BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Lebih dari delapan dasawarsa sastra anak dikuasai oleh orang dewasa.
Ruang
disediakan
hanya
sebatas
sebagai
konsumen.
Apabila
melihat
perkembangan sastra anak, orang dewasa masih menjadi penggerak bagi lahirnya karya-karya sastra yang dikhususkan untuk anak-anak. Meski demikian perubahan selalu terjadi, anak-anak yang awalnya hanya sebagai pihak pasif kini sudah mengambil langkah aktif. Anak-anak sudah masuk dalam roda penciptaan karya sastra yang mereka konsumsi dengan mengambil bagian sebagai penulis. Kemunculan penulis anak pertama kali terlihat ketika mulai merebaknya majalah anak-anak seperti Si Kuncung, Kawanku, dan Bobo. Kehadiran majalah-majalah tersebut memberi peluang dan ruang bagi penulis anak untuk berekspresi meski hanya sebatas puisi dan cerita pendek. Pada tahun 2003, langkah baru muncul di dunia sastra anak. Sri Izzati, seorang anak yang baru berusia delapan tahun, muncul dengan karya berjudul Kado untuk Umi yang bernaung di bawah Divisi Anak dan Remaja (DAR!) Mizan. Karya anak muncul bukan lagi dalam bentuk puisi atau cerita pendek yang lazim dimuat di majalah anak, tetapi dalam bentuk novel. Inilah karya perdana Kecil-kecil Punya Karya (KKPK) yang sampai saat ini masih menjadi wadah penulis-penulis anak dalam berkarya. Dalam pengantar penerbit di setiap cetakan
1
2
KKPK tertulis bahwa KKPK dibentuk sebagai wadah yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak dalam bidang tulis-menulis. Berdasarkan data yang didapatkan dari akun KKPK di situs jejaring sosial facebook, tercatat pada tahun 2011 KKPK telah melahirkan 217 karya dari 194 penulis anak. Angka tersebut menjelaskan bahwa satu penulis menghasilkan karya antara satu atau dua saja. Akan tetapi, hal berbeda ditemukan pada salah satu penulis KKPK. Muthia Fadhila Khairunnisa yang akrab dengan panggilan Thia merupakan anak berusia tiga belas tahun yang sudah menghasilkan banyak karya. Sepanjang tahun 2009 sampai 2014, Thia menghasilkan 36 karya. Mulai dari novel KKPK, KPPC, Komik KKPK, dan beberapa Komik Fantasteen. Pada tahun 2011, tepatnya setelah ia menghasilkan 11 karya, Konferensi Penulis Cilik Indonesia menganugerahi Thia sebagai Penulis Cilik Terbaik. Satu tahun kemudian, ia mendapat anugerah sebagai Penulis Cilik Terproduktif di kantor Kemendikbud, masih dalam acara yang sama, yaitu Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI). Selain itu, Thia juga pernah menjadi narasumber Penulis Cilik di acara Sharing from Goodreaders to Goodwriters dan pengisi-pengisi acara di berbagai acara yang berkaitan dengan penulis anak. Dalam blog pribadinya, Thia mengaku saat ini menjadi brand ambasador untuk www.ceritaqu.com. Sebuah website yang menjadi media berbagi para penulis dan pembaca (anak-anak) KKPK. Novel-novel KKPK karya Thia selalu mengalami cetak ulang, namun di antara karya-karya tersebut terdapat tiga karya yang memiliki jumlah cetak ulang tertinggi. Karya-karya tersebut adalah tiga seri Little Ballerina: Little Ballerina,
3
Little Ballerina 2: Goes to Itally, dan Little Ballerina 3: Singapore Championship. Novel KKPK Little Ballerina telah dicetak ulang sebanyak tujuh kali sejak cetak pertama dilakukan pada maret 2012. Kemudian, novel KKPK Little Ballerina 2: Goes to Itally telah dicetak enam kali sejak cetak pertama pada oktober 2012, sementara novel KKPK Little Ballerina 3: Singapore Championship dicetak ulang sebanyak empat kali sepanjang sembilan bulan sejak cetak pertama kali pada oktober 2013. Sastra anak yang ditulis oleh anak-anak sendiri memperlihatkan gambaran dunia anak yang lebih orisinil (Wiyatmi, 2011: 5). Orisinil dalam hal ini berarti gambaran dunia tersebut berasal dari pikiran dan perasaannya secara langsung. Selain itu, anak-anak menggunakan sudut pandang mereka sendiri dalam menghadapi suatu permasalah atau menilai suatu kejadian. Anak-anak lebih mengetahui kehidupan mereka sendiri dibandingkan penulis-penulis dewasa yang hanya mencoba menerka-nerka dari pengalaman masa kanak-kanak mereka. Anak-anak dari masa ke masa tentunya mengalami perubahan. Berbeda zaman, berbeda pula pola pikir dan tingkah laku anak-anak. Anak-anak bisa menyuarakan diri mereka dalam tulisan. Anak bebas menceritakan kehidupan mereka, bahkan harapan-harapan tentang masa depan mereka. Menulis membuat seseorang dapat menunjukkan dirinya dan mengeluarkan apa yang mengendap di pikirannya. Menulis dapat menyuarakan apa yang tidak mampu diucapkan. Menulis menjadi media berekspresi, sarana menunjukkan kebebasan seseorang. Demikian juga dengan anak-anak dalam menulis karya sastra. Mereka menggambarkan bagaimana dunia, kehidupan, dan diri dari mata mereka. Anak dapat menceritakan
4
dunia dan diri mereka dengan bebas dalam tulisan mereka sendiri, sebab pengarang juga perlu mendengarkan bisikan hati nuraninya pada saat mencipta (Soedjijono, 2002: 57), sehingga menulis bisa menjadi ajang menampilkan kebebasan diri penulis anak. Novel-novel KKPK Thia memunculkan kebebasan untuk memilih mimpi tanpa ada halangan dari siapapun; misalnya None Ondel-ondel (2014), Lovely Lovy (2014), dua seri novel Hwaiting (From Seoul to Beijing dan Dream Comes True) (2013), Melody in My Heart (2012), dan The Flying Dwarf
(2011)
memberikan gambaran tentang seorang anak yang mewujudkan mimpi-mimpi mereka dengan dukungan dari orang tua. Sementara novel Pancake Party (2012) dan Tersenyumlah, Qilla (2011) menghadirkan tokoh anak-anak yang memiliki dan mampu menyuarakan pendapat mereka sendiri. Berbeda dengan karya-karya tersebut, sepajang rentang menulis Thia dalam KKPK, tiga seri novel KKPK Little Ballerina justru menampilkan usaha untuk melepaskan diri dari kebebasan. Ketika novel-novel KKPK tersebut menawarkan kisah-kisah mengenai kebebasan, ketiga seri Little Ballerina justru menghadikan sesuatu yang berseberangan dengan novel-novel lainnya, yaitu usaha untuk melepaskan kebebasan. Ketiga novel KKPK merupakan kisah tentang seorang anak yang awalnya memiliki kehidupan biasa selayaknya anak-anak, seperti pergi ke sekolah, memiliki kegemaran, dan memiliki hal yang dibenci. Kisah tokoh Cher membawa kita pada sebuah permasalahan kebebasan manusia. Hanya untuk menghindari mempelajari IPS –pelajaran yang tidak disukai Cher– ia rela masuk sekolah balet dengan sistem asrama yang memiliki banyak aturan dan melepaskan
5
apa yang dipilih sebelumnya, yaitu modern dance. Dalam permasalahan ini terlihat pelajaran IPS menjadi kecemasan yang memunculkan beban kebebasan Cher. Sesuatu atau perlakuan yang tidak menyenangkan menurut Freud merupakan salah satu faktor yang menghasilkan kecemasan pada manusia (Strongman, 1995: 4). Peristiwa dalam novel tersebut membawa pada konsep kebebasan yang diusung oleh Erich Fromm. Ia merupakan seorang psikoanalis Neo-Freudian yang berasumsi bahwa masalah pokok psikologis manusia ada pada keterikatan pada ketertarikan individu dengan dunia. Manusia telah mendapat kebebasan karena telah keluar dari alam justru merasakan dilema dari kebebasan, yaitu adanya beban dari kebebasan berupa kecemasan. Satu-satunya cara manusia untuk meredam rasa cemas hanya dengan berjalan atau bergerak menyerahkan diri kepada dunia. Bayi yang baru lahir mendapatkan kebebasan karena telah mengalami keterlepasan dari rahim ibu. Akan tetapi, kebebasan tersebut membawanya pada kecemasan. Dunia baru dirasakan sangat tidak bersahabat dengannya, ia merasakan kedinginan dan kelaparan. Ketika bayi mulai diperkenalkan pada susu ibu, barulah bayi akan berhenti menangis. Dengan demikian pada dasarnya manusia tidak pernah bebas, sebab manusia memiliki ikatan bahkan cenderung memiliki ketertarikan untuk selalu terikat orang lain maupun dunia. Selain dengan membentuk ikatan dengan dunia atau orang lain, manusia dapat melakukan hal lain untuk mengatasi kecemasan, yaitu dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan ini pada
