BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Manusia membutuhkan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hidup dalam lingkungan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan membuat manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisannya dengan lingkungan. Kehidupan harmonis yang tercipta antara lingkungan alam dan manusia yang menempati akan memberikan dampak positif bagi perkembangan manusia dan alam itu sendiri. Demikian halnya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Jawa yang memang cukup terkenal kedekatan antara manusia dengan alam yang ditempatinya. Pemanfaatan antara kehidupan makrokosmos dengan mikrokosmos berjalan sangat dinamis dan tercipta simbiosis mutualisme yang sangat bagus. Bagi masyarakat Jawa kedekatan manusia dengan alam sekitarnya sudah berlangsung sejak lama dan masih berjalan sampai saat ini. Pokok-pokok kehidupan masyarakat telah ditentukan sebelumnya. Anggapan tersebut muncul terkait erat dengan kepercayaan bahwa hidup mereka akan dituntun dan dibantu oleh Tuhan melalui roh-roh nenek moyang. Hal itulah yang memunculkan kepercayaan terhadap bermacam-macam roh yang mampu membantu mereka dalam menyelesaikan masalahnya. Bantuan yang diberikan oleh Tuhan yang dilewatkan melalui nenek moyang berlaku juga dalam pemenuhan kebutuhan secara materi. Tindakan yang dilakukan oleh manusia karena adanya dorongan berbagai macam perasaan dikenal dengan kelakuan
1
2
keagamaan. Kelakuan keagamaan yang dilakukan menurut aturan tertentu yang dianggap penting dinamakan upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1980;241). Kepercayaan tersebut oleh masyarakat Jawa disebut sebagai agama kejawen. Keagamaan orang Jawa Kejawen selanjutnya ditentukan oleh kepercayaan pada pelbagai macam roh yang tidak kelihatan. Melihat hal tersebut, terdapat hubungan antara bentuk-bentuk magis dengan agama. Hal ini menurut Malinowski (1982; 87) muncul karena adanya tekanan situasi, seperti krisis dalam hidup, merasa kosong dalam mengejar sesuatu yang penting, kematian dan permulaan kehidupan yang menjadi misteri, sampai pada ketidakbahagiaan cinta dan ketidakpuasan hidup. Hal-hal yang demikian menjadikan manusia terkadang memiliki berbagai macam cara untuk sekadar mencari kepuasan dari sesuatu yang lain. Salah satu kegiatan yang tumbuh di dalam masyarakat terkait dengan magis dan agama adalah kegiatan ritual. Kegiatan ritual dipakai sebagai bentuk tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap adanya kekuatan di luar dirinya. Sarana yang dipakai untuk menunaikan kegiatan atau membuktikan kepercayaan tersebut adalah dengan tersajinya sesajen yang dipersembahkan kepada roh nenek moyangnya. Selain adanya sesajen, bacaan atau tuturan yang berisi harapan ataupun doa-doa yang disampaikan dalam kegiatan selamatan juga menjadi hal yang penting. Tuturan yang disampaikan terdiri atas bebeberapa bagian yang pada akhirnya membentuk sebuah wacana yang utuh berupa lantunan doa-doa dan pengharapan. Dalam lantunan doa dan pengharapan yang membentuk tersebut seolah-olah muncul kekuatan yang menumbuhkan kepercayaan dalam diri pelaku
3
ritual. Tuturan doa yang disampaikan melalui bahasa memiliki kekuatan tersendiri dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa yang dituturkan dalam ritual tersebut merupakan bahasa yang dikemas dengan tujuan tertentu. Kepercayaan terhadap kekuatan gaib masih dapat dijumpai di beberapa tempat meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda. Salah satunya dapat ditemukan di wilayah Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Wilayah yang terletak tepat di lereng Gunung Kawi, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang ini memiliki kehidupan harmonis yang tetap terjaga di balik segala perubahan yang ada. Hal itu tidak terlepas dari sejarah yang dimiliki oleh Gunung Kawi itu sendiri. Kehadiran tokoh-tokoh yang dipercaya sebagai “pembuka” wilayah Gunung Kawi ini membawa dampak bagi keberlangsungan kehidupan mereka. Di Gunung Kawi, terdapat dua makam yang merupakan makam kedua tokoh yang dipercaya sebagai “pembuka” wilayah Gunung Kawi. Kedua tokoh tersebut bernama Eyang Djugo dan R.M. Imam Soedjono, yang menurut silsilah masih keturunan dari Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Selain merupakan keturunan Kraton Yogyakarta dan Surakarta, Eyang Djugo juga dikenal sebagai pengikut setia dan menjadi kepercayaan Pangeran Diponegoro. Sementara R.M. Imam Soedjono sendiri merupakan murid Eyang Djugo yang dikenal sangat pandai. Berbagai ritual dilakukan di Pesarean Gunung Kawi dalam rangka pemenuhan hajat kehidupan. Salah satu ritual yang sering dilaksanakan dan “menyedot” banyak pengunjung adalah ritual selamatan.
4
Ritual selamatan memang sudah cukup dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat Jawa yang cenderung “suka” melakukan kegiatan ritual. Manusia memilih berbagai alternatif atau cara untuk menyesuaikan kegiatan tersebut. Namun demikian, terdapat hal-hal prinsip yang tidak akan berubah dalam pelaksanan kegiatan selametan dari waktu ke waktu. Salah satunya adalah dalam penggunaan perantara. Segala bentuk permohonan pada dasarnya ditujukan kepada Tuhan, namun dengan perantara yang beragam sebagai bentuk kepercayaan pelaku. Perantara dalam ritual biasanya berupa roh-roh tidak terlihat yang dianggap berkuasa. Dituliskan dalam Primbon Jawa Betaljemur Jilid I, terdapat mantra atau di masyarakat Jawa dikenal dengan istilah donga untuk menghadapi bencana (pageblug). Dalam donga ini terdapat perantara yang berupa ‘sanghyang pengikut bumi’ yakni ‘Pangeran Purbaya’. Penggunaan penyebutan ini dilakukan karena ‘Pangeran Purbaya’ dianggap sebagai penguasa bumi yang dekat dengan Tuhan. Untuk itu, Pengeran Purbaya diharapkan dapat menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan. Berikut donga menghadapi bencana yang dikenal dalam masyarakat Jawa. Prayoga turu jam 1 wengi, sarta maca donga: Ashadu sadat mutahar, si bapa kang murba wisesa, si buyung kempaling iman, si anak penjaring jama. Pangeran panatagama, kang bisa ngrata jagad, nyirep sakehing penyakit, Pangeran karya kekuna, kang tulen sajroning tulis, kang urip tan kena lara pati, urip langgeng purbawasesa, ya ingsun kang bisa ngucapake pasangat mutahar, ya ingsun Pangeran Purbaya, ingsun kawulane. Ashadu sadat sanghyang, kawula bumi jung langit, apa isine, manungsa sajatining karsa, herlis sajatining sidik amanat tableg, herna sajatining lawang rat gumilang. Ashadu sadat rohiman jati, sabenere manungsa maya, Pangeran puter siwalan jatining tunggal, Ashadu sadat Allah, tuhu yahuwa. Mukamat warangkaning Allah, bismillah tanpa kawitan, sadat tanpa wakesan, kang urip tanpa kena ing lara pati, urip
5
langgeng salawase. Luwih becik saben bengi sadurunge jan 12, ana latar karo maca donga (Soemododjojo, 2008). ‘Lebih baik tidur jam 1 malam, dan membaca doa: Ashadu sadat mutahar, si bapa yang maha unggul, si buyung berkumpulnya iman, si anak pengumpul manusia. Pangeran Panatagama, yang dapat meratakan dunia, menghapus segala penyakit, Pangeran karya kekuna, yang asli dalam cerita, yang hidup dan tidak akan terkena sakit dan mati, hidup selamanya dalam keunggulan, ya kami yang dapat menyampaikan pasangat mutahar, ya kami Pangeran Purbaya, kami pengikutnya. Ashadu sadat sanghyang pegikut bumi ujung langit, apa isinya, manusia yang sejati dalam kehendak, yang sejatinya dapat dipercaya, amanah, tableg, sejatinya merupakan pintu yang gemilang. Ashadu sadat rohiman jati, sebenarnya manusia itu tidak nyata, Pangeran yang hanya satu. Ashadu sadat Allah, patuh. Muhamad utusan Allah, bismilah tanpa permulaan, sadat tanpa akhir, yang hidup tanpa sakit dan mati, hidup selama-lamanya’.
Bentuk bahasa dalam donga tersebut memperlihatkan pengaruh Islam yang cukup kental, terlihat dalam penggunaan beberapa bahasa Arab. Bahasa Arab yang terdapat dalam donga tersebut memiliki fungsi sebagai pernyataan kepercayaan dan permintaan yang memang ditujukan kepada Tuhan. Pengaruh Islam juga terlihat dalam penggunaan nama Mukamat (Muhammad) yang merupakan nabi dalam agama Islam. Penggunaan kata ashadu sadat juga memperlihatkan pengaruh Islam sebagai bentuk kepercayaan mengakui adanya Allah. Meskipun demikian, secara lafal menyesuaikan dengan ejaan dalam bahasa Jawa atau lidah orang Jawa. Selain bahasa Arab, juga terlihat penggunaan bahasa Jawa yang tidak umum dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Isi dari tuturan donga atau mantra di atas adalah permintaan kepada Tuhan. Akan tetapi, permintaan tersebut tidak secara langsung dituturkan, melainkan diselipkan beberapa hal di dalamnya. Beberapa hal yang diselipkan
6
adalah pengakuan ketundukan manusia, kelemahan kita sebagai manusia biasa, dan penegasan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Tuturan penegasan terlihat dari penggunaan kata Pangeran panatagama, kang bisa ngrata jagad, nyirep sakehing penyakit (Pangeran piñata agama, yang dapat meratakan dunia, menghilangkan semua penyakit). Tuturan yang berisi permintaan memang tidak terlihat secara jelas dalam penggunaan kata tertentu, melainkan tersirat dalam hampir semua tuturan. Sementara itu, tuturan yang berisi pujian terlihat jelas dan itu tersebar di hampir seluruh tuturan. Berdasarkan contoh di atas juga dapat dilihat adanya variasi bahasa yang dipengaruhi oleh agama tertentu. Terlihat dalam tuturan di atas penggunaan kata ashadu sadat, Mukamat, bismillah, ataupun sidik dan amanah, yang merupakan istilah-istilah dalam agama Islam. Selain itu juga terlihat penggunaan bahasa Jawa yang tidak umum dalam penggunaan sehari-hari. Kata-kata tersebut contohnya adalah penggunaan kata ingsun
yang jika dalam penggunaan sehari-hari
digunakan kata ‘saya’, ‘aku’, atau ‘kula’. Namun, pemilihan kata ingsun dapat dipahami karena tuturan tersebut ditujukan kepada Tuhan, sehingga penggunaan kata ganti yang lebih merendah dapat digunakan. Melihat contoh di atas, dapat dikatakan memang slametan telah dilakukan oleh masyarakat Jawa semenjak dahulu dan masih dilakukan oleh beberapa orang dan di beberapa tempat sampai saat ini. Dalam slametan terdapat donga atau mantra yang dibaca oleh Modin dan didengarkan dengan seksama oleh orangorang yang datang. Salah satu bentuk slametan yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah kenduren. Di dalam kenduren juga
7
dibacakan donga-donga yang dalam penggunaan bahasanya sudah tercampur antara bahasa Jawa dan bahasa Arab. Hal tersebut juga memperlihatkan adanya pengaruh Islam yang masuk. Struktur wacana dalam kenduren biasanya diawali dengan bacaan-bacaan dalam bahasa Arab, kemudian bahasa Jawa dan akan diakhiri dengan bacaan-bacaan dari bahasa Arab kembali (biasanya diambil dari bacaan Al-Quran). Baik dalam penggunaan bahasa Arab maupun bahasa Jawa terlihat adanya pujian, penegasan, dan ungkapan terima kasih atau rasa syukur, dan di dalamnya tersirat juga adanya permintaan kepada Tuhan. Tradisi penggunaan mantra tidak hanya dikenal di tanah Jawa, melainkan juga beberapa tempat di luar pulau Jawa. Di Jawa pun tidak hanya monopoli masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, melainkan juga dikenal di daerah Sunda (Jawa Barat). Dengan beragam bentuk, struktur, dan bahasa yang digunakan, di antara masing-masing mantra yang digunakan di beberapa tempat tersebut pasti memiliki sesuatu yang sama. Di daerah Sumbawa (NTB) juga terdapat ritual mantra yang dipakai oleh nelayan ketika hendak melaut. Terdapat beberapa aturan yang harus ditaati sebelum melantunkan mantra. Dalam mantra masyarakat nelayan Bajo juga terlihat adanya pengaruh Islam yang sudah mulai masuk. Seperti terlihat dalam contoh berikut yang merupakan mantra tarima kasi. Alhamdulillah (Terima kasih ya Allah) Mudah-mudahan para baka itu saloh (Mudah-mudahan banyak dari ini besok). (Syarifudin; 2008, lampiran) Mantra memang dikenal dan digunakan di berbagai tempat di wilayah Indonesia ini, tetapi penggunaan atau pembacaan mantra tampak berbeda-beda.
