BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang sadar akan pentingnya waktu. Dimensi waktu yang dilalui manusia selalu menghasilkan berbagai peristiwa penting, baik itu untuk individu, keluarga, kelompok, maupun manusia di dunia secara mayoritas. Waktu-waktu penting dalam kehidupan manusia ini selalu pula diperingati, untuk meneruskan nilai-niai yang terkandung di dalamnya.
Peristia penting itu di
antaranya seperti hari kelahiran seseorang, hari kelahiran tokoh masyarakat, hari peperangan, hari kemenangan, peristiwa bencana alam, peristiwa pemberontakan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam
mengenang
peristiwa
dan
mengatur
siklus
waktu
dalam
kehidupannya tak jarang pula manusia menggunakan system penanggalan atau kalender. Ada yang digunakan secara meluas, namun ada pula yang digunakan oleh sekelompok kecil manusia. Contoh kalender yang digunakan secara luas adaah kalender Masehi, yang berdasar kepada lahirnya Tuhan Yesus Krisus di dunia ini. Sampai sekarang kalender ini menjadi kalender dunia. Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani merayakan hari kelahiran Yesus Kristus, dan setiap tanggal 1 Januari semua manusia di muka bumi ini memperingati tahun baru. Sistem kalender
12
Universitas Sumatera Utara
Masehi ini berdasar kepada perputaran bumi mengelilingi matahari yaitu 365 hari lebih seperempat hari dalam setiap tahunnya. 1 Selain itu, masyarakat Islam juga mengenal penanggalan hijriah, yang berdasar kepada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Medinah di awal-awal perkembanan Islam. Kalender umat Islam ini berdasar kepada perputaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu system penanggalam umat Islam ini disebut sebagai system penanggalan qamariah (bulan). Di samping itu masyarakat India juga mengenal sistem kalender tahun saka. Begitu juga dengan masyarakat China mengenal sistem penanggalannya sendiri yaitu kalender China yang setiap tahunnya diperingati dalam tahun baru Imlek. Begitu pula masyarakat Jawa memiliki system kalender yang disebut sistem kalender Jawa, yang secara cultural memiliki hubungan dengan system penanggalan Islam. Begitu pula masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara memiliki penanggalannya, yang kinimasih dapat dilacak melalui berbagai ritus dalam religi Parmalim. Dalam kebudayaan masyarakat China, baik di Republik Rakyat China, Taiwan, Hongkong, Malayais, Thailand, Filipina, Indonesia, dan semua daerah perantauan China, setiap tahunnya mereka merayakan tahun baru system 1
Karena siklus bumi mengedari matahari dalam bentuk kala rotasi dan kala revolusi dalam setahun memerlukan waktu sebanyak 365 lebih seperempat hari, maka setiap empat tahun dalam kalender Masehi ini ada yang berjumlah 366 hari untuk menggenapkan perhitungannya. Jika dalam setahun terdiri dari 366 hari, maka tahun ini disebut tahun kabisat. Satu hari itu biasanya ditempatkan pada bulan Februari yang berjumlah 29 hari dalam sebulan. Adapun nama-nama bulan kalender MAsehi adalah: Januari, Februai, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember. Dalam kalender Islam, nama-nama bulan adalah: Muharram, Syafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah.
