BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam sepanjang siklus hidup manusia atau dalam ilmu antropologi disebut dengan stage a long life cycle. Tahap-tahap yang ada di sepanjang hidup manusia seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah menikah, masa tua dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1985:89). Perkawinan juga merupakan
media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama
manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat kesukuan perkawinan dianggap sebagai alat agar seorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya (Koentjaraningrat, 1988: 92). Dalam suatu perkawinan, setiap suku bangsa memiliki konsep dan aturan mengenai acara adat perkawinan. Tiap-tiap aturan acara perkawinan tersebut berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini berdasarkan bagaimana setiap suku bangsa memaknai dan menilai setiap rangkaian upacara adat perkawinan baik itu berdasarkan unsur-unsur budaya setiap suku bangsa, waktu dan biaya yang dibutuhkan, ataupun kepentingan - kepentingan dari fihak keluarga yang melangsungkan perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Nias juga memiliki salah satu upacara adat yang menjadi ciri khasnya. Menurut konsep masyarakat Nias, perkawinan (Falőwa) pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang tua untuk memilih teman hidup bagi anak laki-lakinya.¹ Upacara tentang perkawinan di Nias merupakan upacara terbesar dibanding upacara lainnya yang dijalani oleh seseorang sejak lahir sampai meninggal. Laki-laki dan perempuan mendapatkan keutuhannya sebagai manusia dalam perkawinan. Laki-laki yang belum kawin belum dapat diperhitungkan dalam sistem adat. Dalam perkawinan laki-laki dihubungkan dengan “pihak bawah (soroi tou)” atau hilir sungai, dan perempuan dihubungkan dengan “pihak atas (ngofi) atau hulu sungai” ². Pihak perempuan dihubungkan dengan dewasa dunia atas Tuhan (Lowalagi), sumber kehidupan, ulu (asal) atau uwu, atau baya (sumber), dan karena itu kemurnian perempuan sebagai sumber hidup sangat dihargai. Terdapat seperangkat sanksi dari hukum adat yang melindungi kemurnian perempuan. ----------------------------------------1. Masyarakat Nias menganut garis keturunan pihak ayah (patrilineal), sehingga segenap garis keturunan ayah turut serta mencari calon istri dan juga membantu pembiayaan pesta perkawinan anak laki-laki mereka. 2. Pihak bawah atau Soroi tou, merupakan status pihak pengantin pria, keluarga dan kerabat dekatnya meski tidak satu marga asal memiliki hubungan status keluarga yang dekat. Dikatakan di bawah karena pihak keluarga laki-lakilah yang mencari atau membutuhkan seorang wanita sebagai pendamping anak laki-lakinya. Sedangkan pihak atas atau ngofi adalah status pihak keluarga pengantin wanita dan kerabat dekatnya karena di anggap sebagai pemberi atau yang membantu memenuhi kebutuhan keluarga pihak laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
Laki-laki dihubungkan dengan “dewa dunia bawah (laturedanő)”, akhir dari kehidupan (dunia tanpa kehidupan). Laki-laki datang dari hilir menyongsong arus (manőső) untuk sampai pada hulu tempat dimana ada sumber hidup yaitu perempuan (Gulő. 1983: 30). Pada upacara perkawinan ini di sertai dengan sinunő falőwa yang artinya adalah nyanyian pada waktu perkawinan. Nyanyian pada waktu perkawinan ini , terdiri dari tiga jenis, yakni: bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri, ketiga jenis nyanyian ini biasanya didapati dalam setiap perkawinan di Nias bagian utara. Pengertian ketiga jenis nyanyian tersebut, dalam konteks kebudayaan Nias bagian utara adalah sebagai berikut : (1) Bőlihae adalah nyanyian yang dibawakan disepanjang perjalanan saat pihak tome (keluarga pengantin pria) menuju desa atau rumah pihak keluarga sowatő (keluarga pengantin wanita). (2) Fangowai adalah ungkapan rasa hormat pihak sowatő terhadap pihak tome, dan (3) Hendri-hendri adalah nyanyian pujian yang dinyanyikan saat penyampaian olola mbawi. Olola mbawi
ini berisi
ceritera tentang seorang pemuda yang mencari teman hidup atau istri. Ketiga jenis nyanyian di atas mengunakan syair-syair tertentu, khususnya bőlihae dan hendri-hendri yang berisikan pujian-pujian dari tome kepada sowatő dan sebaliknya, sikap merendahkan hati dan ungkapan peristiwa suka cita saat itu; sedangkan syair pada fangowai berisi penghormatan terhadap pihak tamu. Ketiga nyanyian vokal ini dinyanyikan tanpa menggunakan alat musik, sehingga menitik beratkan pada medium suara manusia.