8
Terlihat dalam masyarakat Jawa mantra atau donga cukup terlihat penggunaannya dalam ritual slamatan. Slametan memang sudah sangat biasa atau cukup dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Jawa. Dalam perkembanganya, slametan memang sudah tidak terlalu menjadi bagian dari masyarakat. Akan tetapi, di Gunung Kawi ritual slametan masih dilaksanakan meskipun dalam bentuk dan tujuan yang berbeda. Perbedaan tersebut membawa konsekuensi perbedaan di beberapa hal juga, termasuk pelaku, tujuan pelaksanaan, dan bentuk tuturan yang disampaikan oleh Modin (pemimpin ritual). Beberapa perbedaan tersebut terlihat jelas jika membandingkan istilah slametan dan selamatan antara yang dipakai oleh Geertz dan yang dipakai dalam penelitian ini. Ritual Selamatan yang dilaksanakan di Gunung Kawi tidak hanya dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar dari seluruh Indonesia. Pelaku ritual memiliki latar belakang suku, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Tujuan pelaksanaan juga terlihat memiliki perbedaan dengan selamatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa khususnya di desa-desa. Dalam pelaksanaan ritual selamatan di Gunung Kawi, mereka yang melaksanakan ritual selamatan mengajukan berbagai permohonan kepada Tuhan melalui dua tokoh yang bersahaja ini melalui ritual selamatan. Harapan tersebut ditulis dalam sebuah kertas yang diserahkan kepada Modin beserta bunga dan kemenyan untuk selanjutnya dibacakan atau disampaikan pada saat ritual selamatan. Contoh pengharapan yang disampaikan dapat dilihat dalam tuturan berikut: 1. Dari bapak FM, usahanya PT FBP, sekeluarga mohon sehat selamet, usahanya mohon lancar dan banyak rejeki.
9
2. Dari bapak WG, usahanya PT PIM, di Jl KT Jakarta, usahanya mohon lancar banyak rejeki dan selamat sekeluarga
3. Dari sodara B usahanya LJ di DW, mohon usahanya lancar banyak rejeki dan slamet sekeluarga
4. Dari bapak WS di Jl. SIS, sekeluarga mohon sehat selamat, usahanya lancar banyak rejeki dan semoga dikaruniai anak yang nurut sama orang tua.
Doa yang dituturkan oleh Modin pada contoh 1-4 di atas diungkapkan dengan bahasa yang literal atau langsung. Dapat dilihat pada contoh tuturan pertama, penggunaan kata ‘mohon selamat, usahanya mohon lancar dan banyak rejeki’. Demikian juga dengan tuturan doa pada contoh kedua dan ketiga. Bahasa yang digunakan pada tuturan ketiganya adalah bahasa yang literal dengan makna langsung. Meskipun dengan bahasa dan makna yang langsung, tetapi terlihat beberapa perbedaan pada jenis permohonan yang disampaikan. Dapat dilihat permohonan yang disampaikan antara lain kesehatan, usaha lancar, banyak rejeki, keselamatan, maupun permohonan supaya dikaruniai anak yang nurut sama orang tua. Melihat bahasa dan beberapa jenis permohonan yang disampaikan pada tuturan di atas sedikit tergambar mengenai pola pikir yang ada dalam masyarakat tersebut. Ritual selamatan dipimpin oleh seorang pemimpin ritual yang dikenal dengan sebutan Modin. Modin memiliki tugas untuk memimpin jalannya ritual selamatan dari awal sampai akhir, termasuk yang membacakan doa-doa dan harapan. Dalam tulisan ini, ritual selamatan memiliki perbedaan dengan istilah
10
selamatan yang dipakai oleh Geertz. Geertz menggambarkan bahwa slametan menjadi tradisi di kalangan masyarakat di Jawa dengan mengundang tetanggatetangga lelaki. Geertz menjelaskan bahwa slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya. Di sana handai taulan, tetangga, sanak saudara, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja. Masih menurut Geertz, slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan sesuatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, maupun pindah rumah (Geertz, 1983;13). Sementara selametan yang dilakukan oleh pelaku ritual di pesarean Gunung Kawi tidaklah demikian. Meskipun di atas dikatakan berbeda antara selamatan yang biasa dilaksanakan oleh orang Jawa dengan yang dilaksanakan di Gunung Kawi, di beberapa hal terdapat juga persamaan di antara keduanya. Persamaan yang terlihat adalah penyebutan pemimpin ritual yang sama-sama disebut dengan istilah Modin dan sama-sama menghidangkan sesajen. Modin yang mendapat kepercayaan untuk memimpin ritual selamatan di Pesarean Gunung Kawi saat ini berjumlah dua orang. Sebelum akhirnya seorang abdi dalem dapat diangkat menjadi Modin, yang bersangkutan telah mengabdi terlebih dahulu selama kurang lebih 20 tahun. Akan tetapi, dari sekitar 20 abdi dalem yang mengabdi di Pesarean Gunung Kawi, hanya orang-orang tertentu yang memiliki kesempatan untuk diangkat sebagai Modin. Adapun yang memiliki hak untuk mengangkat abdi dalem menjadi modin adalah pemilik yayasan yang dalam hal ini adalah R.M.H. Supodoyono. R.M.H. Supodoyono merupakan
11
keturunan dari R M Imam Soedjono yang merupakan murid dari Eyang Djugo, dan termasuk salah satu orang yang dimakamkan di tempat tersebut. Dalam kegiatan ritual selamatan di Pesarean Gunung Kawi, Modin memimpin pembacaan doa-doa dan harapan dari pelaku ritual. Doa-doa dan harapan yang disampaikan oleh modin tersusun dalam sebuah satuan wacana yang utuh dan tersusun menjadi sebuah rangkaian bahasa yang mampu membawa pelaku ritual hanyut dalam segala permohonan mereka. Wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini diartikan sebagai keseluruhan perkataan atau ucapan yang merupakan suatu kesatuan atau dapat pula dikatakan sebagai pertukaran ide secara verbal (KBBI, 2008;1822). Tuturan doa yang membentuk sebuah wacana di dalamnya terdapat berbagai unsur pembentuk. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena sebuah wacana tidak akan mungkin berdiri sendiri. Selain itu, dalam sebuah wacana juga sangat dimungkinkan mengandung banyak makna. Sebuah tuturan akan memiliki makna yang lain dengan bentuk kalimatnya jika dikaitkan dengan konteks ketika tuturan tersebut disampaikan. Sama halnya dengan tuturan doa ritual, di dalamnya mengandung banyak makna yang dimungkinkan tidak sesuai dengan bentuk kalimatnya. Untuk itulah, analisis terhadap tindak tutur menjadi menarik. Tindak tutur seperti yang disampaikan oleh Searle, memungkinkan sebuah tuturan bermakna lain yang tidak sesuai dengan bentuk kalimat ketika dikaitkan dengan konteks tuturan tersebut. Demikian juga dengan yang terjadi di dalam tuturan doa ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi. Tuturan doa ritual selamatan yang dituturkan oleh
12
modin akan memiliki banyak makna. Hal tersebut karena konteks situasi maupun konteks sosialsaat tuturan tersebut disampaikan sangat mempengaruhi. Meskipun demikian, sangat dimungkinkan juga terdapat tindak tutur literal yang memiliki makna sesuai dengan yang disampaikan. Dalam menganalisis hal tersebut, konteks tidak dapat dilepaskan begitu saja. Konteks
menjadi
sebuah
hal
yang
penting
di
dalam
analisis
sosiopragmatik, baik melihat tindak tutur dan peristiwa tuturnya. Setiap tuturan akan dituturkan dalam konteks yang berbeda. Untuk itulah, tidak setiap tuturan akan memiliki makna atau tindak tutur yang sama meskipun dituturkan dalam kalimat yang sama. Seperti juga yang dinyatakan oleh Van Dijk (2009;111) bahwa konteks merupakan bagian dari sebuah wacana yang digunakan sebagai sarana menganalisis. Selain dalam menganalisis sebuah wacana, konteks juga sangat diperlukan untuk berbagai analisis yang terkait dengan tuturan. Karena tuturan tidak akan disampaikan tanpa adanya konteks maka dalam setiap analisis tuturan dengan menggunakan kajian apapun tetap digunakan konteks sebagai sarana untuk melihat makna yang ada. Seperti contoh tuturan Modin berikut: 5. Mangga sedherek sedaya. ‘mari saudara semua’. 6. Kula suwun pangestunipun rahayu wilujeng. ‘saya minta restu selamat sejahtera’. 7. Muginipun ngrencangi ing dedonga wanten wana dhumateng rosululah. ‘semoga menemani dalam berdoa di hutan kepada Rosulullah’. 8. Kula tansah nglantaraken hajatipun para sedherek jaler saha rencang estri.
13
‘saya selalu menjadi perantara hajatnya para saudara laki dan perempuan’. 9. Sedaya wau sami caos wuri lan nedhi. ‘semua tadi sama-sama saji dan makan’. 10. Ingkang dipuntujukaken dhumateng Eyang Panembahan sekaliyan. ‘yang ditujukan kepada Eyang Penembahan berdua’.
Dalam contoh 5-10 di atas ditemukan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa yakni tingkat tutur krama inggil. Tingkat tutur krama inggil merupakan tingkat tutur yang tinggi dalam pengelompokan tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa dipilih untuk digunakan tidak hanya karena kegiatan ini dilaksanakan di daerah Jawa tetapi terdapat maksud yang lain. Bahasa tersebut digunakan karena tuturan di atas disampaikan dalam ritual yang disampaikan di depan makan Eyang Djugo, orang yang dihormati, sehingga bahasa Jawa yang dipilih adalah tingkatan krama inggil. Setiap bahasa memiliki cara-cara tertentu untuk menunjukkan sikap hubungan antara orang yang berbicara dan lawan bicaranya yang dapat menunjukkan kesantunan (Wilian, 2006;32). Kegiatan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi tersusun atas beberapa rangkaian kegiatan. Adapun inti dari kegiatan ritual tersebut adalah pelaksanaan ritual itu sendiri. Di dalamnya terdapat lantunan atau tuturan doa yang disampaikan/dibacakan. Bacaan-bacaan yang dilantunkan oleh modin terbentuk dari rangkaian-rangkaian kalimat yang membentuk sebuah wacana yang utuh. Di dalam keutuhan sebuah wacana tersusun atas struktur-struktur yang membentuknya.