13
Universitas Sumatera Utara
kalenderna yang disebut perayaan Imlek. Perayaan ini pada malam hari sebelumnya disebut dengan sacapme. Sacapme merupakan seni upacara ritual pertunjukan masyarakat Tionghoa beragama Budha yang di dalamnya terdapat unsur-unsur, yang meliputi : musik dan trance. Dalam setiap pertunjukan sacapme disajikan dalam bentuk musikal dan trance, yaitu suatu upacara kebudayaan dan agama yang memakai musik sebagai media pengantar trance dan dialog-dialog khusus untuk memanggil dewa-dewa yang tidak dimengerti oleh masyarakat awam (Taufik Adi Susilo dkk.). Secara harfiah sacapme dalam bahasa Mandarin artinya hari ketiga puluh, namun upacara sacapme bukan berarti upacara hari ketiga puluh, walaupun ada cap go meh yang artinya hari kelima belas dan sacap artinya tiga puluh. Sacapme merupakan nama hari ataupun nama upacara penyambutan tahun baru Tionghoa. Gong xi fat cai mempunyai arti ucapan syukur dan doa kepada Tuhan (Dewa-dewa) harapan agar di tahun depan mendapat rejeki lebih banyak. Acaranya meliputi sembahyang imlek, sembahyang kepada sang pencipta, dan perayaan cap go meh. Perayaan sacapme dan yang lain-lainnya dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, tak lepas dari sejarah politik dan sosiobudaya di Indonesia. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarga-negaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, sehingga upacara-upacara keagamaannya sudah bebas untuk dapat dilaksanakan. Walaupun suku Tionghoa berada di luar daerah asalnya namun
14
Universitas Sumatera Utara
mereka tetap melestarikan kesenian tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada masyarakat. Sampai saat ini upacara sacapme sudah mulai dikenal oleh masyarakat dan berkembang ditengah kesenian lain yang ada di Sumatera Utara. Salah satu etnik minoritas di Sumatera Utara yang mempunyai beragam kesenian unik dari daerah asalnya adalah etnik Tionghoa. Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Sumatera juga diikuti dengan beberapa kesenian yang sampai saat ini masih tetap mereka pertunjukkan. Misalnya barongsai, liongsai, upacara cap go meh, tiau sang dan lain-lainnya yang diselenggarakan oleh penganut agama Budha. Kesenian tersebut tetap eksis di beberapa daerah yang dihuni oleh komunitas orang Tionghoa di Sumatera Utara diantaranya seperti di Polonia, Belawan, Tanjung Balai, dan Siantar, walaupun kesenian tersebut biasanya diadakan tahunan. Sampai saat ini masih banyak orang-orang Tionghoa yang memelihara dan mempertunjukkan keseniannya di beberapa daerah di Sumatera Utara. Salah satunya adalah di Vihara Pekong kelurahan Polonia. Awal ketertarikan penulis dengan vihara ini adalah pada saat mereka mengadakan tarian barongsai pada tahun 2006.
Bahkan setiap tahunnya dan mengadakan upacara penyambutan malam
tahun baru sacapme tahun 2008 khusus untuk masyarakat sekitarnya. Acara ini membuat penulis tertarik karena sangat uniknya upacara sacapme yang diadakan di vihara, bahkan acara pembakaran hio yang cukup menarik perhatian dan bunyi lonceng yang sangat unik. Pada kesempatan yang sama penulis sempat mengabadikan momen-momen tersebut melalui kamera video dan melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat Tionghoa yang melakukan upacara serta
15
Universitas Sumatera Utara
sesepuh pelaksana upacara tersebut. Dari penjelasan mereka inilah penulis merasa tertarik dan tertantang untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang kesenian ini, setelah selesai wawancara penulis meminta alamat dari beberapa sesepuh pelaksana upacara. Beberapa hari kemudian penulis mendatangi mereka untuk melakukan penelitian sebagai bahan dasar untuk penulisan skripsi. Dari beberapa buku tentang upacara-upacara Tionghoa, seperti Stefanus Akim, 2002 ;Taufik Adi Susilo, 1998, para pemulis buku ini menyatakan bahwa ciri yang paling menonjol dalam pertunjukan upacara sacapme di vihara adalah penggunaan lonceng dan gendang,
serta trance dari pelaku upacara, dalam