Universitas Sumatera Utara
Selain untuk acara pesta perkawinan, bőlihae, fangowai, dan hendrihenri juga dinyanyikan dalam pesta Owasa, yaitu pesta peningkatan derajat (bosi) pada tradisi orang Nias. Owasa ini sendiri jarang sekali diadakan pada masa sekarang ini. Untuk melaksanakan acara ini harus melalui beberapa rangkaian acara sebelum mencapai acara puncak yakni owasa itu sendiri. Di samping memerlukan waktu yang cukup lama, owasa juga jelas menghabiskan banyak biaya. Ketiga sinunő falőwa ini merupakan suatu nyanyian rakyat yang diaplikasikan pada suatu upacara perkawinan orang Nias. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian pada suatu perkawinan orang Nias membuat bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang meskipun saat ini sinunő falőwa ini mengalami perubahan oleh kerena kebutuhan masing-masing orang yang mengunakannya. Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi dari makna yang sesungguhnya. Menurut Jan Harold Brunvand dalam buku James Danandjaja, nyanyian rakyat (Folksongs) adalah suatu genre atau folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, bentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian(James 1982: 141). Bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri ini merupakan sebahagian dari budaya Nias bagian utara yang masih hidup hingga saat ini. Namun kenyataan menunjukan bahwa pada umumnya hanya orang-orang tua saja yang mampu menyanyikan ketiga jenis nyanyian ini, sementara generasi berikutnya tidak
Universitas Sumatera Utara
mewarisi tradisi ini dengan baik (kurang minat generasi muda untuk mempelajarinya). Apabila mereka (para orang tua) nantinya telah tiada, maka kemungkinan besar “hilanglah” nyanyian tradisi ini. Tentu saja kita tidak menginginkan hal ini terjadi. Keberadaan kota Gunung Sitoli sebagai kota terbesar di pulau Nias saat ini, membuat kota ini menjadi salah satu tujuan orang Nias yang selama ini tinggal di pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias
untuk pergi
bermigrasi ke kota Gunung Sitoli, dengan harapan kota tersebut dapat memberikan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan tetap hidup menetap di pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias. Di samping itu karena kota ini memiliki daya tarik tersendiri sebagai kota terbesar di pulau Nias, membuat kota Gunung Sitoli memiliki penduduk yang beragam (heterogen). Hal ini ditandai dengan bayaknya orang-orang kota Gunung Sitoli yang tinggal menetap bukan hanya berasal dari Nias itu sendiri melainkan dari luar pulau Nias seperti orang Padang, Batak, Aceh dan orangorang keturunan Tiong Hoa. Perubahan budaya Nias yang paling besar terjadi di karenakan masuknya aliran agama Kristen Protestan yang di bawakan oleh para missionaris. Oleh karena keberhasilan dari Missionaris menyiarkan ajaran agama Kristen maka sebagian besar orang Nias sekarang menganut agama Kristen Protestan, penganut agama Islam di Nias sebagian besar adalah orang Nias Keturunan
Universitas Sumatera Utara
