Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah dan Pertanyaan Penelitian Arus buruh migran ke Malaysia masih tetap berlangsung sampai saat ini
karena negara jiran tersebut masih menarik dan memberikan harapan bagi para pencari kerja dari negara-negara tetangganya, terutama Indonesia. Malaysia membuka peluang kesempatan kerja yang sangat luas bagi buruh migran Indonesia. Malaysia merupakan salah satu negara pengimpor tenaga kerja asing di Asia. Di Malaysia terjadi apa yang disebut sebagai “kelaparan tenaga kerja”. Pemerintah Malaysia berhasil melewati masa krisis ekonomi dengan baik, bahkan perekonomian Malaysia meningkat dengan pesat. Pemerintah Malaysia berhasil mengundang investor asing dalam jumlah besar, yang sebagian dari kegiatan perusahan investor asing tersebut masih mengutamakan labour intensive. Tenaga kerja asing yang terdidik umumnya bekerja di Semenanjung Malaysia, Malaysia Timur, sedangkan tenaga tak terdidik umumnya bekerja pada sektor perkebunan, pertanian, konstruksi di Malaysia Timur (Sabah dan Sarawak). Malaysia yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi jauh di atas Indonesia menjanjikan kesempatan kerja lebih beragam dengan tingkat upah relatif lebih tinggi. Negeri jiran ini sangat membutuhkan tenaga kerja, terutama tenaga kerja kasar yang dipekerjakan pada sektor pertanian, perkebunan, pertambangan dan konstruksi karena tenaga kerja Malaysia, terutama yang pernah mengenyam pendidikan menengah ke atas, tidak terlalu tertarik lagi untuk bekerja di sektor tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, intensitas arus buruh migran juga dipengaruhi oleh hubungan antar negara yang meningkat. Proses globalisasi dan liberalisasi pasar 1
Pendahuluan kerja telah mendorong optimisme yang kuat dalam bidang ekonomi dan peradaban manusia. Pasar tunggal ekonomi dunia yang terbentuk dalam era globalisasi dan liberalisasi telah membuka selebar-lebarnya peluang bagi perorangan, kelompok, perusahaan atau institusi-institusi untuk menjangkau wilayah yang lebih luas. Hal itu telah mendorong pergerakan modal termasuk mobilitas sumber daya manusia demikian intensif sehingga fenomena migrasi buruh secara internasional menjadi tidak terelakkan. Buruh migran Indonesia sebagian besar juga tidak punya ketrampilan, akan tetapi bisa dipekerjakan di sektor perkebunan dan sektor bangunan. Untuk melarang buruh migran yang unskilled ini juga tidak manusiawi karena di dalam negeri tidak ada alternatif pekerjaan yang dapat menampung mereka. Sebenarnya sudah banyak forum di tanah air maupun di Malaysia yang membicarakan tentang masalah
buruh migran. Seminar atau forum dialog telah
dilakukan untuk mengupas tuntas masalah-masalah terkait buruh migran. Kebanyakan dari forum itu sebatas menyajikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh para buruh migran serta beragam perlakuan tidak manusiawi yang mereka alami ketika mengais rezeki di negeri jiran. Ikwal paling sering disoroti adalah tidak terbayarnya gaji, kondisi kerja yang tidak aman, jam kerja yang berlebihan, pembatasan kebebasan bergerak, serta pelecehan secara lisan maupun fisik, tidak boleh menjalankan ibadah agama. Perlakuan yang kurang manusiawi dan pelecehan terhadap buruh migran dari Indonesia itu memang senantiasa menghiasi halaman media di tanah air ketika kasuskasus ekstrem terjadi. Meskipun jumlah kasus buruh migran yang menghadapi masalah tidak banyak (Menakertrans pernah meyebut angka 8% dari sekitar 3 juta orang), tetapi bersamaan dengan kebebasan yang dimiliki media di tanah air wajar kalau beritanya selalu menjadi topik utama. Untuk bisa merumuskan cara pemecahan 2
Pendahuluan masalah dan perlindungan terhadap buruh migran dengan jernih, titik pangkalnya memang seharusnya bukan hanya kasus-kasus ekstrem. Ada baiknya untuk melihat secara luas rentetan persoalan yang dihadapi oleh para buruh migran Indonesia yang bekerja di Malaysia, mulai dari daerah asal mereka sampai bekerja di negara tujuan dan akhirnya kembali ke tanah air lagi. Tetapi sebelum mengupas persoalan-persoalan yang timbul berkaitan dengan kompleksitas struktur dan dominasi serta bentuk eksploitasi buruh migran, perlu dipahami benar bahwa keberadaan buruh migran adalah bagian penting dari proses pertumbuhan ekonomi, baik di negara asal maupun di tempat mereka bekerja. Hubungan simbiosis inilah yang perlu ditekankan untuk terciptanya kerja sama dan harmonisasi yang baik bagi semua pihak. Harus diakui bahwa untuk mengatasi pengangguran dan membantu ekonomi rakyat di Indonesia, peran buruh migran sangat penting. Ketika Indonesia masih menghadapi krisis pada periode antara 19992001. Tidak bisa dibayangkan betapa beratnya beban hidup para penduduk miskin jika tidak ada alternatif pengiriman buruh migran ke luar negeri. Di lain pihak, ekonomi Malaysia tampaknya juga hanya bisa tetap tumbuh dengan persentase yang tinggi dengan bantuan tenaga-tenaga murah yang 77 persen diantaranya dari Indonesia. Pekerjaan di sektor konstruksi, perkebunan kelapa sawit, maupun kilangkilang industri sebagian besar memanfaatkan buruh migran tersebut. Belum lagi sekian banyak eksekutif dan pegawai pemerintah Malaysia yang tidak mungkin dapat benar-benar produktif
bekerja tanpa bantuan para buruh migran legal harus
membayar sekitar RM 1.800 atau sekitar Rp. 4.500.000 untuk izin kerja. Namun masalah yang muncul bermula sejak para calon buruh migran berniat untuk bekerja di luar negeri. Yang terbayang hanyalah gaji yang tinggi, pekerjaan yang mudah, dan sebagainya, sedangkan di kampung mencari pekerjaan begitu 3
Pendahuluan susahnya. Informasi yang diterima oleh para calon buruh migran seringkali sudah sangat terdistorsi. Prosedur dan persyaratan seringkali tidak diikuti dengan baik. Banyak juga yang sengaja memanfaatkan jalur ilegal yang menjanjikan separuh dari biaya resmi pengurusan buruh migran Indonesia. Tetapi kalau dicermati sesungguhnya sumber masalah ada di setiap daur pengiriman tenaga-tenaga ke luar negeri, tempat bekerja, hingga kepulangannya. Pihak yang berwenang biasanya baru tergerak untuk melakukan sesuatu ketika telah terjadi kasus-kasus yang ekstrem. Perhatian orang kebanyakan memang baru terfokus ketika mendengar atau membaca tentang kasus ekstrem tersebut. Kasus Nirmala Bonat asal NTT yang berangkat pada Juni 2003 dan kemudian harus pulang dalam keadaan depresi dengan penuh luka bekas penyiksaan adalah salah satu yang banyak disorot di Indonesia. Kematian Sugeng Haryadi, buruh bangunan asal Boyolali yang tidak memperoleh santunan karena statusnya yang ilegal mencuat pada awal tahun 2006. Demikian pula ditemukan 5 orang buruh migran ilegal yang ditemukan terapung meninggal di Selayang setelah operasi perburuan yang melibatkan RELA pada Februari 2007 adalah termasuk yang disoroti oleh LSM internasional. Kebutuhan tenaga kerja atau buruh yang paling besar di Malaysia yaitu di sektor perkebunan karet, sawit dan tukang/kuli bangunan, didorong oleh keadaan di mana tenaga kerja di Malaysia mengalami pergeseran pilihan pekerjaan menuju ke perkerjaan perkantoran dan pabrik sehingga banyak lowongan kesempatan kerja di perkebunan dan konstruksi (Chotib, 1994). Karakteristik buruh migran yang banyak terlibat dalam proses pergerakan (migrasi) tersebut ada pada tipe pekerjaan kotor, bahaya dan sukar atau 3 D (Dirty, Dangerous, Difficult). Perkembangan kebutuhan tenaga kerja seperti ini karena pasokan buruh migran banyak tersedia di negara-