kesenian ini terdapat unsur mistik, pemakaian alat musik lonceng, iringan gendang yang diletakkan jauh di atas di dekat atap vihara dan memerlukan seperti tangga duduk untuk membunyikannya serta pola pukulan yang lebih rumit dan diulangulang selama pertunjukan berlangsung. Gilbert Rouget (1961), menyatakan hubungan antara musik dan kedudukan trance sebagai berikut. Musik dan trance bisa dikatakan saling berhubungan, karena mempunyai ciri keterikatan satu sama lain, misalnya ritme (degupan tekanan) musik yang jika dimainkan dengan motif yang berulangulang secara terus menerus dan dengan waktu tertentu dapat menyebabkan trance kepada pendengarnya. Trance adalah keadaan dimana seseorang berada dalam alam bawah sadarnya, hal ini menjadikan sangat jelas bahwa musik benar-benar sangat berperan dalam sebuah upacara ritual. Berdasarkan keterangan dari salah seorang informan serta dari hasil pengamatan penulis pada buku Memahami Budaya Tionghoa, hanya sedikit perbedaan antara upacara sacapme yang diadakan di vihara-vihara yang lain 16
Universitas Sumatera Utara
maupun yang diadakan di rumah. Menurut Stefanus Akim (2002), di Indonesia, sacapme merupakan bentuk kesenian rakyat yang ditampilkan untuk keperluan adat tionghoa. Upacara sacapme yang ditampilkan pada saat malam tahun baru gong xi fat cai di vihara biasanya diikuti oleh masyarakat Tionghoa khususnya beragama Buddha yang tinggal di sekitar vihara maupun yang tinggal di tempat lain tapi sering sembahyang di vihara itu. Upacara sacapme yang diadakan di Vihara Pekong kelurahan Polonia memiliki perbedaan dengan upacara-upacara yang diadakan di rumah-rumah masyarakat Tionghoa lainnya. Upacara sacapme di Vihara Pekong diadakan untuk masyarakat di sekitarnya yang tidak mengadakan upacara di depan rumahnya. Perbedaan itu juga terdapat dalam beberapa aspek seperti: instrumen, musik pengiring, jenis persembahan, ukuran hio, dan materi jalannya upacara. Upacara sacapme yang diadakan di rumah-rumah selalu disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat, misalnya banyaknya persembahan yang diberikan kepada dewa-dewa dan ukuran serta banyaknya hio yang dibakar pada upacaranya tanpa memakai instrumen musik sebagai pengantar ritual. Persembahan adalah faktor yang sangat penting pada upacara ini. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang perbedaan dari jenis dan besarnya persembahan yang dibawa oleh pe-nyembahyang. Urutan kegiatan upacara yang ditampilkan adalah: membakar hio, kemudian menunggu tengah malam untuk berkomunikasi dengan dewa melalui tetua sambil membunyikan musik sebagai pengantar trance dan berdoa. Taufik Adi Susilo, (1998:42), menyatakan bahwa:
17
Universitas Sumatera Utara
Upacara sacapme merupakan upacara ritual, karena dilakukan dalam upacara keagamaan untuk menyambut tahun baru. Biasanya masyarakat Tionghoa sendiri menyebut pertunjukan ini ‘sacapme’ saja tanpa ada kata upacara. Si pembawa upacara juga memanggil dewa untuk masuk dan berkomunikasi dengannya yang sering disebut dengan kesurupan atau trance.”
Instrumen musik pengiring yang digunakan untuk mengiringi upacara sacapme di vihara tidak menggunakan seperangkat peralatan yang rumit melainkan hanya menggunakan gendang dan lonceng. Pukulan gendang dan lonceng yang dibawakan biasanya teratur atau bermeter, namun terkadang jika pemainnya dalam keadaan kesurupan maka
ritme pukulan yang dimainkan lari dari meter
(freemeter). Keterampilan dan keahlian yang dilakukan penabung gendang dan lonceng berupa sahut-sahutan seperti saling menjawab dan si pembunyi lonceng harus mendengar bunyi gendang untuk membuat bagian-bagiannya lebih teratur. Dalam setiap upacara, sesepuh pelaksananya terdiri dari 3 orang pemain, yaitu 1 orang penabuh gendang, 1 orang pembunyi lonceng, 1 orang pembakar hio, sementara masyarakat yang lain berdoa di luar dan di dalam vihara. Ketika upacara dimulai, dua orang yang bertugas menabuh gendang dan memukul lonceng telah bersiap di tempatnya. Penabuh gendang harus naik di atas kursi tinggi yang disiapkan khusus untuk menabuh gendang. Lalu sang penabuh menyanyikan senandung seruan kepada dewa-dewa sambil menabuh gendang dalam keadaan trance. Gendang dan lonceng terus dibunyikan sampai tepat tengah malam, sementara jemaat membakar hio dan melakukan doa serta membawa
18
Universitas Sumatera Utara
