BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan yang berdiri pasti pernah mengalami krisis, entah itu krisis
yang disebabkan oleh internal maupun eksternal, entah itu krisis yang diakibatkan oleh bencana alam, kecelakaan industri, persepsi publik ataupun karena faktor-faktor lainnya. Krisis tidak dapat ditolak oleh perusahaan karena perusahaan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan lajunya perusahaan. Krisis bisa menjadi mata uang, ia bisa merugikan perusahaan atau malah menjadi momen yang dapat menguntungkan perusahaan. Hal ini bisa dilihat dari respon dan komunikasi krisis yang dilakukan oleh tim krisis perusahaan yang biasanya ditangani oleh divisi Public Relations atau divisi komunikasi suatu perusahaan. Jika perusahaan mengalami krisis, perusahaan dituntut untuk merespon dan menyelesaikan krisis yang terjadi dan sejatinya Public Relations ada di dalam organisasi untuk menjembatani perusahaan dengan publiknya. Perusahaan harus dikelola dengan baik agar reputasi perusahaan bisa terjaga dengan baik untuk keberlangsungan perusahaan di tengah-tengah masyarakat. Krisis membuat perusahaan dalam posisi yang menjadi perhatian masyarakat luas, khususnya media sebagai media informasi warga. Oleh karena itu perusahaan harus berkomunikasi dengan cepat, akurat dan terampil dengan beberapa kelompok
1
2
penting seperti karyawan, media, pemegang saham, komunitas, Sesuai
dengan
fungsi
dan
pemerintah.
Public Relations dalam manajemen, seorang praktisi
Public Relations juga harus bertindak sebagai komunikator sekaligus mediator yang membantu pihak eksekutif atau manajemen mendengar apa yang diinginkan dan diharapkan oleh publiknya. Di pihak lain, praktisi Public Relations juga dituntut untuk menjelaskan kembali kebijakan organisasi kepada publiknya. Diharapkan terciptanya komunikasi timbal balik yang menciptakan saling pengertian, saling percaya, saling mendukung, dan toleransi dari kedua belah pihak. Salah satu jenis perusahaan yang rentan mengalami krisis adalah perusahaan transportasi, perusahaan jasa yang vital bagi masyarakat karena jasanya untuk menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Perusahaan jasa transportasi terdiri dari perusahaan transportasi darat, laut, dan udara, dan masing-masing perusahaan tersebut memiliki kategori yang lebih khusus lagi. Misalnya perusahaan transportasi darat, memiliki jenis-jenis perusahaan transportasi seperti angkutan kota atau yang biasanya dikenal dengan sebutan angkot, bus antar kota, bus antar provinsi, jasa kereta api, jasa taksi, penyewaan mobil dan masih banyak lagi. Semua jenis perusahaan transportasi tersebut tentunya tidak bisa terhindar dari krisis dan hampir semua krisis yang terjadi menyebabkan korban, misalnya perusahaan jasa kereta api mengalami krisis yang diakibatkan oleh bencana alam sehingga rel yang digunakan untuk perjalanan kereta api mengalami kerusakan yang mengakibatkan kereta terguling dan mengakibatkan adanya korban, yaitu penumpang
3
kereta api dan perusahaan itu sendiri namun atribusi perusahaan kecil karena krisis terjadi karena kecelakaan. Contoh lainnya adalah perusahaan jasa penerbangan dengan kasus jatuhnya pesawat karena human error sehingga menyebabkan tewasnya kru dan penumpang dalam pesawat dan perusahaan memiliki atribusi yang besar dalam krisis ini karena perusahaan dianggap sebagai penyebab krisis oleh publik. Lain hal lagi dengan perusahaan transportasi yang mengalami krisis namun yang menjadi korbannya adalah perusahaan itu sendiri seperti yang dialami oleh perusahaan taksi Blue Bird yang mengalami penolakan di beberapa kota di Indonesia, khususnya di kota Batam oleh pesaingnya. Krisis-krisis yang dialami perusahaan tersebut tentunya akan diliput oleh media masa karena transportasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari untuk menghubungkan manusia dari wilayah satu ke wilayah lainnya dan digunakan untuk memajukan berbagai macam aspek kehidupan seperti perdagangan, pariwisata, pendidikan, industri, dan aspek sosial. Transportasi akan selalu menjadi bagian utama yang dibutuhkan oleh siapapun, maka dari itu masyarakat membutuhkan jasa transportasi yang aman, nyaman, dan mudah didapatkan. Penanganan krisis pada sebuah perusahaan dapat dilakukan dengan komunikasi baik itu internal maupun eksternal. Komunikasi krisis bertujuan untuk mempertahakankan kredibilitas dan reputasi perusahaan. Komunikasi pada saat krisis ini dilakukan untuk memberikan informasi yang akurat kepada publik khususnya melalui media mengenai apa yang telah menimpa perusahaan, sehingga publik tidak