6
akhirnya akan membawa manusia pada ikatan dengan dunia atau orang lain menjadi lebih kuat. Kebebasan yang didapat manusia membawa manusia pada perasaan kesendirian dan keterasingan dari dunia. Perasaan yang muncul ini menurut Fromm secara terus-menerus akan menggerus kepribadian dan mengakibatkan disintegrasi mental. Disintegrasi mental tidak hanya berpengaruh pada kejiwaan seseorang, tetapi juga dapat memengaruhi keadaan fisik yang bisa mengantar pada kematian. Untuk menghindari kenyataan ini manusia harus menyatu dengan manusia lain atau masyarakat. Fromm berasumsi bahwa masalah psikologis yang dialami manusia modern adalah keterkaitan individu pada dunia. Keterkaitan pada dunia, masyarakat, atau dengan individu lainnya tidak hanya dalam bentuk kontak fisik. Manusia bisa saja tidak melakukan kontak fisik dengan orang lain dalam jangka waktu yang lama. Tetapi, kontak yang dimaksud Fromm dalam hal ini adalah ide-ide, nilai-nilai, atau setidaknya pola dasar sosial yang memberikan perasaan kebersamaan dan rasa saling memiliki satu sama lainnya. Rasa keterikatan pada dunia sangat dibutuhkan untuk menjaga kestabilan mental seseorang. Jika seseorang yang berada di tengah-tengah masyarakat tetapi tidak merasakan adanya keterikatan dengan lingkungan maka mudah baginya untuk mengalami kegilaan yang dapat menimbulkan gejala-gejala scizoprenik (Fromm, 1999: 16). Fromm
menyebut
bahwa
pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan
dapat
meredam kecemasan dari beban kebebasan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, sebab setelah
7
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu manusia akan semakin terikat dengan dunia atau orang lain. Itulah mengapa Fromm tidak membedakan kebutuhan manusia berdasarkan usia dan jenis kelamin. Melalui teori Fromm dapat dilihat bahwa manusia memiliki kebutuhan yang sama berkaitan dengan sosial budayanya. Anak dan dewasa sama-sama menunjukkan eksistensinya dalam sosial. Bila pemahaman orang dewasa mengenai menulis adalah cara menunjukkan eksistensi, Thia pun melakukannya. Bila penghargaan-penghargaan dalam bidang kepenulisan menjadi modal pengakuan, Thia telah mendapatkannya. Dengan demikian, anak-anak dan orang dewasa bukankah tidak seharusnya dipisahkan, sebab orang dewasa dan anak-anak memenuhi kebutuhan yang sama sebagai mahkluk sosial untuk mendapat tempat di dunia. Ketiga seri novel KKPK Little Ballerina menunjukkan kecenderungan untuk memenuhi ‘kebutuhan manusia’1, maka perlu mengembalikan pemahaman mengenai anak bahwa pakaian yang dipakai anak-anak dan bacaan yang dibaca anak-anak pada dasarnya sama dengan pakaian yang dipakai dan bacaan yang dibaca oleh orang dewasa (Indarwaty, 2013). Pada dasarnya kebutuhan anak-anak dan orang dewasa tidak seharusnya dan tidak perlu dibedakan, anak-anak dan orang dewasa memiliki kebutuhan yang sama. Pemenuhan kebutuhan fisiologis seperti makan dan minum sayangnya tidak akan memuaskan manusia. Hanya dengan melakukan pemenuhan kebutuhan manusialah seseorang dapat merasakan kepuasan dan ketenangan. Pemenuhan kebutuhan manusia merupakan kebutuhan manusia yang membuat manusia 1
Kebutuhan manusia adalah kebutuhan yang membuat seseorang merasa dirinya berarti. Kebutuhan manusia ini disedikan oleh sosial sehingga ketika terpenuhi manusia akan memiliki ikatan dengan lingkungannya.
8
mampu menghilangkan kecemasan, akan tetapi sebagai konsekuensinya akan muncul ancaman bagi kebebasan manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia akan menggiring individu untuk kembali pada dunia atau dengan kata lain sosial, sehingga kebebasan yang didapatkan ketika lepas dari rahim ibu hilang begitu saja. Padahal kebebasanlah menjadi hal yang membedakan manusia dengan binatang. Sementara binatang menunjukkan suatu perilaku berdasarkan insting, manusia digerakkan untuk bertindak karena mendapat dorongan dari kehendak untuk melakukan atau tidak, itulah yang disebut dengan kebebasan. Kebebasan bisa diartikan sebagai tidak adanya batasan. Kebenaran bisa dimaksudkan sebagai tidak ada kekangan atau kurungan. Kebebasan bisa mengarah kepada penyeruan pendapat hingga pada ranah yang bersifat pribadi, yaitu memilih agama. (Sutikna, 2013) menyebutkan bahwa kebebasan tidak hanya melulu berkaitan pada konsep politik, hukum, ataupun fisik, tetapi juga pada konsep yang lebih pribadi yaitu bisakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Meskipun ada istilah populer yang menyebutkan bahwa man is born free, tetapi rupanya kebebasan manusia tersebut harus dipertanyakan kembali. Kita hidup di zaman demokrasi yang menyediakan ruang untuk melaksanakan kebebasan berpendapat, akan tetapi dalam menyuarakan pendapat seseorang tidak sepenuhnya dapat melakukan sesuai kehendaknya sendiri. Ia dihadapkan pada segelintir aturan mengenai kapan harus berpendapat dan kapan harus diam untuk mendengarkan. Tidak hanya dalam ruang politik, dalam ruang sosial pun masih bisa dijumpai. Seseorang seharusnya bisa mengatakan apapun yang ingin
9
dikatakan, akan tetapi masih ada batasan untuk tidak mengatakan apapun yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Demikian juga dalam hal berperilaku seseorang masih belum bebas sepenuhnya. Tidak jarang seseorang masih mempertimbangkan komentar-komentar orang lain terhadap tindakan yang akan dilakukannya. Tidak jarang pula seseorang melakukan kontrol atas dirinya sendiri hanya agar tidak berperilaku yang dapat menimbulkan komentar negatif orang lain, misalnya makan dengan tangan kanan, berpenampilan selayaknya jenis kelamin yang dimiliki, berjalan di sebelah kiri jalan raya. Individu diharuskan bertindak sesuai kehendak sosial dan anggapan tentang kewajaran atau kenormalan. Kita merasa diri telah meraih kebebasan sepenuhnya karena kebebasan menjadi salah satu aspek hak asasi manusia. Akan tetapi pada kenyataannya individu-individu masih harus menghadapi kalimat sakti yang sedari sekolah dasar telah ditanamkan “dahulukan kewajiban baru menuntut hak”. Hal ini berarti seseorang tidak diperkenankan untuk bebas melakukan sesuatu yang telah menjadi hak individu apabila belum memuntaskan kewajiban yang dibebankan. Dengan demikian, poin bebas manusia tidak pernah mencapai angka seratus. Tidak ada kebebasan mutlak karena kebebasan ada tergantung pada situasi dan kondisi (Sutikna, 2013). Seperti dalam novel KKPKnya yang lain, diri Thia terepresentasi dalam tiga seri novel KKPK Little Ballerina. Akan tetapi dalam tiga seri ini kita dapat melihat bahwa Thia adalah subjek yang ingin melakukan pelarian diri dan menjadi menarik dikaji untuk memperlihatkan mekanisme pelarian diri yang digunakan oleh Thia.