4
Pendahuluan negara kurang berkembang dan karena perubahan kondisi di negara-negara tujuan migrasi seperti di Malaysia. Bagi buruh migran yang bekerja di Malaysia, walaupun melalui prosedur dan jalur resmi tetap harus patuh pada ketentuan hukum yang berlaku di Malaysia. Ketentuan tersebut juga berlaku di negara manapun bahwa warga masyarakat harus taat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara tempat mereka tinggal. Kasus pelanggaran hukum yang dilakukan
buruh migran khususnya di
Malaysia adalah habisnya masa kontrak kerja yang tidak diperpanjang tapi tidak kembali ke Indonesia dan tetap bekerja di Malaysia. Status mereka kemudian beralih menjadi buruh migran ilegal. Selain kasus itu, buruh migran di Malaysia sering dihadapkan pada masalah yang berkaitan dengan upah yang diterima tidak sesuai dengan informasi awal yang diterima, pekerjaan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Fasilitas (asrama) tidak memadai, pembayaran upah lembur tidak sesuai peraturan, pemutusan hubungan kerja, kecelakaan kerja dan bahkan gaji tidak dibayar. Masih terdapat juga kasus lain seperti masalah tidak betah bekerja dan majikan kasar, tidak boleh berkomunikasi dengan pihak luar. Berbagai permasalahan yang dialami buruh migran di Malaysia bermula dari kondisi internal buruh itu sendiri seperti minimnya pendidikan dan ketrampilan kerja yang kurang memadai, belum cukup umur serta tidak memahami hak dan kewajiban sebagai buruh migran di luar negeri. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi Malaysia di sektor sawit sebenarnya tidak terlepas dari peran Indonesia 80 persen buruh perkebunan sawit disana berasal dari Indonesia. Namum, cerita buram tetap mewarnai kisah mereka (buruh migran perkebunan sawit asal Indonesia). Buruh migran, umumnya, mendapat upah kerja rendah serta hidup tanpa fasilitas yang memadai, mereka umumnya tinggal di kamp perkebunan yang dikelilingi pohon-pohon sawit di pedalaman. 5
Pendahuluan Sawit memang sedang menjadi primadona. Negeri tropis Indonesia dan Malaysia dengan jenis tanah podsol dan curah hujan 1.000 – 2.500 milimeter per tahun menjadikan negeri ini ladang yang sangat produktif untuk sawit. Devisa untuk Indonesia saat ini 14 miliar dollar AS per tahun. Hasil produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia mencapai lebih dari 19 juta ton per tahun menempatkan Indonesia sebagai penghasil minyak CPO terbesar di dunia (44.5 persen). Malaysia dengan keterbatasan lahan dan tenaga kerja ternyata mampu mendudukan dirinya sebagai penghasil CPO nomor dua terbesar dunia setelah Indonesia. Namun, penghasil 17.35 juta ton CPO (41.03 persen) tersebut hanya mampu berproduksi karena dukungan sepenuhnya dari buruh migran Indonesia. (www.indonesiahijau.wordpress.com) Buruh migran Indonesia menduduki jumlah pekerja terbesar di Malaysia. Sebagian bekerja di rumah tangga dan bangunan (20 persen) dan sisanya (80 persen) di perkebunan. Sektor perkebunan merupakan andalan perekonomian Malaysia yang hampir sepenuhnya ditopang oleh pekerja asal Indonesia. Sebagai gambaran, Sabah, Malaysia Timur, dengan luas 76.115 kilometer persegi merupakan kantong buruh migran Indonesia yang sangat diminati calon pekerja Indonesia karena faktor jarak, agama dan bahasa yang memudahkan mereka berkomunikasi. Kondisi yang serupa tidak jauh berbeda terjadi juga di Serawak, Malaysia Timur. Jumlah buruh migran Indonesia resmi di Sabah mencapai 538.180 orang. Buruh migran Indonesia ilegal menurut catatan yang ada mencapai 329.388 orang. Yang paling berjasa dari proses produksi sawit tersebut adalah buruh migran Indonesia dengan jumlah 90 persen dari total pekerja perkebunan di Sabah. Selain buruh migran Indonesia juga terdapat pekerja perkebunan yang berasal dari Filipina, India, Banglades dan Vietnam.
6
Pendahuluan Malaysia disamping memiliki keterbatasan luas lahan sawit untuk bersaing dengan Indonesia sebetulnya juga cemas terkait dengan kebutuhan buruh di lapangan seperti tersebut diatas yang hampir seluruhnya sangat tergantung dengan buruh migran asal Indonesia. Upah yang hanya berkisar RM 350 – 500 atau Rp 1 juta per bulan memang menjadi mengherankan mengapa untuk mendapatkan upah sedemikian rendah para pekerja Indonesia rela hidup sulit di kebun kebun di negeri orang dengan resiko tersia-sia bahkan hilang tidak tentu jejaknya. Kondisi ketidakberdayaan atau minimnya kekuasaan buruh migran pekebunan asal Indonesia di Malaysia ini sebagai salah satu faktor yang dapat menekan kesemena-menaan Malaysia terhadap buruh Indonesia, sementara perkebunan sawit di Malaysia masih membutuhkan dan aktif mencari buruh perkebunan asal Indonesia. Executive Director Felda Plantations SDN, BHD, Mohd. Nor Bin Omar mengatakan pihaknya akan menarik lebih banyak buruh migran Indonesia (Kompas, 21 November 2008). Selain itu dikatakan juga bahwa kalau pekerja Indonesia rajin mereka bisa memperoleh pendapatan sekitar RM 800 selain jaminan keselamatan kerja apabila mereka langsung bekerja dibawah Felda tanpa melalui pihak-pihak lain. Sedangkan kontrak kerja umumnya sekitar tiga tahun dan kemudian dapat di perbaruhi kembali setelah ijin diurus. Dari seluruh buruh migran perkebunan sawit di Malaysia 70 persen merupakan buruh asing dan 30 persen warga Malaysia sendiri. Dari 70 persen tersebut 80 persen merupakan buruh migran Indonesia yang jumlahnya sekitar 500.000 orang. Sementara Direktur Tenaganita, sebuah LSM Malaysia, Irene Fernandez mengatakan bahwa di Semenanjung Malaysia satu buruh legal terdapat satu buruh ilegal. Sedangkan di Sabah dan Serawak, Malaysia Timur satu buruh legal bisa lebih dari satu buruh ilegal (www.kampungtki.com). Kondisi demikian bisa terjadi karena buruh 7
Pendahuluan migran ilegal bisa diberi upah rendah, mudah di eksploitasi dan memberikan banyak keuntungan, bahkan majikan Sabah dan Serawak menutup mata seolah olah para buruh asing membawa keluarga dan anak-anaknya. Selain itu, kondisi dunia yang telah dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme termasuk di sektor perkebunan mencekeram seluruh sendi-sendi kehidupan. Dua sifat kapitalisme yaitu ekspansif dan eksplotatif. Dalam masyarakat kapitalis dewasa ini umumnya ditandai dengan adanya polarisasi sosial diantara para pemilik kapital dengan pekerja (Baswir, 1999: 4). Kebebasan kaum kapitalis adalah kebebasan yang ditopang oleh penguasaan faktor produksi, dengan faktor produksi kaum kapitalis mempunyai kemampuan untuk memanipulasi dan membeli kebebasan yang dimiliki komponen masyarakat lainnya termasuk kebebasan yang dimiliki para pengelola negara. Sementara itu menurut Azizah Kasim (1997), buruh migran dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu (1) mereka yang datang ke negara tujuan secara sembunyisembunyi tanpa dilengkapi dengan dokumen yang resmi. Jenis pekerjaan buruh migran ini biasanya menggunakan jaringan-jaringan perekrutan informal, berdasarkan hubungan saudara, pertemanan atau cara-cara lain yang dianggap cepat, murah dan tidak memerlukan banyak dokumen; (2) mereka yang menyalahi batas izin tinggal biasanya menggunakan visa kunjungan wisata, namun tetap tinggal di negara yang bersangkutan saat visa mereka habis masa berlakunya; dan (3) mereka yng menyalahgunakan kontrak yaitu para buruh migran yang direkrut secara legal dari negara asal tetapi meninggalkan majikan asalnya, mereka kemudian mencari pekerjaan lain.
