12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Lembaga perbankan sebagai “agent of development” memiliki peranan yang sangat penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Peran strategis bank dalam pembangunan ekonomi masyarakat, meliputi peran sebagai media untuk dapat memobilisasi dana masyarakat dalam rangka akselerasi pembangunan, berperan sebagai dinamisator penggerak kegiatan sektor riil untuk semakin terpacu dan Perbankan sekaligus juga berperan untuk memenuhi kemudahan kebutuhan masyarakat dalam berbagai transaksi dan jasa lalu lintas keuangan. Peranan tersebut nampak jelas apabila dilihat dalam ketentuan UndangUndang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan), dimana dinyatakan bahwa ”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.1 Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa fungsi bank adalah untuk menarik dana dari anggota masyarakat dalam bentuk simpanan (tabungan, deposito dan giro), dan menyalurkan dana kepada anggota masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk kredit/pembiayaan.
1
Lihat Pasal 1 Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
1
Universitas Sumatera Utara
13
Begitu strategisnya peranan perbankan, sehingga industri ini sangat banyak diatur oleh berbagai ketentuan, baik dari tingkat Perundangan, Peraturan Pemerintah maupun lembaga keuangan yang terkait, dalam rangka melakukan pengaturan, pengamanan dan kesinambungan usaha Bank, sekaligus dalam rangka perlindungan kepentingan masyarakat pada umumnya. Dari ketiga tugas utama bank sebagaimana diuraikan di atas, seluruhnya memiliki peranan yang sangat penting dan terkait satu dengan lainnya, pengelolaan yang profesional diperlukan guna menghindarkan terjadinya berbagai macam resiko, terutama resiko di bidang perkreditan. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih khusus mengingat sebagai kegiatan yang paling besar mengandung resiko dan bahkan dapat mengancam kelangsungan usaha Bank, penyaluran dana yang salah dapat menimbulkan piutang tidak tertagih atau kredit macet, yang dampaknya terkait langsung
pada keamanan
dana masyarakat, berpengaruh pula pada instabilitas
ekonomi nasional. Penyaluran kredit yang salah kaprah, sehingga menimbulkan kredit menjadi macet ini, kejadiannya bisa disebabkan oleh berbagai faktor, dapat terjadi karena dipengaruhi oleh keadaan yang bersifat makro ekonomi, seperti terjadinya Krisis Moneter pada tahun 1998 atau bersifat force majeur terjadi karena faktor bencana alam seperti Gunung Merapi debitor Meletus di Yogyakarta, atau dapat saja terjadi karena adanya itikad buruk dari. Namun secara umum, kredit macet atau piutang bermasalah lebih banyak disebabkan oleh Mangement kredit yang tidak kompeten dan tidak kredibel, managemen yang tidak mentaati tata kelola perkreditan dengan
Universitas Sumatera Utara
14
baik, kredit disalurkan dengan tidak tepat sasaran, mengabaikan prasyarat standar yang harus dilakukan dan menyimpang dari ketentuan yang telah ada, baik dari sistem operation prosedur internal, maupun dari ketentuan otoritas moneter. Semestinya Perbankan dalam menjalankan fungsinya di sektor penyaluran dana atau kredit
kepada calon debitor (nasabah) haruslah melaksanakan prinsip
prinsip dasar Perkreditan atau azas prudentialitas, antara lain memiliki keyakinan bahwa debitor memiliki kesanggupan untuk melunasi hutangnya, serta memegang teguh prinsip kehati-hatian, seperti yang tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Perbankan yang menyatakan sebagai berikut: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”2 Demikian juga
dalam upaya menghindarkan kegagalan dalam mengelola
dana yang dititipkan masyarakat, Bank harus mampu mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif, tidak hanya menseleksi calon debitor yang baik tapi juga memperhatikan struktur kredit dengan baik untuk melakukan penyebaran resiko. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana tersebut maka bank wajib menerapkan prinsip kehatihatian, antara lain dengan melakukan penyebaran dan diversifikasi portofolio penyediaan dana terutama melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak
2
Lihat Pasal 1 Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Universitas Sumatera Utara
15