persembahan sesuai dengan profesi, umur, dan kesanggupannya dalam membeli persembahan. Ritual diakhiri dengan membakar tiang hio besar di luar vihara serta mendoakan persembahan yang telah ditaruh pada meja persembahan di depan pintu masuk. Setelah itu baru jemaat bisa masuk ke vihara dan melanjutkan doanya disana. Di dalam hal musiknya, ritual sacapme di dalam vihara ini diiringi dengan instrumen gendang dan lonceng yang dibunyikan secara teratur oleh pembawa upacara. Hal-hal tersebut sagat menarik perhatian saya untuk meneliti jalannya ritual sacapme di vihara dan instrumen musik yang dipakai dalam upacaranya. Juga dikarenakan semakin pesatnya perkembangan dan kebudayaan di abad 20-an, menyebabkan banyak masyarakat umum maupun masyarakat Tionghoa sendiri tidak tahu bahkan kurang mengerti bagaimana ritual sacapme yang dilakukan di dalam vihara. Untuk itu penulis akan meneliti dan membahas tulisan ini untuk dijadikan skripsi dengan judul Studi Deskriptif Upacara Sacapme dan Penggunaan Musik Pada Sembahyang Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai di Vihara Pekong Kelurahab Polonia dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Kota Medan.
19
Universitas Sumatera Utara
1.2 Pokok Masalah Setelah penulis meneliti kesenian upacara sacapme ternyata banyak sekali yang dapat di jadikan sebagai bahan penelitian seperti: analisa musik, trance, durasi pertunjukan, instrumen dan musik pengiring. Oleh karena itu, saya lebih memfokuskan pembahasan kepada beberapa aspek saja walaupun secara umum tidak dapat dipisahkan maka penulis merasa perlu untuk memfokuskan perhatian kepada satu masalah utama yaitu: bagaimana mendeskripsikan jalannya pertunjukan upacara sacapme di vihara pekong kelurahan Polonia pada malam tahun baru suku Tionghoa yang beragama Buddha, termasuk pertunjukan musiknya. Masalah utama ini akan diperkuat dengan permasalahan tambahan yang berkai rapat yaitu apa saja guna dan fungsi upacara sacapme pada masyarakat Tionghoa di kelurahan Polonia.
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui gambaran jalannya upacara sacapme yang dilakukan di vihara pekong kelurahan Polonia. b. Untuk mengetahui fungsi upacara sacapme di mata masyarakat Tionghoa di kelurahan Polonia.
20
Universitas Sumatera Utara
c. Untuk memahami keberadaan budaya atau system eligi yang tercermin dalam upacara sacapme. 1.3.2 Manfaat Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menjadi bahan kajian banding terhadap berbagai seni pertunjukan khususnya yang terdapat di Sumatera Utara. 2. Sebagai bahan dokumentasi ilmiah pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.
1.4
Konsep Dan Teori
1.4.1 Konsep Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990:456). Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat (1977:32), konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu penelitian (Koentjaraningrat,1977:36). Dari hasil pengamatan, wawancara, dan literatur yang ada, maka dapat dikemukakan konsep-konsep sebagai berikut: (a)
Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi
deskriptif dapat diartikan sebagai; menguraikan gambaran situasi atau kejadiankejadian yang terdapat didalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadily
21
Universitas Sumatera Utara
(1990:179), deskripsi mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini penulis mencoba menguraikan atau menggambarkan tentang kesenian upacara Sacapme agar dapat dijadikan informasi bagi para pembaca yang membutuhkan. (b)
Menurut
Murgianto
(1996:156),
pertunjukan
adalah
sebuah
komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas. Sesuai dengan konsep di atas maka upacara sacapme dikategorikan sebagai seni pertunjukan, karena dalam setiap pertunjukannya ada penyaji (pemain), penonton, pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas. (c)
Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu
dengan maksud bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan tehnis sebagai bahan. Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi kedalam dua kategori yaitu: (1) seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, di mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, di mana antara penyaji dan penonton saling berhubungan (Sediawaty,1981:58-60).
