BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia tidak hanya sebagai individu, melainkan ia secara hakiki bersifat sosial. Kesosialan itu dihayati dalam berbagai lingkungan, dari yang bersifat sederhana dalam lingkungan keluarga, hingga yang bersifat kompleks dalam satuan-satuan sosial yang lebih luas dalam suatu negara. Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan berkerja sama untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Tujuan akhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wea).1 Kehidupan bernegara adalah suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat guna mewujudkan keteraturan dan agar mampu merealisasikan kepentingan bersama dalam bermasyarakat. Sebagai suatu organisasi yang besar, negara mempunyai tugas untuk melakukan usaha pencapaian tujuan secara nasional dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kelestarian kehidupan bangsa dan negara. Kepentingan negara itu meliputi keamanan, ketertiban, ketentraman, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan bangsa dan negara mutlak diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup terutama bagi manusia di negara yang beradab.
1
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm.45
1
Untuk mewujudkan tujuan negara, terutama hal yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban, maka negara dapat mewujudkannya dengan banyak cara, salah satunya dengan cara pemberian sanksi berupa penjatuhan pidana terhadap para pelaku tindak pidana, antara lain : A. Pidana Pokok 1. Pidana mati, 2. Pidana penjara, 3. Kurungan, 4. Denda. B. Pidana Tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim.2 Manusia mempunyai sifat dasar ingin selalu bahagia, senang, dan meraih keuntungan, maka semua hal yang bersifat menderitakan dan merugikan sangat dihindari oleh manusia. Dalam sanksi, terutama sanksi pidana terkandung aspek menderitakan atau merugikan, yang tentu ingin dihindari oleh setiap orang, hal ini berkaitan dengan sifat dasar manusia yang telah dijabarkan diatas. Dengan adanya aspek atau substansi menderitakan atau merugikan yang terkandung dalam sanksi pidana ini, diharapkan dapat memberikan
2
Moeljanto, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Ctk. XIX, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 5
2
tekanan dan atau paksaan secara psikologis pada setiap orang untuk tidak melanggar hukum. Hal ini berkaitan dengan teori Psychologischen Zwang, yakni sebuah sanksi pidana yang dijatuhkan memberikan tekanan dan paksaan terhadap kejiwaan serta pikiran. Dengan kata lain, teori ini memberikan sebuah peringatan terhadap pelaku tindak kejahatan, orang yang berniat melakukan tindak kejahatan atau masyarakat luas, bahwa sanksi pidana tidak hanya menderitakan badan saja, tetapi dapat menderitakan mental serta pemikirian baik si terpidana atau orang-orang disekitarnya. Fungsi hukuman sebagai salah satu alat untuk menghadapi kejahatan melalui pembalasan terhadap orang-orang yang melakukan tindak kejahatan berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari ganguan individu lainnya dalam masyarakat, dan melindungi masyarakat dari tindakan kejahatan, terus berubah seiring perkembangan waktu dan berkembang ke arah fungsi hukuman sebagai wadah pembidanaan narapidana untuk mengembalikan kedalam masyarakat. Manifestasi fungsi hukuman sebagai alat pembalasan dendam berupa hukuman mati dan hukuman penjara dengan penyiksaan-penyiksaan, berkembang ke arah hukuman sebagai alat perlindungan masyarakat, hal ini menggambarkan narapidana yang harus hidup diasingkan dalam penjarapenjara yang terpencil dalam mengalami penderitaan dan ketidak wajaran. Hukuman diterapkan demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat. Dengan demikian, hukuman yang baik adalah:
3
1. Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Menurut ibnu Hammam dalam Fatul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencengah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (refresif). 2. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan
dan
kemaslahatan
masyarakat,
apabila
kemaslahatan
menghendaki beratnya hukuman maka maka hukuman di perberat. Demikian juga sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat menghendaki ringanya hukuman, maka hukumnya diperingan. 3. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh kedalam suatu maksiat. 4. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas dendam, melainkan untuk kemaslahatannya.3 Penetapan sanksi pidana penjara sebagai hukuman dalam undangundang pidana adalah merupakan suatu kebijakan dari kriminalsasi dan penalisasi dan harus berdasarkan pertimbangan tertentu, antara lain terkait dengan efektivitas dan keberhasilannya dalam mencapai tujuan. Pada prinsipnya ada dua metode pencegahan yang terkait dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara dengan adanya pidana penjara, antara lain adalah :
3
Hukum Pidana dalam Islam, at : http://www.google.com. Mei. 25,2009.