terkait maupun kepada pihak bukan terkait sebesar persentase tertentu dari modal bank atau yang dikenal dengan “Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)”. 3 Kredit atau pembiayaan yang disalurkan oleh bank kepada pihak penerima kredit (debitor) yang dibuat dalam suatu bentuk perjanjian, menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak, bank sebagai pemberi atau penyalur kredit/pembiayaaan berkewajibabn untuk menyediakan uang, dan pihak debitor juga berkewajiban untuk mengembalikan kreditnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama. Berdasarkan pengertian dan prinsip prinsip dasar penyaluran kredit di atas, maka bank dalam managemen kreditnya harus memahami unsur unsur dalam kredit, sebagai bagian yang penting dalam melakukan tatakelolanya, unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kepercayaan, yaitu suatu keyakinan pemberian kredit bahwa prestasi (uang, jasa dan barang) yang diberikanannya akan benar-benar diterimanya kembali dimasa tertentu yang akan datang. 2. Waktu, bahwa antara pemberian prestasi dan pengambilannya dibatasi oleh suatu masa waktu tertentu. Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian tentang uang bahwa uang sekarang lebih bernilai dari uang di masa yang akan datang. 3. Degree of risk, yaitu pemberian kredit menimbulkan tingkat risiko, di masa-masa tenggang adalah masa abstrak. Risiko timbul bagi pemberian karena uang/barang yang berupa prestasi telah lepas kepada orang lain. 4. Prestasi yang diberikan, adalah suatu prestasi yang dapat berupa barang, jasa dan uang. Dalam pekembangan perkreditan ini, maka yang dimaksud dengan pemberian kredit adalah uang.4
3
Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. 4 Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar Dan Teknik Managmen Kredit, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
16
Satu hal lagi terpenting, yang harus menjadi perhatian bank dalam menentukan prasyarat pada saat penyaluran kredit, Bank harus meminta adanya jaminan atau agunan (colalteral) yang gunanya adalah untuk melindungi kelancaran kredit yang diberikan, karena jaminan sangat menentukan bagi kedudukan Bank pada saat piutang bank bermasalah. Menurut Thomas Suyatno, kegunaan jaminan adalah untuk : 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang tersebut, apabila nasabah cidera janji yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaanya, dapat dicegah atau sekurangkurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian deperkecil terjadinya. 3. Memberi dorongan kepada debitor (tertagih) untuk memenuhin perjanjian kredit. Khusus mengenai pembayarankembali sesuai dengan syarat syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank. 5
Dengan perkataan lain, untuk mengurangi resiko terjadinya kredit macet maka jaminan dari debitor untuk melunasi hutangnya merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh bank. Dengan demikian untuk memperoleh keyakinan sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitor. Agunan merupakan salah satu unsur jaminan kredit, bersama-sama dengan unsur-unsur lain, bank dapat lebih meyakini atas kemampuan debitor untuk
5
Ibid, hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
17
mengembalikan utangnya. Agunan tersebut dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Dalam praktek, bank di dalam memberikan kredit selalu meminta barang jaminan, apakah barang bergerak ataupun barang tidak bergerak. Hal ini sangat tergantung dari nilai kredit yang diminta, dan biasanya bank hanya memberikan kredit sebesar 60 % sampai 70 % dari nilai jaminan yang diberikan. 6 Berdasarkan pemahaman prinsip prinsip dasar kredit, dan
unsur unsur
tatakelolanya, maka dalam prakteknya secara prosedur, pada saat bank akan memberikan kredit bank wajib menganalisa dan memiliki keyakinan atas potensi debitor yang dikenal dengan Five C’s of Credit, yakni : 1. Watak (Character), merupakan faktor yang berhubungan dengan kemampuan debitor untuk membayar kembali utang-utangnya. 2. Kemampuan (Capacity), pemohon kredit mempunyai kecakapan dalam mengendalikan perusahaan. 3. Modal (Capital), permohonan kredit memiliki modal sendiri, sedangkan kredit bank berfungsi sebagai modal tambahan. 4. Kondisi ekonomi (Condition of Economic), dimana pihak bank perlu mengamati keadaan ekonomi dan keadaan pasar pada saat pengajuan kredit, apakah memungkinkan pemberian pinjaman. 5. Jaminan (Collateral) Permohonan kredit harus mempunyai kekayaan yang dapat diikat dengan jaminan.7 Apabila semua hal tersebut telah dilakukan dengan baik oleh bank, maka langkah berikutnya bank harus mampu menciptakan perjanjian kredit yang baik dan 6
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2000, hal 51-52. Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal. 83-84. 7
Universitas Sumatera Utara
18
benar, agar tidak timbul kesan bahwa perjanjian kredit antara bank dengan nasabah disebut sebagai perjanjian baku secara sepihak, dimana “pihak debitor selalu dirugikan dari segi hak dan kewajiban sedangkan pihak bank selalu mendominasi hak dan kewajibannya”.8 Bagaimanapun kesalahan dalam membuat perjanjian ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban dalam perjanjian kredit yang dibuat tersebut, sehingga kesalahan perjanjian juga dapat menjadi salah satu timbulnya kredit macet. “Kredit macet tidak hanya merupakan kesalahan dari debitor saja tetapi bisa juga disebabkan karena kesalahan dalam merumuskan substansi perjanjian kredit tersebut”.9 Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa dalam pengembangan usaha dan pemenuhan kebutuhan hidup, masyarakat atau calon debitor dapat memperoleh pinjaman dana melalui lembaga perbankan. Pemberian pinjaman oleh bank sebagai kreditor kepada nasabah sebagai debitor didasarkan pada asumsi bahwa kreditor percaya debitor dapat mengembalikan utang tepat pada waktunya. Namun demikian, pelunasan utang oleh debitor kepada kreditor tidak selalu dapat berjalan dengan lancar adakalanya debitor tidak membayar utangnya kepada kreditor walaupun telah
