struktur-struktur yang mengatur secara tidak kasat mata, Goffman melihat keluar dan dibalik situasi-situasi sehari-hari. Dengan membuat peristiwaperistiwa atau kejadian-kejadian penuh arti, kerangka-kerangka berfungsi untuk mengorganisasi pengalaman dan memandu tindakan, entah itu individu ataupun kolektif” (Snow, 1986: 446, dalam Ritzer 2010: 646). Kerangka adalah prinsipprinsip pengaturan yang mendefinisikan pengalaman-pengalaman kita. Ditambahkan lagi oleh Gonos, kerangka sebagian besar adalah aturan-aturan atau hukum-hukum yang memperbaiki interaksi. Aturan-aturan biasanya tidak sadar dan biasanya tidak dapat dinegosiasi. Goffman melihat bahwa dalam sebuah interaksi terdapat struktur dan ideologi yang abadi. Bukan mengenai situasi-situasi, tetapi mengenai kerangka-kerangkanya (1980:160, dalam Ritzer 2010: 646). Kerangkakerangka yang secara tidak sadar memaksa aktor tersebut untuk tetap berada dalam
25
lingkaran kerangka acuan. Kesepakatan politik yang telah dibuat tetap terjaga. Walaupun kondisi atau situasi maupun cara aplikasi tujuan politik yang telah berbeda. Snow (2007, dalam Ritzer 2010: 647) memaparkan kerangka-kerangka melaksanakan tiga fungsi di dalam karya intepretatif. Pertama, mereka memfokuskan perhatian pada sekitar kita dengan menyoroti apa yang relevan atau tidak relevan mengacu pada yang ada di dalam kerangka. Kedua, mereka bertindak sebagai mekanisme-mekanisme artikulasi dengan menghubungkan berbagai unsur yang disoroti, sehingga suatu “cerita” diceritakan tentang mereka. Sekumpulan arti yang satu disampaikan ketimbang kumpulan arti yang lain. Ketiga, mereka melayani fungsi transformatif melalui pembentukan kembali cara melihat sesuatu dan sehubungan dengan hal-hal lain atau sang aktor. Pada akhirnya Goffman berfokus pada aturan-aturan dan melihatnya sebagai pembatas eksternal terhadap perilaku sosial. Bagi Goffman aturan-aturan dapat menjadi pembatas dan sumber daya untuk digunakan oleh orang-orang di dalam interaksi sosial. Di sisi lain, kerangka yang diaplikasikan lewat aturan-aturan sebagai pembatas dapat mengkristalkan politik hierarki. Politik hierarki disesuaikan dengan kondisi medan dan cara menguasai medan. Dengan demikian jalur gerakan aktor tetap di bawah garis komando. Konsep yang kemukakan oleh Goffman memiliki kontribusi besar dalam menjelaskan menghilangnya eksistensi gerakan politik perempuan (baca: pasukan inong balee) dalam dinamika politik Aceh kontemporer. Kuasa maskulin atas simbol perempuan yang dilibatkan dalam interaksi di arena sosial. Kemudian ada kuasa yang
26
menempel pada struktur sehingga melanggengkan kuasa tersebut. Konsep Goffman tentang strategi dramaturgi cukup memperjelas bahwa dalam arena pertarungan sosial diibaratkan seperti permainan panggung (dramaturgis) memiliki metode-metode tertentu agar proses politik dapat sampai pada tujuannya. Permainan panggung tersebut coba diskenariokan oleh tim sebagai bentuk legitimasi keberlangsungan permainan panggung. Diantaranya
membutuhkan beberapa metode seperti
manajemen kesan, jarak peran dan stigma, serta analisis kerangka. Sebelum masuk pada permainan panggung yang sudah di-setting, aktor melewati proses institusionalisasi dan labeling sebagai proses penanaman ideologi, etika, sikap serta strategi tindakan.
