1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat di seluruh dunia mengenal bahan alam mengandung berbagai manfaat untuk kehidupan. Salah satunya sebagai bahan obat alami yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang menggunakan jamu sebagai upaya pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Apalagi gerakan back to nature akhir-akhir ini semakin menguatkan keyakinan masyarakat untuk menggunakan bahan alam sebagai obat. Serat Centhini dikenal oleh masyarakat tradisional Indonesia khususnya Suku Jawa berisi ramuan-ramuan obat tradisional dengan istilah Jamu. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, suatu penelitian kesehatan berskala nasional yang
diselenggarakan
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk diatas 15 tahun menggunakan jamu. Bentuk sediaan jamu yang paling banyak digunakan adalah bentuk cairan/godhokan jadi (55%), kemudian disusul bentuk serbuk (seduhan) (44%), bentuk rajangan (untuk direbus) 20,5%, dan bentuk kapsul/pil/tablet 11,5%. Data tersebut menunjukkan bahwa jamu telah digunakan oleh masyarakat secara luas dan setiap daerah mempunyai perbedaan dalam cara pembuatan maupun penyajiannya. Indonesia sebagai Negara kepulauan di wilayah tropis mempunyai sumber genetik melimpah yang dapat digunakan bahan alam untuk pemeliharaan
1
2
kesehatan dan pengobatan. Indonesia termasuk Negara mega-biodiversity dengan kurang lebih 30.000 jenis tanaman (vascular plants), dimana kurang lebih 7.000 diantaranya berpotensi untuk dikembangkan menjadi tanaman obat. Setiap daerah atau etnis mempunyai pengetahuan local (indigenous knowledge) terkait dengan cara pemeliharaan kesehatan dan pengobatan. Studi ethno-medicine oleh berbagai lembaga riset, menunjukkan betapa kayanya Indonesia menyangkut sumber daya genetik dan pengetahuan lokal dalam pemeliharaan kesehatan dan pengobatan. Eugenia uniflora L. atau dewandaru merupakan tanaman yang berasal dari daerah hutan hujan tropis Amazon Brasil Amerika Selatan. Tanaman ini umumnya hidup di daerah tropis dan dibudidayakan di beberapa Negara seperti Amerika, Asia Tenggara, China, India, dan beberapa Negara Mediterania (Martinez dkk., 2010). Dewandaru merupakan salah satu jenis anggota suku Myrtaceae (Hutapea dkk., 1994). Bagian tanaman yang digunakan untuk pengobatan antara lain buah dan daun. Di Brasil daun dewandaru secara empiris digunakan sebagai antiinflamasi, sakit perut demam dan tekanan darah tinggi. Infusa daunnya digunakan di Paraguay sebagai antikolesterol, antihipertensi, dan antigout (Ferro dkk., 1988; Schmeda Hirschmann dkk., 1987). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dewandaru memiliki manfaat seperti antiinflamasi (Schapoval dkk., 1994), antihiperglisemia dan hipertrigliseridemia (Arai dkk., 1999), antimikroba dan antifungal (Holetz dkk., 2002; Victoria., 2012), larvacidal (Aedes aegypti) (Famuyiwa dkk., 2011), antihipertensi (Consolini dkk., 2002) sitotoksik (Ogunwande dkk., 2005) dan antioksidan (Kade dkk., 2008). Amat dkk.