8
S.Mantayborbir, Sistem Hukum pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal 23 9 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
19
jatuh tempo, inilah yang menjadi piutang bermasalah atau kredit macet yang harus ditangani bank dengan sebaik baiknya. Piutang bermasalah atau kredit macet, dapat terjadi dengan berbagai alasan debitor, yang paling penting bagi bank adalah bagaimana piutang tersebut dapat tertagih dengan baik. Bank senantiasa mengupayakan penanganan piutang bermasalah atau kredit macet ini secara sitematis, karena dampak dari permasalahan ini di samping dapat mempengaruhi financial aspek, juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan Bank, berupa penilaian negatif dari Bank Indonesia selaku Bank sentral, bahkan penatalaksanaan yang buruk terhadap kredit macet ini dapat berakibat buruk terhadap kelangsungan usaha Bank. Dari fakta yang terjadi di lapangan untuk menghindarkan terjadinya piutang bermasalah ini selalu diantisipasi dengan berbagai langkah kehati hatian yang bersifat preventif maupun refresif. Langkah antisipatif yang dilakukan oleh Perbankan sudah imulai dilakukan sejak proses, penentuan persyaratan kredit, analisa kegiatan usaha secara kualitatif maupun kuantitatif, dan penentuan persyaratan jaminan, sampai bentuk pengikatan kredit yang sempurna, tetapi keadaan ini bukan merupakan jaminan bahwa fasilitas kredit yang diberikan kepada debitor pasti aman. Penanganan piutang bermasalah yang dilakukan oleh bank tergantung pada posisi dan kedudukan bank, apabila mekanisme perkreditan sudah dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
20
dengan benar sejak proses awal sampai dilakukannya
perjanjian kredit yang
dilakukan dengan sempurna, tidak terdapat rekayasa, tidak ada kolusi pejabat bank dengan debitor. Dalam keadaan seperti ini maka proses penyelesaian piutang dapat dilaksanakan oleh bank dengan baik, penyelesaian dapat dilakukan melalui penagihan biasa, proses eksekusi jaminan maupun melalui cara litigasi, meskipun proses yang terakhir ini selalu dihindarkan bank mengingat secara praktis penyelesaian melalui lembaga Pengadilan yang ada, di samping mahal juga memakan waktu yang lama. Pada keadaan lain, meskipun bank telah melaksanakan proses kredit dengan baik dan benar, untuk penyaluran kredit/pembiayaan dengan skala besar (korporasi) kedudukan bank seringkali lemah, terutama terkait dengan penguasaan jaminan. Dalam skala pembiayaan besar seperti ini pada umumnya bank hanya menguasai jaminan fisik yang marketable tidak lebih dari 50 % sementara jaminan lainnya hanya berupa cessie, stock barang atau sumber pembayaran atas kelayakan proyek dari bouwheer, yang pada saat bermasalah jaminan non fisik seperti ini menjadi tidak bernilai, dalam keadaan seperti ini kedudukan bank menjadi sangat lemah dan untuk posisi piutang seperti ini secara prosedur tidak mudah untuk dilakukan melalui proses litigasi biasa. Melihat kondisi ini, terhadap permasalahan dengan posisi bank yang lemah akibat nilai jaminan yang tidak memadai ini Lembaga Kepailitan menjadi suatu pilihan yang strategis bagi perlindungan kepentingan bank sebagai kreditor. Lembaga
Universitas Sumatera Utara
21
kepailitan dapat menjadi sarana penagihan utang yang efektif karena secara prosedur lembaga kepailitan ini memiliki time frame yang lebih efisien. Adanya alternatif pilihan dalam menyelesaikan permasalahan piutang bank ini sebenarnya merupakan signal positif bagi bank atau kreditur, tetapi kenyataannya masih belum menjadi pilihan sebagai solusi atas permasalahan piutang bank. Ketidakpahaman secara umum terhadap lembaga kepailitan ini, tidak hanya karena dianggap lembaga ini masih sama dengan prosedur hukum lainnya yang lama dan mahal. Di samping itu, kasus-kasus yang diselesaikan melalui Lembaga Kepailitan sebelum berlakunya undang-undang yang baru, nampaknya dalam pemahaman umum masih menjadi kekhawatiran tersendiri, contoh kasus dari Penerapan Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening, Stb 1905 Nomor 217, pada perkara pailit PT. Arafat yang putusannya baru jatuh setelah lebih kurang 5 (lima) bulan dan pemberesan mencapai waktu 12 (dua belas) tahun setelah 4 (empat) kali ganti hakim pengawas, masih menghantui masyarakat dan
dianggap dalam kasus
setiap
penyelesaian hukum di Lembaga Kepailitan ini juga sama selalu memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal.10 Saat ini ketentuan tentang Lembaga Kepailitan telah mengalami beberapa kali penyempurnaan, terakhir
10
pasca
krisis moneter tahun
1998
peraturan
ini
Fuady Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya, Bandung, 2005, hal 1.