4
A. Pencegahan Umum (General Prevention) Dengan program yang umum dan luas untuk menghindarkan orang-orang supaya tidak melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Metode ini bersifat preventif.4 Maka tujuan lain dari metode ini adalah mencegah kejahatan yang banyak terjadi selama ini. B. Pencegahan Khusus Yaitu usaha untuk mengurangi atau menekan jumlah kejahatan dan berusaha melakukan atau berbuat sesuatu dengan memperbaiki si pelaku yang telah berbuat suatu kejahatan. Metode ini bersifat represif.5 Maka tujuan lain dari metode ini adalah mengurangi kejahatan. Menurut metode represif atau pencegahan khusus yang telah dijelaskan diatas, diharapkan di dalam penjara para narapidana akan merenungi kesalahannya, sehingga hasil akhirnya adalah bertobat. Tetapi dalam kenyataannya tujuan-tujuan tersebut sering kali tidak terlaksana, dan terkesan bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari tindak kejahatan yang semakin banyak, walaupun pidana penjara banyak dijatuhkan dalam penyelesaian masalah, tapi kejahatan terkesan terus meningkat. Pidana menjauhkan
penjara penjahat
setidaknya dari
menjadi
masyarakat,
media
mencegah
sementara penjahat
untuk kembali
mengulangi kejahatannya di masyarakat, serta meredakan dan menghilangkan
4 5
Ac. Sanusi Has. Dasar-Dasar Penologi. Monora. Medan. 1977 Hlm 34. Ibid. Hlm 34
5
kegoncangan di masyarakat karena rasa kekhawatiran masyarakat terhadap kejahatan yang sering kali terjadi dilingkunganya. Pidana penjara setidaknya bisa menjadi suatu proses untuk mengubah pelaku kejahatan melalui pelaksanaan program-program di dalam penjara melalui program yang berorientasi pada pembinaan atau pelatihan. Sehingga para narapidana mempunyai kemampuan yang dapat diaplikasikan serta diterapkan dimasyarakat sekeluarnya mereka dari penjara, hal ini setidaknya dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap narapidana tersebut, dan dapat merangkul serta menerima narapidana tersebut untuk kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena melakukan tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga yang berfaedah di dalam masyarakat. Dalam buku Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di bawah judul “Negara Tanpa Penjara”, ada pemikiran menarik dari Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hazairin, SH., tentang pidana penjara. Menurutnya, “ Tidak ada orang yang merasa berbahagia, yang merasa lega, dan merasa mendapatkan ketentraman dan ketenangan jiwa dengan berdiam beberapa lama di dalam penjara. Karena itu
6
makalah penjara mestilah dihapuskan. Penghapusan penjara juga sangat menguntungkan dibidang materiil.6 Dalam literatur lainnya yang juga membahasa tentang pernyataan Hazairin dalam berpendapat tentang penjara, beliau mengatakan bahwa “Pidana penjara adalah sebuah pidana yang tidak jelas tujuan dan orientasinya. Kalaulah tujuan penjara adalah untuk pembalasan (retribusi) atas kejahatan pelaku, kenapa pidana ini sangat ‘memanjakan’ pelaku kejahatan, sampai kemudian layak – dan memang pada akhirnya-- disebut ‘lembaga pemasyarakatan’, bukannya ‘lembaga penghukuman’ misalnya? Tapi kalau memang tujuannya adalah untuk mendidik pelaku kejahatan agar menjadi baik, pidana ini tetap belum bisa dipersamakan dengan suatu lembaga pendidikan akhlak yang sesungguhnya. Karena itulah berarti, pidana ini ambigu dalam hal tujuan dan orientasinya. Bukan hanya itu, pidana ini juga sangat banyak menghabiskan dana negara. Padahal, manfaatnya tidak jelas sama sekali.7 Dengan penghapusan pidana penjara dalam sistem penjatuhan sanksi pidana di Indonesia, dapat menghemat dana negara dalam pelaksanaannya, pembangunannya, untuk pembiayaan personil, serta untuk memenuhi kehidupannya para narapidana sehari-hari. Berdasarkan pemikirannya tersebut, beliau kemudian mengusulkan dihapuskannya jenis pidana ini dari sistem hukum pidana Indonesia. Untuk
6
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, bina Aksara, Jakarta, 1981, hlm. 11 M. Lubabul Mubahitsin, Pidana Penjara dalam Pandangan Islam, http//www.google.com 7
7
at
:
mengatasi persoalan yang dihadapi hukum pidana Indonesia, beliau menyarankan agar kita kembali kepada sistem hukum pidana Islam, yang salah satunya adalah dengan cara menghapuskan pidana penjara. Beliau sangat gigih untuk memperjuangkan penghapusan pidana penjara dari sistem hukum pidana Indonesia. Karena menurut beliau, selain pidana ini tidak jelas tujuan dan orientasinya, pidana ini juga tidak dianjurkan oleh Islam. Lebih dari itu, beliau bahkan terkesan meyakini bahwa pidana ini sangat tidak sejalan dengan ajaran Islam. Qur’an tidak pernah mewajibkan umat islam menyediakan penjara, malahan tidak pernah menganjurkan atau mengajarkannya, karena Al-Qur’an tidak ada mengandung sebuah pelanggaranpun yang atasnya harus dikenakan hukuman penjara, maupun hukuman kurungan.8 Hal ini bukan karena dalam Al-Qur’an tidak mengenal istilah dan konsep tentang penjara, hal ini dapat dilihat dalam surat Yusuf yang menjelaskan istilah penjara dalam beberapa ayatnya, antara lain sebagai berikut :
! Artinya : “Wanita itu berkata: "Itulah dia orang yang kamu cela Aku Karena (tertarik) kepadanya, dan Sesungguhnya Aku Telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. dan Sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang Aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina.” (Q.S.Yuusuf :32)
8
Hazairin, SH, Loc,cit hlm 14.
8
' (
&
%
#$
"
! + ,- .
(
)*
Artinya : “Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orangorang yang bodoh.” (Q.S.Yuusuf :33)
5! # +
"
4!
3
01 2
/
Artinya : “Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tandatanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu”. (Q.S.Yuusuf :35) Berdasarkan ketiga ayat tersebut diatas, dapat dilihat bahwa Islam sudah mengenal pidana penjara. Dimana kita mengetahui, bahwa dalam negara Fir’aun penjara telah banyak diterapkan sebagai sanksi pidana. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa Al-Qur’an tidak mau memilih penjara sebagai alat hukuman. Menurut Hazairin dalam Al-Qur’an memang disebut adanya cerita mengenai lembaga penjara itu, yaitu dalam cerita mengenai lembaga penjara di zaman nabi Yusuf a.s. dalam Q.S 12 : 32, 33, dan 35 yang disebut dengan istilah “al-sijnu”. Akan tetapi, tidak terdapat keterangan yang menunjukan bahwa sistem kepenjaraan seperti itu perlu diterapkan dalam rangka hukum Islam yang harus diterapkan oleh Nabi Muhammad.9
& ,&'
8 %
)% $ : <
$% : #$ 8 4 !/ - , ,
9
(; ,*
-,!