3
(2011) melaporkan ekstrak air daun dewandaru mempunyai efek sebagai agen anti hipertensi dengan mekanisme kerja sebagai diuretik. Komposisi ekstrak daun dewandaru juga telah diketahui dari berbagai penelitian lain yang dilakukan (Schmeda-Hirschmann dkk., 1995; Lee dkk., 1997). Bahan baku sediaan obat tradisional dapat berupa simplisia, ekstrak atau fraksi (ekstrak terpurifikasi). Jenis kandungan kimia bahan menentukan metode ekstraksi yang dilakukan. Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang banyak dilakukan karena sederhana dan mudah dilakukan. Infundasi juga merupakan salah satu metode ekstraksi lain yang mudah dilakukan dan umumnya bentuk jamu seduhan dibuat dengan proses mirip infundasi. Fraksinasi merupakan suatu proses penghilangan zat ballast/pengganggu sehingga zat yang kita inginkan akan menjadi lebih banyak. Untuk mendapatkan ekstrak terfraksi harus memperhatikan jenis pelarut dan pemilihan metode ekstraksi. Penelitian yang membandingkan metode ekstraksi telah banyak dilakukan. Martinez-Correa (2011) melakukan perbandingan proses ekstraksi secara 1 tahap dan 2 tahap. Hasilnya menunjukkan bahwa daun dewandaru memiliki kandungan flavonoid total yang lebih besar pada proses ekstraksi 1 tahap dengan super critical CO2, diikuti etanol dan air sebagai pelarutnya. Selanjutnya Vongsak dkk. (2012) melakukan perbandingan metode maserasi, infundasi, perkolasi dan soxhletasi terhadap daun segar dan kering Morinda oleifera untuk melihat kadar flavonoid total dan fenolik total. Kadar flavonoid total dan kadar fenolik total tertinggi terdapat pada metode maserasi dengan etanol 70% sebagai pelarut. Penggunaan metode infundasi oleh Dias (2013) berhasil mendapatkan senyawa
4
apigenin, luteolin, kuersetin dan derivat dari ketiganya pada tanaman Achillea millefolium L. dengan menggunakan HPLC. Perbandingan perbedaan metode maserasi dan infundasi terhadap kadar flavonoid total daun sukun oleh Muchsin (2014) berhasil membuktikan kadar flavonoid total yang lebih banyak pada metode maserasi. Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul keinginan penulis untuk membandingkan metode ekstraksi dengan maserasi dan infundasi dalam menghasilkan kadar flavonoid total yang lebih tinggi. B. Rumusan Masalah 1. Apakah ekstrak kental daun dewandaru hasil metode maserasi mempunyai kadar flavonoid total lebih tinggi daripada hasil metode infundasi? 2. Apakah fraksi tak larut heksan ekstrak etanol daun dewandaru memiliki kadar flavonoid total yang lebih tinggi dibanding fraksi larut etanol infundasi? C. Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh metode ekstraksi terhadap kadar flavonoid total daun dewandaru. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan sumbangan terhadap khasanah ilmu pengetahuan. 2. Memberikan ide bagi penelitian lebih lanjut.
5
E. Tinjauan Pustaka Kebutuhan obat-obat tradisional oleh masyarakat saat ini diperlukan untuk pencegahan maupun pengobatan berbagai penyakit. Data WHO tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat 80% masyarakat dunia menggunakan obat tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat akan bahan alami sangat tinggi, namun banyak dari obat-obatan tradisional yang ada belum dibuktikan secara ilmiah. Pembuktian secara ilmiah saat ini banyak dilakukan oleh Negara-negara berkembang agar masyarakat dapat benar-benar merasakan manfaat pengobatan tradisional. Pengembangan dan pemanfaatan obat bahan alam/obat herbal Indonesia perlu mendapatkan substansi ilmiah yang lebih kuat, terutama melalui penelitian dan standarisasi sehingga obat herbal Indonesia dapat diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan nasional (Sampurno, 2004). 1. Dewandaru a. Sistematika Tumbuhan Dewandaru Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Eugenia Jenis : Eugenia uniflora L. Sinonim : Eugenia michelii Lam.