Universitas Sumatera Utara
22
disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian pada tanggal 9 September 1998 ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengaturan mengenai ketentuan Lembaga Kepailitan yang sekarang berlaku landasan hukumnya adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disingkat “UU Kepailitan dan PKPU”) merupakan lex specialis (ketentuan yang bersifat spesifik dalam hal kepailitan). Adapun dasar hukum penggunaan lembaga kepailitan oleh bank didasarkan pada
ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut “KUHPerdata”), bahwa “debitor yang tidak mampu melunasi utangnya, maka harta kekayaan debitor yang bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan atas utangnya”. Dengan kata lain Pasal 1131 KUH Perdata tersebut tidak hanya menentukan bahwa harta kekayaan seseorang debitor demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban yang berupa membayar utangnya kepada kreditor
yang mengutanginya, tetapi juga menjadi
agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang maupun karena perjanjian selain perjanjian kredit atau perjanjian pinjam-meminjam uang.
Universitas Sumatera Utara
23
Sedangkan ketentuan lainnya yang dapat dijadikan dasar hukum oleh bank adalah Ketentuan dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang
mengisyaratkan bahwa
“setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya”. Kedua pasal yang tersebut di atas merupakan jaminan bagi kreditor untuk mendapatkan pelunasan bagi semua piutangnya. Berdasarkan seluruh uraian di atas jelas bahwa penggunaan lembaga kepailitan oleh lembaga perbankan (kreditor) memiliki dasar hukum yang memadai, dan penggunaan lembaga kepailitan ini pada kasus kasus piutang tertentu dan dalam keduidukan bank cukup lemah dapat menjadi sarana yang baik sekaligus perbankan dapat lebih terdorong
dalam meningkatkan peranannya terhadap Pembangunan
Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai pemanfaatan peranan lembaga Kepailitan terhadap piutang bank. Penelaahan ini untuk selanjutnya akan dilakukan melalui suatu penelitian mana dengan judul “TINJAUAN HUKUM ATAS PENGGUNAAN LEMBAGA KEPAILITAN SEBAGAI SARANA PENYELESAIAN PIUTANG BANK”.
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan yang diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian, yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
24
1. Bagaimanakah penyelesaian piutang bank melalui lembaga hukum kepailitan ? 2. Mengapa Bank belum optimal menggunakan lembaga kepailitan sebagai sarana penyelesaian piutang bank ? 3. Bagaimana upaya Bank agar dapat menggunakan lembaga kepailitan sebagai alternatif penyelesaian piutang bank ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui landasan hukum , serta langkah yang harus dilakukan bank pada saat memilih tindakan hukum melalui lembaga kepailitan, dalam rangka menyelesaikan kredit macetnya.
2.
Untuk mengetahui, klasifikasi
piutang Bank yang mana, dan dalam
kedudukan bank seperti apa Lembaga Kepailitan dapat digunakan menjadi sarana yang efektif .dalam rangka menyelesaikan kredit macet. 3.
Untuk mengetahui faktor kendala yang dihadapi bank dalam pemanfaatan lembaga kepailitan ini, sehingga belum digunakan secara optimal.
