BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Majalah Tempo terbit pertama kali pada tanggal 6 Maret 1971. Majalah tersebut sebenarnya sudah mempunyai SIT (Surat Izin Terbit) pada tanggal 31 Desember 1970 tetapi baru terbit kemudian. Tempo tidak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan SIT itu karena mendapat dukungan dari tokoh jurnalistik kondang Adam Malik dan juga Menteri Penerangan Budiardjo.1 Pada masa itu, prosedur penerbitan media massa jauh lebih mudah dibandingkan dengan ketika Soekarno berkuasa. Akibatnya, banyak media massa bermunculan di zaman itu. Tempo tampaknya lahir di waktu yang tepat.
Tempo tampaknya memang lahir pada waktu harapan akan adanya kebebasan pers begitu besar seiring dengan ditumbangkannya rezim Demokrasi Terpimpin yang begitu represif terhadap prinsip kebebasan pers itu. Pengurus Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat (1971: 33), mengungkapkan adanya kecenderungan itu di dalam bukunya yang berjudul Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia, sebagai berikut. “Sebagai diingat 1958 adalah tahun di mana masyarakat dan bangsa Indonesia sudah mulai memasuki iklim Konsepsi Presiden Soekarno, babak permulaan akan berakhirnya kehidupan liberalistis. 1
Diambil dari Profil Perusahaan Tempo tahun 2010.
1
Perubahan haluan itu kemudian diresmikan dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959).” Menurut pengurus SPS, semua kegiatan pers di Indonesia sejak diberlakukannya dekrit tersebut dikendalikan ke satu haluan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. SPS sendiri direorganisasi oleh pemerintah menjadi SPS-OPS (Sarekat Penerbitan Surat Kabar Organisasi Perusahaan Sejenis). Dengan cara itu, pemerintah mengendalikan seluruh program organisasi tersebut dan mengambil alih hak SPS dalam menentukan pengurusnya atas dasar keterwakilan kelompok penganut ideologi Nasakom (Pengurus SPS 1971: 34-36). Bersamaan dengan itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) tampil sebagai partai yang dominan karena menjadi partai pendukung Nasakom. Selain itu, PKI juga memanfaatkan kebijakan pemerintah tersebut untuk kepentingannya sendiri, misalnya untuk menyerang partai-partai lain yang dianggap berseberangan dengan kepenting mereka. Posisi PKI di masa itu digambarkan oleh Abar (1995: 51-52) sebagai berikut. “Pada tahun 1962-1965, “peta ideologi” pers Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: pers komunis dan pers simpatisansimpatisannya – biasanya pers nasional sayap kiri – menduduki posisi dominan dalam penciptaan opini publik dan politik serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Pers lainnya berada dalam posisi periferal. Sebelumnya, perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa dominasi pers komunis dalam penciptaan opini publik dan politik serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah harus dilihat dalam konteks trend otoritarian rezim Demokrasi Terpimpin ketika itu. Karena itu, penciptaan opini publik dan politik serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh pers komunis harus selalu mengikuti logika kepentingan dan identitas retoris dan politis rezim Demokrasi Terpimpin terutama Soekarno, meski di balik itu terselip kepentingan PKI dan simpatisansimpatisannya.”
2
Dalam situasi yang demikian, menjadi tertutup kemungkinan bagi pribadipribadi mandiri atau swasta untuk mendirikan media massa (Pengurus SPS, 1971: 128-130). Selain itu, hampir tidak ada lagi media massa termasuk tentu saja organisasi
atau
perusahaan
media
yang independen.
Karenanya,
tidak
mengherankan apabila kemudian muncul keinginan atau harapan yang besar untuk memperoleh kembali independensi pers sebagaimana yang pernah terjadi pada masa awal kemerdekaan, dalam periode pemerintahan yang masih menganut liberalisme
politi.
Dalam
kongresnya
yang
kedua
belas,
yaitu
yang
diselenggarakan pada bulan Agustus 1967, SPS mengambil sebuah keputusan yang dianggap sangat penting, yaitu mengembalikan dirinya menjadi organisasi independen dalam pengertian bahwa mereka mempunyai otonomi dalam mengatur kehidupannya sendiri (Pengurus SPS, 1971: 131).
Tentu keputusan itu terjadi sesudah jatuhnya rezim Demokrasi Terpimpin dan hilangnya dominasi komunis, segera sesudah kegagalan apa yang dinamakan Gerakan 30 September. Tidak hanya tumbuh kembalinya keinginan untuk memperoleh independensi yang segera muncul pada masa awal Orde Baru itu, melainkan maraknya usaha-usaha swasta dalam penerbitan pers. Di samping diterbitkannya kembali media massa yang tergabung dalam BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), banyak media masa yang baru juga bermunculan. Dalam tahun 1970 terdapat 120 Harian dengan jumlah sirkulasi sebesar 1,2 juta eksamplar dan 200 Mingguan dan majalah dengan sirkulasi sekitar 1,8 juta eksamplar (Pengurus SPS, 1971: 137).
3
Dalam konteks semangat independensi dan terbukanya peluang swasta untuk mendirikan media massa seperti itulah Tempo didirikan. Sebenarnya proses pendiriannya sudah berlangsung sejak 1969, ketika itu sekelompok anak muda yang digambarkan sebagai “cerdas dan mempunyai selera seni yang tinggi” berkumpul dan bertekad untuk mendirikan sebuah majalah mingguan meskipun dengan modal pengetahuan dan pengalaman yang terbatas.2 Pada mulanya mereka berhasil mendirikan majalah Express. Hanya saja, karena ada perbenturan dengan pihak pemilik modal, mereka keluar. Kemudian, mereka mendirikan majalah mingguan yang baru yaitu Tempo pada tahun 1971 sebagaimana yang sudah dikemukakan.
Dengan demikian, Tempo merupakan anak dari revolusi harapan yang meningkat di masa-masa awal rezim Orde Baru setelah berakhirnya masa represi terhadap pers di zaman Demokrasi Terpimpin. Masa awal Orde Baru itu seakan menjanjikan sebuah masa depan yang lebih baik dan terbuka tidak hanya bagi kebebasan pers, melainkan juga bagi partisipasi swasta dalam pembangunan jurnalisme yang independen di Indonesia.
Sebenarnya, pada tahun-tahun pertama pasca G 30/S, pemerintah dan pers nasional yang anti-komunis memang seakan menjadi partner, terutama dalam usaha mereka memberantas komunis dan menjatuhkan kekuasaan Soekarno yang waktu itu masih menjadi presiden. Ketika itu, pemerintah Orde Baru masih belum kokoh menancapkan kekuasaannya cenderung bersikap toleran terhadap
2
Keterangan ini dikutip dari Profil Perusahaan Tempo tahun 2010.
4
kebebasan pers (Abar, 1995: 65-68). Akan tetapi, masa “bulan madu” antara orde Baru dengan pers nasional mulai berakhir sejak para pelopor Majalah Tempo mulai menggagas penerbitan majalah berita tersebut tahun 1969. Sejak tahun itu mulai terjadi beberapa tindakan anti-pers dari Orde Baru. Hanya saja, tindakan itu masih dalam batas-batas yang bisa ditolerir (Abar, 1995: 69). Serangan terhadap pers, sebagian besar, hanya dalam soal-soal pornografis atau disalurkan melalui jalur hukum. Baru pada tahun 1973, dua tahun sesudah Majalah Tempo terbit, hubungan antara Orde Baru dengan pers menjadi “panas” seperti dikemukakan oleh Abar (1995: 70-71) sebagai berikut. “Tahun 1973 adalah tahun panas dengan suhu politik yang sangat tinggi. Penguasa mulai melakukan tindakan yang lebih keras lagi. Bahkan, di awal tahun itu saja, yaitu tanggal 2 Januari 1973, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro telah mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Sinar Harapan untuk sementara karena dituduh telah membocorkan rahasia negara, yaitu telah menyiarkan isi RAPBN 1973-1974 sebelum pemerintah mengumumkannya secara resmi (Indonesia Raya, 3 Januari 1973). Beberapa hari setelah itu Kopkamtib memberikan peringatan kepada tiga harian, yaitu Pos Kota, Kami, dan Merdeka supaya tidak lagi menyiarkan intrik-intrik politik yang tidak benar (Indonesia Raya, 5 Januari 1973).