6
Stenocalyx michelii Berg. Plinia rubra Vell. (Hutapea, 1994) b. Nama Daerah Indonesia : Asam Selong, Belimbing Blanda, Pitangi (Malaysia), Cereme Asam, Cereme Belanda (Heyne, 1987). c. Morfologi Habitus : perdu bercabang, tinggi ± 5 m (Heyne, 1987). Batang : tegak berkayu, bulat, cokelat (Melo dkk., 2007). Daun : tunggal, tersebar, lonjong, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang ± 5 cm, lebar ± 4 cm, hijau. Bunga : tunggal, berkelamin dua, daun pelindung kecil, hijau, kelopak bertajuk tiga sampai lima, benang sari banyak, putih, putik silindris, mahkota bentuk kuku, kuning. Buah : buni, bulat, diameter ± 1,5 cm, merah, hijau, jingga. Biji : kecil, keras, cokelat. Akar : tunggang, cokelat (Widyaningrum, 2011). d. Kandungan Kimia Sebanyak 29 senyawa komponen minyak atsiri berhasil diidentifikasi dari buah dan daun dewandaru diantaranya trans-beta-osimene, cisosimene, selina-1,3,7(11)trien-8-on, beta-pinen, dan lain-lain (Oliveira dkk., 2006; Gallucci dkk., 2010; Melo dkk., 2007). Eugeniflorins D1 dan D2 merupakan tanin terhidrolisis baru yang berhasil diisolasi bersama
7
dengan beberapa jenis senyawa polifenol seperti galotekin, mirisitrin, dan oenotein B yang terdapat pada daun dewandaru (Lee dkk., 1997). Selain itu juga terkandung senyawa flavonoid sianidin dan delfinidin pada buah (Einbond dkk., 2004), sedangkan pada daunnya terdapat kuersetin (Sjahid, 2008). Rattmann dkk. (2012) dengan menggunakan UHPLC-MS berhasil mengidentifikasi kandungan berupa kuersetin dan mirisetin yang mengikat glikosida seperti arabinosa dan rhamnosida. e. Manfaat Hampir semua bagian dari dewandaru dapat diambil manfaatnya. Digunakan sebagai tanaman pagar di Jawa Tengah. Batang kayunya biasanya digunakan sebagai tongkat untuk hiasan atau pegangan. Bijinya banyak digunakan sebagai batang tasbih di beberapa daerah di Jawa Timur. Infusa daunnya banyak digunakan oleh herbalis Paraguay dan Brasil sebagai obat tradisional antihipertensi. Jus buah dewandaru banyak dipergunakan sebagai minuman penyegar dan dikomersilkan di Brasil. Tanaman dewandaru oleh IUCN termasuk dalam kategori merah yang artinya termasuk tanaman langka dalam kategori "JARANG", artinya di sebagian tempat tanaman ini mudah ditemui dan di sebagian tempat yang lain tanaman ini sulit untuk ditemui.
8
2. Analisis Makroskopi dan Mikroskopi Analisis makroskopi dan mikroskopi termasuk ke dalam analisis kualitatif untuk identifikasi simplisia (Anonim, 1995). Analisis makroskopi dilakukan dengan melihat secara morfologi dan ciri organoleptik seperti bentuk, warna, ukuran, bau, rasa, dan tekstur (Sutrisno, 1986). Analisis makroskopi bagian daun dilakukan dengan melihat bentuk, pertulangan, pangkal, ujung daun, permukaan daun, tepi, kerapuhan, bentuk patahan, arah menggulung helai daun, warna, bau, dan rasa (Anonim, 2011). Analisis mikroskopi dilakukan dengan melihat bentuk sel, fragmen-fragmen jaringan dan ukuran sel sehingga dapat mengidentifikasi asal simplisia dengan bantuan mikroskop (Sutrisno, 1986). Sampel yang digunakan dapat berupa serbuk simplisia yang homogen derajat halusnya dan penampang melintang irisan simplisia segar. Daun tersusun atas beberapa jaringan utama secara mikroskopik, yaitu epidermis, stomata, trikoma, mesofil, dan berkas pengangkut. 1. Epidermis : jaringan yang membentuk lapisan penutup di permukaan tumbuhan, umumnya terdiri dari 1 lapis sel. Pada epidermis biasanya ditemukan sel penutup stomata, berbagai rambut, sel sekresi, dan sel sklerenkim.