22
Universitas Sumatera Utara
(d)
Istilah sacapme merupakan bahasa Tionghoa yang artinya malam
sebelum tahun baru, atau yang biasa disebut imlek. Sacapme ditulis tergabung, bukan sacap-me yang dapat membuat artinya menjadi lain. (Stefanus Akim, 2002 : 45). (e)
Menurut Stefanus Akim (2002), sacapme mempunyai pengertian
ritual persembahan dan permohonan perlindungan yang diadakan pada malam sebelum bergantinya hari ke tahun yang baru pada kalender Cina. Ritual ini mengandung unsur magis, karena adanya pemanggilan dewa-dewa pemberi rezeki dan membakar hio yang dipercaya dapat membawa berkah. Berkaitan dengan pengertian ritual sacapme tentunya menggunakan pengertian yang perlu ditinjau lagi dalam perkembangannya sekarang di mana adanya hubungan trance musik dalam pelaksanaan ritualnya. Melalui keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata yang dipakai untuk kesenian ini adalah upacara sacapme, karena sesuai dengan bahasa asli tionghoa dan sama sekali tidak mengalami perubahan sampai saat ini. (f)
Trance adalah suatu keadaan dimana seseorang berada dalam
keadaan alam bawah sadarnya. Trance dapat diakibatkan oleh beberapa hal, sebagai contoh musik yang dimainkan secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam batas waktu tertentu akan menyebabkan trance bagi pendengarnya. Trance yang penulis maksudkan disini adalah pembawa upacara yang kesurupan ketika berkomunikasi dengan dewa-dewa. (g)
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau
saling berinteraksi menurut sistem adat- istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan
23
Universitas Sumatera Utara
yang terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,1980:157-161). Masyarakat Tionghoa yang penulis maksudkan di sini adalah orang-orang Tionghoa yang sudah lama menetap di Jalan Pekong Kelurahan Polonia dan orangorang Tionghoa kelahiran Sumatera atau yang sering disebut dengan orang Cina.
1.4.2 Teori Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat,1973:10).
Teori adalah landasan dasa keilmuan
untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan maslaah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti yang diuraikan berikut ini. (1)
Untuk mendeskripsikan pertunjukan musik dalam upacara sacapme,
penulis menggunakan teori pertunjukan yang diajukan oleh Milton Singer (dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:164-165). Menurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan budaya maka seorang peneliti harus melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu: (1) waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, (2) adanya awal dan akhir pertunjukan, (3) acara kegiatan yang
24
Universitas Sumatera Utara
terorganisasi, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukannya. Dalam kaitannya dengan pertunjukan religi sacapme, maka waktu pertunjukannya dilakukan pada malam hari menjelang tahun baru China atau disebut juga dengan Gong Xi Fat Cai. Waktunya sekitar pukul 23.00 sampai 01.00 WIB.
Waktu ini tentu saja bias ianggap relatif panjang dibandingkan dengan
pertunjukan musik dan tari hiburan di atas pentas. Pertunjukan sacapme ini juga terdiri dari masa awal atau persiapan, isi pertunjukan, dan akhir. Upacara ini juga merupakan sebuah institusi kuno dalam radisi masyarakat China yang diorganisasikan secara rapi dan sifatnya nonformal, yaitu digerakkan oleh masyarakat Tionghoa. Di Medan khususnya oleh masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha. Upacara ini didukung oleh beberapa orang sepert perantara trance, pemusik, dan orng-orang yang sembahyang, terutama orang Tionghoa yang beragama Buddha. Yang menjadi penonton atau penikmat upacara adalah segenap mereka yang hadir. Tempat pertunjukan upacara ini adalah di Vihara Pekong Medan, yang mengindikasikan bahawa ini adalah pertunjukan riual bukan untuk tujuan utamanya hiburan atau estetika. Kesempatan atau waktu pertunjukan adalah setahun sekali menjelang tahun baru China. Teori ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam mendeskripsikan jalannya upacara sacapme paa Bab IV. (2)
Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis
menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:243). Ia menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu: (1) tempat upacara, (2) saat
25
Universitas Sumatera Utara
upacara, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, dan (4) orang yang melakukan dan memimpin upacara. Hampir sama dengan teori pertunjukan Milton Singer, maka teori upacara Koentjaraningrat ini melihat komponen upacara lebih umum, yaitu tempat, waktu, benda, dan orang yang terlibat dala suatu upacara dalam kebudayaan. Di sini tampak bahwa Koentjaraningrat lebih memokuskan perhatian kepada upacara itu sendiri bukan pertunjukan budayanya seperti yang dikemukakan Milton Singer.