8
Pendahuluan Disisi lain juga, studi yang dilakukan terhadap buruh migran Indonesia di Malaysia memiliki karakteristik: tingkat pendidikan rendah, pengetahuan dan ketrampilan terbatas, termasuk minimnya pengetahuan akan hak-hak mereka sebagai buruh. Rendahnya kualitas yang dimiliki membuat para buruh migran rentan terhadap tindakan eksploitasi dan pengabaian atas hak-hak mereka. Contohnya di Malaysia, kehadiran buruh migran memberikan berbagai dampak sosial, budaya, ekonomi dan politik sehingga pemerintah negara tujuan (Malaysia) melakukan berbagai tindakan pengusiran terhadap mereka. Dalam penelitian Azizah Kasim (1997) disebutkan bahwa secara umum Malaysia menerima tenaga kerja asing ASEAN yang berasal dari Indonesia, Thailand, Philipina dan Kamboja. Pada Tahun 2001, 73% dari seluruh buruh migran asing ini berasal dari Indonesia. Pengecualian untuk Sabah dan Serawak buruh migran asing hanya dari Indonesia dan Philipina yang secara geografis berbatasan langsung dengan Sabah Malaysia yang diijinkan bekerja disana. Berdasarkan data statistik tahun 2001 buruh migran di Sabah dan Serawak sebesar 93 persen adalah berasal dari Indonesia sedangkan sisanya berasal dari Philipina (Kasim, 2001). Terdapat tradisi yang kuat migrasi buruh dari Indonesia ke Malaysia yang didukung juga dengan kedekatan geografis dan faktor kultural. Pada masa penjajahan otoritas pemerintah Inggris juga membuka kesempatan bagi buruh migran asal Indonesia untuk bekerja di Malaysia. Terdapat dua faktor yang secara tidak langsung membuka kesempatan ini. Pertama, adanya kebutuhan atas jumlah buruh migran yang besar dari berbagai perusahaan. Kedua, adanya kedekatan ras dan budaya antara masyarakat Indonesia dan Malaysia. Pendatang dari Indonesia cenderung lebih bisa diterima oleh kalangan masyarakat Malaysia karena mereka menjadi semacam
9
Pendahuluan ‘penyangga demografis’ atas meningkatnya jumlah penduduk asal Cina dan India yang juga masuk ke Malaysia. Alasan politis ini juga masih berlaku di era sekarang, diijinkannya masuk buruh migran asal Indonesia digunakan juga untuk mengimbangi komposisi ras Cina dan India yang juga bertambah pesat di Malaysia. Para akademisi sering menyebut dengan silently welcomed dari Malaysia terhadap buruh migran Indonesia. Buruh migran Indonesia sering diterima dan disebut dengan bangsa serumpun yang cenderung lebih mudah berasimilasi dengan penduduk tempatan karena kesamaan bahasa, budaya dan etnisitas. Keberadaan buruh migran asal Indonesia ini pada umumnya rentan untuk tindakan eksploitasi (Momsen 1999). Dalam realitasnya, buruh migran Indonesia khususnya buruh migran perkebunan adalah subyek dieksploitsasi karena status informal dan keterisolasian tempat kerja mereka. Buruh migran Indonesia juga tereksploitasi dan mistreatment sejak mulai keberangkatan dan selama bekerja di Malaysia. Selain itu di negara ini isu mengenai relasi asimetrik dan kompleksitas kekuasaan struktur dengan menggarisbawahi hal yang terkait dengan dominasi dan sub-ordinasi telah diperkuat juga dengan penelitian-penelitian lain terkait masalah marginalisasi, kontrol dan pengawasan oleh majikan dan negosiasi identitas sebagai dampak dari kebijakan pemerintah Malaysia (lihat Huang dan Yeoh 1998; 1999; 2000). Sementara itu dapat juga digambarkan bahwa banyak studi-studi yang menjelaskan bahwa buruh migran di Malaysia terperangkap dalam relasi kekuasaan patriarkhi dan strereotipe yang melihat buruh migran Indonesia pada umumnya penurut, mudah diatur, taat dan mau bekerja keras. (Lee 1996). Beberapa jenis
10
Pendahuluan pekerjaan ini seperti cleaning service, buruh bangunan, pembantu rumah tangga dan buruh perkebunan. Permasalahan buruh migran yang berada dalam struktur dominasi dan subordinasi juga dapat dilihat dalam studi-studi migrasi buruh migran yang dilakukan di Singapura dan Malaysia. Penelitian tentang pengaruh struktur kekuasaan yang menjadikan buruh migran tidak berdaya atau tidak memiliki akses terhadap kekuasaan di berbagai lokalitas menunjukkan bahwa patriarki, global kapitalisme, rasisme dan diskriminasi kelas berakibat dalam penerapan power atau kekuasaan yang berkontribusi pada subordinasi dan subyektifikasi terhadap buruh migran (Grozs 1990). Dalam hal ini struktur sosial seperti patriarki dan diskriminasi kelas berkontribusi pada ketidak berdayaan buruh migran. Selain itu juga dijelaskan bahwa power bekerja melalui regulasi negara, kebijakan sosial dan ekonomi dan teknik pendisiplinan buruh yang dilakukan oleh majikan. Efek dari penerapan struktur kekuasaan yang demikian ini memunculkan stereotipe bahwa buruh migran Indonesia di perkebunan Malaysia berlimpah, murah dan penurut. Konstruksi negatif tentang buruh migran Indonesia ini ditunjang juga oleh pandangan negatif tentang ras, dan nasionalitas dengan sebutan ‘indon’ untuk para buruh migran asal Indonesia sehingga menjadikan buruh migran rentan dalam berhadapan dengan struktur kekuasaan. Namun demikian pada kenyatannya buruh migran Indonesia tidak selamanya menjadi orang-orang yang patuh dan tunduk terhadap dominasi struktur sejak dari keberangkatan, mencari pekerjaan dan bekerja di perkebunan sawit Malaysia. Posisi buruh migran Indonesia pada dasarnya telah ditentukan oleh suatu struktur atau bentuk pengorganisasian dalam kebijakan dan regulasi. Dari posisi buruh migran inilah kemudian terbentuk identitas-identitas yang telah dikonstruksi menjadi aktor atau pelaku yang secara aktif terlibat dalam arus tindakan sosial yang disesuaikan 11
Pendahuluan dengan kepentingan-kepentingan mereka dalam sistem migrasi dan perusahaan tempat bekerja. Para aktor ini melakukan tindakan saling mendukung, saling mengontrol, saling bersaing yang dipahami sebagai relasi kekuasaan yang melekat didalamnya. Serangkaian proses hubungan-hubungan kekuasaan inilah yang kemudian dipahami sebagai ruang bekerjanya atau beroperasinya kekuasaan, terjadi proses power sharing. Buruh migran Indonesia khususnya buruh migran yang bekerja di perkebunan sawit Serawak Malaysia, yang merupakan produk dari proses migrasi buruh ke Malaysia dan menjadi topik penelitian ini pada dasarnya telah menandai dilakukannya proses dalam hubungan kekuasaan. Proses migrasi dan bekerjanya buruh di perusahaan perkebunan tersebut pada dasarnya bentuk praktik sosial para pelaku yang di produksi dan direproduksi secara terus menerus sejalan dengan identitas-identitas sosial dan kultural secara luas. Fenomena buruh migran Indonesia ke Malaysia dan di tempat kerjanya dapat dikatakan melalui proses konstruksi dan dekonstruksi pelaku atau aktor yang terlibat yang kemudian diekspresikan dalam tindakan. Dalam proses konstruksi dalam jaringan kekuasaan inilah dimungkinkan berlangsung negosiasi kekuasaan. Dalam proses ini dapat digambarkan sebagai aksi perjuangan, perebutan dan persaingan yang seiring dengan menciptakan nilai-nilai baru (Coleman, 1988). Proses negosiasi kekuasaan oleh aktor dalam hal ini buruh migran harus disadari akan terus mengalir ke sejumlah institusi dan struktur sehingga kekuasaan tidak dapat di artikan sebagai suatu struktur yang mantap. Kekuasaan akan selalu berubah sejalan dengan jaringan interaksi yang berlangsung secara terus menerus baik berupa perjuangan maupun perdebatan. Disini kekuasaan akan menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap dalam seluruh jaringan hubungan sosial. Teori yang mendukung penelitian ini adalah teori jaringan sosial, teori pertukaran dan teori pertukaran jaringan yang berkaitan dengan hubungan antara satu aktor (individu atau 12