Epidermis
dapat
memiliki
bentuk
poligonal
atau
bergelombang. Rambut penutup dibentuk dari sel epidermis berbentuk uniselular atau multiselular. Rambut penutup terbagi menjadi 2, yaitu glandular (menghasilkan sekret yang kental dan lengket) dan nonglandular (proteksi). Stomata merupakan derivat epidermis, umumnya
9
terdiri atas 2 sel penutup stoma dan dilengkapi oleh satu atau lebih sel pengiring stoma/sel tetangga. Stomata digolongkan berdasarkan jumlah dan perbandingan ukuran, dan letak sel tetangga. Tipenya antara lain tipe anomositik, anisositik, diasitik, parasitik, aktinositik, dan bidiasitik (Eames, 1951). 2. Mesofil : pada tumbuhan dikotil mengalami diferensiasi menjadi jaringan palisade (tiang) dan jaringan bunga karang (spons). Jaringan tiang selnya berbentuk silindris, mengandung banyak kloroplas, dan tersusun dalam ikatan yang padat. Jaringan bunga karang tersusun dari sel yan bentuknya tidak teratur, berisi kloroplas, dan sel-selnya dipisahkan oleh ruang antar sel yang cukup besar (Eames, 1951). 3. Berkas pengangkut : tersusun atas xylem dan floem. Xylem merupakan jaringan yang terdiri dari pembuluh kayu, dindingnya berlignin dan mengalami penebalan yang berbentuk spiral, tangga, dan jala. Floem merupakan jaringan yang terdiri dari pembuluh tapis, umumnya terdapat di sebelah dalam perisikel. Daun dikotil umumnya mempunyai ibu tulang daun yang membentuk anyaman seperti jala (Eames, 1951) Analisis makroskopi dan mikroskopi berguna untuk melihat bagian-bagian yang merupakan fragmen khas tanaman dan untuk mengetahui kemungkinan adanya pemalsuan bahan. 3. Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder pada tanaman, kemungkinan keberadaannya dalam daun dipengaruhi oleh adanya proses
10
fotosintesis sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoid (Markham,1988). Flavonoid tersusun atas kerangka karbon C6-C3-C6, atau termasuk golongan fenilbenzopiran. Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6, artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzen) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Kelas-kelas yang berlainan dalam golongan flavonoid dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan (Robinson, 1991).
Gambar 1: Struktur Umum Flavonoid (Grotewold, 2006)
Flavonoid terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang mungkin terdapat dalam satu tumbuhan dalam bentuk kombinasi glikosida (Harbone, 1987). Aglikon flavonoid (yaitu flavonoid yang tidak mengikat gula) terdapat dalam berbagai bentuk struktur (Markham, 1988). Flavonoid merupakan senyawa pereduksi baik yang menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim. Aktivitas antioksidannya dapat menjelaskan mengapa flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati (Robinson, 1995). Flavonoid adalah anggota golongan terbesar senyawa fenol alam (Harbone, 1987). Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih atau suatu gula, sehingga akan larut
11
dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, dan aseton. Flavonoid yang mengikat gula cenderung lebih mudah larut dalam air dan campuran pelarut diatas. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988). 4. Rutin Rutin dengan nama lain rutoside dan quersetin-3-rutinoside, merupakan bentuk glikosida dari flavonoid kuersetin dengan ikatan gula rutinosa. Rutin memiliki bobot molekul 610,5 dengan rumus formula C27H30O16. .