F. Alur Pemikiran Alur pemikiran dalam penelitian ini ingin menggambarkan terjadinya pola kuasa politik maskulin dalam upaya mengontrol eksistensi perempuan (baca: pasukan inong balee). Pengontrolan eksistensi perempuan dalam relasi kuasa tersebut menggunakan strategi dramaturgi dimana layaknya pementasan permainan panggung. Proses berlangsungnya drama terjadi dalam beberapa proses. Pertama, dominasi diri dilakukan dengan melewati dua proses, yaitu proses institusionalisasi dan proses labeling. Kedua, terbentuknya image melalui proses manajemen kesan. Ketiga, jarak pesan dan stigma yang diperuntukkan untuk penggeseran eksistensi diri di arena politik. Keempat, kristalisasi politik hirarki dengan kepatuhan pasukan inong balee
27
terhadap analisis kerangka yang telah ditetapkan oleh tim di back stage (baca: maskulin).
Bagan Alur Pemikiran Dominasi Diri: 1. Proses Institusionalisasi 2. Proses labeling
Manajemen Kesan: Membentuk Image Pasukan Inong Balee Dominasi Maskulin
Strategi Dramaturgi Sebagai Upaya Pengontrolan Terhadap Eksistensi Perempuan
Pergeseran Eksistensi Pasukan Inong Balee Melalui: 1. Jarak Peran Stigma
Kepatuhan pada Analisis Kerangka: dalam Bingkai Politik Hirarki
G. Definisi Konseptual Untuk dapat lebih memberikan arahan pada fokus studi ini perlu dilakukan generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empirik. Hal ini bertujuan agar dapat lebih mudah untuk dipahami dengan membuat pembatasan dan penegasan definisi konsep sebagai berikut: 1. Dilematisasi disini lebih kepada membaca posisi politik perempuan dalam realisasi keberlangsungan politik yang diibaratkan sebagai panggung. Posisi
28
perempuan sebagai objek dalam drama membuat laki-laki dapat dengan mudah melakukan pengontrolan atas perempuan dan berimplikasi pada eksistensi dan peran perempuan (pasukan inong balee) di ranah politik. 2. Strategi dramatugi dilakukan oleh politik maskulin yang bekerja dengan menggunakan perpolitikan diibaratkan seperti sebuah permainan panggung. Pementasan panggung ini tidak terlepas dari kontrol satu pihak kepada pihak lain, dimana terdapat pembagian panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan diisi oleh pasukan inong balee sebagai objek yang memerankan drama. Sedangkan terdapat tim dipanggung belakang yang diisi oleh pihak laki-laki sebagai pembuat skenario dalam mengontrol eksistensi dan peran objek (pasukan inong balee). Penulis mengambarkan pementasan permainan panggung berlangsung dalam beberapa proses, diantaranya proses institusionalisasi dan labeling, manajemen kesan, proses jarak peran dan stigma serta analisis kerangka. Berikut definisi konsepsi tersebut: 1)
Dominasi diri melalui proses institusionalisasi dan labeling. Proses institusionalisasi akan membentuk objek (pasukan inong balee) melewati perubahan intepretasi atas dirinya yang dibentuk dalam sebuah institusi total. Institusi total menjadi sebuah institusi yang dikendalikan oleh laki-laki. Proses institusionalisasi diintepretasikan dengan labeling, sehingga akan membedakan intrepretasi terhadap seorang eks-kombatan perempuan dengan perempuan lain.
29
2)
Manajemen kesan menjadi salah satu strategi laki-laki dalam mensetting perempuan untuk memelihara kesan-kesan tertentu. Strategi ini menjadikan pasukan inong balee sebagai salah satu alat politik yang dapat mendukung tujuan politik laki-laki dalam membentuk image pergerakan pada masa konflik maupun pasca konflik.
3)
Jarak peran dan stigma menjadi salah upaya praktek kuasa dalam melakukan pergeseran eksistensi perempuan. Jarak peran menjadi konsep yang penulis pilih untuk menggambarkan perempuan digiring untuk memberi jarak dari eksistensi dan peran mereka dalam kondisi politik tertentu. Di sisi lain stigma merupakan bentuk virtual yang akan mengganggu berlangsungnya permainan panggung yang sedang dilaksanakan oleh laki-laki. Permainan panggung pada masa konflik dan pasca konflik akan membutuhkan strategi yang berbeda. Dengan demikian pelepasan eksistensi dan peran dianggap sebuah trik untuk menjaga kelangsungan tujuan politik maskulin.