Pendahuluan kelompok) dengan aktor lainnya dan dipusatkan pada pemikiran dan analisis tingkat makro dalam arti pelaku atau aktor bisa saja individu (Wellman, 1983 dalam Ritzer, 2004) atau mungkin juga kelompok, perusahaan dan masyarakat. Selain itu penerapan teori juga juga membahas hubungan-hubungan sosial yang terjadi pada tingkat struktur sosial skala luas sampai ke tingkat yang mikrokospik. Jadi dalam konteks ini akan dikaji keteraturan individu atau kelektivitas berperilaku bukan bagaimana seharusnya mereka berperilaku, yang dicoba untuk dijelaskan adalah menghindari penjelasan normatif dari perilaku sosial. Hubungan kekuasaan diantara para aktor terekspresi dari posisi aktor yang telah ditentukan oleh suatu struktur dalam sejumlah praktik para pelaku yang selalu saling mengontrol satu dengan lainnya. Posisi aktor
itulah yang kemudian menandai
dinamika tindakan manusia yang berbeda yang terwujud dalam aturan-aturan yang dikembangkan oleh pelaku sendiri. Demikian juga istilah negosiasi yang lazim melekat pada isu kekuasaan tidak hanya terpaku pada kajian masyarakat yang tertib dan teratur tetapi lebih menunjuk pada suatu gambaran dinamis dan berubah rubah. Istilah negosiasi dipahami sebagai suatu gambaran berbagai hubungan kekuasaan yang bisa saling mendukung, berjuang atau bersaing juga akan menajamkan istilah jaringan sosial yang selama ini juga dijadikan perspektif dalam melihat hubungan-hubungan kekuasaan. Sebagaimana disampaikan Geertz (1973) bahwa jaringan sosial adalah suatu komunitas masyarakat dengan segala kerumitan konstelasi relasional antar individu telah memanifestasikan pengetahuan. Proses dialektika yang terjadi dalam masyarakat adalah jaringan organisme dimana setiap individu yang menjadi anggota komunitas masyarakat tersebut saling berinteraksi .
13
Pendahuluan Menyimak uraian diatas, buruh migran Indonesia sebenarnya bukanlah buruh yang pasif, karena didukung oleh keterbukaan dan kebebasan ruang sosial (struktur kekuasaan meskipun kompleks) memungkinkan mereka tampil sebagai aktor sekaligus sebagai aktor sosial (akar negosiasi kekuasaan) yang kuat. Kenyataan ini makin diperkuat dalam kajian literatur bahwa hubungan dialektika antara manajer, employer, dengan buruh dimana dijelaskan melalui penerapan disiplin oleh manajer dan negosiasi oleh buruh dalam sistem migrasi ternyata buruh migran memiliki kapasitas yang melekat secara inheren untuk menjadi aktor dalam relasi kekuasaan di Malaysia. (Hindess 1996; Danaher 2000). Gejala diatas dapat dijadikan awal atau dasar munculnya fenomena hubunganhubungan kekuasaan dalam jaringan buruh migran Indonesia di Malaysia, mengingat keberadaan buruh migran perkebunan sawit di Serawak Malaysia sangat penting dan dominan yaitu 80 persen dari keseluruhan buruh perkebunan berasal dari Indonesia. Posisi penting buruh migran ini terkait dalam kapasitasnya sebagai buruh yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang luas sehingga sering dianggap mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk bernegosiasi dalam menghadapi sistem migrasi dan struktur kekuasaan di Malaysia. Buruh migran Indonesia juga menjadi media dalam melakukan transformasi atau bernegosiasi atau melakukan tindakan sosial antara mereka dengan masyarakat dan dunia luaranya. Relasi kekuasaan ini terjadi karena diantara para aktor ada kepentingankepentingan kedua belah pihak yang saling membutuhkan. Selama pengamatan di lapangan diperoleh gejala-gejala praktik negosiasi dan akomodasi diantara para aktor sejak mulai berangkat untuk bermigrasi dan juga di tempat kerja. Kebijakan yang ada selama ini dirasakan oleh buruh migran belum sesuai dengan apa yang diinginkan
14
Pendahuluan atau masih sepihak sehingga sering buruh migran melakukan tindakan-tindakan resistensi atau perlawanan dalam koridor atau bentuk negosiasi. Dalam memahami konsep jaringan kekuasaan dapat dijelaskan bahwa hubungan kekuasaan adalah serangkaian relasi sosial yang kompleks diantara kelompok dan area yang berbeda dalam masyarakat yang berubah sepanjang waktu. Sedangkan problem power atau kekuasaan struktural secara eksplisit menjadi sangat penting karena secara jelas terkait antara teori pertukaran dengan analisis jaringan dimana dalam teori pertukaran sosial dari aktor untuk memperbesar keuntungan akan dilengkapi isi yang kurang dipunyai analisis jaringan. Konsekuensinya adalah agar bergerak melampaui analisis kekuasaan, power dilihat sebagai satu langkah bukan sebagai yang kuat menekan yang lemah tetapi dengan tujuan untuk memahami bagaimana power atau kekuasaan dalam relasi dyadic dan dapat menganalisa distribusi kekuasaan dalam jaringan secara keseluruhan (Cook, 1983) dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari antara individu dan kelompok dengan institusi. Dalam hal ini adalah upaya untuk beroperasinya kekuasaan dalam jaringan yang merupakan tindakan atau aksi dalam berbagai cara atau merupakan strategi dalam hubungan-hubungan kekuasaan. Lebih jauh dijelaskan bahwa kekuasaan yang besar tidak selalu dalam masyarakat yang homogen. Penelitian tentang buruh migran dan relasinya secara jelas mengindikasikan bahwa kekuasaan buruh migran ada dalam berbagai lokalitas seperti halnya dalam struktur perusahaan termasuk daerah asal dan daerah tujuan. Studi yang lain menunjukkan bahwa power tidak hanya dimiliki oleh majikan namun juga dimiliki dan dilakukan oleh buruh melalui pertukaran jaringan (Law. 2002). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa dalam menganalisa hubungan kekuasaan dalam pertukaran jaringan berbagai institusi mengoperasikan dan 15
