BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang
luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan komoditas perikanan penting di Indonesia. Potensi ekspor produk olahan rumput laut ini dapat didukung dengan teknologi pascapanen yang tepat untuk menghasilkan produk rumput laut yang memenuhi standar mutu komersil. Sampai saat ini sebagian besar rumput laut umumnya diekspor dalam bentuk bahan mentah berupa rumput laut kering, sedangkan hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, karaginan, dan alginat masih diimpor dalam jumlah yang cukup besar dengan harga yang tinggi. Hasil pengolahan pascapanen rumput laut dari Indonesia kebanyakan belum sesuai dengan permintaan pasar karena mutu yang masih dinilai rendah. Dari segi perkembangan jumlah industri rumput laut Indonesia cukup meningkat. Hingga tahun 2012 terdapat sekitar 20-23 industri pengolahan rumput laut di Indonesia, tetapi produknya lebih banyak masih terbatas pada produk dasar (base line) bukan merupakan end product yang langsung dapat digunakan industri. Jenis rumput laut yang dibudidayakan secara luas di Indonesia terdiri dari jenis Eucheuma cottoni dan Gracilaria, dengan perbandingan hasil panen diperkirakan 70:30. Indonesia mengekspor 80% Eucheuma cottoni yang dihasilkan, sementara itu 80% Glacilaria yang dihasilkan dikonsumsi di dalam negeri (Rachbini et al., 2011 dalam Nurdin, 2012). 1
2
Pada penelitian ini bahan baku yang digunakan berasal dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Rumput laut Eucheuma cottoni dalam bentuk rumput laut yang sudah dikeringkan ditingkat petani. Rumput laut merupakan salah satu produk unggulan Provinsi Sulawesi Tenggara. Sentra-sentra penghasil rumput laut di Sulawesi terdapat di kota Bau-Bau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Konawe (Anonim, 2010 dalam Nurdin, 2012). Berdasar Majalah Warta Ekspor (2013), disebutkan sentra penghasil rumput laut di Indonesia serta penghasil rumput laut di Sulawesi terutama untuk jenis rumput laut E. cottonii dan Gracilaria. Berikut sajian dalam Tabel 1.1 dan Tabel 1.2. Tabel 1.1 Sentra Penghasil Rumput Laut di Indonesia Tahun 2010 Jenis Rumput Laut E. cottonii Gracilaria
Pulau Penghasil Rumput Laut di Indonesia (dalam Ton) Sumatra
Jawa
Bali-Nusa Tenggara
3784 362392 460
44136
Kalimantan Sulawesi
MalukuPapua
723414
40296
1639220
60386
88104
4908
108778
7232
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementrian Kelautan dan Perikanan RI dalam Warta Ekspor, 2013. Tabel 1.2 Penyebaran Sentra Rumput Laut di Sulawesi Tahun 2010 Jenis
Penghasil Rumput Laut di Pulau Sulawesi (dalam Ton)
Rumput
Sulawesi
Laut
Utara
Gorontalo
Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi Tengah
Barat
Selatan
Tenggara
E. cottonii
893
56730
823854
18737
668693
70313
Gracilaria
109
6909
9473
2282
81441
8564
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementrian Kelautan dan Perikanan RI dalam Warta Ekspor, 2013.
3
Menurut Harvey (2009) dalam Wiratmaja (2011), secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,60%), serta serat kasar (3,0%), dan abu (22,25%) dan menurut Suriawiria (2003), uji proksimat yang dilakukan pada limbah rumput laut kering didapatkan presentase masing-masing komponen kadar air adalah 11,28%, kadar abu 36,05%, kadar lemak 0,42%, kadar protein 1,86%, kadar serat kasar 8,96% dan karbohidrat 41,43%. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam golongan ganggang merah (Rhodophyceae) penghasil karaginan. Karaginan merupakan hidrokoloid yang penting karena memiliki aplikasi yang sangat luas dalam industri pangan dan nonpangan. Jenis rumput laut ini dikembangkan karena memiliki prospek yang bagus disamping keuntungan yang baik serta berbagai manfaatnya. Produksi rumput laut Indonesia yang mencapai 4.305.027 ton (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2011) menunjukkan potensi yang baik untuk pengembangan dan pemanfaatan rumput laut. Jung et al. (2012) telah membuktikan bahwa adanya potensial makroalga sebagai bahan baku untuk biorefinery dengan memperkenalkan klasifikasi taksonomi, habitat lingkungan, dan kapasitas karbon cadangan. Dipandang secara global menunjukkan bahwa alga dapat dibudidayakan secara massal dengan teknologi pertanian yang tersedia saat ini. Disimpulkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk pemanfaatan makroalga sebagai biomassa baru yang menjanjikan serta dapat memberikan kontribusi bagi keberhasilan makroalga berbasis biorefinery.