Dengan demikian, hanya dalam waktu sekitar tujuh tahun, semangat independensi dan/atau kebebasan pers yang lahir selepas tumbangnya Demokrasi Terpimpin dan dominasi PKI dalam kehidupan pers, mulai menghadapi tantangan yang berat. Tantangan itu tentu saja juga berlaku bagi majalah Tempo yang lahir dari semangat yang sama. Kenyataan ini menimbulkan sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana Tempo mempertahankan nilai independensi itu dalam menghadapi tantangan yang sepanjang masa Orde Baru cenderung semakin berat. Apalagi,
5
seperti yang antara lain dikemukakan oleh Abrar (1992: 7), sejak tahun 1989 dunia pers Indonesia mulai digelisahkan oleh semakin kuatnya kecenderungan industrialisasi dan konglomerasi pers yang bersifat komersial dan berorientasi pada pasar.
Persoalan mengenai cara dan strategi majalah Tempo yang kemudian berkembang menjadi PT.Tempo Inti Media dalam menghadapi tekanan negara dan juga tantangan pasar sudah ada yang meneliti seperti yang dapat dilihat dalam Tinjauan Pustaka tesis ini. Hanya dalam hal cara dan strategi Tempo dalam menanamkan dan mempertahankan nilai independensi di dalam komunitasnya sendiri yang belum diteliti secara khusus. Karena itu, penelitian ini akan membatasi diri pada penelitian mengenai hal tersebut. Dengan asumsi bahwa proses produksi berita adalah juga proses produksi nilai, secara lebih spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian terutama pada proses produksi beritanya.
Sebagai ilustrasi mengenai keterkaitan antara proses produksi berita dengan proses produksi nilai itu, saya kemukakan sebuah pengalaman saya sebagai seorang reporter di media-media produksi Tempo Inti Media. Saya memulai karir dari jenjang paling bawah dari struktur redaksi, yaitu calon reporter. Bergabung pada Maret 2008, awalnya saya bertugas di Majalah Tempo selama delapan bulan. Setelah itu, saya dipindah di Koran Tempo bagian kriminal dan metropolitan di Jakarta Barat dan kemudian di bagian yang sama di wilayah Jakarta Timur. Di bagian itu, saya bertugas lebih dari setahun. Selanjutnya, saya
6
mendapatkan tugas baru di media yang sama, yaitu di bagian olahraga dan desk nasional. Sekitar dua tahun kemudian saya dipindah lagi ke Tempo.co sampai pertengahan tahun 2012.
Dari pengalaman bertugas di ketiga media berbeda dalam satu perusahaan PT. Tempo Inti Media Grup, saya mendapatkan banyak pengalaman berbedabeda. Pernah suatu hari, ditugasi liputan metropolitan dan kriminal di wilayah Jakarta Barat. Pada saat itu, saya pernah mendapat teguran keras dari redaktur karena saya tidak lengkap mencantumkan pangkat polisi dalam laporan berita kriminal. Redaktur itu menjelaskan bahwa pangkat polisi itu penting sehingga tidak boleh salah. Sejak kejadian itu, setiap kali menulis berita kriminal yang menggunakan informasi dari nara sumber polisi atau menuliskan berita yang ada polisinya, saya selalu teringat untuk menulis pangkat polisi secara lengkap.
Penulisan nama di Tempo memang cukup penting. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah persoalan nama pimpinan organisasi Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab, yang sering dipanggil Habib Rizieq. Ketika itu, para redaktur mengadakan diskusi membahas nama Habib Rizieq. Sebagian besar redaktur keberatan jika Tempo menulis nama petinggi FPI itu menggunakan imbuhan “Habib”. Mereka beranggapan bahwa Rizieq tidak layak menyandang nama Habib yang merupakan gelar bangsawan Timur Tengah yang merupakan kerabat Nabi Muhammad di kalangan Arab-Indonesia. Setelah berdiskusi, para redaktur itu memutuskan bahwa Majalah Tempo dan Koran
7
Tempo tidak lagi menambahkan Habib dan hanya menuliskan namanya langsung, yaitu Rizieq.
Akan tetapi, di kemudian hari persoalan nama pimpinan FPI itu muncul kembali saat Tempo.co menulis namanya dengan Habib Rizieq. Pada saat itu, redaktur Tempo.co beralasan bahwa nama Habib Rizieq telah menjadi kata kunci yang dipakai khalayak saat mencari berita tentang FPI sehingga nama itu yang ramah google. Namun, alasan itu tidak bisa diterima oleh redaktur-redaktur yang lain, maka terjadilah diskusi antar redaktur yang kemudian memutuskan bahwa Tempo.co harus mengikuti Majalah Tempo dan Koran Tempo, tidak menggunakan Habib di depan nama Rizieq. Contoh kasus di atas menunjukkan adanya konflik nilai, antara selera massa dan nilai Tempo. Keputusan Tempo.co tidak lagi mengunakan “gelar” Habib di depan nama Rizieq, menunjukkan bahwa Tempo Grup lebih mementingkan nilai Tempo ketimbang selera massa. Namun, dalam hal ini, Tempo juga menggunakan standar ganda yang menunjukkan semacam negosiasi. Ketika menuliskan polisi, harus menyebutkan pangkat, tetapi soal Rizieq tidak menyebutkan “gelar” keagamaannya. Tempo mengambil sikap yang berbeda dalam menghadapi dua kekuatan yang berbeda.
Hal itu menunjukkan bahwa dalam proses produksi berita, persoalan yang terlibat cukup rumit, tidak sekedar urusan penerapan nilai begitu saja. Itulah sebabnya, penelitian mengenai apa yang terjadi dalam produksi berita di dalam ruang berita perlu dikaji secara mendalam. Semua cerita di atas menunjukkan bahwa proses produksi berita tidak sekedar menyangkut masalah bagaimana
8
Tempo menyampaikan hak masyarakat akan informasi. Di dalam proses produksinya, Tempo sekaligus juga berusaha menanamkan nilai-nilainya, bahkan juga terlibat dalam konflik dan negosiasi dengan nilai-nilai dan kepentingankepentingan kekuatan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang ada di luarnya. Permasalahan itulah yang ingin saya teliti.
Proses produksi berita Tempo memiliki kecenderungan tidak hanya berhubungan dengan nilai-nilai Tempo sendiri. Akan tetapi, berhubungan juga dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok sosial yang ada di luar lingkungannya. Seperti pengalaman saya yang sudah saya kemukakan di atas, hubungan itu bisa bersifat penolakan terhadap nilai-nilai yang ada di luar ataupun penerimaan. Misalnya, Tempo menerima aturan penyebutan kepangkatan yang berlaku di kepolisian tetapi menolak kebiasaan penyebutan gelar kehormatan yang berlaku di FPI. Kecenderungan itu dapat pula dilihat dari sejarah perkembangan majalah tersebut, baik yang menyangkut pembredelan yang dialaminya maupun perkembangan organisasi dan manajemennya.