4
bertanya-tanya atau berprasangka buruk terhadap apa yang terjadi karena pada saat krisis terjadi kebutuhan akan informasi yang tinggi. Pemenuhan akan informasi ke publik tersebut dilakukan melalui media cetak maupun media elektronik. Melalui Situational Crisis Communication Theory (SCCT), respon, posisi, dan cara pengolahan krisis oleh suatu perusahaan mencerminkan bagaimana perusahaan tersebut memperlihatkan respon dan tanggung jawabnya terhadap krisis tersebut. Blue Bird yang mengalami krisis perusahaan dengan atribusi yang berbeda dari perusahaan-perusahaan transportasi lainnya di mana dalam krisis perusahaan menjadi korban dan perusahaan tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap krisis yang dialami. Walaupun tidak mengakibatkan korban jiwa namun merugikan reputasi, hal inilah mengapa Blue Bird Group disebut mengalami krisis. Pada bulan Agustus 2012 Blue Bird Group merealisasikan 50 unit armada Blue Bird dari izin yang diberikan oleh Dinas Perhubungan Kota Batam. Blue Bird pun telah mengirimkan 50 unit mobil ke Batam dan melakukan rekrutmen untuk pengemudi dan karyawan Blue Bird Pool Batam, sehingga Blue Bird telah mengeluarkan biaya produksi yang cukup besar untuk merealisasikan izin tersebut, mulai dari pembelian armada baru, pengiriman mobil, pajak, tanah, bangunan, pengiriman tim hingga rekrutmen staf dan pengemudi. Sebelumnya Pemerintah Kota Batam telah menerbitkan surat izin bagi Blue Bird untuk beroperasi di Batam sebanyak 500 unit, namun direvisi menjadi 300 unit. Dengan ini perusahaan mengharapkan operasional taksi Blue Bird di Batam dapat berjalan normal. Kenyataannya, taksi Blue Bird mendapatkan kecaman dari
5
taksi lokal yang melakukan demo besar-besaran untuk membatalkan izin operasional taksi Blue Bird di Batam. Karena tidak ada sosialisasi dari pihak Pemerintah Kota Batam tentang masuknya armada Blue Bird, terjadi penolakan besar-besaran. Mereka menganggap bahwa kehadiran taksi Blue Bird dapat mengganggu penghasilan mereka. Seperti yang kita ketahui bahwa taksi Blue Bird adalah taksi berargo, sedangkan taksi-taksi lokal di Batam adalah taksi dengan menerapkan sistem charter (menyewa) dan sharing (berbagi). Tentunya hal ini bertolak belakang dengan taksi Blue Bird sehingga masyarakat pun diramalkan akan memilih taksi yang lebih aman dan nyaman bagi mereka. Beberapa taksi yang tergabung ke dalam Forum Komunikasi Pengemudi Taksi Pulau Barelang (FKPTPB) yang menolak kehadiran taksi Blue Bird seperti Jala Taxi, Koptiba, Citra Wahara, Union Taxi, Barelang Express, Pinky Taxi, Barelang Taxi, dan Sea Port Taxi. Sebelum kehadiran Blue Bird, taksi-taksi tersebut memiliki tipe yang sama dalam menerapkan tarif, yaitu tidak menggunakan argo, tapi menggunakan sistem kesepakatan antara calon penumpang dan pengemudi. Taksitaksi lokal tersebut melakukan penolakan berupa demo agar pemerintah membatalkan izin taksi Blue Bird di Batam. Karena desakan tersebut, akhirnya Dinas Perhubungan Kota Batam membatalkan izin taksi Blue Bird secara sepihak dengan alasan keamanan kota Batam. Selama berbulan-bulan mobil tidak berjalan sehingga tidak dapat menghasilkan pemasukan. Karyawan dan pengemudi pun belum jelas nasibnya, namun mereka tetap setia menunggu dan optimis bahwa taksi Blue Bird dapat
6