D. Manfaat Penelitian Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Secara Teoritis
Universitas Sumatera Utara
25
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, khususnya dalam keterkaitan di bidang hukum antara lembaga perbankan dan lembaga kepailitan, terutama mengenai masalah penggunaan lembaga kepailitan sebagai alternatif penyelesaian piutang bank atau kredit macet. 2. Secara Praktis Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak
perbankan, khususnya yang terkait dengan penyelesaian piutang bank, agar lembaga ini lebih mengetahui dan memahami tentang dasar hukum, prosedur, manfaat serta efektifitas yang diperoleh pihak bank dalam penggunaan lembaga kepailitan. Kepada masyarakat khususnya pihak debitor, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi suatu pemahaman tentang bagaimana
kedudukannya sebagai debitor apabila
bermasalah, dan apabila posisinya di pailitkan atau mempailitkan diri pengaruhnya terhadap Kreditor/Bank. Pemahaman tentang keterkaitan dua lembaga ini dalam masalah utang piutang, bagi kreditor maupun debitor akan menghindarkan langkah langkah, yang tidak semestinya diluar hukum.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Universitas Sumatera Utara
26
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, memang sejauh ini diketahui dan
ditemukan beberap penelitian yang berhubungan dengan lembaga
kepailitan, namun secara substansi memiliki ruang lingkup penelitian yang berbeda, antara lain : 1. Tesis Magister Kenotariatan dengan Judul “Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Hukum Acara Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Di Pengadilan
Niaga
Medan
(Studi
Terhadap
Putusan
No.01/Pailit/2003/Pn.Niaga/Mdn)”, oleh Syaiful Khoiri Harahap. 2. Tesis Magister Kenotariatan dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Kepailitan Perusahaan” oleh Hortina Bayanihan. 3. Tesis Magister Ilmu Hukum dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan (Studi pada Bank-Bank Swasta di Kota Medan)”, oleh Iliana. Berdasarkan dari apa yang dilihat dan dipelajari dari topik dan judul hasil penelitian di atas, memang penulisan tersebut membahas masalah kepailitan, akan tetapi permasalahan yang dibahas secara substansi sangat berbeda. Oleh karena itu, penelitian tentang TINJAUAN HUKUM ATAS PENGGUNAAN LEMBAGA KEPAILITAN SEBAGAI SARANA PENYELESAIAN
PIUTANG BANK,
secara khusus belum pernah dilakukan oleh pihak manapun juga. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademik penelitian ini dapat
Universitas Sumatera Utara
27
dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Manusia sebagai subjek hukum dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melakukan berbagai kegiatan dalam berbagai bidang usaha yang akhirnya menggerakkan roda perekonomian. Kegiatan yang dilakukan subjek hukum tersebut baik antara individu, kelompok masyarakat, pelaku usaha dan berbagai instansi pemerintah atau lembaga swasta, dalam menjalankan suatu kegiatan perekonomian sehari-harinya akan melakukan interaksi antara satu sama lain. Oleh karena itu, diperlukan adanya hukum untuk menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Dengan demikian, di dalam bagi masyarakat atau pergaulan hidup manusia dalam segala bentuknya, maka pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan. 11 Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsurunsur berikut antara lain metodologi, aktivitas penelitian, imajinasi sosial dan juga sangat ditentukan oleh teori.12 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan
11 12
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Binacipta, Jakarta, 1983, hal.42 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
28
mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,13 dan suatu teori harus diuji dengan
menghadapkan
pada
fakta-fakta
yang
dapat
menunjukkan
ketidakbenarannya.14 Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoristis.15 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.16 Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. 17 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtgerechtigheid),
kemanfaatan
(rechtsutiliteit)
dan
kepastian
hukum
(rechtszekerheid)18. Selanjutnya merujuk pada pendapat Radbruch, yang menyatakan
13
J.J.J M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting: M.Hisyam), FE UI, Jakarta1996, hal 203 14 Ibid. hal 16 15 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 16 Bandingkan Snelbecker dalam Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35. 17 Ibid. 18 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
29
bahwa “tujuan hukum itu harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai yaitu keadilan, kepastian dan kemanfataan.” Ketiga hal tersebut dikenal sebagai “tiga ide dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa: “every function of law, general or specific, is allocative”.19 Selanjutnya dalam hal mewujudkan keadilan, W. Friedman mengatakan bahwa ”suatu Undang-Undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut”.20 Oleh karena itu, yang terkait dalam pemberian kredit yang menjadi obyek bahasan dalam tesis ini diperlukan suatu lembaga jaminan yang berfungsi sebagai alat atau jalan untuk menjamin dan memberikan rasa keadilan kepada para kreditor yang memberikan kredit apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya. Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan penyelesaian piutang bank oleh semua pihak 19 Peter Mahmud Marzuki, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, Dimuat dalam Jurnal Hukum Ekonomi, (Edisi IX, Agustus, 1997), hal 28. 20 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum,diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
30
yang terlibat di dalamnya. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pihak bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitor tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak termasuk dalam hal ini perjanjian kredit. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisebel terhadap tindakan sewenang-wenang, masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum.21 Teori kepastian hukum yang dikemukakan Aristoteles
bahwa
‘hukum
harus
membuat
Allgemeine
Rechtslehre
(Peraturan/ketentuan umum),’ Dimana peraturan/ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum. “Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam mayarakat.”22 Kepastian hukum tersebut juga sangat dibutuhkan termasuk dalam hal ini dalam penyelesaian piutang bank atau kredit macet melalui lembaga kepailitan. Perjanjian kredit dapat dilakukan baik di lingkungan bank maupun non bank, di mana pada prinsipnya perjanjian kredit adalah hubungan hukum antara pihak pemberi kredit (bank) dengan pihak penerima kredit (debitor) yang diatur dalam suatu dokumen tertentu.23 21
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta 2003,
hal. 160. 22
Hortina Bayanihan, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Kepailitan Perusahaan, Mkn, USU, Medan 2010. 23 S.Mantayborbir, Op.Cit., hal 20.