= * 3 # $ /-
# 8
"9
67 !
/-
()
& ',
+
#$ *
* /-
+
Jimly Asshiddiqie. Pembaharuan hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, 1995, hlm
97.
9
Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (Q.S.Al Maaidah :33) Namun demikian, sebenarnya di dalam Al-Qur’an sendiri, yaitu Q.S 5 : 33 sebagaimana diterangkan diatas, terdapat indikasi yang jelas mengenai pidana atas kemerdekaan, yaitu dengan sebutan “yunfau min alardhi” yang berarti dibuang dari bumi, dari tempat kediaman yang bersangkutan.10 Pemikiran Prof. Hazairin tentang penjara tentunya bukanlah sebuah harga mati yang tidak boleh dikritisi, karena dalam kehidupan ini masalah pro dan kontra masih dangat mungkin terjadi, dan itu adalah sesuatu yang sangat wajar, sehingga dimungkinkan dan diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Apalagi, masih ada pula pemikir lain yang tidak sependapat. Prof. Dr. Jimly Asshidiqiqe misalnya, ia mengatakan bahwa meskipun gagasan ‘kepenjaraan’ itu dewasa ini tengah menghadapi gelombang kritik di manamana, termasuk di dalam dunia ilmiah, tetapi – paling tidak—dapat dikatakan bahwa gagasan kepenjaraan itu cukup mempunyai dasar yuridis dalam alQur’an untuk diterapkan dalam kebijaksanaan kriminal suatu negara.11 Hal ini dapat dilihat pada beberapa ayat yang telah disebutkan diatas antara lain pidana pengusiran pada Q.S 5 : 33.
10 11
Ibid, hlm 97 Ibid. hlm 104.
10
Menurut Dr. Jimly Asshidiqie, SH., pidana ta’zir pembuangan yang dipraktekkan pada zaman dahulu sekarang ini perlu dipertanyakan relevansinya. Karena, dalam situasi kehidupan modern sekarang ini dimana sarana perhubungan antara suatu tempat ke tempat lain tidak lagi menjadi persoalan, pidana pembuangan ke luar negeri, pembuangan ke tempat terpencil atau semacamnya tidak lagi efektif sebagai bentuk pidana, atau paling kurang esensinya sebagai pidana atas kemerdekaan sudah berubah.12 Berdasarkan pemaparan diatas, jelas kiranya bahwa hukum Islam tidak pernah melarang diadakannya pidana penjara. Bahkan Rasulullah pernah membuat suatu pidana ta’zir yang bisa dianggap mengindikasikan legalitas pidana ini dalam Islam. Kehidupan bermasyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan manusia. Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan hukum dengan berbagai macam sanksi. Sanksi yang diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Maka, dalam hukum Islam diterapkan jarimah yang bertindak sebagai tindakan preventif kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah pencegahan serta pembalasan (ar radu waz zahru) serta perbaikan dan pengajaran (al-islah wat-tahdzib).13 Supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar. Maka dari itu adanya qishash bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah
12
Ibid. Hlm 104. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 63 13
11
alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan Ilahi. Dalam Al-Qur’an,terdapat kurang lebih tujuh ayat yang secara langsung sering dikaitkan dengan bentuk-bentuk hukuman yang harus dilaksanakan oleh kekuasaan umum terhadap setiap kejahatan yang dilakukan oleh warga masyarakat, antara lain sebagai berikut : -
Q.S. Al - Baqarah : 178,
-
Q.S. An Nissa : 92,
-
Q.S. Al Maaidah : 33, 38 dan 45,
-
Q.S. An Nuur : 2, dan 4.14 Dengan
demikian,
bentuk-bentuk
pidana
islam
itu
dapat
dikelompokan menjadi : 2. Pidana Qishash dan Diyat, berupa : 1.1. Pidana Mati (qishash atas jiwa); 1.2. Pidana pelukaan fisik/anggota badan lainnya (qishash atas badan); 1.3. Pidana denda atas jiwa (diyat atas jiwa); dan 1.4. Pidana denda atas pelukaan. 3. Pidana Had atau Huduud, meliputi : 1.1. Pidana atas jiwa, berupa :
14
a.
Pidana bunuh dengan pedang;
b.
Pidana mati dengan penyaliban (salib);
c.
Pidana mati dengan perajaman (rajam).
Jimly Asshiddiqie, Loc.Cit Hlm 68.
12
1.2. Pidana atas anggota badan, berupa : a. Pidana potong tangan dan kaki; b. Pidana potong tangan atau kaki; c. Pidana cambuk (dera); d. Pidana pemukulan dan/atau penamparan dengan tangan; e. Pidana pemukulan dengan tongkat. 1.3. Pidana atas kemerdekaan, berupa : a. Pidana pembuangan atau pengusiran; b. Pidana penahanan atau penjara. 1.4. Pidana atas harta kekayaan, berupa pidana denda ganti rugi (diyat). 4. Bentuk-bentuk pidana pengembangan (pidana ijtihad) yang tidak didasarkan kepada ketentuan pidana qishash, diyat, maupun had, yaitu ta’zir dan hukumah. 3.1.
Pidana ta’zir itu merupakan bentuk pidana yang bertujuan
mendidik, itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu : a. Pidana ta’zir sebagai tambahan yang memberikan pengajaran melalui pemberatan terhadapa kadar ancaman pidana atas badan yang sudah ditentukan, berupa : 1) Pemukulan atau penamparan; 2) Penahanan atau kurungan. b. Ta’zir dilihat sebagai bentuk pidana yang merefleksikan adanya peluang bagi hakim, pejabat pembentuk undang-undang, maupun para ahli hukum untuk melakukan pembaharuan atau ijtihad
13
(inovasi) terhadap berbagai ketentuan bentuk pidana yang sudah ditentukan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. 3.2.