14
Setiap wacana memiliki struktur yang berbeda, terlebih dalam kegiatan yang berupa ritual. Struktur wacana dalam ritual sangat dimungkinkan memiliki perbedaan ataupun cirri tersendiri dibandingkan dengan struktur wacana yang lain. Keutuhan sebuah wacana didukung oleh keberadaan kode bahasa yang beragam. Ragam bahasa ini digunakan untuk menyampaikan makna atau maksud diselenggarakannya kegiatan ritual ini. Keberagaman bahasa atau penggunaan kode bahasa yang beragam dilakukan karena bermacam-macam alasan. Demikian juga dengan kode bahasa yang digunakan dalam kegiatan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi ini. Keberagaman ini disesuaikan dengan fungsi dan alasan-alasan lain yang mempengaruhi. Munculnya alasan penggunaan bahasa yang beragam dapat digunakan sebagai landasan untuk melihat pola pikir yang tercermin melalui tuturan yang disampaikan. Pola pikir yang terlihat melalui tuturan yang disampaikan oleh modin dapat dilihat dari adanya struktur dan pemilihan kode bahasa ataupun leksikon yang digunakan. Pemilihan kode bahasa ini tidak digunakan secara tibatiba ataupun tanpa pertimbangan yang tanpa makna. Di dalamnya pemilihan kode bahasa tersebut tersimpan suatu makna yang dapat dikatakan sebagai cerminan pola pikir. Dengan melihat struktur pembentuk wacana akan didapatkan pengetahuan mengenai pola atau struktur pembentuk wacana tuturan ritual selamatan. Hal ini dilakukan karena sangat dimungkinkan terdapat perbedaan antara struktur wacana ritual selamatan dengan struktur wacana yang lain. Lebih khusus lagi sangat dimungkinkan terdapat perbedaan antara struktur wacana tuturan ritual selamatan
15
yang dilaksanakan di pesarean Gunung Kawi dengan ritual selamatan di tempat lain. Di dalam setiap struktur atau bagian didukung oleh kode-kode bahasa yang beragam. Keberagaman ini memiliki fungsi masing-masing dan juga memiliki alasan penggunaan sendiri. Dengan melihat kode bahasa yang beragam ini akan didapatkan pengetahuan mengenai fungsi dan alasan penggunaan kode bahasa yang beragam. Selanjutnya, berdasarkan hal tersebut akan dapat diketahui aneka pola pikir yang terlihat melalui tuturan tersebut. Melalui analisis terhadap kodekode bahasa tersebut juga akan diketahui alasan munculnya pola pikir tersebut. Pada dasarnya terdapat banyak hal yang dapat diamati dari keberadaan pesarean Gunung Kawi. Adanya proses bilingualisme dalam kehidupan masyarakat, akulturasi budaya Jawa, Arab, dan China, variasi bahasa dalam kegiatan ritual selamatan, sampai pada pengaruh bahasa dan budaya yang ada terhadap pola pikir masyarakat di sekitar Gunung Kawi . Akan tetapi, melihat kompleksnya permasalahan yang ada, tidak semuanya akan dibahas dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal yang berkenaan dengan ritual selamatan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini terdapat pertanyaan besar yang hendak dilihat oleh peneliti. Pertanyaan besar tersebut terkait dengan peristiwa bahasa apa yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi. Penelitian ini akan difokuskan pada kegiatan ritual selamatan terutama pada wacana tuturan yang digunakan. Beberapa hal yang difokuskan terkait dengan wacana tuturan ritual selamatan antara lain akan melihat struktur yang membentuk tuturan ritual
16
selamatan, kode bahasa yang digunakan (terkait dengan fungsi dan alasan penggunaannya), dan melihat aneka pola pikir dan alasan munculnya pola pikir tersebut. Untuk itu, dalam penelitian ini mengambil judul “Wacana Ritual: Studi Kasus pada Ritual Selamatan di Pesarean Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur”.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut. a. Bagaimanakah struktur wacana ritual di pesarean Gunung Kawi? b. Bagaimanakah penggunaan bahasa dalam wacana ritual di pesarean Gunung Kawi? c. Apa saja pola pikir yang tercermin melalui tuturan ritual dan mengapa terbentuk pola pikir-pola pikir tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan atas berbagai rumusan masalah di atas, penelitian ini
memiliki tujuan sebagai berikut. a. Mendeskripsikan struktur wacana ritual di pesarean Gunung Kawi. b. Mendeskripsikan penggunaan bahasa dalam wacana ritual di pesarean Gunung Kawi. c. Mengidentifikasi pola pikir-pola pikir yang tercermin melalui tuturan ritual dan menjelaskan alasan terbentuk pola pikir-pola pikir tersebut.
17
1.4
Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini akan dijelaskan berbagai hal dan kegiatan yang
dilaksanakan di Pesarean Gunung Kawi. Penelitian ini dilaksanakan dengan berbagai tujuan yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam beberapa hal. Dalam bidang linguistik, akan memperkaya teori-teori tentang linguistic maupun wacana yakni dengan melihat struktur wacana dalam kegiatan ritual dan penggunaan bahasa dalam kegiatan ritual. Sementara itu, pola pikir yang tercermin melalui penggunaan bahasa dalam tuturan ritual selamatan juga akan terlihat. Selain itu, penemuan baru yang lain adalah melalui penelitian ini akan dapat menemukan hakikat atau distinctive feature dari struktur wacana ritual, penggunaan kode bahasa dalam ritual, dan pola pikir yang terlihat melalui tuturan itu sendiri. Terkait dengan hubungan bahasa dengan budaya, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah kajian tersebut. Edward Sapir mengungkapkan tiga hal pengertian besar terkait dengan hubungan bahasa dan budaya. Pertama, bahasa merupakan panduan simbolik menuju budaya. Kedua, kosakata merupakan petunjuk yang sangat peka bagi budaya untuk masyarakat. Ketiga, bahwa bahasa merupakan strategi penting untuk metodologi dalam ilmu sosial.
18
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, manfaat yang diharapkan dengan melakukan penelitian ini di antaranya adalah memperkaya wawasan pembaca mengenai keberadaan pesarean Gunung Kawi. Diharapkan pandangan masyarakat luas yang selama ini hanya mengenal mitos-mitos yang masih dipercayai sampai saat ini, lebih mengenal kemajemukan budaya yang dimiliki Gunung Kawi. Dengan mengenal kemajemukan tersebut harapannya supaya dapat ditiru oleh daerah lain dalam menjaga kesatuan dalam kemajemukan.
1.5
Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori Dalam subbab ini terbagi atas dua bagian, yakni tinjauan pustaka dan
landasan teori. Untuk setiap subbab akan diuraikan sebagai berikut.
1.5.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka merupakan hasil penelusuran penelitian-penelitian ataupun tulisan-tulisan yang memiliki tema yang hampir sama dengan penelitian yang peneliti lakukan. Berdasarkan hasil penelusuran ini akan didapatkan pengetahuan bahwa penelitian yang peneliti lakukan belum pernah ada yang melakukan. Tinjauan pustaka yang dilakukan meliputi penelitian atau tulisan yang terkait dengan wacana ritual dan yang berbicara mengenai Gunung Kawi. 1.5.1.1 Wacana Ritual Beberapa penelitian mengenai wacana ritual telah dilakukan oleh para peneliti yang lain. Untuk itulah dilakukan penelusuran pustaka untuk
19
mendapatkan data bahwa penelitian yang peneliti lakukan ini khususnya pada wacana tuturan ritual selamatan belum ada yang melakukan. Beberapa di antara penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan wacana ritual ataupun wacana diuraikan sebagai berikut. I Made Netra pada tahun 2011 menulis disertasi dengan judul “Wacana Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani Adat Bayan, Lombok Utara: Kajian Etnopragmatik”. Dalam penelitian tersebut, Netra menggunakan pendekatan etnopragmatik yang digunakan untuk memahami praktik-praktik sosial yang terkait dengan konteks budaya. Terdapat beberapa penemuan dalam penelitian tersebut. Pertama, tema umum dalam wacana ritual tersbeut adalah permohonan. Kedua, variasi linguistik yang digunakan dalam wacana ritual tersebut meliputi aspek fonologi (meliputi penggunaan fitur-fitur prosodi), aspek morfologi meliputi penggunaan leksikon, aspek sintaksis berupa penggunaan tuturan bermodus deklaratif, imperatif, kondisional, pengulangan leksikon, frase, dan kalimat. Ketiga, kumonitas petani adat Bayan menggunakan tuturan langsung literal, langsung tidak literal, tidak langsung literal, dan tidak langsung tidak literal, yang dapat dikategorikan ke dalam tuturan asertif, direktif, eskpresif, komisif, dan deklarasi. Keempat, wacana ritual tersebut mengandung norma-nora dan nilai bidaya yang sampai saat ini mampu dipertahankan dan dijadikan aturan adat setempat. Persamaan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Netra dengan yang peneliti lakukan terdapat pada objek penelitian, yakni sama-sama meneliti mengenai pelaksanaan ritual. Penelitian yang telah dilakukan oleh Netra
20
menggunakan pendekatan etnopragmatik. Perbedaan ditemukan pada jenis ritual yang diteliti dan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Simon Sabon Ola dan Theo Ebon Ola. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra LOGAT. Dalam tulisan yang berjudul “Struktur Tuturan Ritual Kelompok Etnik Lamaholot” didapatkan beberapa hasil. Pembahasan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara struktur bahasa dan struktur penuturan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat melalui tataran fonologi, morfosintaksis, dan budaya berbahasa pada masyarakat. Selain itu, hasil yang lain menunjukkan terlihat adanya keserasian hubungan antara struktur bahasa, keindahan bahasa, dan budaya bertutur masyarakat penuturnya. Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan tersebut dengan penelitian ini terletak pada subyek penelitian dan jenis struktur yang hendak dibahas. Dalam penelitian tersebut struktur yang dibahas mengacu pada struktur kebahasaan, dan dalam penelitian ini mengacu pada bentuk wacana yang dilihat melalui bahasa yang digunakan. Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama meneliti tuturan yang digunakan dalam sebuah ritual. Penelitian mengenai analisis wacana ritual juga pernah dilakukan oleh Ni Wayan Sartini. Melalui penelitian yang berjudul “Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa: Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek”, Sartini merumuskan permasalahan bagaimana bentuk wacana ritual imlek dan konsep kehidupan yang ditemukan dalam doa imlek tersebut. Adapun simpulan yang didapatkan dalam penelitian tersebut adalah bahwa bentuk wacana ritual
21
masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu merupakan doa yang terdiri atas rangkaian kalimat yang menyerupai prosa. Kalimat-kalimat yang terangkai mengandung makna yang mendalam sesuai dengan ajaran agama Konghucu. Dalam agama Konghucu tidak ada benda yang tidak memiliki makna. Oleh kerananya, dalam perayaan Imlek ditemukan beragam benda dan hidangan yang secara simbolik memiliki makna yang mendalam. Di antara penelitian yang dilakukan oleh Sartini dengan yang peneliti lakukan terdapat persamaan, yakni sama-sama menggunakan pendekatan analisis wacana. Analisis dilakukan terdapat wacana ritual. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yakni pada subyek yang diteliti. Dalam penelitian Sartini fokus pada bentuk wacana ritual masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu. Sementara itu, penelitian yang peneliti lakukan fokus pada struktur wacana dan penggunaan bahasa yang digunakan untuk melihat pola pikir. Tulisan lain yang terkait dengan wacana ditulis oleh Kundharu Sadhono. Tulisan yang disajikan dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke10 ini berjudul “Wacana Bahasa Jawa dalam Khotbah Jumat di Kota Surakarta: Perspektif Kajian Linguistik Kultural”. Dalam tulisan tersebut, didapatkan simpulan bahwa bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat meliputi bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Jawa, dan bahasa asing. Setiap bahasa digunakan sesuai dengan fungsinya. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang paling dominan karena objek penelitian adalah khotbah Jumat di Kota Surakarta yang memiliki bahasa pengantar bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Arab dalam khotbah Jumat terkait dengan alasan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk ibadah
22
dalam agama Islam. Oleh karenanya penggunaan bahasa Arab merupakan suatu aturan atau tuturan situasi. Sementara itu, penggunaan bahasa Jawa ditemukan karena adanya faktor lokasi dan faktor latar belakang budaya setempat. Untuk penggunaan
bahasa
asing,
ditemukan
penggunaan
bahasa
Inggris.
Kemunculannya lebih disebabkan oleh faktor penutur. Persamaan antara penelitian Kundharu dengan yang peneliti lakukan adalah sama-sama melihat penggunaan bahasa. Akan tetapi, jika dalam penelitian Kundharu melihat wacana bahasa dalam khotbah Jumat, dalam penelitian yang peneliti lakukan adalah wacana dalam tuturan ritual selamatan. Selain itu, dalam tulisan Saddhono ini juga fokus melihat wacana bahasa Jawa yang terlihat dari judul yang digunakan, sementara untuk penelitian ini peneliti melihat semua bahasa yang digunakan dalam pelaksanaan ritual selamatan. Bandana juga pernah melakukan penelitian mengenai wacana ritual. judul yang digunakan dalam penelitiannya adalah “Wacana Ritual Nyepi dalam Budaya Bali: Sudut Pandang Linguistik Antropologi”. Dalam penelitian terdapat dua rumus masalah penelitian, yakni (1) bagaimanakah struktur mantra dan saa wacana ritual tersebut?, dan (2) apakah makna mantra dan saa itu secara budaya atau kontekstual? Dalam penelitian ini, wacana ritual nyepei ditinjau dari dua hal, yakni struktur linguistik yang berkaitan dengan kalimat imperative, dan makna wacana ritual nyepi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, didapatkan dua simpulan. Pertama, ditinjau dari struktur kalimat imperative, wacana ritual nyepi dibangun oleh 1) kata wehin ‘berikan (lah)’ + FN, 2) N + nunas ‘mohon’ + klausa, 3) mangda ledang ‘sudi kiranya’ + V + mangda ledang +klausa, dan 4) durus
23
‘silakan’ + klausa. Kalimat imperative dalam wacana ritual nyepi terdiri atas kalimat imperative perintah dan permohonan. Kedua, dilihat dari makna yang terkandung dalam wacana ritual nyepi maknanya adalah usaha introspeksi dan pengendalian diri, pengendalian hawa nafsu dalam menyongsong tahun baru Saka melalui empat jalan yang disebut brata penyepian. Beberapa hal yang menjadi kesamaan antara penelitian Bandana dengan yang penelitian lakukan adalah terletak pada sudung pandang kajian. Kedua penelitian ini melihat struktur pembentuk wacana. Akan tetapi, dalam penelitian tersebut struktur khusus dilihat dari kalimat imperative yang ada. Sementara itu, dalam penelitian ini melihat dari struktur pembentuk wacana secara utuh. Ola (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Tuturan Ritual dalam Konteks Perubahan Budaya Kelompok Etnik Lamaholot di Pulau Adonara, Flores Timur” mendeskripsikan perubahan-perubahan yang terjadi pada etnik tersebut. Perubahan yang terjadi pada etnik Lamaholot dapat dikatakan menjadi ciri kemajuan masyarakatnya. Perubahan tersebut terjadi baik pada bentuk, fungsi dan makna, maupun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Ola, berbagai perubahan tersebut terjadi atas pengaruh perilaku dan perubahan nilai pada kelompok etnik Lamaholot. Berdasarkan perubahan tersebut, dapat terlihat pergeseran sifat dari yang semula bersifat komunal (kelompok) menjadi lebih individualis (perseorangan). Hal yang berbeda terjadi pada tuturan ritual ziarah di Pesarean Gunung Kawi. Menurut juru kunci, tuturan tidak mengalami perubahan yang signifikan, baik dalam bentuk (struktur), nilai, maupun makna yang terkandung di dalamnya.
