BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lelaki dan perempuan dari semua kebudayaan di Indonesia, memiliki hubungan erat terhadap pengolahan makanan dan akses terhadap pengendalian produksi. Tugas yang terbentuk sedemikian rupa, membentuk image tentang siapa yang mempunyai akses terhadap sumber daya penting : makanan. Lingkup makanan terhadap perempuan sering kita ketahui berkaitan erat terhadap pengolahan makanan dalam rumah tangga, salah satunya tentang memasak di dapur. Mendengar istilah budaya jawa tentang
masak-
“wong wadon
pangone ya nang pawon”, peran perempuan tidak jauh dari pengetahuan mereka atas pengolahan dan persiapan makanan, termasuk urusan dapur dalam rumah tangga. Pandangan tersebut, telah mengakar dalam budaya kita terutama membangun asumsi bahwa urusan pengolahan makanan merupakan tugas dari seorang perempuan. Selain menyoroti tentang pengolahan makanan, pemahaman tentang tugastugas perempuan disekitar makanan dan rumah tangga sangat penting, untuk mengetahui gagasan yang mendasari hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam usaha pengolahan makanan, terutama pengalokasian tanggung jawab terkait urusan
rumah
tangga.
Hubungan
kekuasaan
disekitar
makanan
dapat
mencerminkan kekuatan dari jenis kelamin secara umum. Sedangkan status ekonomi pria ditunjukkan oleh kontrol mereka terhadap pembelian makanan (Charles dan Kerr, 1988), wanita memegang kekuasaan yang cukup besar dalam
setiap budaya dengan kendali mereka atas perencanaan makan dan memasak.1 Gambaran seperti ini, terkait dengan pembagian kerja disekitar rumah tangga yang Memungkinkan, faktor apa saja yang menunjukan peran srtategis laki-laki dan perempuan. Bukan hanya berada pada lingkup yang sering mengkaitkan makanan pada sektor domestik, pengolahan makanan telah merambah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Menelisik sejarah tentang peran strategis perempuan terhadap industri skala kecil/rumah tangga. Menggambarkan situasi tahun 1932-1933, merupakan bukti tentang keterlibatan perempuan dalam ekonomi desa dan rumah tangga, khususnya perempuan, saat itu telah terlibat dalam penjualan makanan jadi (de Vries, 1985: 76).2 Keterlibatan tersebut memungkinkan kemampuan perempuan memiliki jangkauan atas produksi penyediaan dan pengadaan makanan. Sebuah peluang yang memperlihatkan peran perempuan telah memiliki akses dan kontrol sumber daya penting: makanan. Walaupun disatu sisi ada gagasan yang dapat menyudutkan posisi perempuan, terutama berkaitan tentang akses sumber daya dalam industri kecil pengolahan makanan. Mereka dapat dikatakan memegang peran penting dalam mengandalkan pasokan bahan baku (tanaman, rempahrempah, daging, dll), terlebih lagi memiliki tanggung jawab dalam mengumpulkan dan mengolah bahan dari instrument disekitar mereka, menjadi suatu komponen produksi makanan. Tidak heran jika kita berbicara tentang proses pengolahan
1
Counihan M, Carole dan Kaplan, Steven L.1998 Food and Gender. Identity and Power. The Gordon and Breach Publishing Group. Amsterdam. 2
Laporan Ochse dan Terra dikutip dari, Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press. Hal 165
makanan, menujukan siapa yang berperan penting dalam tugas mengelola dan mempersiapkan makanan menjadi produk komoditi. Van Velzen (1990, dikutip dari Mulyanto, ed., 2006: 92)3, ketika menulis “ Who’s The Boss ?: Marginalisation anda power in food- processing household enterprises, West Java, Indonesia”, melihat proses industri pengolahan makanan sebagai berikut : Secara tradisional, usaha pengolahan makanan merupakan pekerjaan perempuan, tetapi terjadi perubahan gagasan yang membuat laki-laki juga bisa mengerjakan dan menguasai usaha pengolahan makanan. Perluasaan skala usaha, inovasi teknologi, perdagangan jarak jauh, dan meningkatnya pendapatan, merupakan faktor yang membantu mengubah gagasan bahwa laki-laki juga cocok untuk usaha pengolahan makanan. Selain itu, pewarisan usaha biasanya jatuh ketangan anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Berbagai pelatihan yang dilakukan pemerintah juga selalu mengundang laki-laki sebagai peserta. Kesemuanya berkaitan dengan ideologi gender. Inilah yang oleh penulis dianggap sebagai peminggiran ideologi (ideological marginalisation). Proses inilah yang sejatinya sedang terjadi di dunia industri kecil pengolahan makanan. Velzen memberikan fakta menarik tentang sebuah konsep hubungan antara laki-laki dan perempuan terhadap industri kecil pengolahan makanan. Terutama, kedudukan perempuan dalam kendali produksi pengolahan makanan, dapat menentukan peran strategis dalam pembagian kerja dalam industri pengolahan