Minangkabau, Aceh dan bugis, sedangkan umat Budha adalah orang Nias keturunan Cina dan Cina Asing. (Koentjaraningrat 1988; 50) Akibat dari beragamnya penduduk kota Gunung Sitoli baik dari agama maupun suku bangsanya mengakibatkan masyarakat Nias kota mengalami perubahan pandangan (mengerjakan yang praktis) dan itu dapat terjadi baik itu dalam kurun waktu cepat maupun lambat ketika mereka meninggalkan kampung halamannya. Hal tersebut dapat terjadi karena mau tidak mau orang Nias dari desadesa yang merantau ke kota Gunung Sitoli, akan mengalami proses adaptasi oleh karena pengaruh dari luar. Pada umumnya dalam suatu proses adaptasi seorang individu yang memasuki suatu lingkungan yang baru maka dengan sendirinya individu tersebut menyesuaikan diri. Hal ini dilakukan agar setiap individu atau kelompok mengharapkan dapat diterima oleh masyarakat yang dimasukinya. Adaptasi ini perlu agar manusia itu dapat bertahan lama di lingkungan yang baru. Tetapi adakalanya budaya pendatang mempengaruhi budaya lokal sehingga terjadi suatu akulturasi. Dampak dari adaptasi tersebut maka terjadilah percampuran budaya, antara budaya Nias Utara sebagai budaya lokal dengan budaya pendatang, yang pada akhirnya membuat berkurangnya atau bergesernya adat istiadat Nias sehingga terbentuk kebudayaan baru pada masyarakat Nias yang ada di kota Gunung Sitoli. Akibat dari perubahan tersebut salah satunya terjadi pada pesta
Universitas Sumatera Utara
adat perkawinan orang Nias. Yang menjadi salah satu perubahan perkawinan adat Nias adalah Sinunő Falőwa, yang semakin jarang dipakai sepenuhnya atau paling tidak Sinunő Falőwa mengalami pengurangan makna dan isinya. Praktisnya lebih disederhanakan. Dengan alasan inilah peneliti
mencoba
mengemukakan hal tersebut di atas menjadi penting untuk diteliti. 1.2 Perumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan musik Nias saat ini, khususnya pada nyanyian perkawinan (sinunő falőwa) pada suku Nias di kota Gunung Sitoli.
Rumusan tersebut diuraikan dalam 3 (tiga) pertanyaan
penelitian yaitu: 1.
Bagaimana kedudukan Sinunő falőwa (nyanyian perkawinan) pada pesta adat perkawinan masyarakat Nias.
2.
Apa saja pengaruh dari luar yang mengakibatkan perubahan yang dialami Sinunő Falőwa pada pesta perkawinan masyarakat Nias yang ada di kota Gunung Sitoli.
3.
Bagaimana dan apa alasan perubahan Sinunő Falőwa pada perkawinan orang Nias di kota Gunung Sitoli.
Universitas Sumatera Utara
1.3 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kota Gunung Sitoli, pulau Nias , Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena di kota Gunung Sitoli merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki keberagaman suku etnis dan agama dan merupakan tempat tujuan berimigrasinya orang Nias pedalaman atau orangorang desa di Nias yang mana mereka masih memakai budaya dan tradisi suku bangsa Nias khususnya pesta perkawinan adat Nias. Di kota Gunung Sitoli yang masyarakatnya lebih heterogen ketika berlangsung suatu upacara perkawinan terjadi perubahan makna dan isi dari nyanyian perkawinan (Sinunő Falőwa) tersebut yang sebagai mana mestinya yang biasa di lakukan di desadesa di Nias.
1.4 Tujuan dan Mamfaat Penelitian. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Sinunő Falőwa (nyayian perkawinan) pada perkawinan suku bangsa Nias dan melihat bagaimana keberadaan budaya musik Nias, khususnya pada nyanyian perkawinan suku Nias yang sudah mengalami perubahan ketika adat perkawinan Nias tersebut dilakukan di kota Gunung Sitoli. Secara akademis penelitian ini akan menambah wawasan keilmuan dalam kaitannya dengan budaya Nias, khususnya musik yang ada pada suku banasaNias. Secara praktis dapat menambah masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti; dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan khususnya orang-
Universitas Sumatera Utara
orang muda Nias sebagai generasi penerus dalam hal perkembangan budaya Nias dan pelestariannya.