24
Dikatakan bahwa tuturan atau bacaan yang dipakai dari dahulu memang campuran bahasa Jawa, Indonesia, dan Arab. Sedangkan untuk makna memang lebih bersifat indviualis, karena biasanya dilakukan oleh individu. Akan tetapi, terdapat kemungkinan ritual selamatan yang dilakukan mengandung makna secara universal, misalnya saja mengharap kebaikan untuk keluarga dan Negara. Terdapat persamaan di antara penelitian yang dilakukan oleh Ola dengan yang penulis lakukan. Persamaan tersebut terletak pada obyek penelitian yang samasama meneliti mengenai tuturan ritual dalam kaitannya dengan konteks. Geertz pernah melakukan penelitian tentang ritual abangan, santri, dan priyayi. Di Indonesia memang dikenal memiliki pembagian struktur dalam masyarakat yang demikian, meskipun dalam perkembangannya masih ada yang dipertahankan dan ada yang sudah mengalami pergesaran. Selain melakukan pembagian struktural seperti disebutkan di atas, Geertz juga menyinggung tentang pelaksanaan ritual slametan yang dilakukan di masyarakat Mojokuto. Penelitian yang dilakukan oleh Geertz dengan yang penulis lakukan adalah sama-sama meneliti mengenai ritual selamatan. Akan tetapi, terdapat perbedaan pengertian mengenai selametan itu sendiri. Selain itu, perbedaan lain juga terletak pada fokus penelelitian. Jika Geertz lebih fokus pada pembagian structural dan kegiatan selamatan yang dilakukan oleh masing-masing struktur maka penelitian yang penulis lakukan lebih fokus pada tuturan yang digunakan dalam kegiatan ritual. Penelitian lain yang berkenaan dengan ritual juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Setiyadi (tanpa tahun), Syarifuddin (2008), Harris
25
(2002), Pusat Bahasa (1987), dan beberapa peneliti yang lain. Subyek penelitian yang terkait dengan ritual pun telah beragam, di antaranya yang berhubungan dengan adat istiadat upacara daur hidup dan upacara kemasyarakatan, baik kematian, perkawinan, kelahiran, maupun bidang-bidang lain seperti pertanian, perdagangan, dan pendidikan. Pada disertasi Syarifuddin (2008) yang berjudul “Mantra Nelayan Bajo: Cermin Pikiran Kolektif Orang Bajo di Sumbawa” diklasifikasikan berbagai macam jenis mantra yang digunakan oleh masyarakat Bajo. Hal tersebut dilakukan guna mengungkapkan sistem pengetahuan orang Bajo di Sumbawa. Selain itu juga didapatkan simpulan mengenai struktur mantra yang digunakan. Adapun struktur penuturan tersebut disusun oleh unsur judul, pembuka, niat, sugesti, tujuan, dan penutup. Dalam disertasi ini juga dilihat konstruksi linguistik yang digunakan untuk melihat (i) permintaan dan pernyataan; (ii) sasaran permintaan; (iii) wujud permintaan (fungsi mantra); dan (iv) sifat dari wujud permintaan. Persamaan di antara penelitian Syarifuddin dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada salah satu tujuan yang ingin dicapai. Penelitian yang dilakukan oleh Syarifuddin hendak mendeskripsikan mengenai mantra yang merupakan cerminan pola pikir kolektif masyarakat Sumbawa. Sementara itu, dalam penelitian yang penulis lakukan hendak mendefinisikan jenis pola pikir yang terlihat melalui tuturan ritual yang digunakan dan menjelaskan alasan munculnya pola pikir tersebut.
26
Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian yang akan dilakukan ini terletak pada obyek penelitian. Dalam penelitian Syarifuddin, yang dijadikan sebagai obyek penelitian adalah mantra yang dimiliki oleh orang Bajo. Sementara itu, dalam penelitian ini obyek penelitiannya adalah tuturan yang digunakan dalam ritual selamatan. Penelitian mengenai tuturan ritual juga pernah dilakukan oleh tim dari Pusat Bahasa (1987). Penelitian yang sudah terbit dalam bentuk buku tersebut berjudul “Tuturan Ritual Dalam Sastra Lisan Lio” dan diterbitkan oleh Pusat Bahasa. Dalam penelitian tersebut terdapat beberapa kesimpulan, salah satunya bahwa tuturan ritual Lio masuk dalam jenis karya sastra lisan yang memiliki nilainilai tinggi. Tuturan ritual mengungkapkan latar belakang kepercayaan masyarakat Lio yang bersifat animisme dan dinamisme saat tuturan tersebut masih digunakan oleh masyarakat. Kekuatan magis
ditandai oleh getaran suara
penuturnya, pilihan kata dengan menggunakan pola-pola paralelisme. Tuturan ritual Lio tidak dapat dikuasai oleh masyarakat awam karena tuturan tersebut diperlakukan sangat suci dan keramat. Persamaan dan perbedaan di antara penelitian yang dilakukan oleh Tim Pusat Bahasa dengan penelitian yang penulis lakukan akan dijelaskan lebih lanjut. Persamaan di antara keduanya terletak pada obyek penelitian, yakni sama-sama meneliti mengenai tuturan ritual. Sementara itu, perbedaan di antara keduanya terletak pada jenis kajiannya. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Pusat Bahasa lebih menggunakan kajian kesusasteraan dengan memasukkan tuturan ritual selamatan sebagai salah satu bentuk sastra lisan.
27
Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai ritual telah banyak dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang fokus pada wacana tuturan ritual khususnya ritual selamatan belum banyak dilakukan. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk dapat menambah kekayaan penelitian. 1.5.1.2 Gunung Kawi Beberapa penelitian dan tulisan terkait yang mengambil lokasi penelitian di Gunung Kawi juga telah dilaksanakan. Salah satu tulisan yang dimuat di Malang Post, memunculkan hasil-hasil wawancara dengan beberapa pengunjung tentang motivasi mereka mendatangi Pesarean Gunung Kawi. Pengunjung yang beragam ternyata memiliki harapan dan tujuan yang beragam pula mendatangi Pesarean Gunung Kawi. Menurut pengunjung, berbagai uba rampe seperti bunga, kemenyan, dan minyak wangi juga bisa didapatkan di sekitar makam. Selain bunga dan kemenyan, ritual selametan juga diwajibkan membawa sesajen yang berupa makanan. Sama halnya dengan bunga dan kemenyan, sesajen yang berupa makanan juga dapat dipesan di tempat tersebut. Dengan demikian, pelaku ritual tidak harus menyiapkan sendiri ketika hendak melakukan ritual selametan. Hal itu dilakukan guna memudahkan pelaku dalam melaksanakan ritual selamatan. Meskipun demikian, bagi peserta ritual yang ingin menyediakan sendiri dengan membawa dari rumah juga tidak menjadi masalah. Tulisan di atas lebih menyoroti mengenai kegiatan ritual selamatan yang dilakukan. Selain itu, juga menyoroti mengenai jenis-jenis
uba rampe yang
dibawa oleh pelaku. Tulisan tersebut juga menyampaikan mengenai tujuan dan
28
harapan pengunjung pesarean Gunung Kawi, baik yang melakukan ritual maupun tidak. Sementara itu, dalam penelitian yang penulis lakukan lebih fokus pada kegiatan ritual selamatan dan fokus pada tuturan yang digunakan dalam ritual selematan tersebut. Adapun persamaannya hanya pada lokasi penelitian, yakni sama-sama melakukan penelitian di pesarean Gunung Kawi. Tulisan lain mengenai Gunung Kawi juga telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa dari Jurusan Teknik Univesitas Brawijaya, yakni Haris Wicaksono, Ida Bagus Ananta, Wachyu Dewantara, dan Yoka Krisma (2005). Beberapa mahasiswa tersebut lebih tertarik melihat segi arsitektur bangunan Makam Gunung Kawi. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, ditemukan fakta bahwa arsitek bangunan Pesarean Gunung Kawi mengandung banyak unsur filosofis. Bangunan yang tampak sangat memperlihatkan adanya kemajemukan budaya, memperlihatkan multikultural yang sangat memesona. Bangunan yang ada merupakan campuran Jawa, Islam, dan Cina dengan masing-masing keunikan dan kelebihannya. Arsitektur Jawa terlihat dari ukiran-ukiran yang terpajang di atas pusara dan di pintu masuk pesarean. Arsitektur Cina tampak pada keberadaan Ciamsi (tempat meramal) dan bangunan klenteng. Sedangkan arsitektur Islam terlihat dari banyaknya ukiran berbahasa Arab maupun bangunan masjid di sekitarnya. Penelitian yang telah dilakukan tersebut lebih melihat pada sisi arsitektur yang terdapat di lokasi tersebut. Dalam penelitian tersebut tidak diungkap makna yang terkandung di balik pemilihan arsitektur yang demikian. Sementara itu,
29
dalam penelitian yang penulis lakukan tidak menyinggung mengenai arsitektur maupun maknanya, tetapi fokus pada kegiatan ritual yang dilaksanakan. Penelitian lain mengenai Gunung Kawi juga pernah dilakukan oleh Irawati (2007). Penelitian tersebut berjudul “Persepsi Masyarakat Tentang Pesarean Gunung Kawi (Studi pada Pengunjung Obyek Wisata Pesarean Gunung Kawi)”. Dalam penelitian tersebut, penulis memiliki kesimpulan bahwa persepsi pengunjung mengenai pesarean Gunung Kawi cukup bervariasi. Muncul variasi tersebut, menurut penulis karena ada pengunjung yang paham terhadap komponen-komponen di dalam pesarean Gunung Kawi dan ada pengunjung yang kurang paham terhadap komponen-komponen tersebut. Untuk pengunjung yang paham tergolong pengunjung yang rutin mengunjungi pesarean untuk melakukan berbagai macam kegiatan yang ada. Sementara itu, bagi yang kurang paham tergolong pengunjung yang baru satu kali atau dua kali datang ke pesarean tersebut. Selain adanya persepsi di atas, penulis juga menemukan adanya persepsi negatif yang muncul.
Persepsi negatif ini muncul karena adanya isu-isu
pesugihan yang muncul di kalangan masyarakat. Penelitian mengenai persepsi di atas dilakukan untuk melihat beragamnya persepsi pengunjung mengenai pesarean Gunung Kawi. Penelitian tersebut tidak melihat hal-hal yang melatarbelakangi munculnya persepsi pegunjung. Fokus yang berbeda antara penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan menjadi perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan. Akan tetapi, di antara kedua penelitian ini sama-sama memilih Gunung Kawi sebagai lokasi penelitian.
30
Tulisan lain yang terkait dengan Gunung Kawi juga ditulis oleh seorang pengamat budaya, R.M. Danardono (2004). Dalam tulisannya, Danardono menjelaskan beberapa hal, yakni tentang mitos pesugihan, mitos pohon Dewandaru, dan Guci Kuno. Selain itu, juga mengungkapkan tentang keberadaan makam kaitannya dengan perjuangan Diponegoro. Dalam tulisannya, juga ditekankan tentang kehidupan masyarakat yang multikultural, percampuran antara etnis Jawa dan etnis Cina dengan kehidupan yang harmonis. Hal lain yang juga diamati dalam tulisannya adalah melihat ritual dalam kaitannya dengan komodifikasi budaya. Salah satu ritual yang diungkapkan adalah ritual di bulan Suro, yakni Suronan. Dalam ritual tersebut banyak acara yang digelar dan banyak sesajen yang disajikan. Pemerintah ternyata berupaya membawa ritual tersebut sebagai upaya pelestarian budaya melalui kegiatan wisata. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan fasilitas kepada masyarakat yang merayakan kegiatan ritual Suronan. Pemerintah kecamatan mengadakan lomba membuat tumpeng dan membuat semacam patung sebagai simbol kejahatan yang nantinya akan dibakar beramai-ramai sebagai tanda mematikan atau membakar kejahatan. Berdasarkan tinjauan pustaka yang terkait dengan pesarean Gunung Kawi dapat diketahui bahwa belum ada penelitian yang terkait dengan sisi bahasa. Untuk itulah dalam penelitian ini mengambil lokasi pesarean Gunung Kawi dengan melihat sisi bahasanya. Penelitian ini lebih fokus lagi pada kegiatan ritual selamatan dengan mengambil obyek penelitian pada tuturan ritual selamatan.