4)
Analisis kerangka merupakan bentuk aturan yang tidak bisa dinegosiasikan. Politik hirarki menerapkan analisis kerangka untuk menjaga kepatuhan dari hubungan yang stabil dalam sebuah sistem.
30
H. Definisi Operasional Setelah penulis memposisikan definisi konsep sebelumnya, penulis juga memberikan kerangka operasional sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam memaknai penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut. • Dilematisasi eksistensi politik perempuan melalui politik dramaturgi dimaknai penulis seperti bentuk praktek kuasa laki-laki dalam mengontrol eksistensi perempuan melalui permainan panggung politik. Kemenangan dalam mendominasi interaksi laki-laki terhadap perempuan yang digunakan sebagai modal untuk mengontrol eksistensi politik pasukan inong balee selayaknya pementasan permainan panggung. Adapun indikator dalam proses pencapaian tersebut yakni: Strategi dramaturgi: strategi permainan panggung yang dipraktekkan oleh politik maskulin dalam mengontrol eksistensi dan peran pasukan inong balee dalam ranah politik. Penulis menggunakan strategi dramaturgi yang berlangsung dalam beberapa aspek. a. Institusionalisasi dan labeling -
Terbentuknya identitas baru sesuai kebutuhan institusi
-
Ketertarikan terhadap kehidupan dalam institusi
-
Memainkan peranan yang diinginkan institusi
-
Penyeragaman interpretasi diri
-
Perubahan citra diri
31
b. Manajemen kesan -
Gerakan mengikuti garis komando
-
Menumbuhkan kesetiaan pada tim atau institusi
-
Pengendalian diri dan disiplin dengan aturan dalam komando
-
Kehati-hatian dalam gerakan
c. Jarak peran dan stigma -
Pemisahan diri dari peran
-
Pergantian peran gerakan kelompok perempuan
-
Pencegahan stigmatisasi terhadap agenda politik eks-kombatan
d. Analisis kerangka -
Aturan baku tanpa negosiasi dalam institusi
-
Hirarkisasi garis komando
-
Pengorganisasian tindakan dan memandu tindakan
-
Terdapat struktur dan ideologi yang abadi
-
Pembatas eksternal perilaku pasukan inong balee
I. Metode Penelitian Studi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang sifatnya menjelaskan tentang kuasa politik maskulin dalam menyetir eksistensi gerakan politik. Kuasa maskulin dapat dijelaskan dengan dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan ini memerlukan cara sistematis dalam menggali informasi tentang kelompok pasukan inong balee yang memungkinkan peneliti untuk mengerti bagaimana proses
32
pergeseran eksistensinya berlangsung (Berg, 2001). Di samping itu penulis memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer dalam konteks eksistensi perempuan secara nyata yang mengalami pergeseran (Yin, 2006). Beberapa rasionalitas penulis menggunakan studi kasus. Pertama, penulis menganggap fenomena memudarnya eksistensi pasukan inong balee dalam politik lokal Aceh pasca konflik perlu kecermatan dalam mengungkap hal spesifik yang tidak terungkap dan dapat menangkap makna dibalik kasus. Kedua, kuasa politik maskulin bisa saja merambah pada berbagai sendi gerakan politik perempuan. Namun kasus pasukan inong balee ini merupakan suatu hal yang spesifik dan memiliki batasan. Hal itu disebabkan gerakan pasukan inong balee merupakan gerakan perempuan yang memiliki kekhususan dalam bentuk gerilyawan di Aceh pada masa konflik. Studi kasus dirasa relevan dalam mengkaji kuasa politik maskulin yang mempengaruhi eksistensi pasukan inong balee dalam dinamika politik Aceh. Penelitian kualitatif di sini lebih bersifat intrinsic case study dalam pemilihan kasus sebagai objek penelitian yaitu peneliti ingin mengetahui secara instrinsik atau mendalam fenomena dan kekhususan kasus (Salim dan Formen, 2006). Peneliti ingin memahami lebih mendalam instrinsik fenomena praktek kuasa yang dimainkan oleh politik maskulin dalam menyetir gerakan pasukan inong balee. Gerakan pasukan inong balee sebagai sebuah gerakan militan yang jarang sekali ditunjukkan oleh gerakan perempuan pada umumnya. Namun politik maskulin berhasil menggeser gerakan pasukan inong balee. Dari sebuah gerakan politik
33
perempuan yang eksis bersama kombatan laki-laki dalam konflik Aceh. Memudarnya eksistensi mereka dalam politik Aceh yang dikuasai oleh mayoritas eks-kombatan GAM pasca Mou Helsinki.