10
1.2
Rumusan Masalah Tokoh Cher yang awalnya menyukai modern dance pada akhirnya
mengikuti pilihan mamanya, yaitu balet. Cher menerima begitu saja tanpa memberikan perlawanan karena Cher sendiri merasa diuntungkan tidak perlu bertemu dengan pelajaran IPS yang tidak disukainya. Sedangkan menurut Fromm penentangan merupakan upaya untuk membebaskan diri dari paksaan (1999: 32) dan Cher sama sekali tidak melakukannya. Justru rasa tidak suka terhadap pelajaran IPS menjadi faktor yang memunculkan kecemasan sehingga Cher terdorongan melepaskan kebebasan untuk bersatu dengan dunia atau orang lain. Bersatunya individu dengan dunia atau orang lain akan meredakan kecemasan yang muncul, sehingga bisa dikatakan bahwa individu tidak dapat terpisah dari masyarakat (Sarup, 2011). Melalui tokoh Cher, Thia memunculkan pelarian dirinya dari kebebasan. Dalam penelitian ini ingin dilihat bagaimana mekanisme pelarian diri Thia dari kebebasan dengan melihat tokoh Cher dalam tiga seri novel Little Ballerina. Berdasarkan masalah tersebut, terdapat dua pertanyaan yang menjadi dasar dari penelitian ini, yaitu: 1. Faktor apa saja yang yang mempengaruhi pelarian diri tokoh Cher dalam tiga seri novel KKPK Little Ballerina karya Thia? 2. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, mekanisme apa yang digunakan oleh Thia untuk melakukan pelarian diri?
11
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk memperlihatkan proses pelarian diri
dari kebebasan yang dilakukan sebagai cara untuk melepaskan diri dari ancaman. Penelitian ini juga ingin melihat bahwa melalui proses pelarian diri yang dilakukan dapat menentukan mekanisme yang digunakan untuk melakukan pelarian diri dalam tiga seri novel KKPK Little Ballerina.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoretis dan praktis. Manfaat
teoretis penelitian ini untuk menerapkan teori pelarian diri dari kebebasan yang merupakan bagian dari kajian psikoanalisis Erich Fromm dalam sastra anak. Selama ini sastra anak memang menjadi objek penelitian yang menggunakan kajian khusus dan terbatas pada teori sehingga menyebabkan penelitian sastra anak dipandang sebelah mata. Manfaat praktis penelitian ini untuk menunjukkan bahwa sastra anak yang ditulis oleh anak dapat memberikan peran sebagai lahan untuk mengetahui bahwa anak tidak pernah lepas dari peran orang dewasa. Sastra anak bukan hanya sebuah karya yang sarat akan pesan moral, tetapi juga menghadirkan bentuk lain dari kehidupan anak yang menunjukkan kebebasan diri mereka yang tidak pernah ada dalam realita.
1.5
Kajian Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan sastra anak terbilang masih jarang
dilakukan. Ketertarikan peneliti sastra anak masih dirasakan kurang, sehingga
12
untuk menemukan penelitian relevan dengan yang penulis lakukan cukup sulit. Penelitian sastra anak yang sejauh penulis temukan selalu berputar di masalah gender, nilai sosial, moralitas, dan posisi anak dalam karya sastra. Secara garis besar bagian ini akan menunjukkan pustaka yang berkaitan dengan sastra anak dalam kajian psikologi dan pustaka yang melihat penelitian-penelitan yang menggunakan karya-karya KKPK sebagai objek penelitian dengan melihat aspekaspek yang diteliti. Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan sastra anak adalah penelitian terhadap karya Arswendo Atmowiloto. Kita ketahui bersama bahwa Arswendo merupakan penulis yang banyak menghasilkan karya anak-anak, salah satu karyanya adalah buku serial cerita anak Keluarga Cemara. Penelitian ini dilakukan oleh Henny Indarwaty pada tahun 2013. Penelitian ini membandingkan nilai sosial karya Arswendo Atmowiloto dengan novel Little House karya Laura Ingalls Widler yang mengambil latar sosial masyarakat Amerika. Kedua novel yang menjadi objek penelitiannya mengangkat kehidupan keluarga tradisional di Indonesia dan Amerika. Perbandingan terhadap kedua karya dengan dilakukan dengan membadingkan tokoh-tokoh yang memiliki posisi setara, misalnya tokoh ayah dengan tokoh ayah, tokoh anak dengan tokoh anak. Perbandingan terhadap tokoh-tokoh tersebut nantinya akan memunculkan nilai-nilai yang dianut dari kedua keluarga tersebut. Dengan melihat bentuk tokoh ayah yang mencerminkan nilai pariarki, sementara melihat tokoh anak akan memunculkan nilai kepatuhan anak yang justru memperlihatkan ketidakberdayaan anak terhadap otoritas orang tua.