31
1.5.2
Landasan Teori
Landasan teori yang akan digunakan sebagai pijakan dalam penelitian ini terbagi atas beberap kategori, di antaranya Analisis Wacana, Konteks, Etnografi Komunikasi, dan pola pikir manusia. Berbicara mengenai linguistik, merupakan sebuah fenomena yang menarik sehingga banyak hal yang dapat dikembangkan dan diteliti lebih lanjut. Linguistik tidak hanya berbicara mengenai bahasa dan susunannya, melainkan merupakan disiplin ilmu yang tujuan studinya meliputi banyak hal. Linguistik atau bahasa dapat terkait dengan struktur, tata bahasa, sosial, maupun budaya dalam setiap kajiannya. Linguistik merupakan ilmu yang di dalamnya meliputi banyak hal. Tidak hanya meliputi kebahasaan secara umum, akan tetapi berkaitan dengan segala hal yang mempengaruhinya. Beberapa di antaranya berhubungan dengan budaya (etno), sosial, maupun sejarahnya. Meskipun demikian, linguistik tetap saja masih berkaitan dengan struktur bahasa atau melihat wacana (teks) yang ada. Setiap bahasa memiliki struktur yang berbeda dengan bahasa yang lain. Hal itulah yang menyebabkan adanya keanekaragaman struktur bahasa. Keberagaman struktur bahasa juga disertai dengan keberagaman bahasa. Keberagaman bahasa ataupun kajiannya merupakan sesuatu yang tidak dapat diingkari. Akan tetapi, keberagaman tersebut bergantung pada pendekatan teoretis dan ketertarikan penelitian dari orang yang bersangkutan. Selain itu, juga bergantung pada tujuan dan metode untuk melihat perbedaan antarbahasa yang bervariasi. Dengan demikian, akan sangat sulit mencari sebuah definisi yang
32
tepat mengenai bahasa maupun bidang kajiannya. Membatasi kajian bahasa sama halnya dengan membatasi definisi mengenai bahasa atau linguistik itu sendiri. Mendefinisikan bahasa merupakan suatu tugas yang dapat dikatakan sangat tidak mungkin (Danesi; 2004:8). Berdasarkan etimologi, bahasa dapat didefinisikan sebagai penggunaan “lidah” atau bahasa untuk mengkreasikan secara tegas arti dari signs atau “tanda”. Tanda adalah segala sesuatu yang berdiri untuk sesuatu yang berada di luar dirinya. Sebagai contoh, ketika kita menggunakan atau mendengar kata merah, kita tidak akan berpikir untuk membandingkan hubungan antara m-e-r-a-h, tetapi lebih pada jenis warna yang memiliki acuan. Berdasarkan hal tersebut, bahasa dapat didefinisikan secara lebih tepat sebagai sebuah kode mental yang tandanya dibentuk “dengan lidah/bahasa” (Danesi;2004:8). Bahasa merupakan simbol dalam interaksi sosial antarmanusia. Seperti yang disampaikan oleh Casson (1981:11) bahwa bahasa adalah symbolic meaning system, dan kebudayaan adalah sebagai simbol dari sistem tersebut. Lebih lanjut diungkapkan oleh Sapir (dalam Casson; 1981:15) berikut. Like language, it is a semiotic system in which symbols function to communicate meaning from one mind to another. Cultural like symbols, like linguistic symbols, encode a connection between a signifying form and a signaled meaning. ‘Bahasa sebagai sebuah sistem tanda yang memiliki fungsi mengkomunikasikan makna dari satu pikiran ke pikiran yang lain. Sementara itu, budaya sebagai simbol, menghubungan antara bentuk penanda dengan makna yang ditandai’. Bahasa selalu dibawa oleh manusia di manapun mereka berada. Karena pada dasarnya, di manapun manusia berada, di sana terdapat bahasa. Bahasa
33
memungkinkan manusia untuk melintasi dunia untuk mengklasifikasikan segala sesutau yang relevan dan berarti bagi mereka. Bahasa merupakan hal yang sangat fleksibel dan mampu mengungkapkan segala hal yang diharapkan oleh penuturnya (Nuryani; 2010:248). Dengan demikian, bahasa telah menjadi alat bagi manusia tidak sekadar menginformasikan sesuatu, tetapi lebih dari itu bahasa menjadi alat ekspresi bagi manusia dengan segala macam kondisi yang ada. Danesi (2004:1) mengungkapkan bahwa tanpa bahasa, di sana tidak akan ada ilmu pengetahuan, agama, perdagangan, pemerintahan, sastra, filsafat, dan tidak akan ada sistem maupun kegiatan lain yang merupakan karakteristik manusia. Dengan demikian, sangat disadari pentingnya bahasa dalam hidup dan keberadaan manusia sangat memungkinkan untuk berkembangnya bahasa. Manusia beserta budayanya sangat memungkinkan adanya perbedaan dalam menggunakan bahasa, sehinga tidak mengherankan pula jika dengan bahasa tersebut sedikit banyak memengaruhi cara manusia memikirkan sesuatu. Semakin disadari bahwa bahasa merupakan cermin pola pikir dan pengetahuan seseorang atau masyarakat tertentu. Sapir dan Whorf juga telah mengkaji hubungan bahasa dan budaya, serta menyatakan bahwa terdapat hubungan antara bahasa dengan pola pikir yang telah melahirkan konsep yang terkenal dengan relativitas bahasa (linguistic relativity). Kerangka teoretis yang terkait
dengannya
dikenal
sebagai
Hipotesis
Sapir-Whorf
(Sapir-Whorf
Hypothesis). Haryanti dan Agus (2009:134) menyatakan bahwa penggunaan bahasa oleh masyarakat penutur bahasa bermakna dan mengacu pada suatu peristiwa,
34
tindakan, benda, dan keadaan atau dengan kata lain dalam pengungkapan dari semua aspek kehidupan, penutur bahasa menggunakan potensi bahasa. Hal ini berarti bahwa “pandangan dunia” dari pendukung kebudayaan tersebut dapat diketahui. Melalui bahasalah berbagai pengetahuan baik yang tersirat maupun yang tersurat dapat terungkap. Seorang ahli bahasa mengatakan bahwa kebudayaan (culture) bersinonim dengan cara hidup suatu kelompok masyarakat (Lado; 1979:129). Hal ini dapat kita asumsikan bahwa cara pandang atau cara hidup suatu kelompok masyarakat menjadi bagian dari kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Sementara itu, kebudayaan yang muncul sedikit banyak akan tercermin atau terlihat dalam bahasa yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Sebagai contoh adalah cara hidup orang Jawa dapat dipadankan dengan kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa yang seperti apa bentuknya terkihat dalam bahasa Jawa yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Kessing (dalam Casson; 1981:46) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem adaptasi, sistem kognisi, sistem struktural, sistem simbolis, dan sistem ideasional. Untuk itulah, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sebuah kelompok masyarakat. Melalui kebudayaan yang dimiliki, masyarakat mencoba untuk selalu beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada di sekitarnya. Selain itu, melalui bahasa pula masyarakat mengenal adanya struktur yang terdapat dalam sebuah kelompok masyarakat.
35
1.5.2.1 Analisis Wacana Istilah wacana dewasa ini menjadi istilah yang cukup hangat dibicarakan oleh para ahli bahasa maupun ahli-ahli sosial. Berbagai perdebatan ilmiah pun memunculkan beragam definisi dan pola-pola wacana yang akan menentukan perkembangan definisi wacana ke depannya. Meskipun demikian, sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai definisi pasti tentang wacana. Hal itu sekiranya wajar karena wacana bukanlah sebuah pendekatan tunggal, melainkan serangkaian pendekatan multidisipliner yang dapat digunakan untuk menganalisis banyak ranah sosial. Dalam KBBI (2008:1804) wacana diartikan sebagai keseluruhan perkataan atau ucapan yang merupakan suatu kesatuan, atau pertukaran ide secara verbal. Pengetahuan
selalu
berkembang
seiring
dengan
perkembangan
kemampuan berpikir pengguna bahasa. Hal itu yang menjadikan perkembangan dalam berbagai pedekatan kritis digunakan untuk melihat kebenaran pengetahuan secara obyektif. Realitas yang ada hanya dapat kita akses melalui ketagorikategori yang dalam pendekatan wacana dapat dikatakan sebagai produk wacana. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikatakan berkembang ketika telah mampu memberikan kontribusi baik dalam kaitannya dengan pribadinya maupun hubungan sosialnya. Beberapa tokoh muncul dengan beragam paradigma yang mengikuti kemunculannya. Dua paradigma dalam linguistik memiliki asumsi-asumsi berbeda terhadap hakikat dan tujuan linguistik (Schiffrin; 1994:181). Perbedaan penyebutan sekiranya bukan menjadi permasalahan yang mendasar dari definisi
36
ancangan kajian wacana itu sendiri, melainkan semakin memantapkan bahwa kajian ini memang menarik. Dua paradigma tersebut adalah paradigma formalis (New Meyer, 1983) atau paradigma strukturalis (Hymes, 1974) dan paradigma fungsionalis (dalam Schiffrin; 1994:181-182). Ancangan kajian wacana menurut paradigma formalis dan fungsional digambarkan sebagai berikut: No
Srtuktural
1.
Struktur bahasa (kode) sebagai 1.
Struktur
grammar (tata bahasa)
sebagau cara bertutur
2.
No
Penggunaan pelengkap,
3.
4.
6.
mungkin
hanya 2. terbatas,
tuturan
Analisis
(tindakan,
penggunaan
diutamakan
dari
pada
peristiwa)
bahasa
lebih
analisis
kode;
mungkin berhubungan dengan apa
organisasi penggunaan bahasa menyingkap
yang
hubungan
dianalisis
sebagai
kode;
dan
cirri
tambahan;
analisis kode mendahului analisis
menunjukkan kode dan penggunaan bahasa
penggunaan
dalam hubungan integral
Fungsi
referensial
penggunaan 3.
Keseluruhannya merupakan fungsi sosial
secara semantik sebagai norma
atau gaya bahasa
Elemen-elemen
Elemen-elemen
analitis
5.
bahasa
Fungsional
bersufat
dan
struktur 4.
arbitrer
atau
bahasa
dianggap
dan
struktur-struktur
sebagai
kecocokan
bersifat semesta
etnografi
Kesamaan fungsional dari bahasa; 5.
Perbedaan fungsional dari bahasa, gaya
semua bahasa pada dasarnya sama
bahasa pada dasarnya belum tentu sama
Satu komunitas dank ode yang 6.
Masyarakat tutur sebagai matriks repertoar-
37
homogeny 7.
Konsep-konsep
kode, atau gaya tutur yang berbeda dasar
seperti 7.
masyarakat tutur, tindak tutur,
Konsep-konsep dasar dianggap sebagai problematik dan harus diteliti.
penutur yang lancer, fungsi ujaran, dan bahasa diterima apa adanya.
Pandangan formalis (struktural) memunculkan definisi klasik yang didasarkan atas asumsi-asumsi formalis, yang berpendapat bahwa wacana adalah bahasa di atas kalimat atau di atas klausa. Analisis tersebut diikuti oleh strukturalisme yang dikemukakan oleh Levi-Strauss, akan tetapi analisis tersebut terkadang mengabaikan adanya hubungan-hubungan fungsional dengan konteks yang merupakan bagian dari wacana (Van Dijk;1997:35). Seorang ahli bahasa yang pertama menyebut “analisis wacana” menyatakan secara jelas bahwa wacana adalah tingkat selanjutnya dalam sebuah hirarki morfem, klausa, dan kalimat. Struktur menjadi sesuatu yang penting dalam wacana, oleh sebab itu wacana menentang serangkaian kalimat acak. Sementara wacana menurut pandangan fungsionalis adalah studi tentang semua aspek penggunaan bahasa (Fasold; 1997:67). Sementara itu, dalam tulisan ini wacana selain dipandang sebagai satu kesatuan bahasa yang dibentuk dari susunan kalimat-kalimat juga sebagai kesatuan utuh yang dapat mengungkapkan pikiran manusia.. Brown dan Yule (1983:1) juga mengungkapkan pandangan wacana. Analisis wacana sudah pasti adalah analisis penggunaan bahasa. Dengan demikian, analisis wacana tidak dapat dibatasi pada penggunaan penggambaran bentuk-bentuk linguistik yang terlepas
38
dari tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi yang dipenuhi dari perancangan fungsi-fungsi ini dalam urusan sehari-hari manusia.