1.5 Tinjauan Pustaka Dalam buku Kamus Nias-Indonesia (Laiya dkk, 1985: 259), menulis bahwa arti kata sinunő adalah nyanyian dan falőwa artinya perkawinan. Dengan demikian Sinunő Falőwa artinya nyanyian pada pesta perkawinan. Nyanyian yang di maksud adalah musik vokal. Musik vokal menitik beratkan pada medium suara manusia, yang dapat digunakan iringan alat musik tertentu maupun tidak. Dalam penyajian musik vokal dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan banyak orang seperti duet, trio, kuartet, dan koor. Sinunő falőwa adalah nyanyian rakyat (folksongs) yang merupakan bagian dari folklor Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan bentuk-bentuk folklor lainnya, nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media. Sering sekali juga nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh penggubah nyanyian tradisional untuk di olah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa). Walaupun demikian, identitas folkloritasnya masih dapat kita kenali karena masih ada varian folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oral transmission). (James 1982: 141) Menurut Jan Harol Brunvand seorang ahli folklor dari A.S, folklor dibagi menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya:
Universitas Sumatera Utara
1. Folklor Lisan (verbal folklore), adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Dikatakan lisan karena penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain: a). Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan, b). Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo, c). Pertanyaan tradisional, seperti tekateki, d). Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair, e). Cerita rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng dan f). Nyanyian rakyat. 2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang-orang sekarang dikatakan “tahyul” yang terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib seperti kalung salib bagi orang Kristen Khatolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan roh jahat ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri. Dan foklor yang tergolong dalam kelompok besar lainnya yaitu permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-iatiadat, upacara, pesta rakyat dan lain-lain. 3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Terbagi dua yaitu material: arsitektur, kerajinan rakyat, pakaian, makanan, obat teradisional dan lain-lain. Dan non material seperti isyarat tradisional, bunyi isyarat sebagai komunikasi dan yang lainnya. (James 1982: 21-22)
Universitas Sumatera Utara
Setiap suku bangsa biasanya mempunyai suatu istilah tertentu untuk menyebut musik vokal tradisi sukunya masing-masing. Demikian juga orang Nias, yang menyebut musik vokalnya dengan sinunő. Mengenai kesenian tradisional, adapun suatu kesenian, baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka, dapat disebut kesenian tradisonal. Predikat tradisional bisa diartikan segala sesuatu yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulangulang. (Sedywati, 1981: 48) Sesuai dengan pendapat di atas kita dapat mengatakan bahwa musik vokal dapat disuarakan oleh satu orang atau lebih, baik dengan mengunakan iringan alat musik maupun hanya dengan suara manusia itu sendiri. Sinunő Falőwa yang terdiri dari: Bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri biasanya hadir dalam setiap acara pesta adat perkawinan di Nias bagian utara. Ketiga ajenis nyanyian ini memiliki melodi yang “tetap,” sedangkan teks lagu cenderung berubah. Misalnya saat menyampaikan sirih, maka teks lagu berisi syair mengenai pemberian sirih tersebut. Penyajian ketiga jenis musik vokal ini tidak diiringi oleh alat musik, jadi dapat dikatakan sebagai musi vokal “Murni”. Jaap Kunst (1939: 15-16) merupakan orang yang banyak menulis tentang musik Nias diantaranya mendeskripsikan bőli hai (bőlihae), yaitu nyanyian dalam perjalanan menuju suatu tempat. Beliau juga menulis fangu wai (fangowai), namun beliau tidak membuat deskripsi tentang nyanyian ini. Dalam
Universitas Sumatera Utara