Van Velzen, A. 1990. “Who’s The Boss?” : Marginalization and power in foodprocessing household enterpriser, West Java, Indonesia. Naskah tesisdoktoral pada universitas van Amsterdam. Xiii, 212 hlm. Dikutip dari : Mulyanto, Dede (Ed), 2006, Usaha Kecil dan Menengah dan Persoalannya di Indonesia, Seri Bibliografi Bercatatan, Yayasan AKATIGA, Bandung. Hal. 92 3
makanan. Dari laporan penelitian Velzen, dapat menjadi salah satu pembanding data, konsep, dan sumber ilham teoritis terhadap kajian penelitian ini. Walaupun, dalam kajian ini penulis tidak menampik bahwa lingkungan penelitian mempengaruhi perbandingan data. Sebab, penelitian diatas dilakukan diwilayah tentunya, dengan karakter kultur berbeda dengan kultur wilayah yang dikaji. Menengok dari lingkup industri rumah tangga, sering kita dengar bahwa industri rumah tangga merupakan kegiatan yang berkembang pesat di masyarakat pedesaan. Kondisi wilayah didominasi oleh kegiatan pertanian dan nonpertanian, dapat berupa industri dan perdagangan skala mikro, atau sering juga disebut sebagai usaha rumah tangga. Dalam kegiatan-kegiatan ekonomi di pedesaan, perempuan memegang peran yang sama pentingnya dengan laki-laki, walaupun angka-angka statistik dan juga budaya setempat seringkali tidak memperhitungkan peran-peran perempuan tersebut sebagai kerja produktif. Hal ini terjadi karena peran yang dipegang perempuan dalam pengaturan sumber daya ekonomi kebanyakan merupakan perpanjangan tangan kerja domestik yang dianggap sebagai kerja non-produktif.4 Beberapa kondisi memperlihatkan bahwa industri rumah tangga memiliki peran penting dalam menentukan suatu posisi sosial di dalam masyarakat pedesaan, sekaligus dapat mencerminkan kondisi rumah tangga pedesaan yang sarat akan ikatan lokalnya. Dalam pembahasan tentang kegiatan industri rumah tangga makanan tradisonal gatot dan tiwul, memiliki lingkup yang menarik terhadap hubungan
4
Dewayanti, Ratih. (2003)Strategi Adaptasi Perempuan: Persoalan Ekonomi Dan Upaya Pengorganisasian. Jurnal AKATIGA. Volume 8, 79.
“kepentingan” disekitar industri rumah tangga pangan. Kelompok perajin gatot tiwul yang rata-rata merupakan industri rumah tangga, sangat mengantungkan hasil dari makanan tradisonal ini sebagai penompang kebutuhan ekonomi. Walaupun gatot dan tiwul selama ini selalu diidentikkan dengan Gunung Kidul dan dikenal sebagai sentral gaplek, akan tetapi sebagian masyarakat juga mengonsumsi panganan tersebut. Namun, Bantul sebagai daerah yang berdekatan dengan Gunung Kidul juga memiliki tradisi tiwul. Di Wonolopo ada sekitar 30 perajin gatot-tiwul. Mereka memasok makanan tradisional tersebut ke pasar-pasar tradisional, baik di wilayah Bantul maupun daerah sekitar di DI Yogyakarta.5 Seperti halnya pengolahan dan penyediaan bahan baku gatot tiwul, dalam pendistribusian makanan tradisional ini memiliki daya tarik tersendiri bagi penulis. Supaya tidak saling berkompetisi di satu pasar, para perajin memiliki pola pemasaran yang berbeda. Perajin yang usianya sudah lanjut akan mengambil jatah pasar-pasar di sekitar Bantul. Alasannya sederhana, selain karena faktor fisik, mereka juga tidak bisa mengendarai motor. Akan halnya perajin yang masih muda, mereka dapat jatah pasar-pasar yang lokasinya jauh, seperti di Prambanan dan Kulon Progo.6 Cara kerja tersebut, telah menjajaki peran perempuan di sekitar industri pengolahan makanan dengan ciri khas dan cara kerja masing-masing unit usaha. Perempuan disamping memiliki kedudukan sebagai ibu rumah tangga, keterlibatan mereka dalam sektor tersebut dapat dianggap sesuai dengan kemampuan fisik alamiah perempuan (natural look).