Melihat definisi di atas jelas bahwa dalam kajian wacana tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa dalam kehidupan di masyarakat. Berbicara mengenai analisi penggunaan bahasa, tidak pula dapat dilepaskan dari analisis mengenai tujuan dan fungsi bahasa tersebut dalam penggunaannya. Merujuk pada pandangan Fairclough (1989:23) mengenai konsep tentang bahasa, yakni bahasa adalah sebuah bagian dari masyarakat; sementara fenomena-fenomena linguistik adalah fenomena-fenomena sosial khusus, dan fenomena-fenomena sosial adalah fenomena-fenomena linguistik. Analisis wacana menurut pandangan fungsional memang terkait erat dengan fungsi bahasa. Definisi lain mengenai wacana adalah wacana dikatakan sebagai ujaran, dan banyak para ahli bahasa yang menyatakan bahwa ujaran adalah kalimatkalimat yang dikontekskan atau terikat konteks. Munculnya definisi bahwa wacana merupakan ujaran, menunjukkan adanya tujuan dari analisis wacana, yaitu: -
Apakah ada prinsip-prinsip yang mendasari urutan dalam suatu ujaran, atau satu tipe ujaran mengikuti yang lainnya?
-
Bagaimana organisasi wacana dan arti serta penggunaan ekspresi-ekspresi dan konstruksi-konstruksi dalam konteks-konteks tertentu?
-
Bagaimana satu ujaran memengaruhi isi komunikasi dari ujaran lainnya?
39
Melihat beragamnya uraian mengenai definisi wacana, analisis wacana, maupun kajian ancangan wacana dapat disimpulkan sebuah definisi yang sekiranya dapat dijadikan pijakan untuk melakukan analisis terhadap sebuah wacana. Wacana dapat diartikan sebagai sebuah ujaran yang memiliki struktur dan analisis dilakukan terhadap penggunaan bahasa yang beragam dengan melihat teks dan konteksnya. Munculnya bahasa yang beragam menurut Rorty (1991:4) sebagai sebuah fenomena yang wajar. Rorty (1991:4) menyatakan bahwa “we have a variety of language because we have a variety of purpose”. Manusia memiliki beragam tujuan dalam menggunakan bahasa, oleh sebab itu muncullah beragam bahasa yang digunakan. Hal itu dapat dilihat dalam wacana Modin dalam memimpin ritual di Pesarean Gunung Kawi. Beragamnya manusia yang hadir, beragamnya latar belakang tujuan pelaku ritual, beragamnya budaya yang dibawa, dan beragamnya fungsi bahasa yang muncul menjadikan bahasa yang digunakan dalam tuturan Modin juga beragam. Penggunaan wacana secara utuh didasarkan atas pertimbangan bahwa melalui wacana yang utuh itulah dapat diambil sebuah analisis sebagai pengungkap pikiran. Adapun yang dimaksud dengan wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yang mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu (Syarifuddin; 2008). Wacana dapat dikatakan utuh jika telah memenuhi aspek pengutuh wacana, yakni kohesi dan koherensi. Kohesi merupakan hubungan bentuk dalam sebuah wacana, sementara koherensi merupakan hubungan makna atau hubungan semantik dalam wacana.
40
Dalam tulisan ini, wacana juga dilihat sebagai language use atau penggunaan bahasa tersebut. Bahasa yang dituturkan digunakan untuk beragam tujuan, untuk itu guna mendapatkan interpretasi yang lebih tepat tidak dapat dilepaskan dari adanya konteks. Dalam menginterpretasi makna sebuah ujaran sangat perlu memperhatikan konteks, sebab konteks akan menentukan makna dalam setiap ujaran (lihat Brown dan Yule; 1983:25). Adapun faktor konteks yang muncul dalam mantra atau doa adalah pembicara (addressor), lawan bicara (addressee), topik (topic), latar (setting), saluran (chanel), bentuk pesan (message form), kode (code), peristiwa (event), kunci (key), dan tujuan (purpose). Faktorfaktor tersebut hamper sama dengan konsep SPEAKING yang ditawarkan oleh Hymes, yang dijelaskan lebih lanjut pada subbab Etnografi Komunikasi. 1.5.2.2 Konteks Situasi
sosial
dan
budaya
suatu
kelompok
masyarakat
sangat
dimungkinkan beragam. Hal itu menjadikan beragam pula model atau cara masyarakat dalam berbahasa. Dengan demikian, tidak mengherankan jika ditemukan beragam tuturan dengan beragam tujuan pula. Dalam hal ini dapat dikatakan juga bahwa satu bentuk tuturan sangat dimungkinkan memiliki beragam makna jika dianalisis berdasarkan konteksnya. Secara sederhana, Mulyono (2005: 21) memberikan pengertian konteks adalah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks
berperan
penting
dalam
memberikan
makna
atau
menginterpretasi sebuah tuturan. Dalam kajian bahasa seperti sosiolinguistik, pragmatik, wacana, maupun sosiopragmatik sendiri konteks menjadi bagian
41
penting (Van Dijk; 2009:1). Sama halnya yang disampaikan oleh Danesi (2004:116) bahwa aspek penting dalam menentukan makna dari sebuah tuturan adalah konteks. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu (Mulyana; 2005: 21). Untuk itulah, dalam menganalisis bahasa yang lebih luas sampai pada bentuk bahasa yang kecil seperti tuturan, diperlukan pemahaman mengenai gambaran konteks yang melatarbelakangi. Pada awal kemunculannya, istilah konteks yang diperkenalkan oleh Malinowski adalah konteks situasi yang diperlukan hanya ketika sedang mempelajari bahasa primitive (Halliday dan Hasan; 1994:9). Akan tetapi, sejalan dengan
perkembangan
penelitian,
Malinowski
kemudian
menyanggah
pendapatnya sendiri. Menurut Malinowski kegiatan yang dilakukan orang bisa saja berbeda di satu tempat atau waktu dengan di tempat atau waktu lainnya; tetapi asas umum bahwa bahasa harus dipahami berdasarkan konteks situasinya jelas berlaku untuk setiap kelompok masyarakat di setiap tingkat perkembangan (Halliday dan Hasan; 1994:10). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara bahasa yang primitive maupun yang maju, dalam memahami maknanya tetap didasarkan pada konteks situasinya. Dalam bertutur setiap orang selalu memperhatikan konteks, baik konteks situasi maupun konteks sosialnya. Bahkan tidak hanya ketika mengeluarkan tuturan, ketika hendak mengambil makna dari tuturan orang lain atau memperkirakan apa yang akan dibicarakan oleh orang lain lagi, manusia selalu
42
menggunakan konteks. Situasi terjadinya interaksi kebahasaan memberikan para pelibat banyak sekali keterangan tentang makna yang sedang dipertukarkan, dan makna-makna yang kemungkinan besar akan dipertukarkan (Halliday dan Hasan; 1994: 13). Untuk itulah perlu kiranya memahami konteks situasi dan konteks sosial lingkungan tempat bertutur. Konteks sering dimaknai terkait dengan faktor geografi, sejarah situasi, lingkungan, ataupun latar belakang politik (Van Dijk; 2004: 2). Hal-hal tersebut sangat dimungkinkan membuat bentuk tuturan memiliki makna beragam yang dipertukarkan. Untuk memahami konteks situasi, Firth memberikan pemerian halhal yang terkait dengan konteks situasi. Berikut pokok-pokok pandangan Firth mengenai konteks situasi (Halliday dan Hasan; 1994:11). 1) Pelibat dalam situasi, Dalam hal ini yang di maksud dengan pelibat dalam situasi adalah orang-orang yang terlibat di dalam proses berkomunikasi atau bertutur. Pelibat ini dalam Hymes dikenal dengan istilah participants. 2) Tindakan Maksud dari tindakan adalah tindakan yang dilakukan oleh pelibat dalam proses bertutur. Segala hal yang dilakukan oleh pelibat disebut sebagai tindakan, baik tindakan verbal maupun non-verbal. 3) Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan Ciri-ciri ini terkait dengan hal-hal atau benda-benda yang ada di sekitar pelibat yang sekiranya memiliki keterkaitan dengan peristiwa yang sedang berlangsung.
43
4) Dampak-dampak tindakan tutur Dampak diartikan sebagai bentuk-bentuk perubahan yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut. Dampak tindakan tutur ini oleh Searle dikenal dengan tindak perlokusi. Konteks situasi yang terkait dengan waktu dan tempat kiranya tidak cukup untuk membuat atau menentukan makna secara lebih jelas. Selain konteks situasi, yang perlu dipahami juga adalah konteks sosial. Seperti disampaikan oleh Van Dijk (2009: 2) bahwa konteks digunakan untuk mengacu pada situasi sosial dalam penggunaan bahasa secara umum, atau pada situasi khusus yang diberikan pada sebuah teks atau pembicara. Halliday dan Hasan (1994:16) menawarkan konsep-konsep yang dapat digunakan untuk menafsirkan konteks sosial teks atau tuturan. Konsep-konsep tersebut adalah medan, pelibat, dan sarana. Medan menunjuk pada peristiwa yang sedang terjadi, pada sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung. Konsep medan ini digunakan untuk menjawab pertanyaan “apa yang sedang dilakukan oleh pelibat yang di dalamnya bahasa menjadi bagian dari unsur pokok tertentu?”. Pelibat menunjuk pada orang-orang yang berperan atau ambil bagian dalam peristiwa yang sedang berlangsung. Di sini juga termasuk pada sifat para pelibat, yakni terkait dengan kedudukan dan peran masing-masing pelibat. Sementara itu, konsep yang terakhir adalah sarana. Sarana menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, termasuk salurannya (apakah dituturkan atau dituliskan, atau gabungan di antara keduanya). Di dalam sarana juga termasuk metode
44
retorikanya, yaitu apa yang akan dicapai teks berkenaan dengan pokok pengertiannya seperti membujuk, menjelaskan, mendidik, dan semacamnya. Konteks situasi dan konteks sosial jelas penting dan diperlukan untuk mendapatkan pemaknaan utuh terhadap tuturan. Selain itu, juga untuk menghindari kesalahan dalam penfasiran sebuah tuturan. Untuk itulah, memahami konteks situasi dan konteks sosial sangat diperlukan dalam menganalisis tuturan. Dalam penelitian ini, konteks sangat dibutuhkan untuk menganalisis tuturan yang disampaikan oleh Modin. Untuk itulah, konteks akan digambarkan secara jelas sebelum melakukan analisis terhadap tuturannya. 1.5.2.3 Etnografi Komunikasi Kajian mengenai etnografi komunikasi melibatkan banyak hal di dalamnya terkait dengan keilmuan yang multidisipliner. Lingkungan sosial dan penggunaan bahasa oleh manusia serta memaknai tuturan yang disampaikan merupakan bagian dari etnografi komunikasi. Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa etnografi komunikasi tidak hanya sebagai sebuah ancangan yang dapat memisahkan hasilhasil dari linguistik, psikologi, sosiologi, maupun etnologi serta berusaha menghubungkan di antaranya (Hymes; 1974:15). Akan tetapi, etnografi komunikasi merupakan ancangan yang berusaha untuk membuka kemungkinankemungkinan analitis baru (dengan jenis data dan permasalahan yang baru) serta mengajukan teori-teori baru (Schiffrin; 1994:184). Pendapat tersebut sekiranya benar adanya ketika melihat memang terdapat keberagaman fungsi dan praktik komunikasi dalam kehidupan. Komunikasi yang dilaksanakan tidak hanya terkait dengan percakapan atau wawancara, melainkan lebih dari itu. Keragaman praktik