Seperti sudah dikemukakan, majalah Tempo terbit perdana pada Maret 1971. Majalah yang didirikan oleh Goenawan Mohamad dan rekan-rekannya ini pernah dua kali dibredel. Pembredelan pertama terjadi setelah Tempo memberitakan kerusuhan kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, pada 1982. Namun, ketika itu pembredelan hanya berlangsung sekitar dua bulan. Tempo diijinkan terbit kembali setelah bernegosiasi dengan pemerintah. Pembredelan kedua terjadi setelah Tempo menerbitkan laporan utama tentang
9
pembelian sejumlah kapal perang bekas Jerman Timur pada 1994. Menghadapi pembredelan untuk kali kedua, Tempo mencoba jalur hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Secara mengejutkan, Tempo menang di tingkat PTUN. Bahkan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), Tempo tetap menang. Akan tetapi, kemenangan itu dimentahkan di tingkat Mahkamah Agung. Setelah upaya jalur hukum gagal, Tempo bertahan menggunakan internet sebagai media alternatif dalam bentuk Tempo Interaktif. Terbit kembali pasca reformasi pada 6 Oktober 1998. Tempo edisi terbit kembali ini mengalami perubahan dibandingkan edisi sebelum dibredel. Tulisan logo Tempo diganti menggunakan huruf Bauer Bodoni. Bingkai merah cover dihilangkan. Kriteria penulisan menjadi lebih analitis dan investigatif. Hal ini tampak dalam isu yang diangkat pada edisi terbit kembali, yaitu pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa di tengah kerusuhan besar-besaran yang melanda Jakarta dan beberapa kota lain pada Mei 1998 sebagai laporan utama. Judulnya “Pemerkosaan, Cerita, dan Fakta” dengan cover bergambar mata yang menitikkan air, seolah ingin menunjukkan sikap Tempo yang lebih berani. Perubahan lain yang tidak kalah penting adalah adanya bagian Opini yang menjelaskan keberpihakan Tempo terkait isu yang sedang diberitakannya. Di masa Orde Baru, bagian ini tidak ada.3 Selain itu, segera setelah itu, Tempo pun memperluas usahanya dengan menciptakan dan memasarkan produk-produk media yang baru dari media cetak harian, media internet, dan bahkan televisi.
3
Kecap Dapur Tempo 2008
10
Belum terlalu jelas apa yang menyebabkan perluasan usaha, perubahan penampilan dan sikap yang baru itu. Wahyu Dhaytmika (2005) mengatakan bahwa kenyataan di atas merupakan respon Tempo terhadap lingkungan media yang berubah di Indonesia pada masa pasca-Orde Baru (Reformasi). Memang, pada masa itu terjadi peningkatan investasi dalam penerbitan media. Berbagai surat kabar, majalah, tabloid, portal berita, dan stasiun televisi yang sebagian cenderung bersifat komesial bermunculan. Hal ini terjadi karena adanya jaminan kebebasan pers yang didukung dengan perubahan perundang-undangan, misalnya ditetapkannya Undang-Undang No. 40/1999 tentang Kebebasan Pers sebagai pengganti Undang-Undang No. 21 Tahun 1982, yaitu antara lain menghapuskan keharusan bagi perusahaan penerbitan untuk mempunyai SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers). Sementara itu, Daru Priyambodo (2008) cenderung menganggap bahwa hal itu disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi, terutama dengan mulai terlibatnya Tempo dalam industri media di internet. Pihak Tempo sendiri, yaitu Leonardi Kusen, Direktur Utama Tempo Inti Media saat itu, mengatakan bahwa diversifikasi produk dilakukan karena pertimbangan pengalaman dibredel. Karena tidak mempunyai sumber penghasilan yang lain, pembredelan Tempo pada tahun 1994 membuat sebagian besar karyawannya tidak mempunyai penghasilan dan mencari pekerjaan di media yang lain. Alasan lainnya cenderung bermotif bisnis, yaitu perlunya menampung limpahan iklan yang datang ke Tempo.4
4
Pusat Data dan Analisis Tempo
11
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa Tempo selalu terkait dengan kekuatan-kekuatan yang ada di luarnya. Tempo berusaha melakukan penyesuaian diri, penentangan, ataupun negosiasi terhadapnya, baik pada level ideologis atau nilai-nilai, maupun pada level praktis. Namun, bersamaan dengan itu, tampak ada juga gejala yang lain, yaitu usaha Tempo untuk tetap mempertahankan identitasnya sebagaimana yang sudah terbentuk sejak pendiriannya di masa Orde Baru. Tempo tetap menggunakan azas jurnalisme seperti yang dituliskan oleh Goenawan Mohamad pada sambutan edisi perdana tahun 1971, yaitu sebagai berikut: “Asas jurnalisme kami bukanlah asas jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya bahwa kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya bahwa tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melengkapinya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme majalah ini bukanlah jurnalisme untuk memaki atau mencibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba.” Dengan kata lain, pengalaman saya dan kecenderungan sejarah Tempo hingga sekarang menunjukkan adanya beberapa persoalan penting dalam kajian media yang perlu dipahami lebih jauh. Pertama, proses produksi berita yang berlangsung di lingkungan dalam Tempo, seperti pengalaman saya tentang penulisan pangkat polisi dan nama Habib Riziek. Kedua, adanya tawar-menawar antara Tempo dengan kekuatan-kekuatan eksternal seperti polisi dan kelompok keagamaan tertentu, khususnya FPI.
Apabila melihat dalam sejarah kajian-kajian media, wilayah kajian yang mestinya bersifat etnografis seperti di atas belum banyak dilakukan. Kajian
12
etnografis media yang muncul lebih mengenai proses konsumsi dari audiens media daripada proses produksinya. Kajian media lebih banyak menggunakan perspektif ekonomi politik, hegemoni, dan konglomerasi media (Saddar dan Loon, 2000). Namun, kajian-kajian media itu juga kurang memperhatikan bagaimana tawar-menawar itu berlangsung dalam praktik produksi berita yang konkret, yang menjadi kegiatan sehari-hari di lingkungan industri media, termasuk Tempo.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari situasi pers di masa awal Orde Baru, pengalaman pribadi saya, dan sejarah majalah Tempo, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada proses produksi berita yang berlangsung di lingkungan dalam Tempo beserta konteks sosial dan ideologisnya. Pertanyaan besar tersebut dapat dirinci menjadi tiga pertanyaan penelitian.
1. Apakah proses produksi berita Tempo dipengaruhi oleh nilai-nilai, hasil interaksi dan akumulasi pengalaman wartawan-wartawannya yang bekerja sebagai pengelolanya? 2. Nilai-nilai mana yang dominan mempengaruhi proses produksi berita Tempo? 3. Bagaimana hasil proses tarik-menarik nilai-nilai komunal dan nilai-nilai struktural di dalam lingkungan Tempo?
13
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Menghasilkan deskripsi etnografis mengenai proses produksi berita. 2. Mengasilkan tafsir nilai-nilai yang mempengaruhi proses produksi berita. 3. Menghasilkan penjelasan mengenai konteks sosial yang mendasari proses produksi dan nilai-nilai Tempo di atas.
1.4 Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai Tempo memang bukanlah hal yang baru. Sudah banyak ahli maupun mahasiswa program sarjana dan master meneliti Tempo. Meskipun demikian, tidak banyak peneliti yang mengkaji produksi berita Tempo secara etnografis, apalagi antropologis dengan menggunakan metode penelitian lapangan dan wawancara mendalam. Sejauh pengetahuan saya, hanya ada tiga penelitian yang serupa itu, yakni tulisan Janet Steele, Wars Within: The Story of Tempo and Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia5, hasil penelitian Anak Agung Gde Bagus Wahyu Dhyatmika yang berjudul Building A New Tempo: Culture Change Management in Tempo Media Group, Indonesia, dan hasil penelitian Daru Priyambodo yang berjudul Adaptasi Organisasi Newsroom dan Proses Produksi Berita Dalam Media Online Berbasis Media Cetak (Studi Konvergensi
5
Yang digunakan dalam penelitian ini adalah versi terjemahan bahasa Indonesia yang sudah dicocokan dengan versi aslinya.