5
http://regional.kompas.com/read/2009/08/19/09424632/gatottiwul.penopang.ekonomi.ut ama.warga.wonolopo 6 Ibid
Ada juga persoalan kunci yang menjadi perhatian penulis terhadap reproduksi pekerjaan pada industri pengolahan makanan. Gerke berpendapat bahwa perempuan lebih mudah beradaptasi pada perubahan-perubahan lapangan kerja, karena “perempuan sudah biasa melakukan berbagai kegiatan di sektor perdagangan skala kecil dan dalam produksi pangan untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar”.7 Hal ini juga dilandasi pada peran mereka, bahwa industri rumah tangga dalam pengolahan makanan tidak lepas dari pembagian kepentingan disekitar aktivitas ekonomi terhadap rumah tangga dan publik. Perempuan memiliki aturan moral tersendiri yang menjadi cirri-ciri suatu unit rumah tangga dan kepentingan pribadi dalam landasan kegiatan ekonomi mereka. Terutama, alasan-alasan rasional pekerja dalam mengolah sumber potensial di masyarakat. Namun, penulis tidak menampik bahwa ada keterkaitan terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Pekerjaan di sektor industri rumah tangga pangan, dapat memperlihatkan peran-peran anggota keluarga terhadap aktivitas-aktivitas berkenaan dengan kelangsungan rumah tangganya, terutama peran suami―istri dalam unit usaha industri rumah tangga. Dewasa ini, pandangan prespektif gender dapat memberi pengaruh terhadap pembagian kerja terhadap industri pengolahan makanan, membidik kemampuan wanita pedesaan jawa terhadap akses dan kontrol terhadap sumber daya
penting:
makanan.
Kemampuan
laki-laki
dan
perempuan
untuk
memproduksi, memaparkan hubungan sosial disekitar makanan dalam ukuran kunci kekuasaan mereka. Kemampuan ini bervariasi sesuai dengan budaya 7
Newberry, Jan. 2013. Back door Java: Negara, rumah tangga, dan kampong di keluarga Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia & KITLV-Jakarta. Hal. 144
mereka, kelas mereka, dan organisasi keluarga mereka, dan struktur ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Perempuan menentukan kemampuanya atas pengetahuan terhadap makanan, walaupun dapat dikatakan mereka tidak berada pada kawasan reproduktif. Hal ini, dapat mendasari keterkaitan dimensi diferensiasi sosial terhadap pengalaman hidup sehari-hari antara perempuan dan laki-laki, terutama terhadap proses produksi dan distribusi dalam pengolahan makanan telah digunakan untuk menyoroti cara kerja dan sistem ekonomi mereka. Studi ini, ingin melihat kondisi perempuan yang bekerja dalam industri rumah tangga pedesaan di Jawa, memperlihatkan posisi berbeda dalam aktivitas ekonomi dalam rumah tangga dan lingkunganya. Industri pengolahan makanan dapat dikatakan merupakan salah satu kegiatan pokok bagi masyarakat pedesaan, terutama bagi warga dengan taraf ekonomi rendah. Menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis, untuk melihat pengolahan makanan dalam sektor industri rumah tangga yang didominasi oleh kaum perempuan, sejalan dengan pola lokal yang mereka miliki, disamping terhadap
tugas-tugas rumah tangga yang harus
dipikulnya. Dengan berbagai kepuasan atas peran yang tepisah, peneliti berharap tidak mengabaikan fakta dan puas terhadap ideologi yang sedang berkembang di masyarakat. Terlebih lagi, dengan pesatnya determinasi pembangunan, dapat memunculkan upaya-upaya yang “bias” terhadap perempuan dan laki-laki didalam arena industri rumah tangga pangan.
1.2 Rumusan Masalah Secara tradisional usaha pengolahan makanan identik dengan perkerjaan perempuan, walaupun laki-laki juga dapat mengerjakan dan menguasai usaha pengolahan makanan. Akan tetapi, perempuan memiliki kedudukan tersendiri, berhubungan dengan relasi laki-laki dan perempuan dalam usaha pengolahan makanan tradisonal. Keterlibatan perempuan dalam pengolahan makanan tidak lepas dari kondisi rumah tangga, pengambilan keputusam, alokasi waktu, aktivitas ekonomi, dan identitas reproduktif. Unit usaha dalam industri rumah tangga, dapat mempelopori pembagian kerja; tugas-tugas yang sarat akan peran gender dalam ruman tangga pedesaan. Latar sosial-budaya inilah yang menjadi ketertarikan peneliti, berikut dengan rumusan masalah yang ingin diketahui : 1. Siapa yang lebih dominan dalam pengambil keputusan terhadap kegiatan produksi dan rumah tangga? 2. Bagaimana proses pengambilan keputusan kegiatan usaha produksi dan rumah tangga ? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini, berawal dari daya tarik intelektual dan sudut pandang peneliti laki-laki terhadap peran gender dalam industri rumah tangga pengolahan makanan. Terutama terhadap, pekerjaan yang dilakukan perempuan; tugas- tugas dalam keluarga, mencari nafkah, konsumsi keluarga. Terlebih lagi, melihat kedudukan perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga terhadap suatu bentuk unit keluarga.