45
komunikasi merupakan bagian yang terpadu tentang beragam hal yang kita ketahui dan yang dilakukan oleh sebagian anggota dari kultur dan kepercayaan maupun tindakan manusia. Etnografi komunikasi mulai dikembangkan oleh Hymes melalui sebuah makalah pada tahun 1960an. Pengembangan ini berakar dari sebuah ancangan yang berorientasi pada gerakan Edward Saphir pada tahun 1933 (Hymes; 1974:20). Gerakan Edward Saphir yakni meninggalkan studi tentang bentuk dan isi sosiokultural sebagai “produk” ke arah studi tentang bentuk dan isi sosiokultural sebagai “proses” (Hymes; 1974:20). Dengan demikian, etnografi komunikasi menempatkan budaya sebagai sebuah proses yang lazim dijalani oleh manusia. Terkait dengan hal tersebut, Hymes mengusulkan bahwa ilmu pengetahuan tentang komunikasi memusatkan perhatian pada kompetensi, yakni pengetahuan bahasa yang mengatur fungsi bahasa yang tepat. Selain memasukkan pengetahuan tentang aturan-aturan linguistik yang abstrak ke dalam pengetahuan kompetensi, juga memasukkan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam situasi kehidupan sehari-hari secara kongret. Kompetensi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari secara kongret dapat meliputi partisipasi dalam percakapan untuk berbelanja, wawancara, melucu, menggoda, mengingatkan, maupun untuk berdoa. Di dalam bahasa terdapat banyak hal yang dilihat dengan menggunakan berbagai kerangka yang ada. Dalam bahasa juga memiliki kekhususankekhususan yang dapat digeneralisaikan, tetapi juga generalisasi-generalisasi yang dapat dikhususkan. Adapun kekhususan yang ditemukan oleh para ahli etnografi
46
adalah kekhususan tentang fungsi bahasa. Hymes (1974:56) mengajukan kisi-kisi tentang etnografi komunikasi sebagai SPEAKING, yang masing-masing memiliki makna. S
Setting (latar)
keadaan fisik
Scene (suasana) P
Participant (peserta)
pembicara, pengirim pesan,
E
Ends (tujuan)
tujuan atau sasaran yang ingin dicapai/hasil
A
Act sequence (urutan tindakan)
K
Key (kunci)
nada atau cara
I
Instrumentalities (sarana)
saluran (verbal/nonverbal)
bentuk pesan dan isi
Bentuk-bentuk repertoar yang diambil dari Masyarakat N
Norms of interaction and interpretation (norma interaksi dan interpretasi) Kesopanan tertentu yang digunakan dalam Berbicara Interpretasi tentang norma-norma kultural di dalam sistem kepercayaan kultural
G
Genre (jenis)
kategori-kategori tekstual
Hymes menyatakan bahwa SPEAKING dapat digunakan sebagai alat untuk menemukan suatu taksonomi lokal yang cenderung kultural tentang unitunit komunikatif. Unit yang dimaksud adalah situasi tutur (dianggap sebagai unit yang terbesar), peristiwa tutur, dan tindak tutur (dianggap sebagai unit yang
47
terkecil). Situasi tutur terkait dengan setting, sementara peristiwa tutur terkait dengan aktivitas-aktivitas, dan tindak tutur terkait dengan daya ilokusi. Etnografi komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini ditujukan untuk membantu dalam memahami pola pikir yang terlihat melalui tuturan ritual yang disampaikan. Hal ini cukup mendasar karena dalam etnografi komunikasi membantu kita memahami berbagai aspek yang terkait dengan komponenkomponen tersebut. SPEAKING dapat digunakan sebagai alat atau cara untuk menemukan suatu taksonomi lokal (yaitu relative secara cultural) tentang “unitunit” komunikatif yang “dalam cara yang dapat diketahui secara terikat ataupun terpadu” (Hymes; 1972:56). Setting mengacu pada waktu dan tempat kegiatan bertutur tersebut berlangsung, atau secara umum merupakan kondisi fisik. Kondisi fisik yang dimaksud di sini merupakan segala hal yang mendukung komunikasi tersebut berlangsung, baik kondisi fisik penutur maupun lingkungan dan konteks saat tuturan berlangsung. Dalam kajian ini, setting akan mempengaruhi penggunaan bahasa/style modin dalam memilih penggunaan bahasa di dalam tuturan. Di dalamnya meliputi penggunaan bahasa yang formal maupun yang informal. Sementara scene merupakan suasana saat tuturan atau komunikasi berlangsung. Suasana yang akan dilihat adalah suasana baik secara fisik pesarean gunung kawi maupun suasana psikologis pelaku ritual dan Modin selaku pemimpin ritual. Participant yang dilihat di dalam penelitian ini adalah semua yang terlibat dalam kegiatan ritual selamatan. Ends atau tujuan merupakan sasaran yang diharapkan dari kegiatan tersebut. Dalam penelitian ini, yang akan dilihat adalah
48
tujuan dilaksanakannya ritual selamatan tersebut baik secara umum maupun secara individual dari tiap-tiap pelaku ritual. Selain itu, juga akan dilihat mengenai tujuan penggunaan bahasa dalam tuturan ritual selamatan di pesarean gunung kawi. Act sequence atau urutan tindakan merupakan penjabaran dari bentuk tuturan doa yang dibacakan Modin. Dalam hal ini juga akan dijabarkan mengenai proses-proses atau urutan kegiatan yang dilaksanakan dalam proses pembacaan doa oleh Modin. Urutan tindakan yang dijabarkan meliputi tuturan untuk setiap participant yang terlibat. Key atau kunci merupakan cara, gaya, atau nada dalam kegiatan bertutur atau berkomunikasi. Dalam penelitian ini akan dijabarkan mengenai cara atau nada Modin dalam membacakan doa, karena doa dalam ritual selamatan ini dituturkan dengan nada atau cara yang berbeda dengan komunikasi atau tuturan secara umum. Key juga terkait dengan mood atau tingkat keformalan bahasa yang digunakan dalam tuturan ritual. Di dalamnya terdapat aturan dan cara yang harus dipenuhi serta memiliki intonasi pembacaan yang khas. Instrumentalities atau sarana merupakan sarana baik verbal maupun nonverbal yang digunakan untuk menuturkan tuturan atau komunikasi. Sarana bertutur juga dapat berupa lisan maupun tertulis. Dalam penelitian ini, akan dilihat berbagai sarana yang digunakan oleh Modin dalam menyampaikan tuturan doanya. Sarana juga dapat dilihat dari bentuk-bentuk repertoar yang diambil dari Masyarakat. Dalam kegiatan ritual di pesarean Gunung Kawi terdapat beberapa sarana yang digunakan untuk menyampaikan permohonan. Sarana yang berupa uba rampe juga akan dibahas dalam analisis ini.
49
Norms of interaction and interpretation atau norma interaksi dan interpretasi merupakan bentuk kesopanan tertentu yang digunakan dalam berbicara atau bertutur.
Interpretasi tentang norma-norma kultural di dalam
sistem kepercayaan kultural juga menjadi bagian yang dilihat dalam norma interaksi ini. Sementara dalam penelitian ini akan dilihat mengenai norma-norma yang dipegang dan dijalankan Modin dalam berinteraksi pada saat memimpin ritual. Selain norma yang dipegang oleh modin, juga akan dilihat mengenai norma yang harus dipatuhi oleh setiap pelaku ritual yang hendak mengikuti kegiatan ritual ini. Komponen terakhir yang disampaikan oleh Hymes adalah genre. Genre merupakan bentuk dari kategori-kategori tekstual yang digunakan sebagai bahan analisis. Penelitian ini akan melihat jenis atau bentuk tekstual yang digunakan oleh Modin dalam menyampaikan tuturannya. 1.5.2.4 Konsepsi-konsepsi Pola Pikir Casson (1981:46) menyatakan bahwa bahasa atau yang lebih luas adalah struktur bahasa dikatakan dapat membentuk pola pikir penutur-penuturnya. Melalui klasifikasi maupun kategori-kategori yang dilakukan oleh masyarakat, dapat diketahui pula struktur pemikirannya. Menurut Saussure (2002:96) bahwa unit-unit bahasa yang distingtif sebagai titik temu antara alam dengan kebudayaan. Lebih jauh, hal itu dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui pola pikir dan struktur bahasa yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut. Klasifikasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertuang dalam bahasa yang mereka miliki. Melalui pemakaian leksikon-leksikon yang digunakan, dapat
50
dilihat
cara
kelompok
masyarakat
tersebut
dalam
memandang
dan
mengonsepsikan lingkungan atau dunianya. Sebagai contoh adalah cara masyarakat Jawa dalam mengelompokkan atau mengklasifikasikan jenis tumbuhan
(Suhandano;
2004).
Masyarakat
Jawa
sangat
rinci
dalam
mengklasifikasi jenis tumbuhan maupun binatang, bahkan sampai nama anakanak binatang juga masuk dalam klasifikasi. Demikian juga dengan klasifikasi nama tumbuhan, bunga, buah, maupun jenis-jenisnya, juga diklasifikasikan secara rinci. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Casson, menyatakan bahwa pola pikir adalah inferensi atau integrasi kategori konsep yang diperoleh melalui tindak klasifikasi yang hasilnya merupakan bentuk skemata. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola pikir meliputi beberapa hal. Pola pikir dapat dinyatakan meliputi model, cara, gagasan, dan proses yang dipakai sebagai pedoman dan cara pembuatan kesimpulan dalam bentuk konsep. Sehubungan dengan hal tersebut, konsepsi yang terbentuk dalam budaya dan tuturan yang digunakan dalam proses pelaksanaan ritual ziarah di Pesarean Gunung Kawi menunjukkan adanya kehidupan yang heterogen. Pola pikir masyarakat Gunung Kawi, pengunjung dan pelaku ritual ziarah, maupun juru kunci dan pemimpin ritual (Modin) di Pesarean Gunung Kawi secara tersirat dapat terlihat melalui aturan-aturan yang diterapkan dan bentuk-bentuk tuturan yang dipakai. Oleh karena itu, mengingat beragamnya masyarakat yang mengikuti ritual selamatan Bahasa dapat dikatakan sebagai manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman. Dengan
51
demikian, dalam pengalaman penutur bahasa/participants yang beragam dapat diklasifikasikan secara berbeda dan seringkali tidak selalu disadari oleh para penutur. Meskipun tanpa disadari oleh penuturnya, hal tersebut selalu berjalan dan terus
berkembang
di
dalam
masyarakat
penutur.
Dengan
demikian,
pengklasifikasian tersebut tetap berjalan dengan atau tanpa kesadaran dari penutur bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini pola pikir yang akan dilihat difokuskan hanya yang terkait dengan participants. Hal tersebut dikarenakan dalam wacana tuturan ritual ini melibatkan beberapa participans sehingga dimungkinkan terdapat pola pikir yang beragam terkait dengan keberadaan participants dalam kegiatan tersebut.
1.6
Metodologi Penelitian Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi.