14
Media di Tempo Newsroom). Hanya saja, hasil-hasil penelitian itu lebih tepat dianggap sebagai penelitian kualitatif karena menggunakan metode wawancara yang mendalam, tetapi tidak melihat Tempo sebagai kesatuan sosial dan teritorial yang utuh. Selain itu, terdapat tiga buah hasil penelitian lain yang masing-masing menggunakan pendekatan historis, sosial-ekonomis, dan tekstual. Dalam penelitian Steele, yang menjadi permasalahan utama adalah relasi antara Tempo dengan negara khususnya rejim Orde Baru sebagai penguasa media. Steele cenderung menggunakan pendekatan yang bersifat politis, dalam pengertian bahwa Tempo adalah salah satu kekuatan politik masyarakat sipil yang berhadapan dengan negara. Adapun metode yang digunakannya adalah pengamatan partisipasi, wawancara mendalam, serta analisis teks pemberitaan dan iklan yang ada di majalah Tempo. Dari penelitiannya, Steele menemukan bahwa Tempo tidak menggunakan strategi perlawanan frontal atau hitam-putih ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru, melainkan dengan menggunakan strategi perlawanan yang lebih bersifat abu-abu. Artinya, Tempo menyampaikan kritikkritiknya dengan cara yang halus atau simbolik. Dengan cara tersebut, Tempo tetap bisa mempertahankan sikap kritisnya tetapi terhindar dari ancaman pembredelan secara permanen di masa pemerintahan otoriter Orde Baru hingga pembredelan tahun 1994. Sementara,
penelitian
Dhyatmika
dilatarbelakangi
oleh
terjadinya
perubahan dalam kehidupan media massa di Indonesia yang semakin kompetitif pada era pasca-reformasi. Menghadapi kondisi tersebut, Tempo cenderung berusaha melakukan perubahan kultur managemennya untuk menyesuaikan diri.
15
Dengan latar belakang itu, Dhyatmika merumuskan permasalahan penelitiannya dalam dua poin utama. Pertama, bagaimana Tempo Inti Media Group mengubah budaya organisasionalnya untuk menyesuaikan diri dengan strategi barunya. Kedua, apakah peranan sumber daya manusia Tempo dalam proses perubahan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah survei sikap pada empat kelompok sub-kultur yang ada di dalam Tempo dan beberapa wawancara mendalam dengan manager-manager Tempo. Hasil penelitiannya meliputi dua hal mendasar. Pertama, Tempo sudah meluncurkan beberapa kebijakan baru untuk mendukung proses perubahan budaya managemennya. Namun, kebijakankebijakan itu tidak efektif karena alasan-alasan teknis, struktural, dan kultural. Kedua, managemen sumber daya manusia Tempo sudah mencoba memainkan suatu peranan yang signifikan dalam proses perubahan budaya akan tetapi belum sesuai dengan yang seharusnya. Penelitian Priyambodo dilatarbelakangi oleh fenomena perkembangan terakhir dalam teknologi informasi, yaitu internet. Perkembangan ini membuat beberapa perusahaan media massa cetak mulai menghasilkan berita-berita yang ditayangkan secara online. Namun, karena media massa online mempunyai tuntutan kecepatan updating berita, cara kerja atau cara produksi berita perusahaan media yang bersangkutan seharusnya juga mengalami perubahan. Perubahan itu terutama dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut, yaitu dengan menggunakan
ruang
berita.
Tempo
termasuk
perusahaan
media
yang
memproduksi berita dengan berbagai media seperti yang sudah dikemukakan. Yang kemudian menjadi masalah penelitian dari tesis ini adalah: (1) Bagaimana
16
proses adaptasi Tempo menuju konvergensi organisasi newsroom pada industri media cetak (Koran Tempo) yang mengembangkan edisi online dan (2) Bagaimana proses adaptasi organisasi mempengaruhi mekanisme kerja newsroom. Penelitian Priyambodo menggunakan dua teori dasar, yaitu teori adaptasi teknologi dan teori konvergensi media. Dengan kedua teori itu, tesis tersebut menganggap bahwa adaptasi terhadap teknologi, termasuk teknologi media internet dalam produksi berita dipengaruhi antara lain faktor ideologi, kepentingan perusahaan, dan subjektivitas wartawan. Dengan menggunakan metode kualitatif, khususnya teknik pengamatan dan wawancara, penelitian ini menghasilkan kesimpulan umum, yaitu bahwa Tempo tidak sepenuhnya dapat beradaptasi dengan tuntutan-tuntutan dari teknologi internet dan prinsip ideal konvergensi media. Adapun alasannya antara lain adalah: (1) kegagalan Tempo menemukan pola organisasi Ruang Beritanya dan (2) kurangnya sumber daya manusia untuk mewujudkan organisasi ruang berita yang benar-benar terintegrasi. Selain tiga tulisan di atas, ada sebuah esai panjang mengenai Tempo yang cukup detail berjudul “Konflik Nan Tak Kunjung Padam: Bagaimana Majalah Tempo Mengatasi Masalah dan Meletakkan Budaya Perusahaannya” karya Coen Husain Pontoh. Sesuai dengan judulnya, penelitian ini mencatat berbagai konflik yang terjadi di Tempo, terutama yang berupa perbedaan pandangan mengenai cara pengelolaan majalah tersebut, cara distribusi kewenangan dan ekonomi, dan bahkan sampai pada konflik yang bersifat personal antara awak Tempo yang satu dengan yang lain. Walaupun didera konflik, Tempo selalu dapat mengatasi
17
masalah tersebut dengan berbagai cara dan terbukti tetap dapat bertahan, tidak menjadi bubar atau berhenti beroperasi. Penelitian Manan dan Danayanti berjudul “Konvergensi Media dan Kesejahteraan Jurnalis” (2012) bertolak dari fenomena konvergensi media seperti yang dikemukakan oleh Priyambodo. Hanya saja, ia mengajukan pertanyaan yang lebih jauh, yaitu mengenai efek konvergensi media terhadap kehidupan sosial dan ekonomi para wartawannya, baik yang berstatus karyawan tetap, maupun honorer. Pertanyaan ini dianggap penting karena konvergensi media menuntut keahlian tambahan bagi wartawan di atas. Tidak ada teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan di atas. Yang ada adalah norma yang berupa Undang-Undang Nomor 13, Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, konsep kesejahteraan, antara lain meliputi upah, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, dan berbagai tinjangan, yang dijadikan sebagai acuan. Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan mengajukan kuesioner untuk dijawab oleh para respondennya. Respondennya 12 orang yang berasal dari 4 media yang berbeda, yaitu Kompas Gramedia, Media Nusantara Citra, Tempo Inti Media, dan Visi Media Asia. Keempat media tersebut melakukan konvergensi dalam cara produksi beritanya. Dalam kasus Tempo, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemusatan modal yang terjadi telah melahirkan munculnya konvergensi yang dimulai sejak 2011. Konvergensi mengubah cara kerja, yaitu keharusan dan peluang bagi wartawan untuk menulis di banyak media, tetapi tidak hanya dalam bentuk tulisan, melainkan juga foto dan video. Konvergensi memberi pengaruh
18
secara tidak tetap pada kesejahteraan koresponden sebagai karyawan honorer. Hal itu
pun
hanya
apabila
tulisan
mereka
dimuat.