13
Penelitian lain yang berkaitan dengan sastra anak pernah dilakukan oleh Haftihah seorang mahasiswa Kajian Amerika Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011. Penelitian yang dilakukannya berkaitan dengan peran pionir dan warga keturunan China Amerika dalam pembentukan karakter Nasional Amerika. Penelitian tersebut mengkaji novel Little House on the Praire karya Laura Ingalls Widler dan Hundred Secret Senses karya Amy Tan dengan menggunakan perspektif psikonalasis Carl S. Jung menggunakan teori collective unsconscious. Penelitian tersebut berjudul American National Character as Portrayed in Laura Ingalls Widler’s Little House on the Praire and Amy Tan’s Hundred Secret Senses. Penelitian terhadap KKPK terbilang sulit ditemukan sementara KKPK sudah beredar selama 12 tahun lalu. Hanya beberapa penelitian yang berkaitan dengan KKPK. Penelitian sastra anak menggunakan objek KKPK pernah dilakukan oleh mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM), Ari Ambarwati, pada tahun 2012. Penelitiannya berjudul Stereotipe Karakter Perempuan Anak dalam Cerita-cerita Kecil-kecil Punya Karya. Ambarwati menggunakan beberapa cerita KKPK baik yang berbentuk novel maupun kumpulan cerita dari beberapa penulis yang berbeda, yaitu Dunia Es Krim, Reporter Cilik, The Magic Crystals, My First Make Up, The Magic Book, I Love My Restaurant, Teman Tapi Musuh, Pink Cup Cake, dan Roxy! Roxy! 2. Penelitian tersebut muncul karena adanya kecenderungan yang menunjukkan bahwa tokoh anak-anak perempuan dalam cerita-cerita tersebut digambarkan dengan stereotipe anak perempuan pada umumnya, misalnya mereka adalah anak
14
yang cerdas, kritis, memiliki prestasi di bidang yang mereka geluti masingmasing, bahkan merambah pada bidang olahraga yang umumnya didominasi oleh laki-laki, selalu mengikuti informasi terbaru, cukup percaya diri. Intinya adalah anak-anak perempuan tersebut digambarkan dengan profil anak perempuan masa kini. Penelitian ini menggunakan teori demistifikasi perempuan dalam kajian feminis Simone De Beauvoir. Hasil penelitian ini menunjukkan dua hal, pertama, penggambaran karakter anak dalam cerita-cerita tersebut dipengaruhi oleh mistifikasi mitos, yaitu pengaruh mitos biologis, pengaruh mitos psikologis, dan pengaruh mitos sosiologis. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, lingkungan sekolah dan rumah telah menyatu dengan mitos-mitos tersebut. Kedua, stereotipe karakter anak perempuan terjadi dalam relasi simbolik yang meliputi dua ruang, yaitu ruang domestik dan ruang publik. Peran pengasuh, ibu dan kakak perempuan menyebarkan mitos tertentu tentang perempuan di ruang domestik, sedangkan di ruang publik peran yang menyebarkan mitos meliputi teman, ibu teman, dan teman perempuan. Penelitian lain yang berkaitan adalah penelitian yang berjudul Fenomena Kecil-kecil Punya Karya dalam Perkembangan Sastra Anak Indonesia dan Sumbangannya Bagi Pembentukan Karakter Anak. Penelitian yang dilakukan oleh Wiyatmi ini menunjukkan fenomena kemunculan KKPK telah memberi motivasi menulis anak sehingga penulisan karya sastra anak tidak lagi didominasi oleh orang dewasa, tetapi oleh anak-anak itu sendiri yang jauh lebih mengenal dunia mereka dibandingkan orang dewasa. Bagian lain dari penelitian yang diterbitkan pada tahun 2012 ini menunjukkan bahwa fenomena KKPK memberi sumbangan
15
bagi pembentukan karakter anak. Karakter-karakter anak yang dimunculkan dalam KKPK yang dapat digali adalah sopan santun terhadap orang tua yang digambarkan melalui tokoh-tokoh, tokoh-tokoh yang digambarkan sebagai seorang anak yang berkualitas secara intelektual, moral, dan spiritual. Penggambaran tokoh-tokoh ini berkaitan dengan ciri kepribadian anak yang berkarakter yang disebutkan dalam grand design Kemendiknas yang memaknai pendidikan karakter sebagai nilai pendidikan, budi pekerti, moral, watak, yang bertujuan untuk memberikan tuntunan anak agar menjadi manusia yang berkarakter. Penelitian terakhir yang berkaitan dengan KKPK juga ditemukan dalam buku yang ditulis oleh Wening Udasmoro pada tahun 2014 dengan judul Konstruksi Indentitas Remaja dalam Karya Sastra. KKPK dalam penelitian ini dijadikan sebagai sample karya sastra remaja dengan mengambil karya-karya yang ditulis oleh anak berusia 12 dan 13 tahun. Mengingat pada definisi anak pada usia 12 dan 13 tahun memang berada pada titik kebimbangan, sebab anak pada usia ini berada pada fase peralihan dari anak menuju dewasa. Inti dari tulisan tersebut adalah untuk melihat wacana yang tersebar dalam novel-novel remaja yang tentunya dikonsumsi oleh remaja. Penelitan tersebut memang tidak melihat apakah kemudian novel-novel tersebut dengan wacana-wacana yang diusungnya akan memengaruhi remaja atau tidak, sebab penelitian tersebut hanya melihat bagaimana wacana-wacana yang ada dalam novel remaja dikonstruksi (Udasmoro, 2014: v).
16
Dengan demikian, berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dapat disebutkan bahwa penelitian yang berfokus pada kebebasan anak belum ditemukan. Sekalipun ada penelitian yang menyebutkan anak menuliskan sesuatu yang orisinil dari mereka sehingga memunculkan kebebasannya. Segala sesuatu yang ada di sosial itu terikat dengan sosial itu sendiri, sehingga penelitian ini melihat dari aspek yang tidak terlihat dari penelitian-penelitian sebelumnya.
1.6
Landasan Teori Dalam penelitian ini digunakan teori psikologi yang dikemukakan oleh
Erich Fromm, seorang psikolog yang lahir di Frankfurt, Jerman. Penelitian ini menggunakan buku Escape From Freedom sebagai acuan utama. Itulah mengapa judul tesis ini menggunakan penerjemahan judul buku tersebut. Teori dasar Psikoanalisis Humanistis Erich Fromm berasumsi bahwa keterlepasan manusia dari alam telah menghasilkan perasaan sepi dan isolasi. Fromm menyebut hal tesebut sebagai kecemasan dasar. Menurut Fromm kecemasan dasar manusia lebih mengarah pada kehidupan sosial. Kajian psikoanalisis Fromm lebih menekankan pada karakteristik manusia yang berkaitan dengan sosial dan kulturnya. Manusia tidak akan pernah menyatu dengan alam sehingga mengalami kesepian dan keterasingan, tetapi manusia masih bisa bertahan hanya apabila mereka menyatu dengan yang lain. Fromm beranggapan bahwa manusia telah melepaskan insting hewaninya untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan. Insting tersebut menurut Fromm
17
telah digantikan oleh kemampuan bernalar untuk beradaptasi dengan perubahan dunia. Kemampuan bernalar inilah yang Fromm anggap sebagai cara manusia membentuk jalan keluar mengenai dikotomi eksistensi manusia. Fromm membagi tiga dikotomi eksistensi manusia, yang pertama mengenai hidup dan mati, kedua konsep tujuan dan realisasi diri dan kesadaran mengenai hidup manusia yang tidak cukup panjang untuk dapat mencapai tujuan, dan ketiga mengenai manusia yang akhirnya akan sendiri tetapi tidak dapat menerima pengucilan ataupun isolasi (Feist & Feist, 2013: 229). Manusia tidak dapat menghilangkan dikotomi tersebut, manusia hanya bisa melakukan rasionalisasi dan negosiasi untuk meghilangkan kecemasan yang muncul dari tiga dikotomi tersebut. Dikotomi pertama tentang kematian. Manusia merasa ketakutan dengan kenyataan tersebut, sehingga mencoba bernegosiasi dengan dikotomi ini dengan melakukan rasionalisasi-rasionalisasi. Salah satu rasionalisasi yang coba diciptakan bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan awal. Hal ini merupakan konsep yang diajarkan dalam agama islam. Dalam konsep kristiani dikenal istilah keabadian yang menjadi dalil bagi keabadian jiwa yang rupanya mampu menyangkal kenyataan menakutkan bahwa hidup manusia akah diakhiri oleh kematian (Fromm, 1947: 42). Manusia meyakini hal tersebut meski tidak menutup kenyataan bahwa manusia tetap akan mati. Dikotomi kedua membuat manusia bernegosiasi dengan menganggap seandainya manusia memiliki rentang hidup yang sama maka manusia akan dapat mencapai tujuan hidupnya, tetapi tetap manusia tidak dapat memungkiri bahwa hidup yang terlampau singkat tidak akan memberi cukup waktu untuk manusia
18
mencapai semua tujuan hidupnya. Dikotomi ketiga membuat manusia harus hidup bersama sosial dan kulturnya agar ia tidak merasa kesepian dan keterasingan. Manusia akan mencapai titik kebahagiaan tergantung pada ikatan atau hubungan mereka dengan manusia lainnya. Kebahagiaan bisa diraih apabila manusia membentuk ikatan yang harmonis dengan manusia lainnya, sebab tidak akan muncul perselisihan ataupun permusuhan yang dapat memunculkan ancaman dan kecemasan. 1.6.1 Kebutuhan Manusia sebagai Penentu Mekanisme Pelarian Diri Perasaan terasing telah membawa manusia pada kecemasan yang tentu sangat tidak nyaman untuk dirasakan. Hal ini telah memunculkan beban tersendiri dari kebebasan. Maka, untuk mengurangi kecemasan tersebut manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, tidak hanya kebutuhan hewani semata. Sebab, pemenuhan akan kebutuhan hewani ini tidak akan menyelesaikan apa yang disebut Fromm sebagai dilema manusia. Selain itu kebutuhan-kebutuhan manusia ini muncul dari usaha manusia untuk mencari keberadaan dirinya. Kebutuhan manusia untuk menghindari keterasingan telah digambarkan dengan sangat jelas oleh Balzac, dari kutipan dalam buku The Invertor’s Suffering (dalam Fromm, 1999: 17-18): Tetapi belajar mengenai satu hal, itu mengingatkan pikiranmu yang masih sedemikian lemah: manusia sangat takut dengan kesendirian. Dari segala macam kesendirian, kesendirian morillah yang paling mengerikan. Para pertapa, tinggal bersama Tuhan, mereka mendiami dunia yang paling padat penduduk, dunia jiwa-jiwa. Pikiran pertama dari manusia yang menderita penyakit kusta atau dipenjara, seorang pendusta atau pendosa, adalah: memeroleh teman senasib. Agar dorongan kehidupan itu sendiri terpuaskan, dia mengerahkan seluruh kekuatan, kekuasaan, dan energi hidupnya. Bisakah setan memeroleh teman tanpa adanya obsesi untuk menyergap ini? Dalam tema ini orang bisa saja menulis epik yang akan menjadi prolog
19
untuk Paradise Lost, karena Paradise Lost pembelaan dari pemberontakan.