Dalam teori ini Koenjaraningrat tidak begitu memokuskan
perhatian pada seniman (pemain) dan penonton. Sesuai dengan teori Koentjaraningrat ini, maka tempat upacara sacapme adalah di Vihaa Pekong, Kelurahan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara. Vihara ini adalah tempat beribadahnya umat Buddha di sekitar kelurahan ini atau Kota Medan secara umum. Kemudian saat upacara adalah malam menjelang tahun baru Gong Xi Fat Cai China, atau kadang disebut juga tahun baru Imlek. Benda-benda dan alat upacara adalah seperti kursi dewa, nisan perlabang dewa, gendering, lonceng besar, hio (yang kemudian dibakar), lilin, sesajian, dan lain-lainnya. Orang yang melakukan upacara ini adalah perantara, pemsik, dan umat Budha yang bersembahyang. (3)
Untuk melihat
fungsi upacara sacapme dalam kebudayaan
masyarakat Tionghoa di Medan penulis menggunakan teori fungsionalisme Menurut Lorimer et al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara
institusi-institusi (pranata-pranata) dan
kebiasaan-kebiasaan
pada
26
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang
lebih sederhana,
masyarakat
tribal, partisipasi
dalam
upacara
keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompokkelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19,
khususnya Emile
Durkheim,
fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an.
Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan
teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada masayarakat bukan Barat. Sejak dekad 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer et al. 1991-112-113). Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru besar dalam ilmu sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu
27
Universitas Sumatera Utara
Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman. Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture.
Ia kemudian mengambil
keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942.
Sayang tahun itu juga ia
meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Cairns dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944). Pemikiran
Malinowski
mengenai
syarat-syarat
metode
etnografi
berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam berbagai kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry 1957:82), yaitu: (1) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
28
Universitas Sumatera Utara
(2) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; (3) Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi suatu sistem sosial tertentu. Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhagap ilmu psikologi juga tampak ketika ia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana ia berteu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulanganulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan.
Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik
perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan. Dalam etnomusikologi, Merriam tahun 1964 mengemukakan teori penggunaan dan fungsi musik dalam buku The Anthropology of Music. Ia
29
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bahwa ada perbedaan makna antara penggunaan (use) dan fungsi (function) music, seperti yang diuraikannya berikut ini. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanisms such as dancer, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is inseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment af a sense of security vis-vis the universe. "Use" them, refers to the situation in which music is employed in human action; "function" concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves (1964:210). Menurut Merriam, seperti kutipan di atas, musik dipergunakan dalam situasi tertentu yang menjadi bagian darinya--fungsi ini dapat atau tidak dapat menjadi fungsi yang lebih dalam. Ia memberikan contoh, jika menggunakan nyanyian
seseorang
untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat
dianalisis sebagai kontinuitas dan kesinambungan keturunan. Mekanismenya fungsional seperti itu adalah melalui
penari,
pembaca doa,
ritual
yang
diorganisasikan, dan kegiatan-kegiatan seremonial. "Penggunaan" menunjukkan situasi
musik
dipakai
dalam
kegiatan
manusia;
sedangkan
"fungsi"
memperhatikan pada sebab yang ditimbulkan oleh pemakaiannya, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari apa yang dilayaninya. Dalam buku ini, Merriam mengemukakan musik memiliki berbagai fungsi, dan dijabarkannya 10 fungsi sebagai contoh analisis, yaitu: (1) pengungkapan emosional, (2) penghayatan estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5) perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) pengesahan
30
Universitas Sumatera Utara
lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan, dan (10) pengintegrasian masyarakat. Dalm konteks menganalisis upacara sacapme dan salah satu kegiatannya mengguanakan music, maka fungsi utama musik adalah untuk mengabsahkan upacara sacapme ini. Namun berbagai funsi sosiobudaya dapat dikaji dan dideskripsikan. Bahwa sacapme dan music yang digunakan memiliki fungsi untuk menjaga tradisi China dan ajaran Buddha. Upacara ini juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat Tionghoa. Kegiatan sosioreligius ini juga berfungsi untuk sarana pembelajaran agama dan kebudayaan. Upacara dan musinya juga berfungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai filsafat dan religi, dan seterusnya. Fungsi ini akan dibahas secara mendalam dalam Baba IV.