Sedangkan
terhadap
karyawan/wartawan tetap, pengaruh itu bisa dikatakan sepenuhnya negatif, artinya tidak memberikan perubahan dalam tingkat kesejahteraan mereka. Penelitian ketiga adalah penelitian Lukas Deni Setiawan berjudul “Narasumber Anonim dan Berita (Studi Kasus Kebijakan Redaksional Majalah Tempo Mengenai Narasumber Anonim dalam Rubrik Laporan Utama Kasus Korupsi). Penelitian ini menyangkut penggunaan narasumber anonim di Tempo. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena tingginya frekuensi penggunaan narasumber di media tersebut dan terjadinya beberapa kasus pengadilan atas Tempo dalam kaitan dengan penggunaan narasumber itu. Latar belakang lainnya adalah masih kurang tegasnya peraturan/perundang-undangan yang mengatur persoalan di atas, termasuk persoalan hubungan antara wartawan dengan sumbersumber beritanya. Kedua fenomena itulah yang kemudian membawa penelitian ini pada pertanyaan mengenai dasar-dasar kebijakan Tempo dalam penggunaan narasumber anonimnya. Ada dua kerangka konseptual yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Kedua konsep itu adalah konsep mengenai penggunaan narasumber anonim beserta alasan-alasannya dan konsep mengenai fungsi media massa sebagai “anjing penjaga” yang kritis terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara, independensi media, dan kepentingan publik. Selain itu, digunakan pula konsep mengenai adanya kepentingan subjektif media dalam penentuan kebijakan-kebijakannya. Metode yang digunakan untuk membuktikan asumsi-asumsi yang terbangun dari konsep-konsep di atas adalah
19
metode analisis isi yang bersifat kuantitatif. Analisisnya diperdalam dengan buktibukti yang diperoleh dari wawancara mendalam dan dari dokumen-dokumen. Hasil dari penelitian itu antara lain adalah (1) menjadikan narasumber anonim sebagai jembatan untuk sampai ke narasumber yang konfidential, (2) memberikan jaminan bagi kemungkinan hilangnya kepercayaan publik, (3) memberikan perlindungan aktif terhadap narasumber dan wartawannya, (4) memanfaatkan ketidakjelasan mengenai konsep Hak Tolak dalam undang-undang dengan membuat aturan sendiri mengenai kerahasiaan narasumber, (5) membangun
hubungan
personal,
lobi,
dengan
narasumber
strategis
di
pemerintahan, (6) memberikan kedalaman dalam berita-beritanya sebagai kompensasi dari narasumber yang dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadapnya. Semua hasil penelitian terdahulu di atas juga menunjukkan beberapa persoalan media yang dianggap penting oleh para peneliti. Pertama, persoalan hubungan antara media massa dengan negara. Persoalan ini dibahas oleh Steele dan menjadi salah satu bagian penting dari penelitian Setiawan, terutama dalam kaitan dengan posisi media massa sebagai “anjing penjaga” yang menjalankan fungsi kritisnya terhadap negara. Kedua, persoalan pengaruh teknologi informasi terhadap cara produksi media dan sekaligus tingkat kesejahteraan karyawan. Persoalan ini dibahas oleh Priyambodo (2008) serta Manan dan Danayanti (2012), khususnya ketika mereka membahas persoalan konvergensi media. Persoalan ketiga adalah persoalan hubungan antara media dengan bisnis sebagaimana yang dibahas oleh Dhyatmika. Persoalan adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di
20
lingkungan-dalam Tempo sendiri juga muncul dalam kajian pustaka di atas seperti yang dikemukakan oleh Pontoh. Di antara semua penelitian tersebut terdapat tiga penelitian yang memperlihatkan lingkungan internal Tempo, yaitu penelitian Priyambodo, Manan dan Danayanti, serta Pontoh. Hal ini membuat ketiganya terkait pula dengan pertanyaan yang muncul dari pengalaman saya di atas, yaitu tentang apa yang terjadi dalam proses produksi berita di Tempo. Namun, ketiga penelitian itu tidak membawa saya kepada jawaban dari pertanyaan di atas. Priyambodo meneliti proses produksi hanya dalam kaitan dengan pengaruh konvergensi media Tempo dan penyesuaian cara produksinya. Manan dan Danayanti hanya melihat efek konvergensi terhadap kesejahteraan karyawan Tempo. Pontoh melihat lingkungan dalam Tempo hanya dengan memperhatikan konflik-konflik yang terjadi di dalamnya dan keberhasilan Tempo dalam menemukan solusi bagi konflik-konflik itu. Lingkungan dalam yang digambarkan Manan ini tidak berhubungan dengan proses pengolahan bahan berita yang berupa reportase menjadi berita yang dipublikasikan. Penelitian Steele, Dhyatmika, dan Setiawan mengungkapkan hubungan antara Tempo dengan kekuatan-kekuatan yang ada di luarnya. Namun, ketiganya juga tidak menjawab pertanyaan yang muncul sehubungan dengan pengalaman saya mengenai kasus pangkat polisi dan gelar dari Habib Rizieq. Steele memusatkan perhatian pada hubungan antara Tempo dengan negara, khususnya yang menyangkut posisi kritis media terhadapnya. Kasus yang banyak diulas Steele adalah persoalan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat. Hal yang
21
serupa juga dibicarakan Setiawan dalam penjelasannya mengenai posisi Tempo sebagai “anjing penjaga”. Hal yang menjadi kajian penelitiannya sangat berbeda dengan persoalan yang menjadi pertanyaan saya, yaitu mengenai sikap Tempo yang bertentangan dalam penyebutan pangkat dan gelar kedua tokoh yang dikemukakan di atas. Persoalan saya itu, menurut dugaan saya, lebih merupakan persoalan kultural, daripada persoalan hukum dan politik seperti yang terkandung dalam korupsi. Begitu pula pembahasan Dhyatmika yang lebih fokus pada hubungan antara Tempo dengan bisnis. Namun, penelitian-penelitian terhadap Tempo yang sudah dilakukan sebelumnya itu bukannya tidak berguna bagi penelitian saya. Bahan yang mereka teliti tidak jauh berbeda dengan bahan yang menjadi penelitian saya, yaitu selukbeluk kehidupan Tempo. Tempo diposisikan baik sebagai sebuah kelompok sosial yang terbentuk dari interaksi antara karyawan di media tersebut, sebagai kelompok kerja yang terlibat dalam proses produksi dan pemasaran berita, maupun sebagai kekuatan politik yang berhadapan dengan negara. Karena itu, saya tetap akan berkali-kali merujuk pada hasil-hasil penelitian di atas meskipun dengan sudut pandang yang berbeda. Sebagai contoh, penelitian ini akan merujuk pada uraian Priyambodo mengenai Ruang Berita Tempo dan kriteria layak berita yang berlaku di dalamnya. Penelitian ini juga akan merujuk pada pembahasan Dhyatmika mengenai perluasan industri media Tempo dan pada pembahasan Pontoh mengenai konflik-konflik yang terjadi dalam lingkungan internal media tersebut.
22
1.5 Kerangka Pemikiran Sebenarnya, keseluruhan pertanyaan penelitian di atas dapat dijawab dengan berbagai kemungkinan pendekatan, di antaranya pendekatan budaya perusahaan (corporate culture) dan antropologi media yang cenderung etnografis. Kedua pendekatan itu sama-sama memusatkan perhatian pada sisi lingkungan internal sebuah organisasi sosial. Meskipun demikian, apabila yang pertama cenderung memahami lingkungan internal itu sebagai separangkat konvensi organisasi yang terbagi secara konsisten, pendekatan yang kedua lebih cenderung memahaminya dalam kerangka norma-norma dan nilai-nilai (Hendrikse, 1993: 20). Memang, pendekatan budaya perusahaan juga akan membahas pula persoalan norma dan nilai. Akan tetapi, sebagaimana yang dikemukakan Hendrikse (1993: 6-7), pusat perhatiannya terutama pada kebiasaan individu dalam mengambil keputusan-keputusan keseharian, terutama dalam menghadapi keadaan yang mendadak atau tak terduga (level individual), proses terjadinya penularan dalam cara pengambilan keputusan dari satu anggota ke anggota organisasi lainnya (level firma), dan kekhasan dari konvensi yang berlaku dalam sebuah perusahaan, yang membuatnya tidak mudah ditiru oleh organisasi perusahaan yang lain (level pasar). Kecenderungan pendekatan yang demikian tidak terlalu sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini. Seperti sudah dikemukakan, penelitian ini dilatarbelakangi oleh persoalan nilai, yaitu independensi media massa sehingga di dalamnya nilai dan norma-norma justru menjadi pusat perhatian.