tulisan yang sama (sepanjang pengetahuan penulis), Kunst tidak menyinggung tentang hendri-hendri. Pada saat Kunst ke Nias pada tahun 1930, beliau menulis tentang eksistensi nyanyian-nyanyian Nias utara sebagai berikut :
When I came to Nias in April 1930 with the object of studing the local music, I came practically too late. Most certainly in so as the northen part of the island is concerned. The old song were dead. The entire population had been converned to the Christian religion and the missionaris (of the Rheinische Mission) had seen fit to make the exclution of the Holy Communion the penalty for singing the old song and dancing the ancient dances. Ketika saya berkunjung ke Nias bulan April 1930 untuk mempelajari musik setempat, praktis sudah terlambat. Secara umum meliputi bagian utara pulau ini. Lagu-lagu tua telah punah (mati). Masyarakat telah memeluk agama Kristen dan para missionaris (dari Rheinische Mission) menentukan pilihan pada agama dan menghukum orang yang menyayikan lagu tua atau menarikan tarian kuno (Terjemahan bebas). Pendapat Kunst di atas barangkali hanya berdasarkan survei beliau selama berada di Nias dan bukan penelitian yang “mendalam”. Mengingat bahwa sekitar tahun 1930-an oleh para missionaris digalakkan penyebaran agama Kristen ke seluruh pelosok pulau Nias, maka wajar bila masyarakat mengatakan bahwa musik mereka telah “mati” (hilang) akibat pengaruh “fanatisme” terhadap agama baru (Kristen), di samping sanksi dari fihak gereja, misalnya mereka dikeluarkan dari kelompok/keanggotaan gereja. Pada dasarnya, konsep-konsep masyarakat Nias banyak “menyerap” ajaran-ajaran agama Kristen Protestan yang awal kali masuk ke pulau Nias pada
Universitas Sumatera Utara
tahun 1865, tepatnya di kota Gunung Sitoli³, yang dibawa oleh Denninger (seorang missionaris dari Jerman). Setelah itu, muncul Thomas dan Krämer pada tahun 1873 dan terakhir Dr. W. H. Sunderman tiba pada tahun 1876 (Zega, 1986 : 4). Thomas menerjemahkan beberapa buah buku ke dalam bahasa Nias, antara lain: a)
Woordebuk (kamus Nias-Melayu-Belanda).
b) Katechimus (tata ibadah Agama Kristen Protestan tulisan dari Martin Luther). c)
Bibelkunde (Alkitab)
d) Buku Zinunő (Buku nyanyian gereja). (Zega,1986 : 4) Buku Zinunő adalah buku nyanyian gereja berbahasa Belanda yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Nias seperti halnya buku gereja-gereja Protestan lainnya. Pada Buku ini, terlihat percampuran antara musik barat yang berupa melodi, tangga nada, dan ritme lagu dengan tradisi Nias yang berupa syair lagu. Buku nyanyian ini biasanya dipergunakan pada setiap acara kebaktian gereja Nias maupun di rumah sebagai bagian dari ibadah Kristiani.
-----------------------------3. Mayoritas penduduk Nias memeluk agama Kristen Protestan sekitar 80% (Daeli, O. 1990: 2). Dan padawaktu peneliti melakukan penelitian di Gunung Sitoli, setiap acara diawali dengan kebaktian singkat dipimpin oleh petugas gereja (Satua Niha Keriso)
Universitas Sumatera Utara
Pada kenyataannya, akibat dari masuknya agama Kristen ke Nias mengakibatkan terjadinya percampuran budaya religi agama Kristen ke dalam kebudayaan Nias atau disebut Akulturasi4 Salah satu yang nampak perubahannya adalah sinunő khő Lowalangi (Puji-pujian kepada Tuhan). Pada masa sebelum masuknya agama Kristen ke Nias sinunő khő Lowalangi ditujukan untuk pemujaan roh-roh nenek moyang yang di sembah dalam bentuk gowe, yaitu batu besar yang diukir mirip kepala manusia, juga penyembahan terhadap alam seperti matahari, langit, gunung atau pepohonan. Tetapi setelah masuknya agama Kristen ke Nias maka sinunő khő Lowalangi dialihkan tujuan penyembahannya, sehingga ditujukan kepada Yesus Kristus (kepercayaan agama Kristen Protestan). Salah satu fakta yang tampak yaitu terbitnya buku Zinunő yang hingga kini masih di pergunankan sebagai buku nyanyian untuk orang Nias yang beragama Kriten Protestan Waruwu, E (1994: 11) mengatakan ; melihat situasi dan kondisi eksistensi kebudayaan Nias (musik) sekarang ini, maka kecendrungan untuk hilang tanpa sampai didokumentasikan, memang dapat terjadi kapan saja.