itu tidak ada, itu hanya
Jiwa yang tidak memiliki teman senasib akan jauh lebih merasa terasing dibandingkan teman senasib dalam hal fisik. Dengan adanya teman yang memiliki pandangan sama dan berhadapan dengan masalah yang sama akan membuat individu merasa tidak sendirian di dunia. Ia tidak merasa sendiri menanggung derita kesendirian. Manusia pada dasarnya tidak bisa melakukan suatu tindakan tanpa keterlibatan orang lain. Manusia purba melakukan perpindahan dan hidup secara berkelompok untuk mempertahankan diri dari serangan luar yang mengancam. Dengan bekerja dalam kelompok bahaya-bahaya yang datang akan dihadapi bersama-sama. Fromm memberikan contoh kisah Robinson Crosoe yang ditemani temannya, Friday. Fromm meyakini tanpa kehadiran Friday Crosoe bisa saja menjadi gila bahkan meninggal karena kesepian. Dijelaskan oleh Feldmen seseorang yang merasakan kesepian atau kesendirian secara sosial dapat menderita, sebab dalam ancaman dan kesepian akan memunculkan stres yang mengakibatkan tubuh manusia akan melakukan respons biologis2 yang akan memberi dampak bagi masalah kesehatan dan psikologis pada karakter individu.
2
Stres sering kali menimbulkan reaksi pada biologis seseorang. Dengan adanya stresor akan meningkatkan sekresi oleh kelenjar adrenal yang meningkatkan detak jantung dan tekanan darah. Pada jangka pendek respons tersebut dapat adaptif karena menghasilkan reaksi darurat karena tubuh sebelumnya telah siap untuk mempertahankan diri melalui aktivitas saraf simpatis. Respons tersebut memberikan kesempatan coping pada individu. Pemaparan stres yang berkelanjutan menyebabkan penurunan keseluruhan tingkat pemungsian tubuh karena secara konstan hormon tersebut dihasilkan oleh tubuh. Efek jangka panjang dapat memunculkan kerusakan jaringan tubuh seperti pembuluh darah dan jantung yang pada akhirnya individu menjadi rentan aada penyakit karena kemampuan untuk memerangi infeksi mengalami penurunan (Feldman, 2012: 214-217).
20
Fromm beranggapan bahwa manusia yang sehat secara mental akan berusaha menemukan jawaban atas keberadaan dirinya. Manusia yang sehat akan berusaha menemukan cara untuk bersatu dengan dunia. Cara yang bisa dilakukan manusia di sini adalah dengan secara produktif memenuhi kebutuhan manusia yang berkaitan dengan keterhubungan, keunggulan, keberakaran, kepekaan akan identitas, dan kerangka orientasi. 1.6.1.1 Keterhubungan: Simbiosis Antara Pribadi Dominan dan Submisif Kebutuhan pertama manusia adalah kebutuhan akan keterhubungan. Kebutuhan ini mendorong manusia untuk bersatu dengan orang lain atau lebih. Tiga cara yang dikemukakan Fromm untuk manusia merasakan keterhubungan dengan dunia, yaitu kepasrahan, kekuasaan, dan cinta. Fromm mengatakan bahwa dengan pasrah pada orang lain, kelompok, atau institusi, individu akan menjadi satu kembali dengan dunia maka dengan begitu keberadaan individu tidak lagi terpisah dengan dunia karena telah menjadi bagian dari seseorang atau sesuatu yang lebih besar. Dengan begitu individu akan merasakan jati diri dalam hubungannya dengan kekuasaan dari siapapun tempat individu memasrahkan diri (Feist & Feist, 2013: 230). Begitu pula dengan orang-orang dominan atau para pencari kekuasaan, mereka dengan senang hati menerima kedatangan orang-orang pasrah. Akan tetapi, menurut Fromm bersatunya individu-individu dalam hubungan ini bukan didasari cinta. Melainkan kebergantungan satu sama lain. Hal yang dipercayai Fromm adalah cintalah satu-satunya jalan untuk individu bersatu dengan dunia, sebab dalam definisinya mengenai cinta Fromm menyebutkan cinta itu meliputi persamaan dan berbagi dengan orang lain. Cinta
21
tetap memberi individu kebebasan untuk menjadi unik dan terpisah. Dalam The Art of Love, rasa peduli, tanggung jawab, hormat, dan pengetahuan disebutkan Fromm sebagai empat elemen dasar yang sering ditemukan dalam cinta yang tulus. 1.6.1.2 Keunggulan: Menciptakan Versus Menghancurkan Manusia memiliki kebutuhan akan keunggulan. Kebutuhan ini muncul sebagai bentuk dari peran pasif manusia yang hanya merupakan ciptaan. Kehadiran manusia di dunia tidak didasarkan pada keinginan mereka sendiri. Menurut Fromm melalui proses pencitpaan manusia mampu meredakan perasaan tidak berdaya mereka sebagai ciptaan. Itulah yang memunculkan daya kreatif manusia sehingga dapat terlibat dalam seni, memiliki gagasan-gagasan, melakukan produksi, dan lain sebagainya. Dengan berkreasi individu secara aktif dan peduli melakukan produksi. Di sisi lain manusia pun memiliki cara yang berseberangan untuk memenuhi kebutuhan ini, misalnya dengan merusak. Membunuh bisa menjadi sebuah contoh menarik. Fromm dalam bukunya yang berjudul Anatomi Sifat Merusak Manusia menyebutkan bahwa hanya manusia yang memiliki alasan agresi keji dengan mengatasnamakan “mempertahankan diri” sebagai alasan membunuh, tetapi Fromm juga memberi rasa tenang dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku secara umum pada setiap individu (Feist & Feist, 2013: 321). 1.6.1.3 Keberakaran: Kebutuhan akan Ikatan Semua individu tentu mendambakan kedamaian. Dunia akan menjadi damai apabila manusia mengakar keberadaannya pada ikatan persaudaraan. Dengan
22
adanya ikatan membuat manusia merasa nyaman ada di dunia. Kebutuhan ini membuat individu merasa memiliki keterlibatan dengan dunia. Kebutuhan ini muncul sebagai bentuk dari keinginan manusia untuk kembali pulang ke dunia. Di sini manusia merasa terasing sebab tidak memiliki rumah, tidak memiliki akar. Ketika manusia kehilangan akarnya, ia akan merasa hidup sendirian dam tidak ada manusia yang mampu menghadapi situasi tersebut (Fromm, 2002: 37). Seorang anak merasa ingin kembali pada penyapihan ibu, karena dengan kembali ia akan merasa aman dan kembali terintegrasi pada sosok ibu. Oedipus Complex dalam pandangan Fromm berkaitan dengan keinginan anak untuk tetap berada atau kembali ke rahim yang melindungi. Fromm memilih teori masyarakat matriarkal dari Johann Jacob Bachofen yang menyatakan bahwa ibu adalah figur utama dalam masyarakat kuno, justru ibulah yang menyediakan akar bagi anakanak dan memotivasi mereka (Feist & Feist, 2013: 232). 1.6.1.4 Kepekaan akan Identitas: Sebuah Usaha Menjadi Mereka Sejak awal manusia telah merasakan keterpisahan dengan dunia, maka dari itulah manusia membutuhkan rasa kepekaan akan identitas. Kepekaan identitas ini membantu manusia dalam membetuk konsepsi tentang dirinya (Fromm, 2002: 59). Rasa terpisah ini mendorong manusia untuk mengidentifikasi diri mereka lebih dekat dengan kelompok mereka sendiri. Manusia diidentifikasi berdasarkan peran sosial. Identitas seorang individu di dunia ditentukan kepada ketertarikan mereka dengan orang lain atau instansi, seperti bangsa, agama, pekerjaan, dan kelompok sosial (Feist & Feist, 2013: 233). Artinya, individu membentuk perasaan identitas dengan menyesuaikan sifat-sifat suatu bangsa, ras, agama, atau
23
pekerjaannya.