23
Dengan demikian, penelitian ini akan menggunakan pendekatan antropologi media. Dari bacaan-bacaan yang saya dapatkan, ada beberapa pengertian mengenai antropologi media. Pertama, antropologi media memahami media massa sebagai konstruksi simbolik mengenai realitas seperti halnya mitos dan ritual (Coman dan Rothenbuhler, 2005: 1). Artinya media massa tidak sekedar menyampaikan fakta apa adanya melainkan mempunyai ciri-ciri struktur simbolik yang menyerupai mitos dan ritual walaupun media massa itu merupakan produk dari masyarakat modern dan terkait industri atau manufaktur. Kedua, antropologi media sebagai analisis yang didasarkan pada pengetahuan etnografik, historis, dan yang memperlihatkan kepekaan pada konteks mengenai cara-cara masyarakat menggunakan dan memberi makna pada teknologi-teknologi media (Askew dan Wilk, 2006: 3). Pengertian ketiga tidak secara eksplisit menyebut antropologi media melainkan etnografi berita dan jurnalisme. Meskipun demikian, istilah etnografi di dalam pengertian tersebut merupakan bagian dari apa yang disebutnya sebagai perspektif antropologis mengenai berita. Dikatakan bahwa dibandingkan dengan kajian antropologi mengenai media lain, kajian mengenai berita, kurang mendapat perhatian karena berita dipandang sebagai “refleksi akurat mengenai realitas”, sekedar menyampaikan fakta-fakta bukan makna. Padahal, berita tidak pernah menyampaikan kenyataan apa adanya. Berita adalah sebuah rakitan yang disusun dengan cara tertentu, dengan pilihan kata, struktur kalimat, dan perspektif tertentu mengenai kenyataan dan disebarkan dengan cara yang tertentu pula. Setiap media tidak pernah menyampaikan gambaran mengenai peristiwa dengan cara yang
24
sama persis karena media-media itu melihatnya dalam perspektif yang berbeda dan merakitnya dengan cara yang berbeda pula. Berita pada dasarnya adalah cerita, penceritaan mengenai peristiwa. Di dalam pengertian yang ketiga ini, perspektif antropologis mengenai berita dan jurnalisme didefinisikan sebagai satu cara untuk mengeksplorasi sifat/kodrat berita sebagai satu bentuk pembuatan makna cultural, yaitu kreasinya, isinya, dan diseminasinya (Bird, 2010: 1, 5). Ketiga pengertian tersebut membawa saya pada kesimpulan bahwa antropologi media memahami produksi media sebagai proses praktik-praktik dan ritual pembentukan makna. Praktik-praktik pembentukan makna terlihat dari peristiwa teguran dari redaktur menyangkut penulisan pangkat polisi yang dianggap tidak lengkap seperti yang sudah saya kemukakan. Bagi redaktur, jabatan seorang polisi itu merupakan sesuatu yang berharga dan bernilai untuk dipublikasikan. Adapun contoh dari ritual pembentukan makna adalah kegiatan rutin yang biasa dilakukan oleh seorang reporter dalam proses perolehan maupun pengolahan berita. Seperti yang saya alami dan sudah saya ceritakan di atas, proses perolehan maupun pengolah berita itu terdiri dari kegiatan penugasan, pencarian bahan, perjuangan menemui nara sumber, pengiriman laporan, lalu reaksi redaktur, sampai dengan pengolahan berita di ruang berita. Proses produksi berita dipahami sebagai proses yang berlangsung dari saat terjadinya
peristiwa
sampai
dengan
terbentuknya
menjadi
cerita
yang
terpublikasikan. Menurut Nerone dan Burnhurst (Wahl-Jorgensen, 2010: 23),
25
proses produksi berita berlangsung di tempat tertentu yang disebut sebagai ruang berita atau zona produksi berita. Jejak zona itu akan terlihat di dalam bentuk dan isi berita, juga di dalam kondisi resepsi audiens atas berita itu sebagaimana yang dikemukakan. Seperti yang dideskripsikan lebih lanjut oleh Wahl-Jorgensen (2010: 25-26), etnografi produksi berita memusatkan perhatian pada tempat kerja fisik tertentu yang dianggap sebagai “lokus” dari praktik-praktik dan budayabudaya professional. Melalui kajian mengenai tempat kerja itu, etnografi berusaha menggambarkan hubungan antara kegiatan-kegiatan rutin dengan kreativitas dalam konteks kerja. Etnografi berusaha memahami negosiasi-negosiasi yang terjadi sehari-hari yang menjadi wahana bagi produksi dan reproduksi “makna” di dalam latar tempat kerja sehari-hari. Di tempat kerja itu juga produksi berita terus-menerus dikontrol, peristiwa-peristiwa diubah menjadi peristiwa-peristiwa berita melalui kreasi ritme-ritme kerja, termasuk pembagian kerja yang terstruktur antara reporter dan editor dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, etnografi berita cenderung memahami proses produksi berita sebagai sebuah aktivitas kolektif yang berlangsung di dalam ruang tertentu yang disebut ruang berita. Ruang berita itu adalah sebuah lokasi fisik atau digital yang di dalamnya peristiwa diproses menjadi berita dengan melibatkan pembagian kerja, negosiasi, dan pengawasan terhadap proses produksi yang dilakukan dalam kegiatan keseharian. Sebagai contoh pengawasan dalam proses produksi itu adalah pengalaman saya ketika menulis berita tentang peristiwa pernikahan pasangan lesbian di salah satu biara yang dianggap sebagai tempat suci di Thailand. Ketika itu, redaktur
26
Tempo.co meloloskan berita tersebut. Akan tetapi, tidak lama kemudian, redaktur lain mengkritik berita Tempo.co tersebut. Menurut dia, berita itu dianggap nyinyir dalam pengertian memberitakan hal yang tidak penting. Dalam kasus ini, terlihat bagaimana Tempo melakukan kontrol terhadao produksi berita yang bertentangan dengan
nilai-nilai
Tempo.