Pendahuluan menerapkan kekuasaan dalam kelompok dan individu dan bagaimana individu melihat dan memahami identitas resistensinya pada efek kekuasaan. Selain itu, keuntungan dari mengkaitkan teori pertukaran dengan analisis jaringan adalah meluasnya pandangan tentang agency. Analisis jaringan cenderung mengecilkan agen dan berkonsentrasi untuk mendiskripsikan struktur tertentu. Teori pertukaran mengandung model agent self interest rasional yang mengubah struktur untuk memperkuat posisi tawar-menawar mereka. Law (2002) menggunakan teori pertukaran jaringan untuk mengkaji dan meneliti manipulasi strategis terhadap keterkaitan jaringan yang dilakukan aktor. Oleh karena itu, kajian yang menyeluruh tentang hubungan kekuasaan sudah seharusnya memasukkan struktur tindakan secara total dalam kasus yang spesifik. Dalam perspektif ini, buruh migran perkebunan di Serawak Malaysia sebagai aktor dari kekuasaan memiliki kemampuan atau kekuatan dalam batas yang dimilikinya karena mereka dalam posisi untuk bertindak berhadapan dengan tindakan aktor lain yaitu dalam struktur kekuasaan. Terkait dengan hubungan-hubungan kekuasaan bahwa keliru mengganggap kekuasaan sebagai sesuatu yang dimiliki institusi dan digunakan secara opresif melawan individu atau kelompok. Power harus dianalisis satu tahap diatas itu yaitu dengan melihat bagaimana kekuasaan dinegosiasikan, dilakukan dan dioperasikan sehari-hari dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat dan institusi melalui pertukaran jaringan. Dalam konsep ini juga mengandung pengertian bahwa power adalah: a) suatu sistem, jaringan relasi dalam keseluruhan masyarakat; b) individual bukan hanya sebagai obyek tetapi juga locus dimana kekuasaan dijalankan dan dioperasikan. 16
Pendahuluan Dengan demikian dalam nuansa yang lebih luas power mempunyai keistimewaan sebagai berikut: a) tidak diarahkan oleh keinginan individual; b) selalu dalam kasus hubungan antar orang atau kelompok, c) tidak terkonsentrasi pada satu individu atau kelas, d) tidak mengalir dari yang kuat ke yang lemah tetapi datang dari bawah, e) memiliki strategi dan dinamika relasi. Strategi negosiasi kekuasaan individu dan kolektif yang dilakukan oleh buruh migran dalam konteks dominasi dijelaskan bahwa strategi penerapan hubungan kekeluargaan, partisipasi dalam kegiatan masyarakat lokal, partisipasi dalam kegiatan keagamaan (Romero 1992; Yeoh and Huang 1998; Law 2002). Secara keseluruhan strategi ini bertujuan untuk memampukan buruh secara psikologis dalam melawan perbedaan kelas, ras dan status (Romero 1992). Secara kritis dapat dijelaskan bahwa buruh migran selalu berusaha melakukan negosiasi secara aktif dalam melawan dominasi dan eksploitasi tentang kondisi pekerjaan, restrukturisasi proses kerja dan mendapatkan kerja yang pada akhirnya dapat memperbaiki aspek struktur pekerjaan mereka. Contoh spesifik dalam hal ini adalah perbaikan upah, jaminan kesehatan, cuti dan hari libur dan menciptakan hubungan kerja yang profesional. Lebih jauh kondisi ini dapat menjelaskan bagaimana buruh migran memperjuangkan dan menegosiasikan aksi perubahan dalam medapatkan hak dan penghargaan sebagai buruh di Malaysia. Studi lain tentang kelompok subordinasi dan terdominasi telah berubah fokus dari kekerasan kolektif dan revolusi melawan dominan ideologi dan sistem menjadi tindakan atau aksi yang tidak konfrontatif dalam relasi keseharian.( Haynes dan Prakash 1991; Constable 1997). Contoh lain walaupun tidak sepenuhnya bisa dibandingkan namun setidaknya dapat memberikan gambaran tentang tindakan tanpa kekerasan adalah karya Scott dalam smallholders and landless labours in Paninsular Malaysia yaitu yang berkaitan dengan foot-dragging, discursive protest, redicule, 17
Pendahuluan petty acts of non compliance, sarcasm, dissimulation and perseverance against overwhelming odds (Scott 1985). Dalam hal ini banyak petani-petani di Malaysia yang melakukan tindakan resistensi atau perlawanan tanpa kekerasan. Jadi terkait dengan pemahaman diatas negosiasi kekuasaan dalam penelitian ini diartikan sebagai aksi atau manifestasi dalam hubunganan dua pihak yang lebih merupakan strategi dalam jaringan sosial buruh migran Indonesia di Malaysia. Selain itu, terdapat beberapa alasan mengapa disertasi ini mengangkat tema power atau kekuasaan: Pertama, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dalam suatu sistem yang dibatasi oleh norma-norma yang berlaku sehingga setiap perilaku yang menyimpang dari norma-norma tersebut akan mendapat sanksi. Berbagai kebijakan dan regulasi dalam sistem migrasi dan perusahaan tidak terlepas dari adanya kepentingankepentingan
sehingga
kadang
orang
sering
melakukan
tindakan
diluar
kewenangannya. Ketika banyak orang berfikir konstruktivisme dimana manusia secara individu tidak terlepas dari kepentingan untuk mencapai tujuan tersebut. Akibatnya, pemikiran manusia bergeser dari posisi obyek menjadi subyek. Kemudian, manusia dipandang sebagai mahluk yang bersifat aktif, kreatif, dinamis dan konstruktif. Oleh karena itu, berbagai isu yang berkaitan dengan kekuasaan perlu dikaji secara lebih mendalam. Kedua, ketika seseorang telah memutuskan untuk bermigrasi pada awalnya selalu dihadapkan pada sistem migrasi dan perusahaan yang bersifat mengikat. Namun sifat manusia yang selalu menginginkan adanya perubahan atau memperbaiki sistem yang ada tidak terlepas dari adanya berbagai kepentingan. Meskipun motifnya berbeda tetapi masih dalam kerangka yang sama yaitu meraih tujuan yang lebih baik. Ketika berbagai kepentingan dijadikan tujuan utama dalam kehidupan maka akan muncul isu kekuasaan yang perlu mendapat perhatian. Isu kekuasaan atau hubungan-hubungan kekuasaan ini terjadi karena diantara para aktor 18
Pendahuluan ada kepentingan-kepentingan diantara kedua belah pihak yang saling membutuhkan. Selama proses pengamatan dilapangan teramati adanya gejala-gejala praktik negosiasi dan akomodasi diantara para aktor. Dalam hal ini memungkinkan orang melakukan hubungan-hubungan melalui upaya negosiasi, dan akomodasi agar dapat mencapai tujuan yang dinginkan tercapai. Ketiga, peneliti melihat keberadaan buruh migran di perkebunan sawit di Serawak, Malaysia di satu sisi menjadi obyek ‘pemerasan’, tertindas dan rentan oleh sistem dan regulasi namun keberadaannya sampai sekarang masih bertahan dan bahkan bertambah jumlahnya. Bagi Malaysia keuntungan ekonomi yang di dapat dari buruh migran jelas dapat diperoleh, sementara bagi aktor (buruh migran) ada upaya-upaya dalam membentuk dan membangun kekuasaan melalui negosiasi untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Disertasi ini memberikan gambaran dan potret buruh migran Indonesia di Serawak yang bekerja di perkebunan sebagai aktor dalam menegosiasikan kekuasaan sebagai buruh migran temporer di Malayasia. Namun demikian posisi sebagai aktor buruh migran Indonesia di perkebunan sawit tidak selamanya sukses dalam melawan dominasi dan eksploitasi di Malaysia. Sehingga dalam disertasi ini secara eksplisit terdapat dua tujuan utama yaitu melakukan elaborasi terhadap dominasi dan kompleksitas struktur kelembagaan migrasi dan perusahaan dimana buruh migran Indonesia berada di dalamnya selain mempertimbangkan juga effek dari kompleksitas struktur hubungan industrialnya. Kedua, melakukan analisis terhadap hubunganhubungan kekuasaan dan aksi buruh migran Indonesia di perkebunan sawit Serawak Malaysia