Inilah
mengapa
individu-individu
terus
bergerak
untuk
menyesuaikan diri dengan sosialnya. 1.6.1.5 Kerangka Orientasi: Peta Jalan untuk Menyatu dengan Dunia Manusia yang telah terpisah dari dunia membutuhkan peta jalan, kerangka arah, atau orientasi untuk mencari jalannya. Tanpa adanya peta jalan, manusia tidak akan dapat melakukan tindakan yang memiliki tujuan jelas. Manusia akan melakukan apa saja untuk mempertahankan dan mendapatkan kerangka orientasi, hal ini disebabkan oleh keinginan manusia untuk kembali bersatu dengan dunia. Manusia-manusia modern didominasi oleh kebutuhan untuk membentuk kerangka orientasi yang mengantarkan mereka pada kebahagiaan dan ketentraman hidup dengan orang lain (Fromm, 2002: 63). Kelima kebutuhan ini muncul sebagai wujud dari keberadaan manusia sebagai makhluk yang telah terpisah dan menggerakkan manusia ke arah kesatuan kembali dengan dunia. Manusia akan sangat berusaha dengan kuat untuk memenuhi kebutuhan ini agar rasa cemas yang dirasakan manusia bisa teratasi. Akan tetapi, konsekuensi dari terpenuhinya kebutuhan manusia tersebut adalah lepasnya indivualitas manusia atau menyatunya manusia dengan sosial. Hilangnya individualitas telah membawa manusia pada lari dari kebebasan.
1.6.2 Mekanisme Pelarian Diri Kebebasan menjadi sebuah kerinduan yang mengakar pada diri manusia, sehingga manusia selalu berusaha mendapatkan kebebasan. Setelah manusia lepas dari alam dan mendapatkan kebebasan, manusia akan muncul sebagai individu.
24
Pada dasarnya gambaran sejarah individu adalah sama. Mulai dari seorang anak dilahirkan sehingga ia tidak lagi bersatu dengan ibunya. Keterpisahan ini justru menjadi awal bagi eksistensi manusia secara individual, tetapi menjadi sebuah kesalahan apabila kita menganggap anak benar-benar lepas dari ibunya. Selama beberapa waktu anak masih harus menggantungkan hidup kepada sang ibu, karena anak belum sepenuhnya bisa melepas tali pusarnya dengan dunia, maka ia tidak memiliki kebebasan (Fromm, 1999: 23). Anak menjadi sangat bergantung kepada sang ibu. Meski terlepas dengan kebebasannya, anak tetap bergerak berusaha kembali kepada sang ibu karena dari sang ibulah muncul ikatan-ikatan yang mengikat anak. Akan tetapi ikatan-ikatan tersebut justru memberikan rasa keamanan dan perasaan memiliki, serta merasa mengakar di suatu tempat (Fromm, 1999: 23). Dari ikatan-ikatan inilah dapat terlihat bentuk kekurangan dari individualitas manusia. Eksistensi anak dimulai dari terpotongnya tali pusar yang menghubungkan sang ibu dengan anak. Kemandirian anak terbentuk perlahan karena ia telah terlepas dari keterhubungannya dengan sang ibu. Meskipun mengalami keterpisahan, anak tetap tidak pernah lepas (bebas) dari sang ibu, sebab yang lepas adalah tubuh mereka atau dalam istilah Fromm sebagai keterpisahan tubuh. Secara fungsional, anak masih terhubung dengan sang ibu, misalnya dalam bentuk penyapihan, penggendongan, perlindungan, dan pemenuhan semua kebutuhan pokok masih dilakukan oleh sang ibu. Meski dengan pergerakan yang perlahan, anak mulai memahami entitas dirinya yang terpisah dari sang ibu. Maka, atas
25
kesadaran ini anak memiliki kemampuan untuk memegang dan mengenai objek lain, baik secara fisik maupun mental. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa proses kelahiran membuat manusia mengalami individualisasi. Individualisasi yang dialami manusia ini menimbulkan aspek lain, yaitu kesepian-kesepian. Anak yang telah lepas tali pusarnya dengan sang ibu merasakan kesepian dan memunculkan kesadaran kalau ia sendirian. Rasa kesepian ini muncul sebagai ancaman bagi manusia karena dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan kecemasan. Itulah mengapa manusia kembali merasakan ikatan-ikatan yang mengikat anak dengan sang ibu dirasakan menjadi hal yang paling aman dan nyaman karena memberikan selain keamanan juga memberikan kesatuan dasar dengan alam atau sesuatu di luar diri manusia itu sendiri. Kecemasan yang dialami karena kesendirian itu akan menghasilkan manusia yang neurosis. Sementara menurut Fromm manusia yang sehat atau normal didefinisikan sebagai manusia yang dapat memenuhi peran sosial sebagaimana selayaknya peran yang ia perankan dalam masyarakat (Fromm, 1999: 137). Hal ini memunculkan anggapan bahwa manusia yang tidak dapat menjalankan perannya dianggap cacat dan menjadi individu yang tidak berharga, sehingga manusia berlomba-lomba menyesuaikan diri dengan menjadi manusia yang berharga dalam skala nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya beromba-lomba berada di kedudukan tinggi. semakin tinggi kedudukan seseorang semakin terlihat berharga keberadaannya di mata sosial. Tidak jarang manusia mengorbankan dirinya untuk
26
menjadi manusia yang dianggap sehat atau normal dalam masyarakat. Manusia akan kehilangan segala bentuk individualitas dan spontanitasnya. Manusia merupakan makhluk yang dilematis. Setelah mendapatkan kebebasan, manusia justru bergerak untuk melepaskan kebebasannya. Kecemasan akan kesadaran diri bahwa manusia itu sendiri tidak pernah bisa lepas dari dunia menyebabkan manusia melakukan pelarian dari kebebasan, sehingga kebebasan itu tidak pernah ada sebab manusia modern telah lari darinya. Fromm memperkenalkan beberapa mekanisme pelarian diri manusia dari kebebasan, yaitu otoritarisme, kedestruktifan, dan konformitas. 1.6.2.1 Otoritarisme Mekanisme
pelarian
diri
dari
kebebasan
ini
merupakan
sebuah
kecenderungan untuk menghilangkan kemandirian diri sendiri untuk mendekatkan diri dengan seseorang atau sesuatu di luar diri (Fromm, 1999: 140). Mekanisme pelarian diri ini terjadi untuk mencari ikatan-ikatan lain sebab manusia telah lepas dari ikatan primernya, yaitu tali pusar sang ibu yang telah disebutkan sebelumnya. Bentuk dari pelarian ini adalah dengan menjadi tunduk atau justru menundukkan sesuatu, dengan kata lain menguasai. Kesepian telah menjadi ancaman yang sangat dihindari manusia sehingga mengupayakan diri untuk mencari suatu untuk didekati atau ditaklukkan. Kesepian telah menjadikan manusia memunculkan kecenderungan untuk tergantung dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya. Tidak akan ada keinginan untuk menegakkan diri, mengerjakan apa yang diinginkan, sebaliknya justru menundukkan diri pada perintah-perintah yang disebutkan oleh orang-orang yang dianggapnya memiliki kekuatan.