Universitas Sumatera Utara
31
Dalam pemberiaan kredit yang dilakukan oleh bank selaku kreditur, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badzulzaman bahwa ada 12 asas-asas hukum perdata yang menyangkut perjanjian kredit bank yaitu “asas kebebasan membuat perjanjian, asas Konsensualisme, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, asas perlindungan bagi golongan lemah dan asas sistem terbuka”24. Sedangkan menurut Tan Kammelo terdapat 3 asas yang merupakan tonggak hukum
perjanjian
dalam
sistem
hukum
perbankan
yang
meliputi
asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat.25 Selain asas-asas hukum di atas, hal yang sangat penting dalam suatu perjanjian adalah persoalan kontrak standard dari perjanjian kredit tersebut. Dalam Undang-Undang Perbankan tidak disebutkan secara jelas dan tegas bahwa dalam bentuk apa perjanjian kredit harus dibuat. R.Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal
24
Mariam Darus Badrulzaman, dikutip dalam S.Mantaybordir, Ibid hal 22 Tan Kammelo, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hal 10 25
Universitas Sumatera Utara
32
atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.26 Secara yuridis ada 2 jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam memberikan kreditnya yaitu27: 1. Perjanjian kredit dibawah tangan atau akta dibawah tangan yaitu perjanjian kredit yang hanya dibuat di antara para pihak yaitu pihak bank dengan debitor tanpa notaris. Tetapi dalam penandatangannya harus hadir saksi karena saksi merupakan salah satu alat bukti pembuatan perkara perdata; 2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau dengan kata lain akta autentik yaitu perjanjian kredit yang dibuat oleh bank dengan debitor dihadapan notaris. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata jelas menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat. Kemudian untuk sah pembuatan perjanjian tersebut maka harus berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.28 Dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya suatu persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal
26
R.Wirjyono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1989, hal8 S.Mantayborbir, Op.Cit, hal 176 28 Dahlan dan Sanusi Bintang, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 17 27
Universitas Sumatera Utara
33
Menurut Wiryono Projodikoro istilah Perjanjian memiliki arti sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.29 Selanjutnya mengenai apa yang dimaksud dengan kredit, menurut Vitzhal Rivai dikatakan bahwa istilah kredit berasal dari bahasa Romawi “credere” yang berarti “percaya” dan kepercayaan ini adalah merupakan dasar dari setiap perjanjian.30 Sementara itu Edy Putra The’aman mengartikan bahwa Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang dengan suatu kontra prestasi berupa uang.31 Menurut Thomas Suyatno, dkk bahwa: “ Seseorang atau sesuatu badan yang memberikan suatu kredit (kreditor) percaya bahwa penerima kredit (debitor) dimasa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan, dan apa-apa yang diperjanjikan itu dapat berupa barang, uang atau juga dapat berupa jasa”.32 Unsur-unsur seperti tersebut diatas tertuju pada ruang lingkup kredit dalam kerangka yang lebih sempit tetapi unsur tersebut merupakan unsur yang asasi. Sedangkan apabila kredit dalam sektor perbankan yang lebih luas lagi terutama dari pelaksanaan perkreditan itu sendiri, maka unsur-unsurnya paling tidak didalamnya 29
Wiryono Projo dikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal 4 Vitzhal Rivai, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Pranada Media, jakarta, 2004, hal 20 31 Edy Putra The’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal 2 32 Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hal 12-13 30
Universitas Sumatera Utara
34