Sedangkan pidana Hukumah pada dasarnya merupakan pidana atas
harta yang dikenakan sebagai pengganti denda (diyat) atas kasuskasus delik yang diancamkan dengan pidana denda, tetapi ketentuan dengan kadar ancaman pidananya belum ditentukan didalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Umumnya, hukumah itu dikenakan sebagai pidana atas delik atas jiwa dan pelukaan yang diancam dengan pidan qishash dan diyat. Akan tetapi, kasus konkretnya itu sendiri tidak memenuhi rumusan delik untuk dikenakan dengan kedua bentuk pidana tersebut, seperti pembunuhan terhadap anak kecil seperti disengaja tetapi tidak disengaja seperti telah diterangkan diatas.15 Dari uraian singkat sebagaimana diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh permasalahan tentang pemidanaan penjara dengan mengambil judul : “PIDANA PENJARA DALAM KETENTUAN HUKUM PIDANA POSITIF INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM”.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep sanksi pidana penjara dalam ketentuan Hukum Pidana Positif Indonesia dan dalam ketentuan Hukum Pidana Islam ?
15
Ibid . Hlm 114
14
2. Bagaimana prospek prinsip-prinsip pidana penjara dalam islam untuk dapat diterapkan dalam pembaharuan pidana penjara di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui, membandingkan dan menganalisis pidana penjara menurut perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana islam. 2. Mengetahui seberapa besar peluang prinsip-prinsip pidana islam untuk diterapkan sebagai bentuk pembaharuan pidana penjara di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka 1. Penjara Penjara berarti “bangunan tempat mengurung orang hukuman”.16 Dalam literatur lain, yakni Black Law Dictionary, kata penjara atau prison diartikan “A state of federal facility of confinement for convicted criminals”.17 Apabila diterjemahkan menjadi “Fasilitas negara yang dibuat untuk menghukum para kriminal”. Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan secara terminologi berarti “menahan atau mencegah seseorang pelaku kejahatan dari pergaulan dengan masyarakat”.18
16
WJS, Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 732 17 Bryan A. Garner, Black Law Dictionary, 8th edition, Thompson West, 2004, page 18 M. Lubabul Mubahitsin, Pidana Penjara dalam Pandangan Islam, at : http//www.google.com
15
Seiring perjalanan dan perubahan waktu, istilah penjara sudah tidak dipakai lagi di Indonesia, tetapi diganti dengan istilah Pemasyarakatan. Konsepsi pemasyarakatan ini dinyatakan pertama kali oleh Dr. Saharjo, SH. Pada tahun 1963, pada saat beliau menerima gelar Doctor Honoris Causa (Pidato Pohon Beringin Pengayoman).19 Pemasyarakatan berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan, sekaligus mengayomi para narapidana yang “tersesat jalan” dan memberi bekal hidup bagi narapidana setelah kembali ke dalam masyarakat.20 Undang-undang no 12 tahun 1995, tentang pemasyarakatan menjelaskan pula tentang arti dari pemasyarakatan, yakni kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.21 Pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang dan RUU KUHP mendatang. Sehingga, sampai saat ini pidana penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia. Dalam KUHP pasal 12 ayat 1 dijelaskan dua macam jenis penjara, yaitu penjara seumur hidup dan penjara selama
19
Soedjono Dirdjosisworo. Sejarah dan Asas-Asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico, Bandung, 1984, hlm 199. 20 Ibid. Hlm 199 21 UU no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
16
waktu tertentu.22 Lama hukuman pada penjara selama waktu tertentu adalah paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturutturut, hal ini sesuai dengan penjelasana pasal 12 ayat 2 KUHP tentang penjara selama waktu tertentu. Pidana penjara sebagai salah satu bentuk pidana, adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Penjara tidaklah banyak memberi manfaat dalam penegakan hukum di negeri ini. Fungsinya sebagai tempat untuk mengekang kemerdekaan pelaku tindak pidana hanya bermanfaat ketika itu saja. Penjara menjadi tempat bagi para penjahat untuk bersantai sejenak setelah melakukan tindak pidana. Begitulah penjara ia menjadi guanya bagi para penjahat untuk menikmati kepuasaannya setelah melakukan kejahatan ataupun untuk menghindari amukan dari orang yang membencinya. Selain itu, penjara yang sering dikenal dengan istilah The High School of Crime, membuat para narapidana residivis dapat bertukar ilmu dengan penjahat yang lain dalam menjalankan kejahatannya.
22
Moeljanto, Loc. Cit. Hlm 6
17
Pengaturan mengenai pidana penjara sebagai salah satu pidana pokok terdapat dalam pasal 10 KUHP. Belanda telah memperkenalkan sistem pidana penjara ke Indonesia ketika mereka menjajah Indonesia dan kemudian menerapkan Wetboek van Strafrecht mereka di negeri ini. WvS ini lah yang kemudian menggusur peranan hukum adat dan hukum agama yang selama ini telah mengatur ketertiban hidup masyarakat Indonesia. Pidana penjara merupakan konsekuensi yang harus ada karena telah dilakukan kejahatan oleh seseorang. Pemidanaan tidak perlu diorientasikan pada tujuan-tujuan apapun kecuali untuk membalas kejahatan yang telah dilakukannya. Terlepas dari itu semua. Negara ini sebenarnya tidak perlu lagi menerapkan pidana penjara, karena ada banyak kekurangan dalam pidana penjara, antara lain: 1. Tidak membuat seseorang jera Ancaman pidana penjara dalam pasal 12 KUHP terdiri atas pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara sementara waktu, maksimal adalah 15 tahun. Ancaman itupun dapat berkurang sekiranya ia mendapat grasi. Penjara dalam kurun waktu itu tak terbukti membuat seseorang jera melakukan tindak pidana, hal ini dapat dilihat dari tindak kriminal yang meningkat dan sering terjadi dewasa ini. Seharusnya, dengan konsep penjatuhan sanksi penjara, diharapkan membuat efek jera terhadap seseorang.