1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan Provinsi Aceh, namun hanya memilih lokasi di pantai timur Aceh. Dari segi letak, wilayah-wilayah tersebut terletak di bagian pesisir pantai timur Aceh. Wilayah pantai timur Aceh merupakan regional yang menjadi basis utama GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Walaupun GAM juga memiliki basis massa di Aceh bagian tengah dan wilayah pantai barat selatan. Namun basis massa GAM pada pantai timur Aceh lebih mengakar. Penentuan wilayah tersebut didasarkan oleh beberapa alasan. Pertama, menjadi wilayah pertama yang mendeklarasikan bergabungnya pasukan inong balee dalam struktur gerilyawan GAM. Kemudian gerakan pasukan inong balee meluas sepanjang wilayah di pantai timur Aceh tersebut. Kedua, wilayah tersebut memiliki massa riil GAM mencakup pasukan inong balee di dalamnya. Karena wilayah ini menjadi basis terkena dampak DOM (Darurat Operasi Militer) terparah. Aksen psikologi historis konflik masih melekat kuat pada benak pasukan inong balee itu sendiri. Ketiga, wilayah-wilayah yang menjadi lokasi penelitian ini memiliki struktur komando kepala wilayah (panglima sagoe) mantan gerilyawan yang masih jelas.
34
2. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka pengumpulan data peneliti melibatkan diri dan berinteraksi secara langsung dengan pasukan inong balee. Berikut beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan, diantaranya:
1. Desk Study Langkah ini diambil untuk membantu menemukan dinamika realitas sosial pada tahap awal bagi pasukan inong balee sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Langkah ini juga sangat membantu membentuk kerangka pikir praktek kuasa oleh politik maskulin melalui pengontrolan eksistensi pasukan inong balee pada massa konflik maupun pasca konflik. Data dari hasil desk studi merupakan data sekunder mengenai pasukan inong balee yang didapatkan dari catatan, transkip, catatan etnografis yang kaitannya dengan konflik maupun pasca konflik, buku, notulensi, agenda, media massa, laporan penelitian, jurnal, majalah dan sebagainya. 2. Field study Field study bertujuan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan dengan penelitian ini, baik dilakukan dengan cara observasi (pengamatan) maupun mewawancarai informan. a) Pengamatan terlibat/ observasi partisipasi Pengamat dalam konteks yang diamati, beriteraksi dengan pasukan inong balee dan orang-orang di sekitar pasukan inong balee. Pengamatan terhadap lingkungannya menjadi penting untuk menelaah lebih dalam
35
tentang pasukan inong balee sebagai objek kajian yang diamatinya. Tehnik ini digunakan untuk mengadakan pengamatan langsung dan membuat catatan yang sistematis terhadap fenomena dominasi kuasa maskulin dengan melihat aktivitas politik eks-kombatan dalam KPA. Pencatatan akan menginput data seberapa besar keterlibatan pasukan inong balee dalam agenda politik KPA. Pengamatan juga dilakukan untuk mendapatkan data kegiatan dan eksistensi pasukan inong balee pasca konflik, sehingga dapat tergambar seberapa besar eksistensi dan peran mereka saat ini dalam politik Aceh b) Wawancara mendalam (indepth interview) Wawancara mendalam penting dilakukan dalam penelitian ini untuk menyelami lebih jauh perspektif pasukan inong balee tentang eksistensi dirinya yang mengalami perubahan dari masa konflik sebagai latar hingga pasca konflik. Wawancara lebih lanjut secara formal pada lembaga yang mengetahui gerakan gerilyawan eks-kombatan yaitu dengan mewawancarai KPA (Komite Peralihan Aceh) dan LINA (Liga Inong Aceh). Adapun informan atau responden yang menjadi target dari studi ini meliputi: a. Para mantan pasukan inong balee yaitu eks-kombatan perempuan dalam tubuh GAM yang ikut bergerilya pada masa konflik Aceh berlangsung, baik pasukan inong balee yang berada di wilayah pesisir Aceh.