Secara umum penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber rujukan alternatif terkait analisis gender industri rumah tangga pengolahan makanan, disamping penelitian tentang gender terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan disekitar industri rumah tangga terasa sangat kaku dan berskala makro. Disisi lain, penulis beraharap penelitian ini dapat mendorong kita dalam mempertimbangkan cara-cara baru berfikir tentang hal yang tampaknya biasa, terhadap tindakan sehari-hari berkaitan tentang rumah tangga . Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk; a. Mengetahui analisis gender terhadap cermin hubungan laki-laki atau perempuan pekerja sebagai unit keluarga dalam pengambilan keputusan terhadap rumah tangga, terutama nilai untuk waktu dan pekerjaan. b. Menyoroti cara kerja rumah tangga sebagai pranta ekonomi terkecil, sistem ekonomi padat modal yang sangat dirasionalisasi. c. Mengugah analisis kearah hubungan lelaki dan perempuan yang berbeda tapi sama nilainya (equal). 1.4 Kerangka Pemikiran Merujuk dari penelitian ini, penulis mencoba menganalisis pembagian kerja dalam rumah tangga yang syarat dengan peran gender. Mengingat latar belakang sosial budaya di masyarakat diwarnai oleh pengalaman yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam realitas kehidupan pekerjaan. Selain itu, masih ada kesenjangan cukup signifikan dalam pengetahuan kita tentang praktek-praktek sosial dalam industri pengolahan makanan berkenaan dengan kaum pekerja perempuan. Bebeberapa spekulasi bermunculan bahwa kerja
yang dilakukan perempuan kadang-kadang dilukiskan sebagai ”Tidak tampak” karena kerja itu tidak terekam secara statistik. Kerja perempuan lebih dipandang sebagai menghidupi ketimbang mendapatkan penghasilan.8Maka dari itu, wawasan sosiologi memberikan alternatif dalam mengkaji setiap proses yang terbentuk dalam peran dan kedudukan pekerja perempuan dalam industri rumah tangga pengolahan makanan. Penulis tidak menampik bahwa berbicara tentang kedudukan pekerja perempuan tidak lepas dari prespektif gender dan menjadi salah satu kerangka dalam menganalisis berakaitan dengan penelititan ini. Berbicara tentang gender pekerja perempuan, tidak lepas dari perbedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dimasyarakat, khususunya perempuan pekerja dalam industri rumah tangga pangan pedesaan. Keterlibatan perempuan dalam sektor tersebut dapat memeperlihatkan bahwa perempuan mulai melihat peluang kerja yang cocok bagi mereka. Beberapa pandangan melihat bahwa hal ini berkaitan tentang kemampuan fisik alamiah, memungkinkan perempuan pedesaan memilih industri rumah tangga sebagai alternatif untuk mendapatkan pekerjaan. Adapun dalam aktivitas dikalangan keluarga miskin, wanita biasanya berperan ganda, tidak hanya sebagai penggurus rumah tangga, tetapi juga sebagai pencari nafkah pokok atau tambahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Bagi Perempuan miskin di pedesaan bekerja di luar kegiatan rumah tangga tidak hanya sekedar untuk menambah penghasilan suami, melainkan sebagai salah satu strategi hidup demi kelangsungan hidup anggota
8
Mosse, Julia Cleves. 2002. Gender dan Pembangunan. Jogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Hal 58-59
rumah tangganya.9 Hal ini juga menjadi dasar bagi peneliti untuk melihat pandangan yang mendasari beberapa analisis tentang pembagian kerja dalam rumah tangga, pengambilan keputusan dan tuntutan dalam alokasi waktu bekerja. Pembagian kerja dalam rumah tangga, dari sudut pandang Teori neo-klasik dari pernyataan Anker dan Hein menerangkan tentang pembagian kerja seksual dengan menekankan mempengaruhi
perbedaan seksual dalam berbagai variabel yang
produktivitas
pekerja.