18
2.
Sekolah Kejahatan The Prison Is The High School of Crime, persepsi itulah yang sering berkembang dalam pemikiran masyarakat. Seseorang dapat belajar dari orang lain di dalam penjara tentang bagaimana cara melakukan kejahatan yang aman dan berhasil. Bukannya menjadi lebih baik, seseorang yang dipenjara malah bertambah pintar dalam melakukan kejahatan. Maka setelah keluar dari penjara, ia akan mempraktekkan ilmu barunya dengan melakukan tindak pidana yang lebih berat.
3. Menguras Kas Negara Seperti telah dijelaskan diatas, biaya untuk operasional dan administrasi penjara cukup besar dan itu berasal dari uang Negara. Semakin banyak narapidana yang ditampung oleh suatu lembaga pemasyarakatan, semakin banyak pula dana yang dibutuhkan untuk mengurusnya. Ini sama saja dengan Negara memberi makan dan kehidupan bagi para penjahat. Apalagi seseorang yang dijatuhi penjara seumur hidup, maka selama itu pula Negara harus membiayainya, sementara ia tidak akan memberikan kontribusi apapun pada Negara ini. 4.
Pusat Peredaran Narkoba Penjara menjadi tempat yang aman untuk memakai narkoba dan mengedarkannya, hanya perlu uang, barang tersebut pun sangat mudah untuk didapatkan. Hal ini bukan rahasia umum lagi tentang peredaran obat-obat terlarang di dalam lingkungan penjara.
5.
Perlakuan menyimpang seksual berkembang di penjara.
19
Kebutuhan biologis merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia manapun dan dimanapun, tetapi jika mereka sedang menjalani hukuman, secara otomatis kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi walaupun dalam perjalanan hukuman para napi memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, hal ini sesuai dengan UU no 12 tahun 1995, yakni pasal 14 ayat 1 huruf h dan m, sebagaimana disebutkan sebagai berikut : -
Huruf h : “menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya”.
-
Huruf m : “mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.23
6.
Penjara hanya memelihara penjahat dan mengembangbiakkannya Penjara dewasa ini menjadi “rumah baru” bagi para narapidana. Hal ini dapat diperhatikan dari semakin banyaknya para kriminal yang masuk kedalam penjara, selain efek pidana penjara yang kurang “sangar”, faktor lain yang membuat penjara semakin penuh, para kriminal merasa aman dan nyaman berada di dalamnya, karena mendapatkan keamanan dan makanan gratis. Hal ini belum tentu didapatkan oleh para kriminal diluar tembok penjara, terutama bagi kriminal yang hidup sebatang kara dan tidak memiliki penghasilan yang jelas.
7.
23
Pidana penjara memungkinkan seseorang untuk kabur.
Undang-Undang no 12 tahun 1995, Tentang Pemasyarakatan.
20
Masyarakatpun akan menjadi resah karena mendengar berita ada tahanan yang kabur. Bayangkan sekiranya ia dipidana mati, terutama para pembunuh yang sengaja, tentu ia tidak bisa kabur. 8.
Penjara menyiksa mental dan menjadikan seseorang penyakitan Hukuman seharusnya dilakukan sekali saja, dalam waktu yang relatif singkat, hal ini untuk mencegah para napi yang mempunyai mental lemah diperlakukan semena-mena. Jika mereka dipersatukan dengan para napi kelas kakap, maka mereka hanya menjadi “budak” bagi kekuasaan dan senioritas napi kelas kakap tersebut.24 Adapun tujuan dari pemidanaan penjara antara lain sebagai berikut : A. Pencegahan Umum (General Prevention) Dengan program yang umum dan luas untuk menghindarkan orang-orang supaya tidak melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Metode ini bersifat preventif.25 Maka tujuan lain dari metode ini adalah mencegah kejahatan yang banyak terjadi selama ini. B. Pencegahan Khusus Yaitu usaha untuk mengurangi atau menekan jumlah kejahatan dan berusaha melakukan atau berbuat sesuatu dengan memperbaiki si pelaku yang telah berbuat suatu kejahatan. Metode
24 25
Negara tanpa penjara, dalam : http://www.google.com Drs. Ac. Sanusi Has. Loc.Cit Hlm 34
21
ini bersifat represif.26 Maka tujuan lain dari metode ini adalah mengurangi kejahatan. Tujuan dari penjatuhan pidana penjara ini bukan hanya sekedar untuk membalas semua kejahatannya, yakni dengan cara dimasukan kedalam ruangan yang sempit dan mengekang kemerdekaannya sementara waktu, serta untuk mencegah terjadinya kejahatan. Tetapi tujuan penjatuhan pidana penjara ini juga harus memberikan manfaat yang berarti kepada berbagai pihak yang terkait dengan suatu perkara pidana, antara lain : 1. Kepada korban langsung kejahatan (Direct Victim), 2. Kepada masyarakat luas sebagai korban tidak langsung (Indirect Victim), 3. Serta kepada terpidana (offender). Tujuan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat 1 dan 2 dalam R-KUHP tahun 2008. Tentang tujuan pemidanaan yakni : 1. Pemidanaan bertujuan : a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengadakan norma hukum demi pengayoman masyarakat b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjad diorang yang baik dan berguna
26
Ibid. Hlm 34
22
c. Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindakan pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pelaksanaan pemidanaan penjara ini tidak sama sekali bermaksud untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Walaupun dalam pelaksanaannya masih banyak oknum-oknum petugas penegak hukum yang masih melakukan “cara lama” dalam “pembinaan’ terhadap para napi di dalam penjara.27 2. Pengasingan Hukum islam pun tidak mengenal jenis pidana penjara. Para pelaku jarimah akan dijatuhkan hukuman seperti hukuman mati, dera, diyat, qishash, pembuangan, kaffarah dan ta’zir. Sama sekali tidak ada yang mengatur tentang pidana penjara. Hanya dalam KUHP sajalah hal itu ditemukan, di dalam sistem hukum yang berasal dari Negara Belanda. Secara eksplisit islam tidak mengajarkan tentang jenis pidana penjara, tetapi secara implisit penjara tetap dikonsepkan dalam islam, tetapi dengan istilah pengasingan atau pengekangan.