----------------------------------------4. Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Tambahnya, dari pengamatannya, sebagian besar orang Nias sendiri khususnya kalangan generasi muda perantauan, sering memandang adat isitadat (dalam hal ini perkawinan) terlalu memberatkan; adat dianggap bertele-tele, melelahkan atau membuang-buang waktu saja. Sikap ini akhirnya dapat mengaburkan bentuk asli dari tradisi itu sendiri, karena semakin disederhanakan atau dipersingkat menurut selera masing-masing. Masyarakat pedesaan dimana seharusnya menjadi tempat hidup dan berkembangnya tradisi tersebut tidak dapat
diharapkan
mengambil
peranan
mereka
untuk
memikirkan
kesinambungan tradisi tersebut. Faktor utama yang menjadi hambatan adalah kesulitan memberi pengertian kepada masyarakat Nias untuk apa memelihara tradisi.
Metodologi Penelitian 1.6.1 Tipe penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk mencapai sasaran yang dituju, yakni peguna sinunő falőwa dalam suatu adat perkawinan orang Nias bagian utara (falőwa) yang dilakukan di kota Gunung Sitoli, Pulau Nias.
Universitas Sumatera Utara
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data a. Teknik observasi Teknik ini dilakukan dengan mengamati dan mencatat segala gejala yang diteliti yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Teknik observasi yang dilakukan adalah observasi tanpa partisipasi5. Observasi tanpa partisipasi ini bertujuan untuk mengamati suatu proses upacara perkawinan (falőwa) orang Nias yang dilakukan di kota Gunung Sitoli. Tahap-tahap upacara perkawinan yang diamati seperti: a). Segala acara yang dilakukan sebelum upacara perkawinan berlangsung, b) Ketika upacara perkawinan berlangsung, dan c) Setelah upacara perkawinan selesai. Pengamatan ini juga difokuskan kepada pelaku yang terlibat di dalam acara falőwa dari kedua belah pihak keluarga pengantin dengan mengamati apa saja yang mereka lakukan. Hasil pengamatan dituangkan ke dalam catatan pengamatan lapangan. Hal tersebut dapat memudahkan peneliti untuk membaca informasi yang sudah diberikan informan di lapangan.