Dalam
hal
ini,
Tempo
menerapkan
nilai
keberpihakannya pada kelompok marginal. Devrim Gursel (2010: 35-53) memberikan deskripsi yang rinci mengenai rapat produksi berita yang berlangsung di ruang berita U.S. Newsworld. Topik pembahasannya adalah kemungkinan pemuatan sebuah fotografi berita yang dikirim seorang reporter berita foto dari lapangan. Dari rapat dan perdebatan mengenai foto tersebut terungkap bagaimana ruang berita menjadi tempat redaktur melakukan perencanaan produk yang akan dilemparkan/dipublikasikan sebagai isu harian ataupun mingguan. Setelah perencanaan itu selesai, redaktur memberikan penugasan terhadap para reporter dan koresponden untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, ruang berita juga menjadi tempat melakukan seleksi dan evaluasi terhadap laporan-laporan para reporter dan koresponden untuk menentukan kelayakan sebuah laporan untuk dipublikasi sebagai berita. Berdasarkan kajian terdahulu di dalam proses perencanaan, evaluasi dan seleksi itu terjadi perdebatan yang mungkin nantinya akan mempengaruhi cara sebuah peristiwa dibentuk menjadi wacana dengan berbagai argumentasi antara para redaktur. Di dalam perdebatan dan argumentasi itulah, antara lain dapat ditemukan pola-pola interaksi tertentu, hierarki sosial, dan nilai-nilai yang
27
menentukan hasil akhirnya yaitu berita atau cerita yang dikonstruksi dari peristiwa sebagai bahan mentahnya. Karena di dalam antropologi media diartikan sebagai proses pembentukan makna, proses produksi berita itu tidak akan dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang dianut oleh pekerja media yang terkait. Dalam hal nilai-nilai ini saya mengacu pada pandangan Koentjaraningrat (1981) dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Menurut Koentjaraningrat (1981: 10), kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud kelakuan, dan wujud fisik. Nilai budaya merupakan lapisan pertama dari wujud ideal kebudayaan. Nilai-nilai ini paling abstrak dan luas ruang lingkupnya, terdiri dari ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam masyarakat. Meskipun jumlahnya terbatas dan cenderung kabur bahkan terkadang tidak rasional, nilai-nilai budaya ini dapat disebut sebagai sebuah sistem, yaitu sistem nilai budaya (Koentjaraningrat, 1981: 11). Tingkat kedua dari wujud ideal kebudayaan itu adalah sistem norma (Koentjaraningrat, 1981: 12). Norma-norma ini adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait pada peranan-peranan tertentu dari manusia di dalam masyarakat. Tiap peranan, menurut ahli antropologi Indonesia tersebut, membawa sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya tersebut, misalnya norma-norma tentang guru. Tingkat ketiga dari wujud ideal kebudayaan adalah sistem hukum yang berlaku bagi bermacammacam sektor kehidupan yang sudah jelas batas-batasnya. Adapun tingkat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat
28
jelas dan terbatas ruang lingkupnya, misalnya aturan lalu lintas. Selanjutnya, Koentjaraningrat (1981: 25) mengatakan bahwa tingkat-tingkat wujud ideal yang kedua sampai yang terakhir itu berpedoman pada sistem nilai budaya yang menjadi tingkat pertama yang paling abstrak dan paling luas di atas. Dengan pengertian tersebut dapatlah dikatakan bahwa proses produksi berita merupakan serangkaian kegiatan, perilaku dengan pola tertentu. Berita sendiri dapat diartikan sebagai benda-benda yang merupakan hasil serangkaian kegiatan itu. Nilai-nilai budaya adalah seperangkat gagasan yang menjadi sumber makna dari aktivitas produksi dan hasil produksi di atas. Nilai-nilai itulah yang membuat segala perilaku dan hasilnya di atas menjadi dianggap berharga oleh manusia-manusia yang terlibat di dalam kegiatan itu. Karena merupakan seperangkat gagasan yang hidup dalam pikiran kelompok atau masyarakat, bukan pikiran individual belaka, nilai-nilai itu tidak dapat dilepaskan dari kelompok sosial tempat nilai-nilai itu hidup. Dalam hal kelompok sosial yang menjadi konteks dari proses produksi berita beserta nilainilai budayanya itu, saya menggunakan teori Victor Turner mengenai struktur sosial dan komunitas. Dari hasil penelitiannya mengenai ritus-ritus inisiasi atau transisi seperti yang terdapat dalam bukunya yang berjudul The Ritual Process: Structure and Anti-structure (1977), Turner sampai pada kesimpulan bahwa suatu masyarakat tidak akan pernah ada tanpa struktur dan komunitas. Adapun yang dimaksud dengan struktur sosial adalah masyarakat sebagai sebuah sistem posisi-posisi
29
ekonomik, politik, dan hukum, yang berstruktur, terbeda-bedakan, dan seringkali hierarkis. Yang dimaksud dengan komunitas adalah masyarakat sebagai komunitas individu-individu yang setara, yang tak berstruktur atau berstruktur dalam batas yang sangat dasar, dan relatif tidak dibeda-bedakan, yang hanya patuh pada otoritas umum tetua-tetua ritual (Turner, 1977: 96-97). Dengan pandangan demikian, Turner menganggap masyarakat itu mempunyai dua sifat sekaligus, yaitu sifat struktural dan sifat komunal. Sifat strukturalnya terletak pada adanya pengelompokan sosial yang berdasarkan posisi dan oposisi yang hierarkis, sedangkan sifat komunalnya terletak pada liminalitasnya. Yang dimaksud dengan liminalitas itu sendiri adalah situasi ketika individu ritual, misalnya orang yang diruwat atau disunat ditempatkan dalam posisi-antara,
yaitu
percampuran
antara
kerendahan
dengan
kesucian,
homogenitas dengan pertemanan, dan di dalam dan di luar struktur sosial. Artinya, di dalam situasi liminal yang rendah justru diidentikkan dengan yang suci, yang homogen dengan pertemanan, yang di dalam struktur sekaligus berada di luar struktur sosial (96). Adanya aspek komunal ini menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya mengakui adanya sebuah ikatan sosial yang bersifat general, yang tidak lagi menjadi atau belum terfragmentasikan menjadi aneka-aneka ikatan struktural. Menurut Turner (1977: 96-97) perbedaan antara struktur dengan komunitas tidak serupa dengan perbedaan yang lazim antara sekuler dan suci (sakral), atau, misalnya, antara politik dengan agama. Jabatan-jabatan tetap tertentu dalam masyarakat-masyarakat suku mempunyai atribut-atribut suci, dan
30
mungkin memang setiap jabatan dalam masyarakat apa pun demikian. Tapi, komponen-komponen suci ini yang justru harus ditanggalkan ketika mereka berada dalam situasi ritus-ritus peralihan. Kesucian dalam konteks komunitas bukan sekedar sebuah stempel pengesahan bagi posisi-posisi struktural suatu masyarakat. Hal ini lebih merupakan persoalan pemberian pengakuan kepada suatu ikatan sosial yang lebih esensial dan generik, yang tanpanya tidak akan ada masyarakat. Liminalitas mengimplikasikan bahwa yang tinggi tidak akan menjadi tinggi tanpa kehadiran yang rendah, dan siapa yang tinggi harus mengalami menjadi rendah. Hal itulah, misalnya, yang dialami para pangeran Inggris yang disuruh sekolah keluar negeri lebih dahulu untuk mendapatkan pengalaman menjadi orang yang rendah atau orang biasa (96-97). Selanjutkan dikatakan (Turner, 1977: 97) bahwa struktur sosial dan komunitas itu berhubungan secara dialektik satu sama lain. Bagi individu dan kelompok-kelompok, kehidupan sosial merupakan tipe proses dialektika yang melibatkan pengalaman yang berturut-turut mengenai yang tinggi dan yang rendah, komunitas dan struktur, homogenitas dan diferensiasi, kesetaraan dan ketaksetaraan. Peralihan dari yang rendah ke yang tinggi adalah melalui limbo (orang mati yang tidak masuk sorga ataupun neraka, roh gentayangan) ketakberstatusan. Dalam proses yang demikian, pertentangan-pertentangan saling membentuk dan saling tergantung satu sama lain (misal: pertentangan antara tinggi dengan rendah). Lebih jauh, karena semua masyarakat suku terbangun dari aneka pribadi, kelompok, dan kategori, yang masing-masing mempunyai siklus perkembangannya sendiri, pada satu momen tertentu, orang-orang yang sedang
31
berada dalam posisi tertentu, hadir bersamaan dengan peralihan antara posisiposisi. Dengan kata lain, setiap pengalaman hidup individu mengandung penonjolan alternatif antara struktur dan komunitas, keadaan-keadaan dan transisitransisi. Dalam bukunya yang lain, yaitu yang berjudul Drama, Fields, and Metaphors Symbolic Action in Human Society (1974: 231) Turner mengatakan bahwa aspek komunitas dari masyarakat tersebut tetap hidup dalam masyarakat modern. Fenomena komunitas itu dapat dilihat dalam banyak hal, misalnya, dalam ritus-ritus
peralihan
(tribal)
suku-suku
bangsa,
dalam
gerakan-gerakan
millenarian6, kelompok-kelompok monastery, dalam budaya-budaya tandingan, dan dalam kesempatan-kesempatan informal yang tak terhitung jumlahnya. Selain itu, dikatakan pula bahwa komunitas itu sangat penting bagi agama, kesusastraan, drama, dan seni, dan jejak-jejaknya dapat tersimpan dalam hukum, etika, kekerabatan, dan bahkan ekonomi. Maksudnya, komunitas yang liminal itu tetap ada dalam masyarakat modern. Contohnya, dalam hal agama terlihat pada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti salat jumat, umroh, atau terbentuknya sektesekte keagamaan. Dalam hal kesenian dan kesusastraan terlihat sikap dan gaya hidup yang cenderung anti-struktur, artinya tidak mengikuti aturan-aturan berpakaian ataupun bersikap yang berlaku di dalam masyarakat. Dalam hal hukum, hal itu terlihat dari, antara lain, “hukum buang” seperti yang dialami Soekarno maupun orang-orang PKI. Terkait etika, hal itu terlihat dari pemberian maaf terhadap kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, seperti anak6
Gerakan-gerakan protes sosial yang banyak terjadi di zaman kolonial yang sering disebut dengan gerakan Ratu Adil karena percaya Ratu Adil itu akan mengembalikan pada zaman keemasan.