juga meliputi: Organisasi dan menejemen perkreditan; Dokumen dan administrasi kredit; Perjanjian Kredit; Agunan; Penyelesaian kredit macet dan unsur-unsur lainya. Penyelesaian kredit macet atau dapat juga dikatakan piutang bank dalam penulisan ini dapat digunakan lembaga kepailitan sebagai media penyelesaiannya. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dinyatakan bahwa “kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan Pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Kemudian Pasal 1 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU dinyatakan Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan, sedangkan dalam ayat (3) dinyatakan Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan. Jadi dapat dikatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas seluruh kekayaan milik debitor guna untuk pembayaran atas seluruh utang-utangnya kepada kreditor, yang dilaksanakan setelah adanya putusan dari pengadilan yang menyatakan bahwa debitor dalam keadaan pailit. Dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata telah dijelaskan bahwa seluruh harta debitor menjadi jaminan atas pembayaran seluruh utang-utangnya kepada kreditor dan dibagi secara proporsional. Pada kedua Pasal tersebut terdapat hubungan dengan utang piutang yaitu adanya tanggung jawab debitor terhadap utangutangnya kepada para kreditor yaitu:
Universitas Sumatera Utara
35
a. Jaminan berlaku terhadap semua kreditor b. Apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka kebendaan tersebut akan dijual c. Hasil penjualan akan dibagikan kepada kreditor berdasarkan besar kecilnya piutang (asas keseimbangan) d. Terdapat Kreditor yang didahulukan dalam memperoleh bagiannya (Kreditor Preferent dan Kreditor Separatis).33 Debitor berkewajiban untuk membayar hutangnya kepada kreditor, yang dalam istilah asing disebut dengan Schuld, dan debitor juga mempunyai kewajiban lain yaitu Haftung yaitu bahwa debitor itu berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh Kreditor sebanyak hutang debitor, guna pelunasan hutang tadi, apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut.34 Menurut Setiawan walaupun kepailitan berawal dari Pasal 1131 KUH Perdata, tidaklah berarti bahwa ketentuan hukum kepailitan memiliki sifat sebagai hukum privat. Sebab ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, sekalipun harus diakui merupakan ketentuan hukum perdata sesuai doktrin karena merupakan bagian dari buku kedua KUHPerdata merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (baca; publik) dan tidak dapat disampingi, sekalipun atas kesepakatan para pihak.35
33
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaann Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2006, hal 75 34 Mariam Darus Badrulzaman. Kitab Undang-Undang hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal 9 35 Bahan Kuliah Kepailitan, dikutip dari setiawan, Kepailitan Konsep-Konsep Dasar serta Pengertiannya, Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga Mahkamah Agung RI. Jakarta, hal 59 dikutip dari Varia Peradilan, IKAHI-MARI, Jakarta No. 156 September 1998
Universitas Sumatera Utara
36
Selanjutnya kata “pailit” berasal dari bahasa Prancis “Failure” yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failet”. Sedang dalam hukum Angola America, Undang-Undangnya dikenal dengan Bankruptcy Act.36 Pada dasarnya peraturan kepailitan terdapat pada Buku III Wetboek van koophandel (WvK) yang berlaku hanya untuk pedagang, sedang bagi yang bukan pedagang diatur dalam Wetboek Van Burgerlijke Rechtsvordering (BRV). Mengenai hukum kepailitan di Indonesia tidak identik dengan Bankrupt, suatu pengertian pailit dari Black’s Law Dictionary yang dihubungkan dengan ketidakmampuan membayar hutang dari debitor.37 Dalam Pasal 1 angka (6) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Timbulnya utang karena pihak debitor tidak melaksanakan kewajibannya yang
timbul
dari
perikatan.
Dalam
Pasal
1233
KUHPerdata
dijelaskan
bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undangundang. menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang 36
Hj. Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2002, hal.3 37 Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU Press, Medan , 2009, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
37
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.38 Dalam perikatan, kewajiban (pemenuhan prestasi) yang harus dijalankan menurut hukum oleh si debitor “utang” nya sementara di sisi kreditor, pemenuhan prestasi tersebut diterima sebagai suatu penerima yang terjadi menurut hukum dan merupakan “tagihan” nya yang dapat dimintakan ganti rugi bila tidak dipenuhi oleh si debitor.39 2. Konsepsi Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.40 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubuis) dari suatu istilah yang dipakai.41 Oleh karenanya untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini maka harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara
operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang
telah ditentukan.