36
b. KPA (Komite Peralihan Aceh) sebagai wadah tranformasi mensipilkan gerakan eks-kombatan ke dalam tubuh sipil. Lembaga ini yang kemudian menampung semua eks-kombatan pasca Mou Helsinki, sekaligus sebagai motor penggerak kekuatan mantan eks-kombatan di grass root. c. LINA (Liga Inong Aceh), yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan para pasukan inong balee pasca konflik Aceh. d. Masyarakat lokal di beberapa wilayah penelitian. Ini menjadi penting untuk membantu kita dalam melihat pasukan inong balee dalam perspektif masyarakat setempat pada masa konflik dan pasca konflik sehingga dapat menggambarkan pasukan inong balee dengan lebih terperinci.
3. Metode Analisis Data Penelitian ini akan menggunakan studi kasus jamak dengan single level analysis (Salim dan Formen, 2006). Maksudnya di sini studi kasus yang menyoroti perilaku dari kelompok pasukan inong balee sebagai perwujudan hadirnya gerakan politik perempuan di Aceh dengan satu masalah penting, yaitu perubahan eksistensi mereka dari satu kondisi ke kondisi lain. Dalam perubahan tersebut tersirat makna yang akan lahir dari sebuah interpretasi. Untuk mengungkap makna praktek kuasa sehingga mempengaruhi eksistensi mereka maka proses analisa data penelitian kualitatif ini mengalami 3 tahap, yaitu
37
reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi (Salim dan Formen, 2006). Reduksi data dilakukan dengan melewati proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan studi. Selanjutnya penyajian data dilakukan dengan mendeskripsikan
kumpulan
informasi
tersusun
yang
memungkinkan
untuk
melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan dalam bentuk teks naratif. Tahap penarikan kesimpulan penting dalam mencari makna dari setiap gejala yang didapat di lapangan. Makna tersebut akan memperlihatkan pola penjelasan dan alur kausalitas yang dimainkan. Pada akhirnya dalam penelitian kualitatif memerlukan verifikasi data agar data yang didapatkan dapat diuji validitasnya. Pengujian dilakukan dengan triangulasi data. Tujuannya agar data tersebut akan diperkuat dengan mengadakan cross and check antara sumber data maupun narasumber satu dengan yang lain, sehingga analisis penelitian dapat diperoleh dengan signifikan. Triangulasi penyelidikan dilakukan dengan cara membandingkan informasi yang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, atau membandingkan informasi dari perspektif lain mengenai hal yang sama.
4. Sistematika Penulisan Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, studi literatur, kerangka teori, kerangka pikir, metode penelitian dan sistematika penulisan.
38
Tujuan Bab ini ingin menggambarkan kosep dasar atas masalah penelitian yang ingin diteliti. Bab II akan menjelaskan jejak sejarah keterlibatan pasukan inong balee dalam dinamika Politik Aceh. Tujuan bab ini untuk menegaskan bahwa pasukan inong balee pernah dilibatkan dalam politik Aceh. Bab III akan mendiskusikan kuasa dominasi yang bekerja dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam upaya dominasi. Pada Bab ini akan lebih detil melihat kuasa dominasi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam interaksinya dengan pasukan inong balee. Bab IV akan menjelaskan strategi dramaturgi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam mengontrol eksistensi pasukan inong balee pada masa konflik. Strategi dramaturgi akan digambarkan selayaknya pementasan permainan panggung yang diwujudkan melalui proses institusionalisasi dan labeling, manajemen kesan, jarak peran dan stigma serta analisis kerangka yang berlangsung pada masa konflik. Bab V akan membahas kontinuitas strategi dramaturgi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam mempengaruhi eksistensi pasukan inong balee pada pasca konflik. Strategi dramaturgi tetap berlangsung pada pasca konflik sehingga menggambarkan perempuan tetap menjadi alat simbolisasi politik maskulin. Bab VI berisi kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian
39