Gambar 2. Struktur kimia rutin (Kraujalis dkk., 2015)
Rutin mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 100,5%, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian rutin yaitu berbentuk serbuk hablur halus, berwarna kuning pucat sampai hijau kekuningan pucat, tidak berbau atau berbau lemah khas dan tidak berasa. Senyawa ini mendamar pada suhu antara 185o-192oC dan mengurai pada suhu antara 211o-215o C. Rutin larut dalam 10.000 bagian air, 200 bagian air panas, 650 bagian etanol (95%), 60 bagian etanol (95%) panas. Rutin larut dalam metanol, isopropanol, liserol, tetapi praktis tidak larut dalam kloroform, eter, eter minyak tanah, aseton, benzen, karbon disulfida. Rutin
12
mudah larut dalam piridin dan natrium hidroksida 1 N. Rutin disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terlindung cahaya (Anonim, 1974). 5. Pembuatan Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan yang belum mengalami pengolahan yang digunakan untuk pengobatan. Kecuali dinyatakan lain, suhu pengeringan simplisia tidak boleh lebih dari 60°C (Anonim, 2008). Tahapan pembuatan simplisia terdiri atas pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu. 1. Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran dan bahanbahan asing lainnya dari simplisia. 2. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor-pengotor lainnya yang melekat pada simplisia. Pencucian dilakukan dengan menggunakan air bersih. Untuk simplisia yang mengandung senyawa yang mudah larut di dalam air, pencucian dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. 3. Perajangan
dilakukan
untuk
mempermudah
proses
pengeringan,
pengepakan, dan penggilingan. Ketebalan bahan setelah dirajang harus diperhatikan. Simplisia yang mengandung minyak atsiri tidak boleh terlalu tipis karena dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat. Irisan simplisia juga tidak boleh terlalu tebal karena dapat menyebabkan terjadinya face hardening pada proses pengeringan. Face hardening adalah keadaan di mana bagian luar simplisia sudah kering,
13
sedangkan
bagian
dalam
masih
basah.
Face
hardening
dapat
mengakibatkan kebusukan di bagian dalam dari simplisia. 4. Pengeringan bertujuan utuk mengurangi kadar air dari simplisia agar dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan simplisia adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Pengeringan idealnya dilakukan secara cepat dan pada suhu kurang dari 60°C. Pengeringan yang terlalu lama dapat menyebabkan tumbuhnya kapang. Pengeringan dengan suhu terlalu tinggi dapat menyebabkan rusaknya senyawa-senyawa yang tidak tahan panas. 5. Sortasi kering bertujuan untuk menghilangkan bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dalam simplisia. (Anonim, 1985) Pembuatan serbuk simplisia dilakukan setelah sortasi kering. Tahap ini bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel simplisia agar permukaan simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas. Semakin halus serbuk simplisia maka semakin besar pula luas permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari. Hal ini berarti semakin baik penyariannya walaupun dalam pelaksanaannya tidak selalu demikian. Proses penyarian juga tergantung pada sifat fisik dan kimia simplisia. Serbuk yang terlalu halus dapat menyebabkan pecahnya dinding sel sehingga zat yang tidak diinginkan ikut ke dalam hasil penyarian (Anonim, 1986).
14
6. Ekstraksi Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat yang semula berada di dalam ditarik oleh cairan penyari sehingga zat – zat aktif larut dalam cairan penyari. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi, soxtehlasi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan terutama sifat dari zat aktif yang akan diambil (Ansel, 1989). Cairan penyari dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk senyawa kandungan yang berkhasiat, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisah dari pengotornya. Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan penyari adalah selektivitas, kemudahan bekerja, ekonomis, ramah lingkungan, dan keamanan. Untuk memperoleh metode panyarian yang optimal dapat dengan membandingkan
kualitas
ekstrak
pada
metode
yang
berbeda.
Proses
pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman dengan pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel kemudian larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel.