4
Krisis energi merupakan topik yang banyak menyita perhatian banyak kalangan pada saat ini. Krisis energi adalah kondisi dimana terjadi kekurangan (atau peningkatan harga) dalam persediaan sumber daya energi ke ekonomi. Krisis ini biasanya meliputi kekurangan pada minyak bumi, listrik, atau sumber daya alam lainnya.
Dari berbagai macam sumber energi tersebut, minyak bumi
merupakan sumber energi yang paling banyak dikonsumsi untuk saat ini. Minyak bumi merupakan sumber energi yang sangat penting bagi kelangsungan peradaban umat manusia. Pada kenyataannya ketersediaan minyak bumi sebagai sumber energi adalah terbatas dan tidak bisa diperbaharui. Jika digunakan secara terus menerus maka dikhawatirkan ketersediaan minyak bumi akan habis. Di Indonesia, diperkirakan cadangan minyak bumi yang tersisa pada sumur-sumur minyak bumi hanya untuk untuk sekitar 15 tahun mendatang (Kementrian ESDM, 2011). Pengembangan bioetanol dari rumput laut akan mendukung kebijakan Pemerintah dalam penyediaan energi terbarukan terutama Bahan Bakar Nabati (BBN). Seusai dengan kebijakan Pemerintah Indonesia, target penggunaan gasohol (campuran premium dan etanol) pada tahun 2011-1015 sebesar 3% dari konsumsi bensin dan 5% pada periode tahun 2016-2025. Untuk mencapai target tersebut maka harus digunakan bahan baku dari gula, pati dan selulosa (Ditjen Minyak dan Gas Bumi Kementrian ESDM 2010). Beberapa jenis rumput laut seperti E. cottoni merupakan salah satu sumber penghasil dari ketiga bahan baku tersebut. Bahan bakar alternatif yang menggunakan potensi sumber daya lokal
5
maka harganya lebih murah dan terjangkau serta dapat meningkatkan perekonomian lokal. Saputra et al. (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Makroalga S. duplicatum (alga coklat) digunakan sebagai bahan baku produksi bioetanol dengan proses hidrolisis asam dan fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan kondisi terbaik hidrolisis dikonsentrasi H2SO4 0,4 M selama 120 menit dengan kadar glukosa 28,051 mg/ml. Selama proses fermentasi, kadar bioetanol maksimum dicapai pada waktu inkubasi 72 jam yaitu 0,0451%. Sementara itu, Sari et al. (2013) telah melakukan penelitian membuat bioetanol dari selulosa alga merah Gracillaria verrucosa dan Eucheuma cottonii serta mengetahui nilai konversi selulosa dari alga merah sebagai bahan untuk produksi bioetanol melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan dengan menggunakan bakteri Clostridium acetobutylicum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum fermentasi diperoleh pada pH 6,0 dengan waktu fermentasi 10 hari. Nilai konversi selulosa alga merah adalah setiap 1 kilogram selulosa Gracillaria verrucosa menghasilkan 21,56% bioetanol dengan kemurnian 17,04% dan satu kilogram Eucheuma cottonii menghasilkan 18,40% bioetanol dengan kemurnian 8,42%. Penelitian pembuatan bioetanol dari alga merah juga dilakukan oleh Khamdiyah (2010), bertujuan untuk mengetahui lama fermentasi alga merah jenis Eucheuma spinosum yang terbaik untuk menghasilkan kadar etanol yang tinggi dengan sakarifikasi dan tanpa sakarifikasi. Hasil penelitian menunjukkan pada proses fermentasi melalui tahap sakarifikasi diperoleh kadar etanol terbanyak 14%
6
(alkoholmeter) dan 15,25% (GC) dengan lama fermentasi 3 hari. Pada tahap fermentasi tanpa sakarifikasi diperoleh kadar etanol terbanyak 6,99% dengan lama fermentasi 2 hari. Penelitian Ashriyani (2009), pembuatan bioetanol dari substrat makroalga genus Eucheuma dan Gracilaria. Dipilih makroalga genus Eucheuma dan Gracilaria karena memiliki kandungan selulosa serta mudah dan cepat pembudidayaannya.