?
C.
-, 2
-
"
!@A
/B
2 ' #$ < 0 '
?./ -
>+ -. )1 8 0
E5! D 1 ' 27
R-KUHP tahun 2008
23
12 #
!@ 9
Artinya : “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”. (Q.S. An Nissa : 15) Ayat diatas menjelaskan tentang penjatuhan pidana kurungan terhadap pelaku kejahatan, tetapi tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa hukuman tersebut adalah penjara. Pengasingan dalam konsep hukum islam adalah pembuangan pelaku kejahatan ke tengah-tengah orang baik, atau ke area baru yang hampa, sehingga ditempat barunya si pelaku kejahatan dapat merenungi semua kesalahannya dan bertujuan akhir agar ia bertobat. Tujuan pokok penjatuhan hukuman dalam syariat Islam ialah pencegahan (ar-rad-u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (alislah wat-tahdzib).28 Mengenai masa pengasingan dalam jarimah ta’zir, maka menurut mazhab Syafi’i dan Ahmad tidak lebih dari satu tahun, agar tidak melebihi masa pengasingan yang telah ditetapkan sebagai hukuman had, yaitu satu tahun juga.29 Menurut Imam Abu Hanafi, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan disini adalah hukuma ta’zir, bukan hukuman had.30
28
A. Hanafi, MA. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1967. Hlm 255. Ibid. Hlm 312 30 Ibid. Hlm 312 29
24
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jangka waktu penjatuhan pidana pengasingan ini tergantung pada masing-masing individu dalam menganut mazhab untuk penerapannya. Ditinjau dari segi status atau kedudukan suatu jenis sanksi pidana Islam, terdapat beberapa jenis hukuman, antara lain : A. Pidana Pokok Yaitu pidana yang dicantumkan sebagai sanksi hukum utama dalam suatu jarimah, sesuai dengan ketentuan hukum baik yang terdapat dalam Nash atau Qonun. Contohnya Qishash sebagai pidana pokok jarimah qishash atau Hudud sebagi sanksi pidana hudud. B. Pidana Pengganti Yaitu pidana yang mencantumkan dan penerapannya berfungsi sebagai pengganti dari pidana pokok, dimana karena suatu alasan yang sah, pidana pokok tersebut tidak dapat diterapkan. Contohnya pidana Diyat sebagai pengganti pidana qishash atau pidana Ta’zier sebagai pengganti pidana potong tangan. C. Pidana Tambahan Yaitu pidana yang pelaksanaannya mengikuti adanya penjatuhan
pidana pokok secara otomatis, tanpa memerlukan
putusan hakim sendiri. Contohnya pidana pengasingan pada kasus Zina Ghoiru Muchson, pidana pencabutan hak sebagai saksi pada kasus Qodzaf, dan pidana pencabutan hak sebagai ahli waris atau wasiat pada kasus qishash yang diganti diyat.
25
D. Pidana Pelengkap Yaitu
pidana
yang
penerapannya
mengikuti
adanya
penjatuhan pidana pokok namun tidak secara otomatis, artinya harus didasarkan pada keputusan hakim tersendiri.31 Ditinjau dari segi tempat dilakukannya, hukuman dapat digolongkan sebagai berikut : A. Hukuman Badan. Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan. Seperti hukuman mati, dera, penjara (pengasingan), dan sebagainya. B. Hukuman Jiwa. Yaitu hukuman yang dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan, dan teguran. C. Hukuman Harta. Yaitu hukuman yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan harta. Pengasingan merupakan pidana yang termasuk dalam pidana ta’zir, sehingga untuk aturan penerapan dan pelaksananya harus mengikuti kaidah-kaidah umum penjatuhan pidana ta’zir. Diantara azasazas umum pidana ta’zir yang paling penting adalah: 1) Berbeda dengan pidana hudud, qishash, dan diyat yang ukurannya sudah ditentukan, pidana ta’zir adalah pidana yang tidak ada ketentuan kadarnya. Karena itu, imam/hakim dalam penjatuhan pidana penjara
31
Ibid. Hlm 260.