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan atas tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang dijumpai di lapangan. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau penyebaran
dari
suatu
(Koentjaraningrat,1990:29).
gejala
lain
Penulis
juga
dalam
suatu
berpedoman
masyarakat pada
disiplin
etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sachs dan Nettll (1964:62) yaitu
31
Universitas Sumatera Utara
penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work). Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.
1.5.1 Kerja Lapangan 1.5.1.1 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan awal dalam penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literature atau sumber bacaan untuk mendapat informasi dan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber bacaan dan literature dapat berupa buku-buku, makalah, artikel, skipsi-skripsi. Dalam hal ini penulis mempelajari buku tentang upacara-upacara tionghoa yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti Stefanus Akim (2002) dan Taufik Adi Susilo (1998). Studi kepustakaan juga penulis lakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang pertunjukan barongsai. gong xi fat cai, sejarah Tionghoa dan persebarannya, dan lain sebagainya.
1.5.1.2 Observasi Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung kejadian atau peristiwa yang erat kaitanya dengan upacara sacapme yang diadakan di vihara
32
Universitas Sumatera Utara
Pekong Polonia.Dalam hal ini penulis berusaha melihat secara langsung. Dengan demikian dalam mendeskripsikan upacara sacapme, penulis akan lebih cermat.
1.5.1.3 Wawancara Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1990:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara
berfokus,
pertanyaan
yang
dilakukan
berpusat
pada
aspek
permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.
1.5.1.4 Perekaman Penggunaan alat bantu sangat penting dalam melakukan penelitian. Alat bantu yang penulis gunakan pada saat melakukan wawancara adalah handphone nokia music expres tipe 5700, kamera digital untuk memotret gambar ataupun kejadian yang ada pada saat pertunjukan berlangsung. Selain itu, penulis juga menggunakan handycam tipe Sony HD 30 untuk merekam jalannya pertunjukan.
33
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.5 Kerja Laboratorium Semua data yang di peroleh dilapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data.
1.6
Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan Lokasi penelitian upacara Sacapme dalam tulisan ini adalah vihara pekong
di jalan ternak kelurahan polonia kotamadya Medan. Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini karena daerah ini merupakan salah satu daerah komunitas suku tionghoa dan di daerah ini juga banyak ditemukan kesenian-kesenian tradisional tionghoa seperti tarian Barongsai dan masih banyak kesenian tionghoa lainnya. Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal sebelum melakukan penelitian yang mengetahui tentang ritual sacapme ini. Informan pangkal yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Bapak Aseng Lim (41 tahun) dan Acek Tian (71 tahun). Setelah mendapatkan informan pangkal, penulis menentukan informan kunci. Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi kepada penulis
34
Universitas Sumatera Utara
mengenai bahan penelitian penulis, diantaranya ibu Jonata (32 tahun), ci merry (25 tahun), Ahun (40 tahun) dan Ricky Liu (40 tahun). Melalui informan kunci ini, penulis banyak memperoleh masukan mengenai permasalahan yang ada dalam tulisan ini dan beberapa informan lain juga seperti tokoh masyarakat yang telah di tuakan oleh masyarakat Tionghoa di polonia yang mengerti dan memahami betul tentang kesenian tradisional Tionghoa ini khususnya upacara sacapme.
35
Universitas Sumatera Utara