27
Bentuk lain dari pelarian ini adalah menguasai. Untuk menguasai justru dibutuhkan orang-orang yang merasa rendah diri sehingga dua bentuk pelarian ini memiliki kaitan satu sama lainnya. Tindakan menguasai dari seseorang tidak bisa disebut orang itu telah mendapat atau memiliki kebebasan. Ia pun merupakan orang yang memiliki ketergantungan pada orang lain, yaitu objek sadistisnya. 1.6.2.2 Kedestruktifan Kedestruktifan juga berakar pada perasaan kesepian dan kesendirian manusia. Penghancuran ini berbeda dengan bentuk menguasai yang disebutkan sebelumnya. Dalam mekanisme ini, manusia yang merasaan kesepian akan melakukan penghancuran terhadap perasaan kesepian itu. Penghancuran ini memiliki kecenderungan yang tetap hidup pada diri seseorang tetapi pengungkapannya hanya menunggu waktu dan kesempatan (Fromm, 1999: 178). Destruktif pada dasarnya ditujukan untuk membentuk hubungan dengan orang lain, ketika usaha untuk mendapat ikatan dengan orang lain terhalangi, maka muncullah perilaku destruktif. Destruktif bertujuan untuk menghancurkan atau merusak kekuatan pihak lain yang menjadi penghalang dalam terciptanya sebuah ikatan. Ketika seseorang merasa tidak sanggup untuk menghancurkan objek penghalang, tidak jarang dirinya sendirilah yang menjadi sasaran, sehingga kasus psikoneurosis dan bunuh diri menjadi pelarian. Penghancuran juga muncul dalam bentuk lain, yaitu untuk mengancurkan segala objek yang menjadi pembanding diri sendiri. 1.6.2.3 Konformitas Perasaan cemas yang muncul pada diri manusia setelah mengalami keterlepasan dari dunia, manusia mencoba mengatasinya dengan membaur
28
bersama kekuatan besar di luar dirinya sehingga anacaman tidak lagi dirasakan. Mekanisme penyesuaian diri merupakan mekanisme pelarian yang dianggap paling “normal” dalam masyarakat modern. Manusia diberikan kebebasan untuk berpikir, merasa, dan berbuat seperti apa yang diinginkan. Akan tetapi tidak semua manusia menyetujui hal ini sehingga banyak yang menggunakan mekanisme ini untuk melakukan pelarian dari kebebasan. Kesepian yang dirasakan telah membuat manusia bergerak secara otomatis melawan arus gagasan tersebut (Fromm, 1999: 184). Ketika kebudayaan menawarkan sebuah bentuk kehidupan, manusia begitu saja menggunakannya sebagai miliknya sehingga tidak jarang kita menemukan bentuk-bentuk yang sama. Ketidaksesuaian antara “diri” dengan dunia menjadi hilang dengan begitu saja, sesaat setelah manusia menerima bentuk kehidupan yang ditawarkan kebudayaan padanya.
1.6.3 Kajian Sastra dalam Psikoanalisis Erich Fromm Sastra bukan merupakan hal yang asing bagi Fromm. Buku-buku yang ditulisnya menggunakan sastra dan pengarang sebagai salah satu cara untuk menunjukkan kondisi-kondisi yang ada dalam masyarakat. Dalam bukunya yang berjudul The Sane Society, Fromm menjelaskan melalui karya Luigi Pirandello dapat dilihat kondisi masyakarakat pra-demokrasi yang menggunakan identitas lingkungan sebagai identitas diri sendiri. Satu kutipan dari karya Pirandello yang digunakan Fromm untuk menjelaskan kondisi saat itu bahwa “aku adalah sebagaimana keinginanmu” (Fromm, 2002: 61). Bagi Fromm, Pirandello
29
melukiskan orang-orang di masa itu mengesampingkan identitas diri demi mengikuti identitas klan. Pirandello sendiri dalam karya-karyanya lebih tertarik pada masalah-masalah yang berkaitan dengan identitas. Bagi Pirandello, diri ada hanya dalam hubungannya dengan yang lain,3 sehingga Fromm menyebutnya sebagai identitas individu bersandar pada rasa yang dimiliki banyak orang tanpa dipertanyakan. Dengan demikian konformitas menjadi hal yang biasa dilakukan oleh individu pada masa itu. Melalui sajak Tennyson dan haiku dari Basho, Fromm menjabarkan dua modus eksistensi. Dua puisi tersebut Fromm jadikan sebagai penggambaran pengalaman
pengarang
dalam
memandang
kehidupan
yang
kemudian
merepresentasikan masyarakat. Tennyson bereaksi pada bunga dengan keinginan untuk memilikinya, “kupegang engkau dengan tangan sampai ke akar-akar”. Di akhir sajak ia memberikan renungan mengenai kodrat Tuhan dan manusia, bahwa bunga itu mati karena keinginan memiliki yang terlalu besar. Sementara reaksi Basho terhadap bunga tersebut berbeda sama sekali. Ia tidak ingin memetiknya, bahkan menyentuhnya pun tidak, yang dilakukannya hanyalah mengamati dengan seksama untuk dapat menikmati keindahannya. Fromm memandang bahwa rupanya Tennyson merasa perlu memiliki bunga tersebut untuk dapat mengerti kehidupan. Menurut Fromm, melalui pandangan Tennyson, seperti yang terlihat dalam puisinya, ia mempelihatkan bahwa ilmuan-ilmuan Barat mencari kebenaran dengan memaknai kehidupan melalui memecah bagian-bagiannya, selain itu juga
3
http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/1934/pirandello-bio.html
30
memperlihatkan karakteristik “memiliki” masyarakat Barat yang rakus akan uang, popularitas, dan kekuatan yang mendominasi kehidupan mereka (1997: 16-17). Kedua analisis yang diberikan Fromm tersebut memperlihatkan bahwa psikoanlisis humanistis yang diperkenalkannya memiliki kedekatan dengan seni, termasuk sastra. Fromm menyebutkan bahwa psikoanalisis memiliki tujuan untuk mengenali hal-hal yang berseberangan dengan akal sehat tetapi disadari sebagai hal yang nyata. Sesuatu yang nyata tidak berada pada alam sadar seseorang, sebab hal-hal yang mengisi kesadaran hanyalah fiksi belaka. Dalam kasus ini Fromm menjadikan mimpi sebagai contohnya. Mimpi merupakan kesadaran yang dilarang masuk waking consciousness karena hal tersebut tidak dapat melewati filter sosial. Ketika sebuah kesadaran tersebut ditekan ke ketidaksadaran karena tidak dapat melewati filter sosial, seseorang kehilangan kontak dengan hal tersebut. Itulah mengapa Fromm mengatakan bahwa sosial adaptasi membuat manusia buta pada sejumalah fakta (1996).4 Masyarakat berusaha menekan kesadaran yang sebenarnya, sebab manusia dengan kesadaran tersebut bisa menjadi lebih radikal dan berbahaya bagi “fiksi-fiksi” yang diciptakan oleh sosial. Kepentingan sosial tidak berpijak pada perkembangan kebebasan manusia, tetapi pada urusan untuk membuat manusia berguna dan selalu ada, serta mengeksploitasi energi manusia untuk kepentingan masyarakat.5 Fromm menyamakan fungsi psikoanalisis dengan seni, yaitu untuk melampaui realita. Pelukis dan pemain drama yang hebat mampu menunjukkan 4
5
Sumber asli termuat dalam Tagebuch. Monatshefte für Kultur, Politik, Wirtschaft, Band 21 (No. 9, 1966), pp. 5-6; naskah tersebut diterjemahkan oleh Florian Nadge diunduh pada https://www.marxists.org/archive/fromm/works/1966/psychoanalysis.htm pukul 23 September 2015 pukul 16.28. Ibid.