Perbedaan-perbedaan
itu
meliputi
pendidikan, keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta kekuatan fisik. Semua ini didasari asumsi bahwa di dalam persaingan antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal produk yang dihasilkannya. Asumsi lain bahwa keluarga mengalokasikan sumberdaya mereka secara rasional. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya, perempuan memperoleh pendapatan dari produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki karena mereka memiliki human capital yang lebih rendah.10Maka dari itu, munculnya keterkaitan definisi tersebut sebagai bentuk pembagian kerja secara seksual yang melekat pada perempuan pedesaan, terutama berkerja di sektor industri rumah tangga. Hal ini juga didorong oleh pihak dan kenyataan bahwa pekerja industri rumah tangga merupakan pekerjaan yang tidak dituntut untuk memiliki keterampialam (keahlian), tuntutan jam kerja, dsb. Bagi penulis hal tersebut mejadi suatu analisis untuk memahami perbedaan peran/kedudukan 9
Sulastri, sri.1991. Pekerja Wanita Dalam Industri Rumah Tangga Sandang di Jawa Barat. Yogyakarta:pusat penelitian kependudukan UGM. Hal. 03 10 Susilastuti DH, Hudayana,B., dan Hrdyastuti, 1994. Feminisasi Pasar Tenaga Kerja. Yogyakarta. PPK-UGM
perempuan dan laki-laki dalam mengalokasi waktu mereka, perihal pengambilan keputusan dalam rumah tangga di masyarakat pedesaan. Pembagian Kerja Secara Seksual Dalam Industri Rumah Tangga Pedesaan Menengok kembali dari paparan beberapa penjelasan tentang pembagian kerja secara seksual. Dalam setiap perubahan yang terjadi terhadap kondisi feminim dan maskulin, selalu menaati logika model pembagian kerja secara tradisional. Laki-laki terus mendominasi ruang publik dan lapangan kekuasaan (terutama kekuasaan ekonomi, atas produksi). Sementara perempuan tetap ditempatkan terutama di ruang pribadi (rumah tangga, tempat reproduksi).11 Hal ini yang mungkin menjadi dasar struktur-struktur itu diobjektifikasikan dalam setiap dimensi pekerjaan yang lebih kurang sangat diseksualkan. Ketika berbicara dalam pekerjaan di pedesaan, penulis tidak menampik kenyataan bahwa tidak jarang struktur-struktur pembagian kerja secara seksual masih melekat pada masyarakat pedesaan. Walaupun dalam kenyataanya bisa saja tatanan-tatanan sosial tersebut telah bergeser dan memiliki orientasi yang tidak sama lagi. Melihat dari realitas masyarakat pedesaan penulis ingin mengupas dikotomi status didalam rumah tangga yang memiliki hirarki terhadap hubungan laki-laki dan perempuan (suami-istri). Dalam kaitan pembagian kerja secara seksual didalam rumah tangga pastinya ada pengambilan keputusan dalam memperoleh hasil bersama dalam aktivitas ekonomi keluarga. Whitehead ( 1985 :42) membedakan dua bentuk pembagian kerja menurut jenis kelamin: proses
11
Bourdieu Pierre. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta : Jalasutra. Hal. 131-132
kerja yang berurutan dan dikerjakan bergantian antara suami dan isteri, yang membutuhkan masukan-masukan dari suami dan istri pada waktu tertentu untuk menghasilkan suatu produk tunggal, dan proses kerja yang membuat suami dan isteri mempunyai kegiatan ekonomi masing-masing di tempat yang berbeda. Ia berpendapat bahwa klaim istri atas harta yang merupakan hasil kerja mereka berdasarkan suatu proses kerja yang berurutan dan dikerjakan bergantian dengan suami lebih kuat dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan secara terpisah ternyata sangat lemah karena dasar penghargaan atas tipe-tipe pekerjaan yang berbeda sering tidak jelas. Dari situ muncul kemungkinan bahwa pekerjaan istri akan dinilai bukan sebagai kontribusi nyata kepada harta “ sepencarian” tetapi justru disederhanakan sebagai tugas wanita sebagai istri atau ibu rumah tangga yang tidak menghasilkan harta apa-apa.12 Konsep tersebut membuka pandangan penulis terhadap kondisi perempuan dalam mengambil keputusan dalam sektor industri rumah tangga sebagai bagian untuk menunjang kelangsungan keluarganya. Hal ini pula yang menjadi analisis, terutama menempatkan perempuan yang bekerja di sektor industri rumah tangga untuk mengatasi hambatan-hambatan demi „melanggengkan‟ kelangsungan rumah tangganya.
12
li , Tania. (2003)Bekerja Terpisah Tetapimakan Bersama:Kodrat, Kekayaan, dan Kekuasaan Dalam Hubungan Perkawinan. Jurnal AKATIGA. Volume 8, 18-19.