38
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta 1987, hal 1 . Ibid . 40 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993. hal. 10. 41 Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal. 35. 39
Universitas Sumatera Utara
38
Berdasarkan judul dari penelitian tesis ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut. 1. Tinjauan Hukum adalah suatu tinjauan yang dilakukan terhadap suatu permasalahan dalam praktek didasari pada ketentuan normatif, dalam hal ini adalah tinjauan terhadap Lembaga kepailitan dalam kaitannya dengan masalah penyelesaian piutang bank. 2. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan Pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.42 3. Lembaga Kepailitan adalah lembaga yang digunakan untuk suatu proses penyelesaian piutang kreditur, dimana lembaga hukum yang digunakannya adalah Pengadilan Niaga, dalam pelaksanaan penyelesaian hutangnya kepada kreditur, harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan ketentuan hukum terkait yang berlaku. 4. Piutang Bank adalah tagihan kreditur kepada debitor, berupa kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian dan yang wajib
42
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang
Universitas Sumatera Utara
39
untuk dipenuhi oleh debitor, dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. 5. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian yang dibuat sebelumnya dengan debitor yang dapat diatgih dimuka Pengadilan43 6. Debitor adalah orang/subyek hukum
yang mempunyai utang karena
perjanjian yang dapat ditagih dimuka Pengadilan44 7. Penyelesaian Piutang Bank adalah upaya yang dilakukan oleh bank sebagai kreditur, guna menyelesaikan piutang atau tunggakan kredit debitur kepada bank.
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan yang dihadapi.45 Robert Bogdan dan Steven J, Taylor, mengatakan bahwa metodologi adalah “...the proces, principles, and procedures by which we approach provblems and seek answers. In the social sciences the terms applies to how one conducts research”.46 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
43
Lihat Pasal 1 (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang 44 Lihat Pasal 1 (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang 45 Soeryono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 6. 46 Ibid., hal 46
Universitas Sumatera Utara
40
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.47 Sifat dan jenis penelitian tesis ini dirancang dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analitis. Dalam penelitian ini prosedur atau pemecahan masalah penelitian dilakukan dengan cara memaparkan obyek yang diselidiki sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta actual, langkah yang dilakukan tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan data tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data tersebut. Mengingat bahwa
penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian
dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada normanorma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, maka penelitian ini menekankan pada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa peraturan perundangundangan maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang akan menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai penggunaan lembaga kepailitan dalam penyelesaian piutang bank. 47
Ibid., hal 46
Universitas Sumatera Utara
41
2. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini diperoleh
dengan
mengkaji dan
menganalisa literatur atau data-data hasil laporan penelitian, dokumen serta peraturan perundangan yang berkaitan dengan permasalahan. Adapun bahan hukum yang dipergunakan adalah : a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum mengikat yang digunakan adalah : 1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 3) Peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari : 1) Literatur tentang Hukum Perbankan, Kredit Macet dan Kepailitan 2) Makalah, majalah, surat kabar yang berkaitan dengan kredit perbankan dan kepailitan. 3) Hasil karya ilmiah para sarjana
Universitas Sumatera Utara
42
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang yang memberi petujuk dan penjelasan terhadap bahan sekunder, berupa kamus umum, kamus hukum, dan jurnal.48 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dari peraturan perundang-undangan maupun karya ilmiah, disamping itu untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, juga digunakan pendapat atau pemikiran konseptual yang berhubungan kepailitan dan penyelesaian piutang bank. Di samping itu, guna memperoleh data data penunjang dalam penelitian ini dilakukan juga penelitian lapangan (field research) dan guna akurasi terhadap hasil penelitian langkah yang dilakukan lainnya adalah melalui
wawancara dengan
informan sebagai narasumber. 4. Alat Pengumpulan Data Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian adalah : a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan pedoman dalam mewawancarai narasumber. 48
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2003, hal.14
Universitas Sumatera Utara
43
5. Analisis Data Dalam penelitian ini semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu
diolah dan
dianalisaa dan dikaitkan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat hubungan satu sama lainnya. Selanjutnya bahan bahan tersebut dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan kerangka berpikir secara deduktif dan induktif untuk menjawab permasalahan. Langkah berikutnya Data tersebut kemudian dianalisis secara interpretatif menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan bersama hasil wawancara dengan para narasumber kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalah yang ada. Analisis dilakukan atas suatu yang telah ada, berdasarkan data yang telah masuk dan diolah sedemikian rupa dengan meneliti kembali, sehingga analisis dapat diuji kebenarannya. Analisis data ini dilakukan peneliti secara cermat dengan berpedoman pada tipe dan tujuan dari penelitian yang dilakukan.49
Universitas Sumatera Utara