15
Tabel 1. Pelarut dan golongan kandungan kimia yang terlarut
Pelarut
Golongan kandungan kimia yang terlarut
n-heksan,
Terpenoid (minyak atsiri), triterpen, steroid, kumarin,
petroleum eter, polimetoksi flavon, lipida, resin, klorofil, xantofil benzen, toluen Kloroform,
Semua yang disebut di atas, antrakuinon, alkaloid bebas,
diklorometan
kurkuminoid, fenol
Dietil eter
Semua yang disebut di atas, flavonoid aglikon, asam fenolat
Etil
asetat, Semua yang disebut di atas, flavonoid monoglikosida,
aseton
quasinoid, glikosida lain
Etanol
dan Semua yang disebut di atas, flavonoid diglikosida, tanin
alkohol lain Air panas
Semua yang disebut di atas, mulai dari yang larut dalam dietil eter, garam alkaloid, flavonoid poliglikosida, mono- dan disakarida, asam amino, protein dan mineral. Polisakarida dan protein akan menggumpal (Pramono, 2014)
1. Maserasi Maserasi merupakan teknik penyarian yang paling sederhana dalam menyari bahan obat yang berbentuk serbuk simplisia halus (Voight, 1994).
16
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia halus dengan pelarut yang dapat melarutkan zat aktif yang akan disari. Perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam sel menyebabkan cairan penyari menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel sehingga larutan yang pekat didesak ke luar. Peristiwa ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Keuntungan metode ini ialah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi ialah pengerjaan yang lama dan penyariannya kurang sempurna dan memerlukan pelarut dalam jumlah banyak (Anonim, 1986). Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, airetanol atau pelarut lain (Ansel, 1989). 2. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih (temperatur terukur 70-98°C) selama waktu tertentu (15-30 menit)) (Anonim, 2000). Dekokta merupakan sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 900C selama 30 menit. Infundasi merupakan proses penyariian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan – bahan nabati. Penyarian ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang.
17
7. Fraksinasi Fraksinasi adalah proses pemisahan dan pemurnian untuk mendapatkan kandungan senyawa tertentu (Anonim, 2000). Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda-beda tergantung pada kandungan senyawa di tiap jenis tumbuhan. Ekstrak terpurifikasi (purified ekstract) adalah ekstrak yang telah mengalami pemurnian sedemikian rupa hingga ekstrak tersebut hanya mengandung suatu kelompok senyawa tertentu dengan kadar yang lebih tinggi. Tujuan utama dari purifikasi adalah menghilangkan zat-zat yang tidak kita inginkan sebanyak-banyaknya tanpa merusak senyawa aktif yang ada dalam ekstrak atau menyebabkan alterations yang mungkin dapat menyebabkan senyawa menjadi tidak stabil. Ekstrak yang kita dapatkan dari ekstraksi dengan pelarut atau campuran pelarut sering mengandung zat-zat yang tidak diinginkan, misalnya tanin yang dapat menyebabkan turbidity atau opacity selama penyimpanan atau pemrosesan ekstrak selanjutnya. Zat-zat yang mengakibatkan ketidakstabilan senyawa aktif dalam ekstrak seyogyanya harus disingkirkan. Maka dari itu, tujuan utama dari purifikasi adalah menghilangkan zat-zat yang tidak kita inginkan sebanyak-banyaknya tanpa merusak senyawa aktif yang ada dalam ekstrak atau menyebabkan alterations yang mungkin dapat menyebabkan senyawa menjadi tidak stabil (List, 2000). 8. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi merupakan metode pemisahan komponen-komponen dari suatu campuran berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen
18