26
haruslah menentukan kadar yang pantas dan adil bagi semua pihak: masyarakat, pelaku, dan korban. 2) Dalam
ta’zir
harus
diperhatikan
kondisi
pelaku
dan
jenis
perbuatannya. Ini berbeda dengan pidana hudud, qishash, diyat, dan kafarat yang hanya melihat jenis kejahatan saja; sepanjang unsur delik telah terpenuhi, pidana harus dijatuhkan tanpa melihat kondisi pelaku. Karena itu, dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara, kondisi pelaku harus dipertimbangkan juga. Kadar pidana pengasingan untuk orang yang sehat harus berbeda dengan kadar untuk mereka yang lemah fisiknya. 3) Tujuan utama pidana ta’zir adalah untuk pembalasan, pelajaran, dan pencegahan. Karena itulah, pidana pengasingan, termasuk pidana ta’zir
yang
diantara
tujuannya
adalah
untuk
pembalasan,
bagaimanapun juga, harus mengandung unsur nestapa bagi pelaku dan jangan
terlalu
‘memanjakannya’,
tapi
juga
jangan
terlalu
menyengsarakannya secara berlebihan. 4) Harus diperhatikan efektifitas dari penjatuhan pidananya. Apabila pidana penjara diperkirakan justru akan menjadi tidak bermanfaat, seperti menjadi ajang berbagi ilmu kejahatan antara para napi misalnya, maka pidana ini harus dihindari dan diganti dengan jenis ta’zir lainnya.32
32
Hukum Pidana dalam Islam, at : http://www.google.com. Mei. 25,2009.
27
Bagi para pelaku zina, ditetapkan tiga macam hukuman, yaitu hukuman jilid atau dera, hukuman pengasingan, dan hukuman rajam. Hukuman pengasingan ditetapkan bagi para pelaku zina ghoiru muchsan, yaitu perzinahan yang dilakukan oleh mereka yang belum merasakan persetubuhan atau belum menikah, sedangkan hukuman rajam diterapkan bagi pezina- menurut sebagian ulama- ditujukan bagi mereka yang muchsan, yaitu mereka yang sudah merasakan hubungan seksual, baik statusnya sedang menikah maupun tidak.33 Pengasingan atau pengekangan menjadi bagian dari pidana tambahan yang dijatuhkan dalam kasus zina ghoiru muchson serta obyek atau sasaran dari penerapan pidana tersebut adalah pidana kemerdekaan, yaitu pidana yang sasaran atau obyeknya berupa kemerdekaan atau kebebasan terpidana. Terdapat beberapa jenis pidana pengasingan atau pengekangan dalam hukum islam, antara lain : A. Pengasingan Kultural Terpidana tetap tinggal dimasyarakat semula, tetapi tidak dilibatkan dalam aktifitas-aktifitas budaya yang ada didalam masyarakat. B. Pengasingan Komunikasi Terpidana tetap tinggal ditempat semula, tetapi didiamkan tidak diajak untuk berkomunikasi, bahkan oleh keluarganya sendiri. C. Pengasingan Geografis Terpidana dibuang dan tidak diperkenankan tinggal dimasyarakat semula. Dalam konsep pengasingan geografis, pengasingan kultural dan pengasingan
komunikasi
secara
didalamanya.
33
Drs. H. Rahmat Hakim, Loc.cit. Hlm 71
28
tidak
langsung
juga
tercakup
Pada masa Rasulullah pernah dipraktekkan suatu jenis ta’zir yang esensinya sangat mirip dengan pidana penjara. Rasulullah pernah menjatuhkan pengasingan terhadap orang laki-laki yang bersikap seperti orang perempuan (al-mukhannitsin) dan memerintahkan agar mereka dikeluarjan dari Madinah.34 Dan juga Rasulullah pernah menjatuhkan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak mengikuti perang tabuk selam 50 hari tanpa diajak bicara. Mereka adalah: Ka’ab Bin Malik, Miroroh Bin Rubai’ah, dan Hilal Bin Umayyah35. Hal ini sesuai dengan konsep pengasingan geografis dan pengasingan komunikasi. Konsep penjara dalam hukum pidana positif sangat lah berbeda dengan konsep pengasingan atau pengekangan dalam hukum islam, hal ini dapat dilihat dari beberapa parameter dari dua konsep tersebut, yakni : A. Tujuan Penjatuhan Pidana 1. Pidana Penjara a. Pencegahan Umum (General Prevention) • Mencegah kejahatan b. Pencegahan Khusus • Mengurangi kejahatan • Membuatnya menjadi tobat 2. Pidana Pengasingan • Agar masyarakat dapat segera melupakan pelaku kejahatan dan tindakan kriminal yang telah dilakukannya. 34 35
A. Hanafi, MA. Loc.Cit. Hlm 313. Hukum Pidana dalam Islam, at : http://www.google.com. Mei. 25,2009
29
• Agar pelaku kejahatan ditempat barunya, yakni Zero Society atau New Good Society dapat berkontemplasi tentang kesalahannya maka bertobat dan berubah menjadi baik. B. Praktek pelaksanaan 1. Pidana Penjara Mengasingkan orang jahat ke dalam lingkungan orang-orang yang jahat. 2. Pidana Pengasingan Mengasingkan orang jahat ke dalam lingkungan orang baik, atau ke dalam sebuah area baru yang hampa. Pidana penjara dalam konsep modern dari segi tujuan tidak banyak berbeda dengan konsep pengasingan dalam hukum islam, tetapi dalam prakteknya kedua konsep tersebut sangatlah berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan kedua konsep ini hanya terletak pada obyek tujuannya saja, yakni dalam konsep hukum positif penegakan norma hukum dan sanksinya cenderung untuk proteksi norma semata yang terkait dengan kepentingan tertentu, serta penegakannya berkaitan dengan satu dimensi saja (duniawi). Tetapi tidak dengan konsep hukum islam. Penegakan berorientas untuk proteksi norma dan nilai moral, serta penegakannya berkaitan dengan dua dimensi (dunia dan akhirat). Karena itu, dalam tradisi islam mengenai sanksi hukuman terdapat dua keunikan sekaligus. Pertama, konsep sanksi hukum itu mempunyai kaitan
30
dengan sanksi agama, dan kedua konsep sanksi hukum itu sendiri mempunyai dua sifat sekaligus, yaitu pidana dan perdata.36
E. Definisi Operasional 2.
Pidana penjara adalah, sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana yang dalam penerapannya para pelaku tindak pidana tersebut dimasukan kedalam suatu ruangan, dan menjalani sanksi dengan cara tinggal diruangan tersebut dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang maupun ketentuan lain yang mengatur hal tersebut.