32
anak, orang asing yang tidak tahu aturan yang berlaku di daerah tertentu. Dalam hal kekerabatan, misalnya dapat ditemukan pada hubungan ibu dan anak yang cenderung bersifat akrab dan tidak hierarkis sedangkan hubungan anak dengan ayah itu mengikuti struktur yang hierarkis. Dalam hal ekonomi, bisa dilihat dalam sektor informal, fenomena rentenir yang lebih mengutamakan hubungan personal antara peminjam dengan yang meminjam.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian etnografi yang bertujuan mendeskripsikan kebudayaan tertentu yang bersumber dari kerja lapangan (Jacobson, 1991:1-2). Penelitian etnografi saya ini tidak hanya melakukan observasi langsung ke lapangan, melainkan melibatkan diri di dalamnya (partisipan observation). Hal ini mengacu pada James P. Spradley (1997: 3) yang mengatakan tujuan utama penelitian etnografi adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang masyarakat yang bersangkutan, yang di dalam istilah Spradley biasanya disebut penduduk asli. Sementara, Paul Atkinson dan Martyn Hammersley, menekankan bahwa observasi partisipan bukanlah sebuah teknik penelitian tertentu, namun sebagai sebuah model penelitian dengan ciri keterlibatan sang peneliti dengan realitas dunia itu sendiri (Denzin dan Lincoln, 2009: 316).
Selain itu, saya juga akan menggunakan teknik wawancara mendalam untuk menemukan makna yang diberikan oleh anggota komunitas yang diteliti mengenai lingkungan fisik dan sosialnya seperti yang ditemukan dalam observasi
33
partisipan (Spreadley, 1997: 76; Emerson, cs., 1995: 140). Wawancara mendalam diperlukan untuk menemukan pemahaman mengenai makna dari gejala-gejala yang didapatkan dari pengamatan di atas, baik yg berhubungan langsung dengan produksi maupun yang tidak langsung. Data-data primer dari penelitian ini adalah segala gejala fisik dan maknawi yang diperoleh melalui observasi terlibat dan wawancara mendalam, sedangkan data sekundernya adalah data yang diperoleh dari kajian-kajian pustaka baik yang berupa buku, esai, dokumen administrasi dan keuangan, ataupun arsip-arsip yang mengandung data kesejarahan mengenai majalah di atas.
Dalam penelitian ini, saya melihat Tempo sebagai komunitas yang tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar, apalagi dalam kasus komunitas media massa yang merupakan gejala masyarakat dan kebudayaan modern di perkotaan. Meskipun demikian, penelitian ini tidak akan mengubah fokusnya menjadi penelitian mengenai kekuatan-kekuatan luar itu. Kekuatankekuatan luar itu hanya dilihat dari dalam lingkungan Tempo sendiri, terutama di dalam proses produksi. Saya menyadari posisi saya sebagai wartawan Tempo dapat membuat saya cenderung lebih berpihak pada Tempo. Untuk mengatasi hal tersebut, saya akan melakukan tiga hal. Pertama, saya akan memanfaatkan keanggotaan itu sebagai jalan untuk melakukan observasi terlibat secara lebih maksimal. Hanya saja, pemanfaatan itu akan saya batasi hanya sampai tahap pengumpulan data. Pada tahap analisis dan interpretasi data, saya akan berusaha mengambil jarak, misalnya dengan menjauhkan diri secara fisik dari lingkungan Tempo. Kedua, dalam penulisan laporan, saya akan menyampaikan refleksi diri
34
sehingga yang membaca laporan penelitian saya itu dapat mengetahui posisi saya. Ketiga, saya akan meminta penilaian, masukan atau kritik dari para ahli, pengamat media, rekan wartawan Tempo, serta para dosen pembimbing.
Dalam pelaksanaannya, saya melakukan dua hal, yaitu pengumpulan data dan analisis data. 1.6.1 Metode Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data, saya menggunakan tiga teknik yaitu observasi (terlibat), teknik wawancara mendalam, dan teknik kepustakaan. Observasi saya lakukan dengan tinggal di lingkungan kantor redaksi Tempo di Jalan Kebayoran Baru A 11-14, Mayestik, Jakarta Selatan, selama kurang lebih tiga bulan, yaitu dari akhir Februari hingga awal Mei 2014. Pada saat itu, saya menerapkan sekaligus tiga teknik di atas, yaitu melakukan observasi terhadap segala selukbeluk yang ada di lingkungan itu. Yang saya amati adalah lingkungan sekitar kantor, bentuk bangunan kantor, tata ruang kantor, fasilitas-fasilitas yang tersedia, kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik formal dan non-formal, dan lain-lain. Untuk kegiatan formal, saya terutama mengikuti rangkaian rapat rutin proses produksi berita yang berlangsung dua kali seminggu, dengan tiga tahap rapat. Ketiga tahap rapat itu adalah rapat perencanaan, rapat checking, dan rapat opini. Selain itu, saya juga mengikuti rapat-rapat yang tidak rutin, misalnya rapat khusus redaktur eksekutif. Di luar itu, saya pun mengikuti kelas-kelas evaluasi baik untuk level reporter maupun kelas evaluasi untuk umum (semua jenjang). Sembari
35
melakukan kegiatan di atas, saya melakukan pemotretan terhadap objek-objek ataupun peristiwa-peristiwa yang ada di lingkungan itu. Sambil melakukan observasi di atas, saya juga melakukan wawancara mendalam dengan staf redaksi dan administrasi. Adapun masalah yang saya tanyakan menyangkut makna dari istilah-istilah, kegiatan-kegiatan, keadaaankeadaan yang saya temukan selama saya melakukan pengamatan, termasuk yang saya temukan di rapat-rapat. Sebagai contoh, makna angle tulisan berita yang selalu muncul dalam rapat-rapat, penyimpangan penggunaan toilet, cara makan sepanjang rapat. Hal itu penting karena menunjukkan gejala anti-struktur dari orang Tempo yaitu tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Untuk memperoleh data-data yang bersifat historis ataupun yang bersifat umum, saya mengumpulkan arsip-arsip, dokumen-dokumen, baik yang tercetak maupun digital. Yang tercetak, antara lain, statistik demografi karyawan PT. Tempo Inti Media, dfar konsep Tim Budaya Tempo, laporan tahunan. Sedangkan dokumen digital, antara lain arsip ruang berita (newsroom), profil perusahaan Tempo, artikel-artikel yang relevan.
1.6.2 Analisis Data Analisis data saya lakukan berdasarkan pada tahap-tahap berikut, yaitu transkripsi semua bahan yang bersifat lisan, baik dari rapat-rapat maupun wawancara-wawancara. Pada tahap kedua saya melakukan klasifikasi data berdasarkan konsep-konsep teori yang saya gunakan. Misalnya, data-data aktivitas 36
produksi, data-data tentang nilai, data-data konteks sosial. Data-data konteks sosial dibedakan menjadi data tentang struktur sosial dan komunitas. Pada tahap ketiga saya mencari hubungan antara kelompok data yang satu dengan kelompok data yang lain. Misalnya, hubungan antara struktur dengan komunitas, hubungan antara nilai dengan aktivitas produksi. Hubungan-hubungan itu saya tentukan berdasarkan interpretasi pribadi saya yang saya konfirmasikan kepada anggotaanggota komunitas Tempo melalui wawancara.
37