tersebut, yang dibawa oleh fase gerak, untuk melintasi fase diam (Skoog dkk., 2014). Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fisikokimia berbentuk kromatografi planar dengan fase diam berupa lapisan tipis yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik (Gandjar & Rohman, 2010; Stahl, 1985). Kromatografi lapis tipis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan metode kromatografi lainnya antara lain lebih mudah dan lebih murah; peralatannya lebih sederhana; banyak digunakan untuk tujuan analisis; identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet; pemisahan komponen dapat dilakukan secara menaik (ascending), menurun (descending) atau dengan cara elusi dua dimensi; dan ketepatan penentuan kadar lebih baik karena komponen yang ditentukan adalah bercak yang tidak bergerak (Gandjar & Rohman, 2010). Kromatografi lapis tipis digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon. Fase diam menggunakan senyawa yang tak bereaksi seperti silica gel atau alumina. Silica gel biasa diberi pengikat untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang biasa digunakan adalah kalsium sulfat (Sastrohamidjojo, 1991). Fase diam pada KLT dapat berupa fase polar maupun non polar, diantaranya :
19
1. Silica gel Fase diam ini dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar. Fase polar merupakan silica yang dibebaskan dari air, bersifat sedikit asam. Silica gel perlu ditambah gips (kalsium sulfat) untuk memperkuat pelapisannya pada pendukung. Sebagai pendukung biasanya lapisan tipis digunakan kaca dengan ukuran 20x20 cm, 10x20 cm, atau 5x10 cm. Pendukung yang lain berupa lembaran alumunium atau plastic seperti ukuran diatas yang umumnya dibuat oleh pabrik. Silica gel kadang-kadang ditambah senyawa fluoresensi, agar bila disinari dengan sinar UV dapat berfluoresensi atau berpendar, sehingga dikenal dengan silica gel GF254 yang berarti silica gel dengan fluoresen yang berpendar pada 254 nm. Silica gel untuk fase non polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya lemak, parafin, minyak silikon raber gom, atau lilin. Fase gerak air yang polar dapat digunakan sebagai eluen. Fase diam ini dapat memisahkan banyak senyawa, namun elusinya sangat lambat dan hasil uji ulangnya kurang bagus (Sumarno, 2001). Silika paling berguna untuk memisahkan aglikon yang kurang polar, misalnya isoflavon, flavanon, metil flavon, dan flavonol (Markham, 1988). 2. Selulosa Selulosa terdiri dari rantai panjang polimerisasi beta-glukopiranosa yang terhubung pada posisi 1-4. Mekanisme pemisahannya adalah partisi fase normal (normal phase) dengan menyerap air sebagai fase diam (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). Ukuran partikel yang digunakan kira-kira 50 µm, maka elusinya lebih
20
lambat. Fase diam ini sekarang sudah diganti dengan bubuk selulosa yang dapat dilapiskan pada kaca seperti halnya fase diam yang lain sehingga lebih efisien (Sumarno, 2001). Selulosa ideal untuk memisahkan glikosida yang satu dari glikosida yang lain, memisahkan glikosida dari aglikon, dan untuk memisahkan aglikon yang kurang polar. Selulosa sering digunakan untuk identifikasi flavonoid secara umum (Markham, 1988). Adanya komponen air dalam fase gerak menyebabkan mekanisme pemisahannya terjadi secara partisi. Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri
atas satu atau beberapa
pelarut. Sistem pelarut multi komponen harus berupa satu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985). Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. (1) Bercak yang terlihat (dengan sinar UV) kebanyakan disebabkan oleh flavonoid walaupun bercak berfluoresensi biru, merah jambu, keputihan, jingga dan kecokelatan harus dianggap bukan flavonoid sebelum diperiksa lebih lanjut dengan spektroskopi UV-Vis. Bercak glikosida flavon dan glikosida flavonoid yang khas tampak berwarna lembayung tua dengan sinar UV dan menjadi kuning atau hijau kuning bila diuapi NH3, tetapi dijumpai juga sejumlah kombinasi warna lain. Nilai utama KLT pada penelitian flavonoid adalah sebagai cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit. KLT berguna untuk :
21
1. Mencari fase gerak untuk kromatografi kolom. 2. Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom. 3. Identifikasi flavonoid secara ko-kromatografi. 4. Isolasi flavonoid murni skala kecil. (Markham, 1988) Metode
deteksi
pada
kromatografi
lapis
tipis
bertujuan
untuk
meningkatkan sensitivitas, meningkatkan selektivitas, dan memberikan bukti mengenai kualitas pemisahan (Jork dkk., 1990). Deteksi secara visualisasi digunakan untuk senyawa yang tidak berwarna. Banyak senyawa akan mengabsorbsi cahaya UV atau berfluoresens saat tereksitasi oleh UV atau cahaya tampak walaupun kebanyakan memerlukan penyemprotan dengan reagen tertentu (Wall, 2005). 9. Spekrofotometri UV-VISIBEL Spektrofotometri