1.5 Metode Penelitian A. Jenis penelitian Sebagai upaya menyikap makna terhadap subjek yang diteliti, penulis mengunakan konsep fenomenologi. Dalam konsep ini, penelitian dilakukan dengan mencari hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem dari sudut pandang, pengalaman nyata dan tatanan sosial. Fenomenologi menjadi alat melihat berbagai “pemaknaan” yang “tampak” dan “hadir”. Tapi, melihat secara “esensi”, yang didapat melalui intuisi dan refleksi, ketika “sesuatu” itu berlangsung di dalam “pengalaman” tertentu, hingga menjadi : serentetan gagasan, konsep, judgments, dan pemahaman.13 Jadi, dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, peneliti berusaha menggali nilai-nilai dan pengalaman dari kehidupan dari perajin gatot dan tiwul. Mengarah pada uraian pokok Schut, dalam fenomenologi ada beberapa ide yang menjadi pokok pembahasan untuk memperkenalkan serangkaian prinsip yang dapat menjadi dasar bagi kerangka teori dan empiris dalam penelitian ini. Dengan mempelajari hal tersebut, penulis semestinya juga memperhatikan pada ‟dunia eksperensial‟ yang diterima begitu saja oleh setiap orang-diciptakan-dan dialami oleh anggota-anggotanya.14 Yang ditekankan dari penelitian ini, perihal hubungan peran subjek terhadap objek-objek pengalaman dalam pengolahan
13
Santana K, Septiawan. (2010). Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal. 99 14 Zeitlin, Irving M., Memahami Kembali Sosiologi, Kritik terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, alih bahasa Anshori dan Juhanda, Yogyakarta :Gajah Mada Press, Cet. II, 1998. Hal 259-278
makanan dan interaksi dengan objek tersebut, uraian pokok tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut ; a. Pengetahuan Terhadap Yang Lain Schutz menjelaskan tentang esensi dari akal sehat yang ada dengan sendirinya di dalam dunia keseharian. Esensi yang dimaksud, berkaitan dengan kesadaran kehidupan sesorang menerima adanya beberapa tanda-tanda kesadaran kehidupanya, pengalaman-pengalamannya terutama persepsi visual, tindakantindakanya dan tindakan-tindakan orang lain atasnya. Beberapa tanda-tanda yang dibahas Husserl suatu sistem pengontrol, yang pada giliranya Schutz menyatakan bahwa sumber dari berbagai sistem tanda itu puncaknya ada dalam bahasa.15 Keterkaitan secara langsung, penulis berupaya melihat proses semacam ini dimana penelitian mencoba menemukan makna dalam berbagai objek yang bersifat budaya, terutama perihal keterkaitan pengolahan gatot dan tiwul. b. Kekhasan pengalaman keseharian Pengetahuan dunia individu yang bersifat akal sehat dan keseharian; kata Schutz, merupakan sistem kontruksi yang sangat khas. Munculnya keadaan dari pengalaman-pengalaman terdahulu yang telah diwariskan memiliki sifat khas.16 Hal ini menarik bagi penulis dalam memahami pengetahuan unik yang dimiliki informan dalam konteks ini. Dengan banyaknya pengetahuan akatual yang sangat bervariasi dari individu-indivisu lain, masuk akal jika penulis beranggapan bahwa
15 16
Ibid Ibid
informan telah menggunakan kontruksinya secara khas dalam kehidupan seharihari. Penulis juga tidak menampik bahwa informan telah mengetahui peranan sosial mereka. pengetahuan penulis terhadap mereka, tidak mengubah sudut pandang situasi dari sudut pandang informan. Karena posisi informan disini, memiliki suatu tipe keahlian yang mungkin dimiliki orang lain, tetapi peneliti membutuhan sebagai eksemplar dari beberapa tipe. Dalam konteks industri pengolahan gatot dan tiwul, pemahaman diatas digunakan untuk menyisir argument individu, terutama dari sudut pandang informan dalam mengolah makanan sebagai barang komoditas yang diperjual belikan. Terutama, sumbangsih dalam kegiatan produksi dan rumah tangga. penulis tidak mengelak bahwa informan memiliki pengetahuan tentang kehidupan sehari-hari mereka dan cara-cara penguasaan terhadap lingkungan yang sudah dapat diterima, efisien dan bersifat praktis. c. Kontruksi-kontruksi dan model-model ilmu sosial Kontruksi model ini untuk menjelaskan tindakan yang telah diamati. Hal ini dimaksudkan untuk membimbing penulis dalam mengkontruksikan modelmodel yang akan mendorong adanya distribusi secara objektif antara tindakan manusia dengan makna-makna subjektifnya. Schutz mangambarkan postulat yang umum dan terprogam sebagai berikut: 1. “Postulat konsistensi logis”. Sistem kontruksi ilmuan sosial harus memiliki kejelasan dan model sendiri yang sangat tepat bagi berbagai prinsip logika formal. Karakter logika formal tersebut akan dapat
membedakan antara hal yang ilmuah dengan pemikiran akal sehat keseharian. 2. “Postulat penafsiran subjektif”. Hal ini mengaris bawahi konsep weber tentang tugas pokok sosiologi yakni bahwa model dan konsep para ilmuan harus mendorong untuk melihat kembali tingkah laku secara manusiawi dan konsekuensi-konsekuesni makna subjektif bagi para actor yang terlibat. 3. “Postulat
pemadaian”.