beroperasi di Batam. Sama seperti perusahaan-perusahaan lainnya yang mengalami krisis, Blue Bird Group pun mengalami krisis perusahaan, yang akhirnya menjadi krisis Public Relations karena permasalahan ini diekspos oleh media lokal hingga nasional sehingga permasalahan ini menjadi perhatian lebih bagi masyarakat luas. Kerugian yang dialami oleh Blue Bird tidak hanya dialami oleh perusahaan, tapi juga dialami oleh karyawan dan pengemudi karena nasibnya yang terombangambing dan mereka tidak bisa menghidupi keluarganya dengan layak. Salah satu pengemudi Blue Bird bernama Ayong pun tak luput dari tindak kekerasan pengemudi taksi lokal di Batam. Ayong dipukuli oleh pengemudi taksi lokal sehingga mengalami luka di kepala dan armada Blue Bird yang dikendarainya rusak di beberapa sisi akibat ulah pengemudi taksi lokal yang menolak hadirnya Blue Bird di Batam. Sementara Public Relations Blue Bird Group menjalankan strateginya, pihak legal dari Blue Bird Group akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Umum Negara (PTUN) terhadap kebijakan tersebut. Hasil dari gugatan itu berhasil memenangkan Blue Bird Group sehingga Blue Bird Group dapat mengoperasikan 50 unit dalam tahap pertama. Itupun dengan berbagai macam syarat, misalnya seperti taksi Blue Bird tidak boleh menjemput tamu/penumpang dari bandara, mal, hotel, dan di jalan raya. Taksi Blue Bird hanya boleh berlaku jika dipesan melalui call center oleh calon penumpang. Lambat laun isu ini mendapatkan perhatian dari media lokal hingga nasional sehingga Public Relations Blue Bird Group ‘turun tangan’ membantu menangani permasalahan ini dengan komunikasi krisis yang sudah direncanakan.
7
Pentingnya respon krisis Public Relations dalam perusahaan transportasi darat (taksi) menjadi latar belakang peneliti untuk melakukan penelitian sehubungan dengan penolakan taksi Blue Bird di Batam. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana respon Public Relations sebuah perusahaan transportasi dalam menangani krisis. Peneliti memilih perusahaan Blue Bird Group sebagai objek pada penelitian ini karena kasus ditolaknya taksi Blue Bird di kota-kota besar selalu menjadi perhatian masyarakat dan media, sebelumnya taksi Blue Bird yang memiliki tagline ‘Beyond Transportation’ pernah mengalami penolakan besar-besaran di Bandung (2006) dan Bali (2010), yang kemudian terulang kembali di Batam (2012). Public Relations Blue Bird Group telah menyadari bahwa krisis yang melanda perusahaan tidak dapat didiamkan begitu saja, untuk keberlangsungan perusahaan, untuk keadilan dalam dunia perdagangan, untuk konsumen di Indonesia, dan untuk memajukan dunia transportasi di Indonesia. Respon Blue Bird bermacammacam, mulai dari pendekatan kepada pemerintah, kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) dan pendekatan kepada masyarakat. Tentunya upaya yang ada tidak luput dari dukungan manajemen dan bagian-bagian terkait. Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menguraikan respon yang telah dilakukan oleh Public Relations Blue Bird Group dalam komunikasi krisis dengan studi kasus penolakan taksi Blue Bird di Batam oleh taksi lokal, dalam hal ini pesaingnya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis berdasarkan pada Situasional Communication Crisis Theory (SCCT) yang dikemukakan oleh Coombs karena
8
Situational Crisis Communication Theory (SCCT) merupakan satu-satunya teori yang membagi respon pada tanggung jawab perusahaan dari sebuah krisis. Blue Bird Group telah memiliki divisi Public Relations di bawah divisi Corporate Image dan dibawahi oleh Vice President Business Development. Divisi Public Relations di Blue Bird Group berada pada middle management dan mempunyai jalur langsung dengan top manajemen. Tentunya hal ini merupakan salah satu bentuk kesadaran dari perusahaan akan pentingnya Public Relations. Jika ditarik benang merahnya, teori ini mengatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan
pada
bagaimana
individu
melihat
reputasi
suatu
organisasi/perusahaan dalam keadaan krisis dan tanggapan perasaan dan perilaku mereka terhadap organisasi atas krisis tersebut. Selain itu dalam teori ini juga akan dijelaskan posisi perusahaan dalam krisis serta seberapa besar tanggung jawab perusahaan yang diakibatkan krisis tersebut. Situational Crisis Communication Theory (SCCT) juga dapat digunakan untuk mengevaluasi atau mengukur seberapa besar ancaman terhadap reputasi organisasi, khususnya di masa krisis. Teori ini juga dapat menunjukkan pentingnya mengatur strategi pesan agar dapat memengaruhi frame media dan publik sehingga persepsi publik terhadap perusahaan cenderung positif karena persepsi publik secara tidak langsung juga dapat dipengaruhi oleh media massa. Peneliti telah melakukan pra-observasi dengan Public Relations Blue Bird Group dan dari hasil pra-observasi tersebut disimpulkan bahwa peneliti merasakan butuh adanya formula atau respon dan langkah yang efektif untuk menghadapi krisis