3.
Hukum Pidana Islam atau Jinayah adalah, Hukum yang mengatur tentang sanksi-sanksi atau Jarimah dalam Islam yang dikenakan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu Jarimah menurut Syariah, yang salah satunya mengatur tentang sanksi pidana penjara serta pengaturan dan pelaksanaannya.
4.
Hukum Pidana Positif adalah, Hukum tertulis yang digunakan oleh Indonesia, dan didalamnya mengatur sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Serta terdapat aturan-aturan tentang pelaksanaan pidana penjara.
36
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit Hlm 118.
31
F. Metode Penelitian Penulis dalam melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1) Obyek penelitian Obyek dalam penelitian ini adalah : a.
Penjara dalam konsep Hukum positif Indonesia dan pengasingan dalam konsep Hukum Islam.
b.
Pinsip-prinsip pidana penjara dalam Islam yang dapat diterapkan dalam pembaharuan pidana penjara di Indonesia.
2) Nara Sumber Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak hanya mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui literatur saja, tetapi mencari informasi, pendapat, atau keterangan terhadap masalah yang diteliti melalui wawancara. Pada metode ini, penulis mencoba untuk mencari informasi kepada pakar dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, dalam hal ini penulis mewawancarai Dosen Hukum Pidana Positif di Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan Dosen Hukum Pidana Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 3) Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan penulis dalam penyusunan tugas akhir ini antara lain sebagai berikut :
32
a) Bahan hukum primer, yakni Al-qur’an, Hadist, KUHP, UU dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan objek kajian dalam penelitian ini. b) Bahan hukum sekunder, yakni RUU KUHP, literatur, jurnal penelitian, artikel dan lain-lain yang ada kaitanya dengan penelitian ini. c) Bahan hukum tesier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia, maupun data-data elektronik yang berkaitan dengan penelitian ini. 4) Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah : a)
Studi kepustakaan. Yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara membaca, mempelajari atau mengkaji buku-buku dan sumbersumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian.
b) Studi Dokumen, yakni mengkaji berbagai dokumen
resmi
institusional yang berupa undang-undang, dan lain-lain yang berhubungan dengan dengan permaslahan penelitian. c) Wawancara,
yakni
mewawancarai
pihak-pihak
yang
dapat
memberikan pendapat, informasi atau keterangan terhadap masalah
33
yang sedang diteliti, yakni dengan mengajukan pertanyaan baik secara bebas maupun terpimpin. 5) Metode pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif. Yakni Membandingkan konsep tentang pidana penjara dalam Hukum Pidana Positif Indonesia dengan Hukum Pidana Islam. 6) Analisis data Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan metode komparatif, yaitu menganalisis data normatif tentang pidana penjara dalam konsep hukum pidana positif kemudian membandingkan sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaannya. Serta meneliti tentang prinsip-prinsip apa saja yang dihasilkan dari praktek pidana pengasingan dalam islam, sehingga prinsip tersebut dapat dijadikan sebuah sumber untuk dikontribusikan pada pembaharuan pidana penjara di Indonesia. G. Sistematika Penulisan Skripsi Penulisan Skripsi ini disusun menggunakan uraian yang sistematis. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih mempermudah dalam proses pengkajian dan pemahaman terhadap masalah yang diteliti. Adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : Bab satu, berisi pendahuluan yang dikemukakan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dengan ringkas sebagai pengantar untuk memasuki dan mengikuti uraian pokok dalam penulisan. Memuat
34
pembahasan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab dua, berisi tentang tinjauan umum, disini dibagi menjadi empat sub bab, yaitu sub bab pertama, tinjauan umum tentang hukum pidana, yang didalamnya membahas tentang pengertian, fungsi dan tujuan, serta masalahmaslah dasar dalam hukum pidana. Sub bab kedua secara terperinci menjelaskan tentang sanksi pidana, yang didalamnya membahas tentang pengertian dan hakekat sanksi pidana, macam-macam stelsel pidana, filosofi dan tujuan suatu sanksi pidana, serta penjatuhan pidana dan tujuannya. Sub bab ketiga menjelaskan tentang tinjauan umum tentang penjara, yang didalamnya membahas tentang pengertian pidana penjara, sejarah tentang keberadaan sanksi pidana penjara, filosofi dan tujuan keberadaan sanksi pidana penjara, tujuan penjatuhan sanksi pidana penjara, serta beberapa sistem atau cara pelaksanaan pidana penjara. Serta sub bab keempat membahas tentang deskripsi umum tentang pidana penjara menurut hukum pidana islam. Bab tiga, memuat hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini dibagi dalam dua sub bab, yaitu sub bab pertama memuat tentang konsep penjara dalam hukum pidana positif dan dalam hukum pidana islam, serta membahas tentang studi perbandingan dan analisisnya. Dan sub bab kedua memuat tentang prospek penerapan prinsip-prinsip tentang pidana penjara menurut hukum pidana islam dan pembaharuan pidna penjara di Indonesia, yang
35
didalamnya membahas tentang dasar yuridis dan teoritik penerapan pidana penjara dalam islam pada pembaharuan pidana penjara di Indonesia, prinsip pidana penjara yang dapat dikontribusikan dalam pembaharuan hukum penjara di Indonesia serta perumusan tentang prinsip-prinsip pidana penjara dalam islam pada kebijakan formulatif pembaharuan pidana penjara di Indonesia. Bab empat, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bagian terakhir dari skripsi ini adalah daftar pustaka.
36