Postulat
ini
mendorong
ilmuwan
untuk
mengabungkan secara kosisten antara konstruknya dengan kontruksi akal sehat keseharian dari pengalaman realitas sosial. Dari pendekatan diatas upaya schutz untuk mengabungkan antara tekanan Weber dalam „verstehen‟ dengan fenomemenologi husserl dalam „Lebenswlet‟. Secara umum, upayanya diarahkan pada suatu pengembangan metode ilmiah yang mampu menghasilkan propoporsi-proporsi tindakan yang diorientasikan secara subjektif—tetapi pada saat yang sama juga diorientasikan pada proporsi-proporsi dunia sosial, dimana para actor akan mengenali diri mereka sendiri.17 Dengan kata lain, konsep yang telah dijabarkan diatas dirasa tepat untuk menentukan makna apa dari tindakan yang dimiliki oleh para aktor dalam kehidupan keseharianya, dengan mengetahui dan mengenal pengalaman-pengalaman yang ada dalam masyarakat, terutama terhadap pengambilan keputusan dan posisi sosial perempuan dalam industri rumah tangan gatot dan tiwul.
17
Ibid
B. Teknik pengumpulan data Wawancara Dalam memperoleh dan mengupas informasi dari informan, digunakan metode wawancara mendalam (in dept interview). Wawancara dalam bentuk perbincangan, seni bertanya dan mendengar. Penulis memposisikan diri, terutama dalam memproduksi pemahaman situasional (situated understanding) yang bersumber dari interaksional khusus. Dari itu, metode ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik personal informan, karena wawancara ini lebih mengarah “berbasis gender”; informan merupakan pihak suami dan istri. Jadi, sebisa mungkin wawancara dilakukan diwaktu yang berbeda dari pihak suami atau istri. Observasi Untuk mengetahui kondisi dan situasi dilapangan, peneliti melakukan observasi partisipatif pasif (passive participation). Dalam metode ini penulis turun ke lapangan untuk mengamati aktivitas-aktivitas dari unit usaha di lokasi penelitian. Dalam pengamatan ini, penulis melihat kondisi dilapangan dari setiap unit usaha yang dikerjakan oleh pihak suami-istri. Hal ini dapat terlihat dari setiap unit usaha yang sedang melakukan kegiatan produksi. Melakukan pengamatan diwilayah diteliti, terutama melihat kondisi dari unit usaha diteliti, karena unit usaha memiliki aktivitas kegiatan yang berbeda-beda dalam melakukan kegiatan produksi. Dari itu, penulis sebisa mungkin menghindari mendatangi lokasi unit usaha disaat melakukan kesibukan dalam kegiatan produksi.
Audio/visual Hasil
penelitian
diperolehdari
wawancara dan
observasi
dengan
menggunakan bentuk materi audio dan visual pada lingkup yang diteliti. Bentuk audio/visual yang dimaksud,, data diperoleh dari bentuk tape recorder dan foto. Hal tersebut digunakan untuk memperoleh atau membantu dalam ketersediaan data dilapangan, dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan informan. Dari penggunaan perangkat tersebut dapat mempermudah proses dalam memperoleh gambaran terhadap proses-proses yang terjadi pada unit usaha rumah tangga. C. Lokasi penelitian Penelitian berlokasi di Desa Canden, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Desa Canden merupakan salah satu desa wisata yang terkenal akan kesenian (jatilan, srandul, sholawatan, kerawitan dan sinden), sentral penjual jamu tradisional, dan makanan kulinernya. Makanan kuliner yang banyak terdapat di dusun Wonolopo dan Bulusan juga menjadi daya tarik tersendiri. Di dua dusun ini banyak terdapat pembuat gatot, tiwul, onde-onde dan varian jajanan tradisional lainya dalam bentuk unit usaha rumah tangga. Selain itu, setiap unit usaha produksi dikerjakan oleh rumah tangga dari pihak suami-istri. Merujuk pada konteks penelitian, unit usaha yang merupakan industri rumah tangga di Daerah Wonolopo menjadi salah daya tarik tersendiri bagi penulis terhadap unit usaha pengolahan gatot dan tiwul. Selain itu, terdapat pengusaha makanan tradisional berbahan baku singkong yang tergabung dalam kelompok gatot tiwul usaha lestari di kawasan tersebut. Mereka pemasok
makanan tradisional ke pasar-pasar tradisional, baik di wilayah Bantul maupun daerah sekitar di DI Yogyakarta. Bukan hanya gatot dan tiwul yang menjadi produk pokok Wilayah Wonolopo, warga menambah varian dengan membuat onde-onde, ukel, dan jajanan tradisional lainya. D. Informan wwawancara Perhatian penelitian ini berbasis pada perspektif gender dalam keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam suatu unit produski. Dari itu, informan diperoleh dari setiap unit usaha produksi, terutama pelaku usaha yang didalamnya terdapat pihak keluarga dari pihak suami-istri yang bekerja disatu unit usaha rumah tangga produksi. Informan dipilih berdasarkan kondisi senyatanya pada daerah penelitian. Perhatian penulis untuk data, diperoleh dari informan yang terdapat pada 4 unit usaha. Dengan setiap unit usaha kegiatan produksinya dikerjakan oleh anggota rumah tangga, terutama yang dikerjakan oleh pihak suami-istri. Jadi, diperoleh informan sebanyak 8 orang dengan 4 pihak perempuan dan 4 dari pihak laki-laki, dengan kategori disetiap unit usaha sebagai berikut : 1. Unti usaha dari narasumber perempuan yang bekerja di sektor industri rumah tangga gatot dan tiwul. 2. Anggota rumah tangga (suami-istri), berkecimpung di pekerjaan yang sama 3. Unit usaha yang memiliki tenaga kerja upahan maupun tidak. 4. Ibu rumah tangga, wanita yang memiliki anak (dibahwah umur 12 tahun).