UV-Vis
merupakan
anggota
teknik
analisis
spektroskopik dengan sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190380nm) dan sinar tampak (380-780) yang memakai instrument spektrofotometer. Radiasi elektromagnetik diserap oleh molekul hanya pada panjang gelombang tertentu (spesifik untuk molekul tersebut) yang mengakibatkan perpindahan sebuah elektron ke orbital dengan energi lebih tinggi (Fessenden and Fessenden, 1997). Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi yang lebih sedikit akan menyerap pada panjang
22
gelombang yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah visible (yakni senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan dari pada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang UV (Skoog, 1985). Pengukuran kuantitatif secara spektrofotometri ditetapkan dengan persamaan Lambert-Beer sebagai berikut: 𝐴 = 𝑎𝑏𝑐
(2)
berdasarkan persamaan di atas, A adalah absorban, a adalah absorptivitas, b adalah tebal kuvet dalam cm, dan c adalah konsentrasi. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar & Rohman, 2010). Metode spektrofotometri UV-Vis digunakan untuk penetapan kadar senyawa obat dalam jumlah yang cukup banyak. Metode ini berdasarkan pada penggunaan nilai 𝐸1%1𝑐𝑚 suatu obat. Nilai 𝐸1%1𝑐𝑚 menunjukkan absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 g/100 ml) dengan kuvet yang mempunyai ketebalan 1 cm pada panjang gelombang dan pelarut tertentu (Gandjar & Rohman, 2010). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri UVVis adalah pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis, pemilihan panjang gelombang, waktu operasional (operating time), pembuatan kurva baku, dan pembacaan absorbansi sampel dan cuplikan. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis dilakukan jika senyawa tidak menyerap pada daerah tersebut. Waktu operasional merupakan waktu tertentu untuk memperoleh
23
absorbansi yang stabil. Panjang gelombang dipilih yang mempunyai absorbansi maksimal. Hal ini dikarenakan panjang gelombang maksimal akan memberikan kepekaan yang juga maksimal. Dalam pembuatan kurva baku, kurva baku yang diperoleh berupa garis yang linear. Pembacaan absorbansi sampel sedapat mungkin menghasilkan absorban antara 0,2-0,8. Dalam spektroskopi, terdapat istilah-istilah yang sering digunakan, diantaranya: 1. Kromofor, adalah gugus tak jenuh kovalen yang dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis. 2. Auksokrom, adalah gugus jenuh yang bila terikat pada kromofor mengubah panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum. 3. Pergeseran batokromik, adalah pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih panjang disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut. 4. Pergeseran hipsokromik, adalah pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut. 5. Efek hiperkromik, adalah kenaikan dalam intensitas serapan. 6. Efek hipokromik, adalah penurunan dalam intensitas serapan. (Sastrohamidjojo, 2001). Penetapan kadar flavonoid secara spektrofotometri berdasarkan pada panjang gelombang khas yang dihasilkan oleh golongan flavonoid utama pada pita I akibat adanya variasi pada pola hidroksilasi dan derajat substitusi gugus hidroksil. Penambahan pereaksi juga akan mengakibatkan perubahan spektrum
24
yang khas akibat adanya interaksi pereaksi geser dengan gugus hidroksil. Pereaksi geser yang sering digunakan dalam penetapan kadar flavonoid secara spektrofotometri adalah alumunium klorida dan natrium asetat (Markham, 1988). Di samping itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi diagnostik ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi. Oleh karena itu, secara tidak langsung cara ini berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metal yang terikat pada salah satu gugus hidroksi fenol (Markham, 1988). F. Data Empiris Data yang ingin diketahui dari penelitian ini berupa : 1. Kadar flavonoid total hasil maserasi dan infundasi 2. Kadar flavonoid total fraksi tak larut n-heksan ekstrak etanol dan fraksi larut etanol ekstrak infundasi