dalam
menegosiasikan
kepentingannya
atau
berhadapan
dengan
kompleksitas struktur kekuasaannya selain mempertimbangkan efek dari tindakan ini. Sehingga masalah dalam penelitian ini adalah mengenai hubungan-hubungan kekuasaan dalam relasi antara buruh migran dalam struktur kelembagaan migrasi dan 19
Pendahuluan perusahaan perkebunan di Serawak Malaysia. Lebih khusus hubungan-hubungan kekuasaan tersebut diwujudkan dalam suatu bentuk negosiasi dan akomodasi. Berdasarkan berbagai penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat dirumuskan pertanyaan penelitian ini sebagai berikut:“ Bagaimana dan Mengapa Terjadi Negosiasi Kekuasaan Dalam
Pertukaran Jaringan Kekuasaan Buruh Migran
Yang Kompleks di Perkebunan Sawit Serawak Malaysia?” Secara rinci pertanyaan penelitian yang ingin ditelaah adalah mengapa dan bagaimana individu buruh migran menegosiasikan kekuasaan dan keberadaannya sebagai buruh migran perkebunan Indonesia di Serawak Malaysia. Sub pertanyaannya sebagai berikut: 1) Bagaimana kekuasaan dan jaringan kekuasaan buruh migran Indonesia sejak berangkat, mencari kerja dan bekerja di perkebunan sawit Serawak Malaysia? 2) Bagaimana buruh migran Indonesia di perkebunan sawit Serawak Malaysia diposisikan sebagai aktor berhadapan dengan aktor lain dalam menegosiasikan kepentingannya? 3) Bagaimana proses terjadinya negosiasi kekuasaan dalam kompleksitas hubungan kekuasaan buruh migran dengan struktur migrasi dan perusahaan perkebunan sawit Serawak Malaysia? 4) Mengapa dalam struktur
dominasi
yang
kompleks buruh
migran
Indonesia
tetap
mampu
menegosiasikan kekuasaannya dalam sistem migrasi dan perusahaan di perkebunan sawit Serawak Malaysia?. 1.2.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan utama penulisan disertasi ini
adalah: Pertama, menjelaskan kekuasaan dan jaringan kekuasaan buruh migran Indonesia di perkebunan sawit Serawak Malaysia. Kedua, menjelaskan dan melakukan kajian bagaimana buruh migran Indonesia di perkebunan sawit Serawak
20
Pendahuluan Malaysia yang diposisikan sebagai aktor menegosiasikan kepentingannya dalam interaksi sosialnya. Ketiga, menjelaskan proses terjadinya negosiasi kekuasaan buruh migran Indonesia dalam sistem migrasi dan perusahaan di perkebunan sawit Serawak Malaysia. Keempat, menjelaskan dan melakukan kajian dalam dominasi dan kompleksitas struktur kekuasaan dengan menggarisbawahi buruh migran Indonesia yang rentan, eksploitatif dan diskriminasif namun tetap dapat melakukan negosiasi kekuasaan. Dalam hal ini akan difokuskan pada integrasi hubungan atau relasi kekuasaan antara buruh migran dengan sistem migrasi dan perusahaan perkebunan. 1.3.
Signifikansi Penelitian
Pertama, disertasi ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam sosiologi perburuhan
khususnya buruh migran perkebunan sawit asal Indonesia di Malaysia
dengan memfokuskan pada kemampuan dan negosiasi kekuasaan individu dan kelompok terhadap struktur, formal rules dan kebijakan di daerah tujuan migran. Telah banyak kajian dan penelitian tentang buruh migran (Mantra, 1995; Hugo, 1995;Hilsdon, 2000;Law, 2002; Primawati, 2008). Studi buruh migran di daerah tujuan selama ini masih cenderung difokuskan pada pengkajian motivasi bermigrasi dan dampaknya di daerah asal (Sukamdi et al, 2001; Primawati, 2008). Meskipun pekerja perkebunan di Malaysia datang dari berbagai negara (Indonesia, India, Banglades, Nepal dan Vietnam) mereka disatukan dalam jenis pekerjaan yang sama hanya berbeda dalam beberapa hal terkait sosial dan budaya (Momsen, 1999). Beberapa studi juga menjelaskan potency of natural stereotypes pada pemilihan jenis pekerjaan, dalam studi ini adalah pekerja perkebunan asal Indonesia di ladang-ladang Malaysia (Chin, 1998; Huang dan Yeoh, 1998). Sehingga, penelitian yang secara spesifik fokus pada hubungan-hubungan kekuasaan buruh migran
Indonesia di
21
Pendahuluan Malaysia dapat memberikan, memperkaya, berkontribusi pada isu-isu spesifik kelompok buruh migran ini di daerah tujuan migrasi. Selain itu, mekanisme institusional yang melibatkan baik lembaga swasta dan pemerintah dalam mengatur, mengelola dan melindungi migran juga bervariasi khususnya Indonesia yang telah banyak dikritik dalam mengelola dan melindungi buruh migrannya (Robinson, 2000). Oleh karena itu, kajian mekanisme institutional dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia didalam melakukan perbaikan dalam pengelolaan dan perlindungan buruh migran perkebunan Indonesia di Malaysia serta dapat menyediakan informasi yang bermanfaat guna pengembangan kerangka kebijakan terkait dengan isu hubungan industrial dalam migrasi buruh migran. Kedua, Dengan penekanan pada kompleksitas struktur kekuasaan, power, individu dan kelompok dalam situasi bermigrasi dan bekerja di perkebunan yang tersubordinasi dan terdominasi di Malaysia, berbagai jaringan hubungan-hubungan kekuasaan dielaborasi untuk mengungkap pemahaman masalah dan isu-isu yang dihadapi buruh perkebunan Indonesia khususnya isu marginalisasi, pengawasan oleh perusahaan, negosiasi kekuasaan, power, dan efek kebijakan dan regulasi dikaji lebih mendalam. Dengan demikian, penjelasan hubungan-hubungan kekuasaan dimana buruh migran Indonesia di Malaysia terperangkap dalam relasi dengan perusahaan perkebunan, regulasi dan kebijakan, struktur industri perkebunan dan struktur ekonomi global akan memberikan perspektif yang lebih mendalam
dalam
mendiskusikan relasi kekuasaan, power, dan kerentanan pada level mikro, meso terhadap struktur level makro pekerja perkebunan dalam jaringan hubungan kekuasaan tersebut. Ketiga, Kajian ini akan memberikan kontribusi dan memperkaya literatur sosiologi kependudukan, sosiologi perburuhan dan hubungan industrial khususnya kajian 22
Pendahuluan migrasi buruh migran yang mengintegrasikan mobilitas penduduk dengan identitas dan kekuatan atau power individu dan kelompok dalam jaringan hubungan sosial mereka (Halfacree dan Boyle 1993). Dengan menerapkan descriptive qualitative sebagai metode penelitiannya melalui integrasi pendekatan interpretatif kualitatif sebagai kerangka analisis dan difokuskan pada pengalaman kapasitas atau kemampuan negosiasi buruh migran, kajian ini dapat memberikan kontribusi isu hubungan kekuasaan buruh migran dalam kaitannya dengan pengembangan metodologi dan pendekatan teoritis dalam penelitian sosial kontemporer. 1.4.