5. Perempuan yang memiliki pekerjaan maupun tidak, sebelum bekerja di kegiatan produksi makanan dan tidak memiliki pekerjaan. 6. Wanita dari klasifikasi umur. Seperti tertera dari latar belakang tentang pembagaian kerja, Perajin yang usianya sudah lanjut akan mengambil jatah pasar-pasar di sekitar Bantul dan yang masih muda mereka dapat jatah pasar-pasar yang lokasinya jauh, seperti di prambanan dan gunung kidul 7. Selain itu, peneliti tidak melupakan informasi dari sudut pandang laki-laki. Peneliti mengali informasi dari informan laki-laki, terutama dari pihak Suami yang berkecimpung dalam industri pengolahan gatot dan tiwul. 8. informan laki-laki yang memiliki pekerjaan diluar unit usaha. E. Analisis Data Penelitian kualitatifkhususnya data yang diperoleh dari lapangan, diolah dan dianalisis untuk menghasilkan data deskriptif. Lintasan paparan deskripsi diharapkan dapat menolong pembaca untuk melihat dimana dan kapan peristiwa itu terjadi dan beberapa penjelasan kasus dan arti pengalaman yang disampaikan. Pendeskripsian tersebut dapat membantu dan membangun eksposisi, argumentasi, dan narasi; yang tidak hanya bersifat ornamental. Secara abstrak, data kualitatif mengacu pada esensi manusia, objek, dan situasi (Berg, 1989). Secara ensensial, pengalaman kasar tersebut kemudian diubah menjadi tulisan, yang masing-masing bagianya terakumulasi dalam teks
yang diperluas.18Dari itu, peneliti melibatkan pengumpulan data terbuka yang dilandaskan pada konsep feneomenologi. Terlebih lagi, data diperoleh dari lapangan merupakan hasil wawancara yang dapat menjelaskan pengalaman hidup, selanjutnya diolah dan dirangkai dalam motif tindakan. Dalam analisis data fenomenologi dari informan penelitian, penulis memperoleh data-data, yang memungkingkan dari hasil wawancara informan. Setelah itu, Penulis mengali pengalaman dari informan yang diteliti melalui tahapan-tahapan berikut : Pertama, penulis melakukan pengumpulan data dari rekaman wawancara. Setelah itu, ditranskip dalam bentuk bahasa tulisan. Kedua, menyaring kembali pertanyaan dari informan, diformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokan kata kunci sesuai pertanyaan penelitian selanjutnya mengelompokan kembalikata kunci yang sejenis. Dapat dicontohkan, dari informan penelitian tiap unit usaha ; pihak suami A dan istri B menjelaskan tentang pengalaman dalam menjajaki industri rumah tangga dapat mengacu pada informasi tugas-tugas rumah tangga dan kegiatan produksi. Ketiga, beberapa informasi diatas dipilah dalam transkip yang telah dikategorikan. pengalaman dari informan, yang sudah teridentifikasi dalam kelompok tema, divalidasi kembali dalam bentuk point-point tema.
18
Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative. Research. Terjemahan oleh Dariyanto dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dapat dicontohkan, dari hasil informasi pihak suami A dan istri B tentang urusan rumah tangga dan kegiatan produksi, mentranskip terhadap tema yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, wewenang, maupun curahan waktu pekerja. Selanjutnya mengintregasikan hasil penelitian dalam sebuah narasi. Dari pemaparan diatas, penulis tidak menampik bahwa metode yang digunakan bukan merupakan alat “ungul” diatas segala-galanya, terutama terhadap metode yang digunakan. Akan tetapi, proses yang diperoleh dari pengalaman informan dapat menjadi sajian yang menarik untuk mengungkapkan realitas proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga produksi makanan jadi.