Etnografi adalah proses penelitian yang dalam kegiatan tersebut peneliti mengobservasi, merekam, dan ikut berpartisipasi di dalam kegiatan yang dilaksanakan (Sibarani; 2004:54). Dengan kegiatan yang semacam itu, metode yang digunakan adalah metode lapangan (fieldwork method), dan kemudian menulis laporan tentang kebudayaan tersebut dengan memperhatikan uraian atau perincian deskriptif (Marcus&Fisher dalam Sibarani; 2004: 54). Hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi pemilihan lokasi penelitian, metode pengumpulan data, wujud data, metode analisis data, dan penyajian hasil analisis. Masingmasing akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
52
1.6.1 Lokasi Penelitian Berdasarkan judul dalam penelitian ini, jelaslah bahwa penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Gunung Kawi. Pesarean Gunung Kawi itu sendiri tepatnya terletak di desa Wonosari, kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Wonosari sendiri terletak sekitar 53 km dari kota kabupaten Malang. Dua pesarean yang akan menjadi obyek penelitian ini telah ada sejak tahun 1871 (Mbah Djugo) dan 1876 (R.M. Imam Soedjono). 1.6.2 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan tiga metode dalam mengumpulkan data, yakni obseravsi partisipatoris, observasi periodik, dan wawancara mendalam (indepth interview) (Sibarani; 2004:51). Ketiga metode tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. 1.6.2.1 Observasi Partisipatoris Metode observasi partisipatoris merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini. Metode observasi partisipatoris adalah peneliti ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diobeservasi, disekripsi, dan dianalisis (Sibarani; 2004:55, Danesi; 2004:7, Spradley; 1997:105). Dalam metode ini peneliti ikut terjun langsung bersama dengan pengunjung-pengunjung lain termasuk pelaku ritual selamatan. Peneliti juga bergabung dengan pelakupelaku ritual dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Peneliti mengikuti seluruh rangkaian ritual yang dilaksanakan di tempat penelitian. Partisipasi langsung ini dimaksudkan supaya peneliti dapat lebih memahami segala hal yang menjadi aturan dalam pelaksanaan ziarah. Selain itu juga dimaksudkan supaya
53
peneliti mendapatkan informasi langsung bentuk tuturan atau doa yang digunakan dan disampaikan oleh Modin dalam ritual ziarah tersebut. Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat observasi partisipatoris adalah mengikuti segala kegiatan pelaksanaan selametan. Di sana peneliti merekam dan mengamati pelaksanaan kegiatan ritual selamatan tersebut sehingga akan didapatkan gambaran yang jelas mengenai konteks ritual. Konteks yang akan dijabarkan meliputi konteks fisik, sosial, budaya, dan psikologis dari pelaku ritual dan modin. Selain itu, dicermati juga aturan-aturan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama kegiatan ritual berlangsung. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan ada kemungkinan hal-hal tersebut memengaruhi tuturan ritual maupun pola pikir pelaku ritual. Dalam pengamatan ini, peneliti mencatat segala hal yang berhubungan dengan kegiatan ritual dan tuturan yang disampaikan. Setalah peneliti merekam tuturan modin, kemudian peneliti mentranskripsikan data tersebut dalam bentuk tulisan sehingga dapat digunakan sebagai bahan analisis. 1.6.2.2 Observasi Periodik ke Lapangan Metode ini memiliki peran yang cukup penting dalam penelitian lapangan khususnya maupun budaya secara umum. Metode ini juga terkait dengan metode sebelumnya atau lebih tepatnya merupakan kelanjutan metode sebelumnya, yakni metode observasi partisipatoris. Metode ini digunakan untuk melakukan kroscek data yang telah didapatkan dari observasi partisipatoris. Dalam menggunakan metode ini peneliti sudah tidak lagi terjun dan ikut langsung dalam perilaku ritual, melainkan secara berkala melihat ritual-ritual tersebut dilakukan. Ritual yang
54
dilihat boleh yang telah diikuti maupun yang belum diikuti dalam penelitian sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan juga dalam observasi periodik adalah melanjutkan wawancara mendalam yang telah dilakukan. 1.6.2.3 Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Wawancara mendalam dilakukan supaya informasi yang didapatkan tidak simpang siur dan jelas dari sumbernya. Berdasarkan sifatnya wawancara yang dilakukan dibagi dalam dua kategori, yakni wawancara terbuka dan tertutup. Wawancara terbuka dilakukan dengan pengunjung dan pelaku ritual selamatan di pesarean, sedangkan wawancara tertutup dilakukan dengan juru kunci yang menjaga pesarean Gunung Kawi dan Modin selaku pemimpin ritual selamatan. Berdasarkan sifat pertanyaan yang digunakan wawancara juga dibagi atas wawancara tertutup dan terbuka. Wawancara tertutup merupakan wawancara yang mengandung pertanyaan terfokus dalam jawabannya. Sedangkan dalam wawancara terbuka, pertanyaan yang diajukan memungkinkan informan memberikan jawaban yang lebih bebas. Wawancara dilakukan beberapa kali terhadap beberapa narasumber (informan). Di Gunung Kawi, terdapat pengunjung yang sifatnya sangat heterogen, yakni dari suku Jawa, Cina, bahkan sampai luar Jawa. Selain itu, pengunjung dan pelaku juga berasal dari latar belakang agama yang berbeda pula, di antaranya berasal dari agama Islam, Kristen, Budha, dan Konghucu. Melihat beragamnya latar belakang pengunjung dan pelaku ritual, dalam penelitian ini dipilih informan-informan yang dapat mewakili beragam masing-masing suku dan agama. Sedangkan untuk juru kunci, di Pesarean Gunung Kawi terdapat banyak
55
juru kunci, baik yang sekadar menjaga pintu makam, menjaga makam, menjaga sumber air, sampai yang memimpin ritual. Masing-masing juru kunci menjadi informan untuk mendapatkan data yang beragam. 1.6.3 Wujud Data Berdasarkan rumusan masalah yang ingin dilihat dalam penelitian ini, wujud data yang akan disajikan sangat beragam. Data utama yang dikumpulkan berupa rekaman tuturan ritual (doa atau mantra yang dituturkan oleh Modin) yang kemudian ditranskripsikan dalam bentuk teks. Sementara itu, sebagai tambahan peneliti juga mencatat jenis
uba rampe yang dibawa tiap-tiap pelaku ritual
selamatan, mitos, dan beberapa cerita yang berasal dari Gunung Kawi. Selain data tersebut, juga terdapat data yang berasal dari hasil wawancara mengenai berbagai hal tentang pelaksanaan ritual selamatan. Berdasarkan wujud data yang dikumpulkan, digunakan sebagai bahan pijakan untuk dapat melakukan analisis data. Bahasa yang digunakan dalam kegiatan ritual ini meliputi beberapa bahasa, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Oleh karena itu, untuk tujuan memudahkan dalam menganalisis dan supaya pembaca dapat memahami lebih baik, maka data ditranskripsi dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (untuk data yang berbahasa Jawa dan berbahasa Arab). Penulisan transkripsi bahasa Jawa menggunakan pedoman ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan seperti yang ditulis dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan yang diterbitkan oleh Balai Bahasa
56
Yogyakarta. Sementara itu, untuk data yang berbahasa Arab ditranskripsikan sesuai dengan yang dibaca oleh modin. Berikut contoh pedoman transkripsi pada huruf vocal Huruf vokal
Contoh Pemakaian di dalam Kata Di Awal
Di Tengah
Di Akhir
alon ‘perlahan’
mari ‘sembuh’
ora ‘tidak’
ana ‘ada’
kana ‘sana’
sida ‘jadi
ala ‘buruk’
wanda ‘sosok’
piala ‘keburukan’
e
enak ‘enak’
tembok ‘tembok’
sore ‘sore’
e
emas ‘emas’
sega ‘nasi’
kodhe ‘isyarat’
i
ibu ‘ibu’
lintang ‘bintang’
pari ‘padi’
ingkang ‘yang’
sing ‘yang’
omah ‘rumah’
rodha ‘roda’
ompong ‘ompong’
dhoyong ‘condong’
udan ‘hujan’
bumi ‘bumi’
a
o
u
mengko ‘nanti’
lucu ‘lucu’
sabun ‘sabun’
1.6.4 Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini seperti telah dijelaskan dalam poin 4, yakni wujud data. Data-data yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan, dan akan dianalisis dengan menggunakan beberapa tahapan. Tahap-tahap tersebut meliputi (1) melakukan transkripsi diikuti dengan terjemahan bebas, (2) menganalisis berdasarkan konteks, (3) analisis berdasarkan klasifikasi (4) analisis
57
penggunaan bahasa dan etnografi komunikasi yang terdapat dalam tuturan doa ritual selamatan, (5) mengidentifikasi jenis-jenis pola pikir yang tergambar melalui tuturan doa ritual selamatan dan kemudian mengintrepretasikan penyebab adanya pola pikir tersebut. Transkripsi merupakan kegiatan menyalin tuturan doa yang dituturkan secara lisan ke dalam bentuk teks. Terjemahan bebas memiliki arti bahwa peneliti mengartikan atau menerjemahkan bahasa yang digunakan dalam tuturan itu secara bebas. Penerjemahan perlu dilakukan sebab data bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut sangat beragam. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penerjemahan guna memberikan pemahaman terhadap pembaca lain yang tidak atau belum memahami bahasa yang digunakan. Penerjemahan bebas dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, dilakukan dengan menerjemahkan kata demi kata dari bahasa asli yang kemudian di bawahnya dituliskan terjemahan dalam bahasa Indonesianya. Kemudian dilakukan tahapan yang kedua, yaitu menerjemahkan dengan melihat kalimat secara keseluruhan. Proses penerjemahan keseluruhan ini didasarkan atas proses penerjamahan yang pertama. Tahapan pertama dilakukan guna melihat arti kata asal yang cukup dimungkinkan melahirkan istilah, serta melihat susunan kata yang membentuk kalimat, sehingga dapat dijadikan rujukan dalam penerjemahan pada proses berikutnya. Adapun analisis bedasarkan konteks dilakukan supaya gambaran tentang situasi penggunaan bahasa, suasana sosial, dan budaya dapat tergambar dengan jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak. Kegiatan ini tidak dapat dilakukan
58
secara sembarangan, mengingat penggunaan doa/mantra tersebut harus melihat konteks pemakaiannya. Oleh sebab itu, dalam analisis juga akan dideskripsikan mengenai pemakaian/pembacaan doa/mantra dan sekaligus pelaksanaan upacara ritual selamatan. Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan karena mantra/doa hanya dapat digunakan pada saat pelaksanaan upacara ritual selamatan. Pendeskripsian ini dilakukan dengan memanfaatkan unsur-unsur konteks yang disampaikan oleh Hymes dengan konsep tuturnya SPEAKING. Analisis berdasarkan klasifikasi dilakukan guna memisahkan data sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak tercampur antara data yang satu dengan data yang lain. Bahasa yang digunakan dalam ritual memang beragam, oleh sebab itu dilakukan analisis berdasarkan klasifikasinya. Analisis klasifikasi ini juga dilakukan untuk mendapatkan data yang digunakan untuk melihat beragamnya penggunaan bahasa yang terdapat dalam wacana tuturan doa ritual selamatan. Analisis selanjutnya adalah analisis pola pikir yang dilakukan dengan memanfaatkan metode penafsiran (interpretative) oleh penulis. Penafsiran tidak dilakukan dengan hanya berdasarkan pada satuan lingual yang ditemukan dalam wacana doa, melainkan lebih dari itu. Doa yang dituturkan mengandung banyak sekali simbol yang perlu diurai. Simbol-simbol tersebut dapat diurai dan dimaknai dengan melihat konteks budaya yang ada di sekitarnya. Beberapa komponen yang didapatkan dari wawancara dan analisis wacana ritual Modin menjadi dasar peneliti untuk memberikan penafsiran mengenai pola pikir. Dalam penelitian budaya khususnya, metode interpretative menjadi sifat yang cukup penting. Sesuai dengan yang disarankan oleh Geertz (1992:4) bahwa
59
dalam penelitian kebudayaan senantiasa terbuka kemungkinan untuk menganalisis data dengan mempertimbangkan sifat penelitian itu sendiri. Adapaun sifat penelitian itu adalah penafsiran (interpreatif). Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus menurut Creswell (2003:15) adalah peneliti mengeksplor secara mendalam setiap peristiwa, kegiatan, proses pada satu atau lebih individu. Kasus yang diambil dibatasi oleh waktu dan kegiatan, dan peneliti mengumpulkan data dan informasi secara lengkap dan mendalam dengan menggunakan prosedur pengumpulan data yang bervariasi. Dengan demikian, metode atau prosedur pengambilan data yang digunakan oleh peneliti selalu berkembang sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Karena penelitian ini merupakan penelitian studi kasus maka simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan dengan penelitian lain meskipun sejenis. 1.6.5 Penyajian Hasil Analisis Setelah data didapatkan dan kemudian dianalisis, selanjutnya data akan disajikan. Hasil analisis akan disajikan dalam beberapa bentuk. Bentuk yang pertama adalah bentuk deskripsi. Hasil analisis disajikan dalam bentuk deskripsi dengan menguraikan bentuk-bentuk atau struktur pembentuk wacana tuturan ritual selamatan. Selanjutnya, juga diuraikan mengenai ragam bahasa yang digunakan dalam tuturan ritual selamatan. Berdasarkan ragam bahasa yang digunakan, akan terlihat juga mengenai peristiwa tutur (etnografi komunikasi) yang dimungkinkan sangat beragam. Bentuk penyajian yang kedua adalah dalam bentuk tabel, skema, atau gambar-gambar. Bentuk penyajian kedua ini digunakan sebagai pendukung
60
pendeskripsian data. Kedua bentuk penyajian tersebut akan saling melengkapi dan tidak digunakan secara terpisah-pisah. 1.6.6 Sistematika Penulisan Disertasi ini akan disajikan dalam enam bab. Pada Bab I disajikan Pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik teoretis maupun praktis, tinjauan pustaka dan landasan teori, sampai pada metodologi penelitian. Bab II menyajikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian, yakni pesarean Gunung Kawi dan juga mengenai konteks dalam proses ritual selamatan. Pada Bab III menyajikan analisis mengenai bentuk struktur pembangun wacana tuturan ritual. Pada bab ini akan menyajikan wacana tuturan secara utuh dan kemudian melihat struktur pembentuknya sehingga dapat dikatakan sebagai wacana yang utuh. Berdasarkan analisis dari bab ini akan diperoleh pengetahuan mengenai struktur baku wacana tuturan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi. Bab selanjutnya adalah Bab IV yang menyajikan pembahasan mengenai penggunaan bahasa yang digunakan dalam tuturan ritual selamatan. Munculnya beragam bahasa yang digunakan memiliki fungsinya masing-masing. Selain itu, penggunaan bahasa yang beragam tersebut juga memiliki alasan yang beragam pula. Beradasarkan analisis pada bab ini akan didapatkan pengetahuan mengenai kode-kode bahasa yang digunakan, fungsi penggunaan kode-kode bahasa yang beragam, dan alasan penggunaan kode bahasa yang beragam tersebut. Bab V akan menyajikan pembahasan mengenai identifikasi pola pikir yang terlihat dalam tuturan ritual selamatan dan menjelaskan alasan munculnya pola pikir tersebut berdasarkan interpretasi
61
penulis. Disertasi ini akan ditutup pada bab VI dengan menyajikan penutup yang di dalamnya terdapat simpulan dan saran. Disertasi ini lengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.