Beberapa Penelitian Tentang Buruh Migran di Asia Bagian ini menjelaskan beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan
dengan keberadaan buruh migran di negara-negara Asia. Literatur tentang hubungan dialektika antara buruh dengan majikan pada awalnya memunculkan isu teknik pendisiplinan yang diadopsi oleh majikan dan isu negosiasi identitas anatara buruh dengan majikan. Dalam pandangan ini relasi hubungan buruh majikan difokuskan pada berbagai metode atau cara yang diadopsi oleh majikan dalam mendisplinkan, mengontrol dan mengawasi buruh dan dalam menegosiasikan identitas buruh kelas, ras/etnik dan kebangsaan. Penelitian-penelitian itu pada umumnya memberikan penekanan pada isu tentang hubungan kekuasaan asimetrik dan dominasi antara buruh migran dengan majikan yang mengarah pada inequalities dalam kelas, ras dan juga kebangsaan. Dalam konteks yang dianggap masih relevan walaupun tidak sepenuhnya dapat dibandingkan namun setidaknya dapat memberikan gambaran, Yeoh dan Huang menjelaskan hubungan buruh
pembantu rumah tangga majikan di Singapura
bervariasi dari model hubungan businesslike arrangements to warm familial ties (Yeoh and Huang 1999). Penelitian ini juga mengimplikasikan bervariasinya keeratan 23
Pendahuluan hubungan kekeluargaan antara buruh dengan majikan. Namun demikian, penelitian relasi buruh majikan di Singapura juga mengindikasikan bahwa dalam semua tipe relasi buruh dengan majikan, majikan melihat kontrol dan pengawasan adalah esensial untuk menjamin agar buruh tetap dalam disiplin. Observasi yang sama juga dilakukan oleh Chin di Malaysia dimana pengawasan dan kontrol majikan terhadap buruh menjadi perhatian utama karena di negara ini apabila terjadi pelanggaran oleh buruh atas regulasi negara majikan juga akan terkena pinalti. (Chin 1998). Majikan memang menerapkan tipe disiplin, pengawasan dan kontrol yang ketat di negara-negara ini. Namun demikian, basis kontrol dan pengawasan ini didasarkan pada bias stereotipe buruh migran yang dikontruksi menurut kelas, ras dan juga kebangsaan. Di negara-negara ini umumnya buruh migran berasal dari Indonesia, Filipina, Bangladesh, Sri Lanka dan Burma. Mereka pada umumnya miskin, rentan dan tidak dapat dipercaya hal inilah yang mendasari justifikasi otoritas paternalistik dari majikan. Yeoh dan Huang dan Chin dalam banyak hal menjelaskan bahwa majikan sering tidak menyadari melakukan rasisme dan diskriminasi dalam tindakannya. Mereka merasionalisasi tindakannya demi kebaikan buruh untuk menjamin bahwa mereka tetap aman dan terlindungi selama kontrak dan bekerja. (Chin 1998; Yeoh dan Huang 1999). Constable dalam penelitian mengenai buruh migran Filipina di Hong Kong menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan pengawasan dan kontrol terhadap buruh migran, majikan menerapkan pengawasannya sampai pada bodily aspects seperti cara berpakaian, potongan rambut, pemakaian seragam pada saat bekerja juga penerapan standar hygienis di area kerja (Constable 1997). Di Malaysia penerapan ini juga dilakukan terutama dalam hal exerting power oleh majikan dalam hal ini yang dilihat bukan pada hasil pendisiplinan namun pada proses bagaimana constant coercion 24
Pendahuluan dilakukan (Constable 1997). Didalam proses ini majikan menerapkan superior statusnya sementara buruh dianggap mudah untuk dijinakkan. Hasil riset lain yang menunjukkan bahwa buruh dalam relasinya dengan majikan sering dianggap sudah seperti keluarga tidak selamanya benar. Fictive kinship
ini sebenarnya mendistorsi hubungan yang sebenarnya sebagaimana
dijelaskan bahwa basis hubungan mereka adalah kelas, ras dan juga kebangsaan (Romero 1992; Chin 1998; Anderson 2000). Selain itu, dijelaskan juga oleh Anderson bahwa ‘being like family’ menjadikan buruh dirugikan karena melemahkan posisinya dalam
bernegosiasi
termasuk
menegosiaikan
upah
dan
hak-hak
buruh
lainnya.(Anderson 2000). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa karakteristik hubungan asimetri antara buruh dengan majikan
sebagaimana yang dikaji diatas majikan mereproduksi
subordinasi dan dominasi atas buruh migran melalui berbagai teknik seperti bodily discipline dan diskriminasi (Romero 1992; Chin 1998; Anderson 2000). Hubungan asimetrik antara buruh dan majikan juga mereproduksi inequality dalam relasi sosial seperti perbedaan kelas, ras dan juga kebangsaan yang akan menjadi subyek untuk di negosiasikan. Penelitian Nasution (1997) tentang ‘Aliran Pekerja Indonesia ke Malaysia’ yang bertujuan untuk mengkaji aspek sejarah, proses kemasukan, penyesuaian di kawasan tujuan, serta kesannya terhadap masyarakat Malaysia dan Indonesia. Survey dilakukan terhadap 300 pekerja dalam sektor pembinaan (baca buruh bangunan) di Kuala Lumpur. Inti temuan studinya dapat dikutib sebagai berikut: ‘…kemasukan migran Indonesia ke Malaysia telah berlaku sejak sebelum abad 19 terutama wujudnya hubungan antara beberapa kerajaan di waktu itu, pengaruh 25
Pendahuluan penyebaran agama Islam dan impak daripada proses pembangunan kolonial. Setakat ini, kemajuan yang dicapai Malaysia berbanding Indonesia akibat daripada proses globalisasi ekonomi telah mendorong orang Indonesia yang ‘terpinggir’ untuk bekerja di Malaysia. Pekerjaan yang diceburi umumnya adalah jenis pekerjaan kolar biru yang sudah tidak diminati penduduk tempatan Malaysia. Kemasukan para migran ini lazimnya melalui beberapa kawasan tertentu dengan bantuan ejen resmi dan tidak resmi. Setelah di Malaysia, migran cenderung berpindah-pindah karena ingin memperoleh pendapatan yang lebih tinggi atau karena jenis pekerjaan yang diceburi. Perpindahan tersebut biasanya dibantu oleh kawan, ahli keluarga ataupun majikan. Sebagai kelompok minoriti, para migran lazimnya membina hubungan yang rapat dengan penduduk tempatan dengan cara turut berpartisipasi dalam acara keagamaan, gotong royong dan memberi sumbangan wang. Dikalangan migran mereka cenderung memasuki organisasi formal yang telah wujud di Malaysia atau mewujudkan ‘arisan’ di tempat kongsi. Dari segi impaknya, hasil kajian mendapati taraf pendapatan migran telah meningkat berbanding ketika mereka masih di Indonesia… kemasukan ramai migran secara tidak resmi ke Malaysia melahirkan imej yang kurang baik terutamanya karena berlaku rasuah di kalangan pegawai kerajaan serta wujudnya ejen-ejen pengirim tenaga kerja yang tidak resmi (Nasution, 1997). Perspektif lain juga menjelaskan bahwa NGO dan aktivis buruh migran memberikan penjelasan dalam perspektif lain dimana buruh migran pada dasarnya adalah korban eksploitasi dari kapitalisme ekonomi global. Dalam paradigma ini, ketidakmerataan dalam pembangunan kapitalisme global telah membawa beberapa negara sangat tergantung pada import buruh murah. (Gibson et al 2001), dalam hal ini 26