9
serupa. Peneliti mengharapkan penelitian ini nantinya dapat memberikan masukan kepada pihak Blue Bird Group mengenai kinerja Public Relations khususnya dalam merespon krisis agar dapat digunakan sebagai acuan jika taksi Blue Bird akan ekspansi dan beroperasi di kota lain. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai kajian bagaimana Blue Bird Group merespon krisis mengingat perusahaan ini sudah ‘Go Public’ November 2014 lalu sehingga krisis tidak akan mempengaruhi saham. Selain itu peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan bagi perusahaan lain yang sejenis untuk melakukan ekspansi ke daerah lain. Melihat kasus penolakan taksi Blue Bird di Batam oleh pesaing lokal yang sebelumnya sudah terjadi di kota-kota sebelumnya, dan peristiwa penolakan ini tidak pernah dialami oleh taksitaksi lain sehingga menarik peneliti untuk melakukan penelitian berdasarkan pendekatan kualitatif melalui observasi mengenai respon Blue Bird Group yang dilakukan oleh Public Relations dalam menangani krisis tersebut selama periode Agustus 2012 – Januari 2013 karena krisis tersebut ada dalam rentang waktu yang telah peneliti sebutkan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis membahas judul penelitian sebagai berikut : RESPON BLUE BIRD GROUP MENGHADAPI KRISIS PUBLIC RELATIONS DALAM PERSPEKTIF SITUATIONAL COMMUNICATION CRISIS THEORY (SCCT) (ANALISA DESKRIPTIF PENOLAKAN MASUKNYA TAKSI BLUE BIRD DI BATAM OLEH OPERATOR TAKSI LOKAL PERIODE AGUSTUS 2012 – JANUARI 2013)
10
1.2.
Fokus Penelitian Fokus penelitian dalam penelitian ini dibatasi hanya pada permasalahan
mengenai
respon
Blue
Bird
Group
dalam
perspektif
Situational
Crisis
Communication Theory (SCCT) pada kasus penolakan taksi Blue Bird di Batam periode Agustus 2012 – Januari 2013. Alasan peneliti memilih teori ini sebagai acuan penelitian adalah karena Situational Crisis Communication Theory (SCCT) adalah satu-satunya teori yang membahas respon krisis dan pembagiannya dalam beberapa klaster/tipe krisis. Kesimpulannya batasan-batasan dalam penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan berikut: 1.
Bagaimana respon Blue Bird Group dalam menghadapi krisis komunikasi dalam kasus penolakan taksi Blue Bird di Batam?
2.
Bagaimana sudut pandang Situational Crisis Communication Theory (SCCT)
terhadap krisis komunikasi yang dijalankan oleh Public
Relations Blue Bird Group saat mengatasi penolakan taksi Blue Bird di Batam?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini berdasarkan dengan pertanyaan penelitian yang
telah dipaparkan sebelumnya adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui respon Blue Bird Group saat menghadapi krisis komunikasi dalam kasus penolakan taksi Blue Bird di Batam.
11
2.
Untuk mengetahui sudut pandang Situational Crisis Communication Theory (SCCT)
terhadap krisis komunikasi yang dijalankan oleh
Public Relations Blue Bird Group saat mengatasi penolakan taksi Blue Bird di Batam. . 1.4.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang dilakukan terbagi menjadi tiga, manfaat
teoritis, manfaat praktis, dan manfaat sosial dengan uraian sebagai berikut : 1.4.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan ilmu komunikasi khususnya Public Relations dengan kajian manajemen krisis. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan bagi penelitian selanjutnya, khususnya bagi penelitian yang memiliki kasus sejenis. 1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk Blue Bird Group, khususnya dalam meningkatkan manajemen krisis Public Relations Blue Bird Group untuk melakukan ekspansi ke daerah-daerah di Indonesia yang belum ada taksi Blue Bird. 1.4.3. Manfaat Sosial Manfaat sosial yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah memberikan kajian terhadap masyarakat di suatu daerah dalam menerima
12
sesuatu yang baru berasal dari luar daerah tersebut. Selain itu manfaat sosial yang diharapkan adalah kehadiran Blue Bird Group di kota-kota lain dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan dijadikan kompetisi positif oleh pesaingnya.