31
yang nyata dengan yang konvensional, diterima, dan menyenangkan, sebab menurut Fromm senimanlah yang mampu menyampaikan kebenaran pada umat manusia.6 Ketika dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memenuhi kesadaran manusia dengan fiksi-fiksi demi kepentingannya sendiri, maka melalui mata seorang senimanlah realitas itu ada dan membantu manusia melihat segala sesuatu yang tidak disadari.
1.7
Hipotesis dan Variabel Hipotesis menurut Suriasumantri dan Wirawan (dalam Faruk, 2012: 21)
merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan teori yang digunakan berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian. Berdasarkan konsep tersebut maka Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelarian diri seseorang adalah ancaman, individuasi, dan pemenuhan kebutuhan manusia. 2. Mekanisme pelarian diri yang digunakan setelah melihat faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu: otoritarisme, kedestruktifan, dan konformitas. Penulis menggunakan mekanisme pelarian otoritarisme, kedestruktifan, dan konformitas yang terlihat setelah kebutuhan manusia terpenuhi. Otoritarisme terbentuk setelah terpenuhi kebutuhan keterhubungan. Kedestruktifan muncul setelah kebutuhan keunggulan terpenuhi. Sementara konformitas tercipta setelah kebutuhan kerangka orientasi, keberakaran, dan kepekaan identitas terpenuhi.
6
Ibid.
32
Wirawan dalam Faruk (2012: 22) menyebutkan variabel merupakan konsep hipotesis yang diwujudkan dalam dua atau lebih kesatuan dari variasi hitungan dan ukuran yang kemudian relasi antarkonsep tersebut dapat menentukan kedudukan masing-masing variabel tersebut. Apakah kemudian nantinya suatu variabel termasuk bebas (yang tidak terpengaruh variabel lain justru memengaruhi variabel lain) atau terikat (dipengaruhi oleh variabel lain). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka terdapat dua variabel, yaitu mekanisme pelarian diri dan faktorfaktor pelarian diri. Mekanisme pelarian diri merupakan variabel bebas dari penelitian ini, sementara faktor yang memengaruhi pelarian diri merupakan variabel terikatnya. Mekanisme pelarian diri menjadi variabel bebas karena ia mengikat faktor-faktor yang memengaruhi pelarian diri tersebut. Peneliti dapat menentukan jenis pelarian diri setelah melihat kebutuhan yang dipenuhi sebelumnya.
1.8
Metode Penelitian Dalam
metode
penelitian
diuraikan
mengenai
bagaimana
proses
menentukan dan mendapatkan data untuk penelitian. Selain itu juga mengenai bagaimana data tersebut dianalisis dan disajikan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif berawal dari sebuah fenonema (Creswell, 2012: 193). Sebuah fenomena akan berkembang dari waktu ke waktu sehingga fenomena tersebut bisa saja berubah. Perubahan tersebut kemudian bisa dieksplorasi lebih jauh. Menurut Moleong, penelitian kualitatif membantu kita
33
untuk memahami sebuah fenomena yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data Berdasarkan masalah yang ingin dijawab dan konsep yang digunakan sebagai landasan teoretis, data-data yang dipilih dengan memerhatikan pandangan teoretiknya, yaitu mekanisme pelarian diri. Data diambil dalam bentuk kata-kata, sehingga ketiga seri novel KKPK Little Ballerina karya Thia digunakan sebagai sumber data utama sementara data tambahan didapat dari wawancara dengan Thia. Moloeng menyebutkan bahwa dalam penelitian kualitatif kata-kata tertulis atau terlisankan merupakan sesuatu yang harus diamati (2001: 3). Data ini berupa faktor-faktor yang mempengaruhi pelarian diri sehingga terlihat mekanisme pelarian diri tokoh dari kebebasan. Selain itu data-data juga diperoleh dari tulisantulisan yang berkaitan dengan kebebasan, tulisan-tulisan mengenai anak-anak baik perkembangan maupun kehidupan juga dijadikan sebagai data pelengkap.
1.8.2 Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat hubunganhubungan tekstual yang ada dalam tiga seri novel KKPK Little Ballerina dalam kaitannya dengan konsep mekanisme pelarian diri. Data yang diperoleh tidak akan dibaca secara terpisah satu dengan lainnya, karena data yang satu dengan yang lainnya akan membentuk keterikatan. Satu data yang didapat perlu dikaitkan dan akan mengaitkan data yang lain untuk menemukan kesimpulan yang tidak akan
34
muncul apabila data dibaca secara terpisah. Dengan demikian, untuk menemukan mekanisme pelarian diri yang digunakan, terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pelarian diri, sebab faktor-faktor yang mempengaruhi pelarian diri dapat memperlihatkan mekanisme yang dilakukan. Selain itu, data-data yang berasal dari luar novel tetap dilihat keberadaannya sebagai hal yang memengaruhi, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan psikologi perkembangan manusia.
1.8.3 Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri dari empat bab yang berisikan sebagai berikut; pendahuluan, pembahasan, dan kesimpulan. Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini terdapat beberapa sub judul, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis dan variabel, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Melalui uraian pada bab I, pembaca diharapkan mendapatkan gambaran awal tentang tesis ini. Pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam dua bab. Dalam bab II diberi judul dengan ‘Faktor Pengaruh Pelarian Diri’ berisi subbab, ancaman kebebasan, proses individuasi, dan pemenuhan kebutuhan manusia. Bab ini akan menjelaskan proses pelarian diri seseorang dari kebebasan. Mulai dari mendapatkan kebebasan awal yang kemudian diikuti dengan ancaman. Seperti yang dikatakan Fromm bahwa kebebasan manusia selalu dibayang-bayangi oleh ancaman-ancaman. Ancaman tersebut bisa berupa ketidaknyamanan ketika berhadapan dengan suatu hal. Tujuan penguraian bab II dilakukan untuk
35
memberikan gambaran proses pelarian diri seseorang. Penguraian ini dirasakan penting apabila mengacu pada rumusan masalah yang ingin menemukan mekanisme pelarian diri, sebab dengan melihat proses pelarian diri maka mekanisme yang digunakan seseorang dapat dilihat. Hal ini dikarenakan diakhir proses pelarian diri, seseorang akan bersinggungan dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Melalui pemenuhan kebutuhan manusia inilah dapat dilihat mekanisme yang dipilih seseorang untuk melarikan diri. Apabila tahapan ini tidak dilakukan, maka mekanisme pelarian diri itu sendiri tidak dapat tampak. Pada bab III akan dipaparkan pembahasan mengenai mekanisme pelarian diri Thia yang dengan melihat tokoh Cher. Uraian-uraian dalam bab ini dilakukan sebagai bentuk analisis yang dilakukan terhadap ketiga seri novel KKPK dan dikaitkan dengan kehidupan penulisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme yang digunakan adalah mekanisme konformitas. Mekanisme ini terlihat kuat kemunculannya. Sementara itu, dua mekanisme lainnya bukan tidak digunakan melainkan hanya terpendam keberadaannya atau dengan kata lain mereka tetap ada. Bab IV merupakan kesimpulan hasil analisis yang telah dilakukan.