Pendahuluan buruh migran sebagai korban ekonomi kapitalis
tidak punya pilihan lain untuk
bekerja di luar negeri karena upah yang rendah di dalam negeri. . Negara seperti Indonesia dan Filipina dalam konteks sistem ekonomi global adalah negara pemasok buruh murah (Alcid 1994). Hubungan industrial atau relasi buruh majikan dalam konteks hubungan kekuasaan
dapat dijelaskan dari review literatur tentang hubungan-hubungan
kekuasaan. Dapat dijelaskan bahwa kekuasaan adalah serangkaian relasi sosial yang kompleks diantara kelompok dan area yang berbeda dalam masyarakat yang berubah sepanjang waktu. Berlawanan dengan interpretasi marxist tentang relasi kekuasaan dijelaskan bahwa kekuasaan tidak secara esensial sesuatu yang dimiliki institusi di digunakan untuk menekan individual dan kelompok. Konsekuensinya, kekuasaan dilihat sebagai satu langkah dengan tujuan untuk memahami bagaimana kekuasaan beropreasi dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari antara individu dan kelompok dengan institusi. Dalam hal ini kekuasaan merupakan tindakan atau aksi dalam berbagai cara yang merupakan strategi seperti halnya resistensi produktif dalam relasi anggota masyarakat. Oleh karena itu, kajian yang menyeluruh tentang hubungan kekuasaan sudah seharusnya memasukkan struktur tindakan secara total dalam kasus yang spesifik. Dalam perspektif ini, buruh migran perkebunan di Serawak Malaysia sebagai subyek, efek,aktor, dalam relasi kekuasaan memiliki kemampuan atau kapasitas dalam batas yang dimilikinya karena mereka dalam posisi untuk bertindak berdahapan dengan tindakan lain yaitu struktur kekuasaan. Strategi negosiasi kekuasaan individu dan kolektif yang dilakukan oleh buruh migran dalam konteks dominasi dijelaskan bahwa strategi penerapan hubungan
27
Pendahuluan kekeluargaan, partisipasi dalam kegiatan masyarakat lokal, partisipasi dalam kegiatan keagamaan (Romero 1992; Yeoh and Huang 1998; Law 2002). Secara keseluruhan strategi ini bertujuan untuk memampukan buruh secara psikologis dalam melawan perbedaan kelas, ras dan status (Romero 1992). Secara kritis dapat dijelaskan bahwa buruh migran selalu berusaha melakukan negosiasi secara aktif dalam melawan eksploitasi tentang kondisi pekerjaan, restrukturisasi proses kerja dan mendapatkan kerja yang pada akhirnya dapat memperbaiki aspek struktur pekerjaan mereka. Contoh spesifik dalam hal ini adalah perbaikan upah, jaminan kesehatan, cuti dan hari libur dan menciptakan hubungan kerja yang profesional. Lebih jauh kondisi ini dapat menjelaskan bagaimana buruh migran memperjuangkan dan menegosiasikan aksi perubahan dalam medapatkan hak dan penghargaan sebagai buruh di Malaysia. Secara ringkas penjelasan resistensi diatas dapat dianggap bermanfaat dalam menjelaskan konsep hubungan kekuasaan buruh migran. Namun terdapat juga beberapa kekurangan, penjelasan demikian dapat dianggap memiliki perpektif yang dangkal dalam melihat relasi kekuasaan buruh migran misalnya penekanan pada interelasi buruh dan majikan tidak melihat adanya sumber-sumber kekuatan lain yang berkaitan dengan kebudayaan. Selain itu analisis relasi kekuasaan buruh yang terkait dengan eksploitasi hanya dihubungkan dengan analisis struktural perjuangan buruh yang diperluas. Permasalahan buruh migran yang berada dalam jebakan dominasi dan subordinasi juga dapat dilihat dalam studi-studi migrasi buruh migran yang dilakukan di Singapura dan Malaysia. Penelitian tentang pengaruh struktur kekuasaan yang menjadikan buruh migran tidak berdaya sebagai inti permasalahan dalam penelitian ini di berbagai lokalitas menunjukkan bahwa patriarki, blobal kapitalisme, rasisme dan diskriminasi kelas mempunyai impact dalam penerapan power
yang 28
Pendahuluan berkontribusi pada subordinasi dan subjectifikasi terhadap buruh migran (Grozs 1990; Hindess 1996; Danaher 2000). Dalam hal ini struktur sosial seperti patriarki dan diskriminasi kelas berkontribusi pada ketidak berdayaan buruh migran. Selain itu juga dijelaskan bahwa power
bekerja melalui regulasi negara, kebijakan sosial dan
ekonomi dan teknik pendisiplinan buruh yang dilakukan oleh majikan. Efek dari penerapan struktur kekuasaan, power, yang demikian ini memunculkan stereotipe bahwa buruh migran Indonesia di perkebunan Malaysia berlimpah, murah dan penurut. Konstruksi negatif tentang buruh migran Indonesia ini ditunjang juga oleh pandangan negatif tentang ras, dan nasionalitas dengan sebutan ‘indon’ untuk para buruh migran asal Indonesia sehingga menjadikan buruh migran rentan dalam berhadapan dengan struktur kekuasaan. Menerapkan ide teori pertukaran dan jaringan dapat membantu memperjelas konsep negosiasi kekuasaan sebagai bentuk interaksi dalam berbagai relasi sosial dimana buruh migran terperangkap didalamnya. Dalam batasan ini dapat dijelaskan bahwa faktor yang mendasari eksploitasi dan mistreatment terhadap buruh migran menjadi sangat kompleks. Dari ini dimungkinkan untuk mengatur strategi bagaimana melawan eksploitasi dan dominasi dalam relasi buruh dan majikan khususnya dalam perusahaan perkebunan. Disini tidak hanya diperlukan penerapan pendekatan metodologi dalam relasi kekuasaan tetapi juga diperlukan pemikiran baru atau alternatif tentang buruh migran dan hubungan industrialnya. Suatu teori yang dapat menjelaskan keduanya baik individu maupun faktor sosial sangatlah penting dalam mengkaji hubunganhubungan kekuasaan tersebut.
29