----------------------------------------5. Observasi tanpa partisipasi adalah si peneliti atau sipengamat melakukan pemeriksaan tanpa melibatkan diri dengan yang diamatinya. Dalam hal ini ia bertindak sebagai orang luar yang melihat gejala yang diamati tersebut dengan mengunakan kacamata atau referensi dengan standard tertentu. Seorang peneliti/ahli ilmu sosial misalnya dengan mengunakan konsep-konsep dan teori-teori yang digunakan dalam penelitian (Lubis, 2007: 10)
Universitas Sumatera Utara
b. Teknik Wawancara Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview)
6
, dan dilakukan dengan bantuan pedoman
wawancara (interview guide) 7. Wawacara ditujukan kepada para informan. Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan pokok atau informan kunci dan informan biasa. Informan pokok merupakan informan yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada dalam masyarakat tersebut dan yang menjadi perhatian penelitian seperti, kepala lingkungan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat. Sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan merupakan ahlinya. Informan biasa dalam penelitian ini adalah masyarakat Nias dan masyarakat pendatang yang tinggal di kota Gunung Sitoli. Pengambilan informan dilakukan dengan menggunakan cara purposive8. Maka di dapatilah yang akan di wawancarai adalah tokoh adat sekaligus dan tokoh agama yang tinggal di kelurahan Ilir, Kecamatan Gunung Sitoli ----------------------------------------6. Wawancara mendalam (depth interview) yaitu penelitian kualitatif biasanya lebih sering mengunakan wawancara mendalam ketimbang wawancara terstruktur (mengunakan kuesioner) dalam proses pengumpulan data di lapangan. 7. Wawancara mendalam biasanya dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai panduan yaitu, berisi seperangkat pertanyaan terbuka sesuai dengan aspek-aspek yang ingin didapatkan informasinya. 8. Proposive adalah cara pengambilan informan yang bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan tujuan tertentu. Biasanya peneliti menunjuk langsung siapa-siapa informan dan mengkategorikannya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam melakukan wawancara, peneliti mengunakan metode wawancara yang ditawarkan oleh Koentjaraningrat (1991: 152) yakni wawancara yang dibantu dengan alat perekam yaitu (tape recorder). Alat bantu perekam ini merupakan alat bantu penelitian untuk merekam segala informasi saat mewawancarai informan. Peneliti sadar bahwa penelitian ini juga memiliki keterbatasan, namun dengan adanya tape recorder memudahkan merekam kembali percakapan di lapangan dengan informan dan juga merekam nyanyian yang dinyanyikan oleh informan dan beberapa orang yang terlibat dalam pesta perkawinan, pada saat berlangsungnya suatu perkawinan. Penelitian ini juga dibantu oleh kamera foto sebagai alat bantu untuk mendokumentasikan hal-hal yang ditemukan di lapangan yang juga berkaitan dengan masalah penelitian. Wawancara terhadap informan kunci adalah untuk memperoleh informasi tentang; Rangkaian upacara adat perkawinan (falőwa) orang Nias bagian utara dari awal hingga akhir pesta, musik tradisional apa sapa saja yang digunakan untuk pesta perkawinan pada kebudayaan Nias dan cara penggunaannya, pembagian strata atau tingkatan
keluarga di lingkungan
masyarakat Nias. Dalam hal ini informan kunci adalah tokoh adat yang juga memiliki gelar salawa dan tokoh agama Di gereja BNKP (Gereja Suku Nias) yang tinggal di kota Gunung Sitoli. Lain halnya dengan wawancara terhadap informan biasa adalah untuk memperoleh informasi tentang; a) Pengetahuan masyarakat akan alam gaib, rohroh nenek moyang, dan larangan/pantangan yang ada di lingkungan kelurahan
Universitas Sumatera Utara
Ilir, b) nyanyian perkawinan atau sinunő falőwa apa saja yang mereka ketahui dan, c) perubahan apa saja yang mereka ketahui tentang sinunő falőwa yang sekarang dipakai di upacara perkawinan di kota Gunung Sitoli. c. Data Pendukung Data pendukung dapat menyempurnakan hasil observasi dan wawancara seperti letak lokasi Gunung Sitoli dan batas-batas wilayahnya yang diperoleh dari lembaga-lembaga resmi seperti Kantor Desa, Kecamatan, dan dari hasilhasil penelitian dan berbagai referensi yang relevan dengan permasalahan penelitian yang berupa : jurnal, surat kabar, buku-buku dan internet. 1.6 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang menganalisis tentang keberadaan musik Nias saat ini, khususnya pengunaan sinunő falőwa dalam upacara perkawinan orang Nias di kota Gunung Sitoli. Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data hasil
observasi
dan
wawancara
dalam
tema-tema
kategori.
Proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja. Setelah semua data terkumpul selanjutnya akan dibandingkan serta dicari yang saling berhubungan. Dengan cara ini diharapkan akan ditemukan konsep dan kesimpulan yang menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sistematis. Analisa data akan dilakukan mulai dari penyusunan laporan sampai penelitian ini selesai.
Universitas Sumatera Utara