Eucheuma
dan
Gracilaria
dihidrolisis
oleh
jamur
Trichoderma viride yang menghasilkan enzim selulase. Gula pereduksi paling tinggi yang dihasilkan dari hidrolisis Eucheuma adalah 0,090 mg/ml pada konsentrasi 7,5% dan waktu inkubasi 48 jam, sedangkan pada Gracilaria gula pereduksi yang dihasilkan sebesar 0,089 mg/ml pada konsentrasi 5% dan waktu inkubasi yang sama. Hidrolisat Eucheuma dan Gracilaria difermentasi oleh sel Saccharomyces cerevisiae yang terimobilisasi dalam Ca alginat. Kondisi optimum proses fermentasi diperoleh pada pH 4 dan waktu inkubasi 24 jam yang menghasilkan kadar etanol sebesar 0,698% dari hidrolisat Eucheuma dan 0,530% dari Gracilaria. Pemanfaatan alga masih perlu dikembangkan lagi agar memberikan nilai tambah, baik secara ekonomi maupun lingkungan. Seiring dengan perkembangan teknologi, alga telah ditingkatkan pemanfaatannya sehingga akan memberikan nilai yang lebih tinggi. Salah satu pemanfaatannya adalah sebagai bahan baku pembuatan etanol. Dari paparan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat bahwa rumput laut khususnya dari jenis Eucheuma cottonii dapat diolah menjadi bioetanol dengan metode fermentasi, dengan memanfaatkan kandungan selulosa.
7
1.2
Rumusan Masalah Alternatif bahan yang dapat dijadikan penyedia gula adalah selulosa.
Selulosa merupakan polimer dari glukosa. Pemotongan rantai polimer dapat dilakukan secara hidrolisis menggunakan enzim. Hidrolisis serat secara enzimatis akan mendegradasi selulosa menjadi gula. Ekstraksi makroalga (rumput laut) Eucheuma cottoni berpotensi untuk menghasilkan produk substrat fermentasi bioetanol. Salah satu rekayasa proses yang dapat dilakukan yaitu adanya penambahan enzim selulase. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana proses hidrolisis enzimatis dengan memvariasikan konsentrasi enzim, dan suhu dengan parameter kadar gula reduksi yang dihasilkan untuk proses fermentasi bioetanol. Penelitian ini merupakan studi pemanfaatan ekstraksi makroalga Eucheuma cottoni yang dihidrolisis menggunakan enzim selulase untuk menjadi substrat selama proses pembuatan pretreatment sebelum fermentasi bioetanol. Dengan adanya perlakuan pretreatment ini diharapkan dapat memudahkan pemecahan selulosa menjadi glukosa. Sehingga dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Apabila dengan beberapa perlakuan penambahan enzim selulase dalam hasil ekstraksi dapat meningkatkan glukosa maka berpeluang besar untuk pemanfaatan selanjutnya yaitu sebagai bioetanol (biofuel). Setelah adanya proses pretreatment ini dilanjutkan dengan proses fermentasi dengan bantuan Saccharomycess cereviceae.
Saccharomycess cereviceae salah satu jenis
mikroorganisme yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol yang sangat tinggi. Konsentrasi gula yang umumnya dibuat dalam pembuatan etanol sekitar
8
14-20%. Konsentrasi tersebut merupakan keadaan dimana Saccharomycess cereviceae dapat tumbuh saat proses fermentasi.
1.3
Batasan Masalah Batasan-batasan permasalahan perlu diberikan untuk menghindari
kemungkinan penyimpangan pemecahan masalah dari tujuan yang akan dicapai. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bahan baku yang digunakan makroalga kering Eucheuma cottoni dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. 2. Penelitian ini menggunakan metode hidrolisis enzimatis. Faktor yang diamati pengaruhnya terhadap hasil proses hidrolisis meliputi konsentrasi enzim, suhu, dan waktu. 3. Produk akhir berupa substrat untuk fermentasi bioetanol. 4. Pengujian produk akhir berupa uji gula reduksi hasil hidrolisis enzimatis menggunakan metode Nelson-Somogyi. 5. Persamaan reaksi dan kimia tidak dijabarkan dalam penelitian ini. 6. Analisis data berupa uji beda nyata dengan bantuan software SPSS dengan uji t-tes dan analisis kelayakan finansial.
1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah,
penelitian ini dilakukan dengan tujuan penelitian:
9
1. Menghasilkan substrat fermentasi bioetanol dengan indikator kadar gula reduksi dari rumput laut Eucheuma cottonii melalui proses hidrolisis enzimatis. 2. Mengetahui kondisi yang terbaik dalam proses hidrolisis enzimatis pada kombinasi konsentrasi enzim dan suhu untuk menghasilkan gula reduksi. 3. Memperoleh kelayakan penelitian secara finansial untuk produksi substrat fermentasi bioetanol.
1.5
Manfaat Penelitian 1. Menemukan kondisi terbaik dalam produksi substrat Eucheuma cottoni dengan hidrolisis enzimatis yang mudah didapat dan berpotensi dalam proses fermentasi bioetanol sebagai upaya pengembangan rumput laut sebagai bahan baku bioetanol. 2. Sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam memilih metode hidrolisis yang sesuai untuk proses pretreatment sebelum memasuki proses fermentasi pembuatan bioetanol, khususnya dengan bahan baku rumput laut Eucheuma cottoni. 3. Memberikan informasi kelayakan finansial dalam memproduksi substrat fermentasi bioetanol (gula reduksi) dari rumput laut Eucheuma cottonii.